Rabu, 30 Januari 2013

” Tradisi Mengenang Para Raja ”

 Media Online Lintas Gayo

Adi Warsidi MEULABOH says: 
Oleh; FAKHRURRADZIE GADE dan CHAIDEER

ACEHKINI

PAKAIANNYA serba hitam. Di kepa­lanya dililit kain kuning. Senampan nasi putih diletakkan di tengah-tengah balai yang sudah dipenuhi para tamu undang­an. Saat acara mulai, pria itu mengambil nasi dan menyuapi pria berbaju hitam yang me­ngenakan kupiah Meukeutop. Pria itu adalah Teuku Saifullah bin Teuku Hasymi el Hakimi, keturunan ke-13 raja Daya.

Saban tanggal 10 Dzulhijjah atau hari pertama lebaran Idul Adha, keturunan Kerajaan Daya menggelar upacara Seumeuleung. Upacara tahunan itu dipusatkan di makam Raja Alaiddin Riayatsyah di Gle Jong Desa Kuala Daya, Lamno, Kecamatan Jaya. Pada upacara tahun ini, Wakil Bupati Aceh Jaya Teungku Zamzami A. Rani menjadi tamu. Tetua adat Seumeuleung juga menyuapi mantan juru bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Meureuhom Daya itu.

Inilah tradisi yang dipelihara turun terumurun, dari tahun ke tahun. Tiap hari pertama Idul Adha, warga Lamno tumpah ruah di makam Po Teumeureuhom untuk menggelar upacara Seumeuleung. Biasanya, usai upacara dilanjutkan kenduri dengan menyembelih sapi atau kerbau.

Seumeuleung diperingati untuk me­ngenang para raja di Kerajaan Daya. Menurut Teuku Saifullah bin TH el Hakimi, upacara Seumeuleung diadakan tiap tanggal 10 Dzulhijjah pada pukul 10.00 WIB. “Ini untuk memperingati berdirinya Kerajaan Daya,” kata Saifullah kepada ACEHKINI.

Dia mengisahkan, Sultan Aceh mengutus Sultan Alaiddin Riayatsyah ke negeri Daya untuk mengatasi berbagai kemelut yang sedang dihadapi empat kerajaan kecil di sana, yaitu Kerajaan Kluang, Lamno, Kuala Unga, dan Kerajaan Kuala Daya. Tak lama setelah sampai di negeri Daya, Alaiddin Riayatsyah mengumpulkan keempat raja ini di Kerajaan Kuala Daya.

Di hadapan para raja, Alaiddin Riayatsyah berpidato dan mendeklarasikan berdi­rinya Kerajaan Daya. “Saudara-saudara, para raja. Hari ini, hari pertama Idul Adha, pukul 10, kita memperingati hari berdirinya negeri Daya. Semua masalah yang ada di negeri Daya harus diselesaikan dengan hukum Allah dan hukum adat. Kalau tidak bisa diselesaikan maka akan diserahkan kepada Kerajaan Aceh Darussalam,” kata Alaiddin seperti dikisahkan Saifullah.

Setelah mendeklarasikan Kerajaan Daya, Sultan Alaiddin Riayatsyah diangkat menjadi raja pertama. “Setelah itulah, Sultan Alaiddin Riayatsyah atau Po Teumeureuhom di-seuleung,” ujar Saifullah.
Syafrizal, seorang guru sekolah mene­ngah di Lamno, yang pernah meneliti tradisi Seumeuleung saat mengambil gelar Sarjana Pendidikan di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Perguruan Tinggi Serambi Mekkah Banda Aceh mengatakan, Seumeuleung pertama sekali digelar pada saat Sultan Umar bin Abbas dikukuhkan sebagai sultan di Kerajaan Daya. Dia kemudian bergelar Sultan Alaiddin Riayatsyah.

Masih menurut Syafrizal, dulu raja di­suapi kakeknya. Sedangkan kini dilakukan dua orang pengasuh (khadam/meungpeutimang po) yang berpakaian ala syaikh dari Arab. “Upacara Seumeuleung sebenarnya untuk menghormati pengangkatan Alaiddin Riayatsyah menjadi Sultan di negeri Daya,” kata Syafrizal.

Upacara seumeuleung selain diha­diri keluarga kerajaan dan rakyat, juga diha­diri sejumlah tamu penting dari negara lain. Seperti diketahui, Kerajaan Daya saat itu sudah menjalin hubungan bilateral dan multilateral dengan sejumlah negara, se­perti Amerika Serikat, Inggris, dan Portugis. Para raja dan tamu negara dijamu di sebuah balai (jambo).

Sebelum prosesi puncak seumeuleung, upacara dimulai dengan membagi-bagikan sirih (ranub gapu) kepada delapan meunaro (petugas di ruangan majelis). Para meunaro inilah yang meneruskan untuk membagikan sirih kepada anggota majelis. Disusul kemudian raja menyampaikan amanat tahunan yang berisikan nasehat tentang persatuan dan tertib hukum serta adat-istiadat. “Nah, di akhir upacara baru raja disuapi (seuleung) dengan nasi ketan,” kata Syafrizal.

Syafrizal menyebutkan, salah satu tradisi seumeuleung yang menarik adalah perebutan japan atau sisa-sisa hidangan. Ada kepercayaan japan berkaitan dengan nasib rezeki mereka. Bila mereka tidak berhasil mendapatkan japan, maka rezeki me­reka akan mampet selama 44 hari. Menurut Hasan Ibrahim, “Nasi japan ini dipercaya bisa menjadi obat bagi anak-anak.”

Bahkan, pada malam sebelum upacara seumeuleung dimulai, penjaga makam Po Teumeureuhom menyalakan tujuh lampu teplok yang terbuat dari tanah liat dan berbahan bakar minyak goreng. “Jika ketujuh lampu itu menyala dengan baik mereka percaya rezeki tahun ini akan berlimpah,” kata Syafrizal.

Lampu teplok itu diletakkan di tujuh segi. Mereka yakin, lampu itu sebagai pe­nanda rezeki mereka untuk masa depan. “Kalau misalnya nyala lampu yang diletakkan di sebelah laut terang benderang, maka dipercaya akan banyak hasil laut,” kata Saifullah, bapak beranak dua ini.

Versi berbeda dikemukakan Panglima Sultan Hasan Ibrahim, seorang keturunan Sultan Alaiddin Riayatsyah. “Pada awalnya upacara ini digelar sebagai pertanda bahwa agama Islam sudah tersebar ke seantero Kesultanan Daya dan Kesultanan Aceh,” kata Hasan Ibrahim saat ditemui ACEHKINI di Lamno, 26 Desember 2007.

Menurut Hasan Ibrahim, saat itu Sultan Alaiddin Riayatsyah menginstruksikan kepada empat pengawal kerajaan untuk me­ngenakan pakaian adat kerajaan yang serba hitam. Dua pria didandani menyerupai pengantin pria dan wanita (linto baro dan dara baro). Sementara dua lainnya bertugas sebagai dayang bagi para pengantin. Saat keduanya bersanding, sang istri mengambil sesuap nasi dari idang dan menyuapi suaminya. Setelah selesai, giliran suami menyuapi istrinya. “Begitulah awalnya tradisi seumeuleung dilakukan,” kata Hasan Ibrahim. Setelah prosesi “perkawinan” itu selesai, kata Hasan Ibrahim, raja beserta rakyat yang hadir di upacara itu makan bersama (kenduri).

Itu adalah cikal bakal lahirnya budaya seumeuleung di Kerajaan Daya. Masih menurut Hasan, pada awalnya upacara itu dilakukan oleh para pengawal kerajaan. Namun belakangan, setelah Po Teumeureuhom meninggal, prosesi itu diteruskan secara turun temurun oleh keturunan kerajaan. “Seumeuleung menjadi tradisi keluarga kerajaan dan diwariskan secara turun temurun. Tidak boleh oleh keluarga yang lain, kecuali keturunan raja sudah tidak ada lagi,” kata pria berusia 72 tahun itu.

Saat prosesi seumeuleung keluarga kerajaan mengenakan pakaian serba hitam. Hanya saja, orang laki-laki mengenakan kain sarung dan surban warna kuning. Sedangkan perempuan mengenakan busana yang menutup seluruh auratnya. “Baju hitam itu baju adat. Dulu semua tentara Kerajaan mengenakan baju hitam. Dan semua keluarga Po Teumeureuhom juga mengenakan pakaian hitam di lingkup kerajaan (dinas),” lanjutnya.

Sebelum prosesi seumeuleung dimulai, terlebih dahulu panglima (pemimpin acara) membacakan salawat dan ayat-ayat al-Quran. Setelah semua prosesi berakhir, dilanjutkan dengan kenduri dan doa bersama. “Kita mendoakan semoga Islam tetap maju di negeri Daya dan Aceh,” kata Hasan.

Tsunami yang melanda Aceh tiga tahun silam juga merembes pada pelaksanaan tradisi seumeuleung. Jika dulu panglima seumeuleung dan (keturunan) raja me­ngenakan jubah hitam yang dipadu dengan surban putih, kini atribut itu tak ada lagi. Perlengkapan seperti jubah hitam, pedang dan dalông yang sering digunakan dalam ritual juga musnah dihanyutkan gelombang raksasa. Balai tempat prosesi ritual juga tak luput dari ganasnya gelombang gergasi.

Kendati Seumeuleung sudah menjadi tradisi di Lamno, tidak semua warga paham seluk beluk tradisi ini. Abdullah, misalnya. Dia mengaku tak terlalu paham makna seumeuleung. Bagi dia, seumeuleung hanya­lah cara mereka mengenang para raja. “Ini adalah cara kami mengenang raja,” kata Abdullah. Tapi, bagi Saifullah yang keturunan raja, seumeulueng punya makna lain. “Kalau tidak diperingati, kami takut akan kena ganjaran dari pendahulu kami.” [a]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar