Kamis, 31 Januari 2013

Pocut Baren, Pejuang Aceh Berkaki Kayu

Nopember 21st, 2012 by Widi Astuti
 
c3eaba9528466eced0b0f03b5e01644d_pocut1

Dialah pejuang perempuan dari Aceh Barat yang menggemparkan petinggi militer Belanda. Tercatat 19 petinggi militer dikerahkan secara bergantian untuk menangkap dirinya. Ketangguhan dan keberaniannya membuat Belanda mengerahkan segenap daya dan upaya. Bahkan Belanda membuat tangsi secara besar-besaran untuk mengepung dirinya.

Pocut Baren telah menorehkan namanya dengan tinta emas sebagai pejuang perempuan Aceh yang tangguh. Ia mengobarkan perang dari tahun 1903 hingga 1910. Meski seorang perempuan, tetapi tidak menghalanginya untuk memimpin pasukan menyerbu marsose Belanda.

Pocut Baren adalah seorang bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Cut Amat, seorang uleebalang di Tungkop, Aceh Barat. Masa kecilnya, ia lalui sebagaimana penduduk Aceh lainnya yaitu belajar ilmu agama. Pocut kecil mengaji kepada para ulama, baik yang didatangkan kerumahnya maupun mengaji di meunasah, dayah dan masjid.

Pocut dibesarkan dalam lingkungan Aceh yang sedang berkecamuk perang. Situasi ini membentuknya menjadi seorang perempuan yang berkepribadian tangguh, berani, dan militan. Jiwa mudanya bergejolak dengan semangat berkobar-kobar untuk mengusir kaphee (si kafir) Belanda. Ia pun bertekad akan menggabungkan dirinya dengan para pejuang Aceh.

Setelah dewasa, Pocut menikah dengan seorang uleebalang di Gume. Suaminya merupakan seorang pejuang tangguh yang memimpin perlawanan rakyat daerah Woyla. Bersama-sama mereka bahu membahu melawan Belanda. Keluar masuk hutan untuk perang gerilya.

Pocut bukanlah seorang wanita manja. Dia sadar dengan resiko jalan hidup yang dipilihnya yaitu sebagai pejuang. Dia rela meninggalkan kemewahan duniawi. Rela naik turun gunung ataupun keluar masuk hutan untuk berperang gerilya. Ia tahan menderita, sanggup hidup dalam waktu lama dalam pengembaraannya di gunung-gunung dan hutan belantara. Pengalaman dan penderitaan hidup seperti itu mulai ia jalani semasa berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien di masa gadisnya.

Kesederhanaan dan keteguhan prinsip mewarnai kehidupannya setelah menikah. Dan Pocut tidak pernah mengeluh atas kerasnya kehidupan yang dijalaninya. Dia bahagia dan bangga dapat membaktikan hidupnya demi kemuliaaan agama dan bangsa.Wataknya yang pemberani, tabah dan ulet menjadi modal yang berharga dalam perjuangan. la sangat dihormati dan disegani oleh teman-teman seperjuangannya.

 Ia juga ditaati oleh para pengikutnya. Bahkan ia ditakuti oleh musuh-musuhnya. Hal ini diakui sendiri oleh Doup, salah seorang mantan Komandan marsose di Aceh. Doup mengabadikan perjuangan Pocut Baren dalam buku Gedenk book van het Korps Marechaussee. Pocut telah berhasil membuat pasukan Belanda kalang kabut dan menelan kerugian besar.

Pocut hidup sezaman dengan Cut Nyak Dhien. Pocut dan Cut Nyak Dhien sama-sama berjuang di daerah Aceh Barat. Mereka bahu-membahu melancarkan perang gerilya. Mereka sama-sama hidup di dalam hutan belantara sebagai basis pertahanan. Jadi pada masa itu di Aceh Barat terdapat dua pejuang wanita yang tangguh dan sangat merugikan Belanda.

 Ketika Cut Nyak Dhien tertangkapa pada tanggal 4 Nopember 1905, Pocut tetap melanjutkan perjuangannya hingga tahun 1910. Bahkan ketika suaminya syahid di salah satu pertempuran, Pocut tetap teguh berjuang. Ia tidak mundur setapak pun dari jalan perjuangan. Ia memimpin pasukannya untuk tetap tegar di jalan perjuangan hingga syahid menjelang.

 Hidup mulia atau mati syahid adalah prinsip hidupnya.Belanda mengira Pocut akan menyerah setelah kematian suaminya. Belanda sudah merasa di atas angin melihat Cut Nyak Dhien menyerah dan suami Pocut Baren meninggal. Belanda yakin Pocut Baren pasti sudah lemah dan mudah ditaklukan. Tetapi ternyata perkiraan Belanda meleset jauh.

Pocut tetap tegar melanjutkan perjuangan meskipun seorang diri memimpin pasukan. Ia memobilisasi penduduk Aceh Barat untuk bergabung dalam jihad fie sabilillah menegakan agama Alloh dan membela bangsa. Penduduk pun menyambut dengan penuh semangat ajakan Pocut Baren tersebut. Bahkan Pocut Baren bersama anak buahnya membangun benteng di Gunong Mancang sebagai basis pertahanan.

 Dari benteng inilah segala taktik dan siasat diatur. Pocut berkoordinasi dengan anak buahnya untuk melakukan serangan-serangan ke tangsi militer maupun patroli Belanda. Di benteng kokoh inilah Pocut memimpin perang selama bertahun-tahun. Benteng ini sulit ditaklukan karena letaknya yang strategis di puncak bukit.

 Belanda kewalahan menghadapi perlawanan Pocut yang semakin gigih. Akhirnya Belanda membangun dua tangsi militer secara besar-besaran yaitu di Kuala Bhee dan Tanoh Mirah. Pocut mampu bertahan selama bertahun-tahun di bentengnya. Letaknya yang strategis dan dukungan penuh dari masyarakat membuat ia dapat bertahan dengan baik.

 Daerah Aceh Barat merupkana daerah penghasil emas yang makmur. Banyak pendatang dari luar Aceh yang datang ke daerah ini untuk mengadu nasib. Masyarakat sangat mencintai Pocut Baren. Mereka menyumbangkan harta bahkan jiwanya untuk mendukung perjuangan Pocut. Sungguh, tak ada yang menyangkal bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat yang heroik. Mereka bersedia menyerahkan hartanya bahkan jiwanya untuk membela agama Alloh serta bangsa dan negaranya.

Belanda kewalahan, mereka mengepung benteng Pocut selama bertahun-tahun tanpa hasil. Belanda belum berani menyerang benteng secara langsung karena letaknya yang strategis. Berbagai taktik dan siasat dilancarkan untuk merebut benteng tersebut. Tercatat ada 19 petinggi militer yang berusaha menaklukan Pocut Baren. Doup, seorang tentara dan jurnalis Belanda menuliskan:” Para pemimpin patroli pemburu Pocut Baren adalah tokoh-tokoh Belanda yang terkemuka dan terkenal amat berpengalaman dalam pertempuran.

 Hal ini menunjukkan bahwa wanita itu memang dianggap sebagai lawan tangguh bagi Belanda. Mereka itu antara lain adalah Letnan J.H.C. Vastenon, Letnan O.O. Brewer, Letnan W. Hogers, Kapten T.J. Veltman, Kapten A. Geersema Beckerrigh, Kapten F. Daarlang, Letnan A.H. Beanewitz, Letnan H.J. Kniper, Sersan Teutelink, Sersan van Daalen, Sersan Bron, Letnan C.A. Reumpol, Letnan W.v.d. Vlerk, Letnan W.L. Kramers, Letnan H. Scheurleer, Letnan Romswinkel, Sersan Duyts, Sersan de Jong, Sersan Gackenstaetter dan lain-lain.”

Akhirnya Belanda mendatangkan bala bantuan tentara dari Batavia (Jakarta). Gabungan pasukan Belanda dari Aceh dan Batavia tersebut dipersenjatai dengan senjata-senjata canggih untuk ukuran zaman itu. Mereka dilatih untuk menguasai medan terlebih dulu. Setelah dilatih selama berbulan-bulan akhirnya pasukan gabungan tersebut menyerbu benteng pertahanan Pocut Baren di Gunung Mancang.

Dengan dipimpin oleh Letnan Hoogers, pasukan Belanda membombardir benteng Pocut dengan meriam dan senjata api. Pasukan Pocut yang hanya dipersenjatai dengan senjata sederhana dan tradisional seperti rencong, pedang, golok dan beberapa pucuk senjata api terdesak. Meskipun mereka bertahan secara mati-matian dan mengerahkan segenap kemampuan yang ada, tapi mereka kalah secara persenjataan dan jumlah tentara.

 Meski sadar akan kalah tapi Pocut Baren dengan gagah berani memimpin pasukannya untuk berperang sampai titik darah penghabisan. Akhirnya Pocut Baren tertembak dan lukanya cukup parah. Kakinya terkena timah panas yang menyebabkan dia roboh bersimbah darah. Pasukannya pun kocar-kacir. Dengan jatuhnya Pocut Baren maka benteng Gunong Mancang yang gagah bertahan selama bertahun-tahun akhirnya bisa direbut oleh Belanda. Pocut pun ditangkap dan dijadikan tawanan oleh Belanda. Pocut dibawa ke Meulaboh. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1910, tahun berakhirnya perlawanan Pocut Baren, pendekar Aceh Barat yang gagah berani

Kaki Pocut terkena infeksi cukup parah. Tim dokter Belanda yang ada di Meulaboh tidak sanggup untuk mengobatinya. Akhirnya Pocut di bawa ke Kutaraja (Banda Aceh) untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik. Semakin hari luka infeksi di kaki Pocut semakin parah. Untuk menyelamatkan jiwanya, akhirnya tim dokter mengambil keputusan untuk mengamputasi kakinya.

 Keputusan amputasi kaki ini sempat mengagetkan Pocut, tapi akhirnya Pocut menerima keputusan tersebut dengan jiwa besar. Kaki yang selama ini dipergunakan untuk berjuang di jalan Alloh, dengan berat hati di ikhlaskan Pocut untuk di amputasi.

Selama menjadi tawanan di Kutaraja, Pocut diperlakukan dengan baik oleh Belanda. Mereka menghormati keberanian pendekar wanita dari Tungkop ini. Setelah proses amputasi dan perawatan kakinya sudah dinyatakan sembuh, Gubernur militer Aceh Van Daalen menjatuhkan hukuman buang ke tanah Jawa.
Mengetahui vonis hukum buang bagi Pocut Baren tersebut, seorang perwira Belanda TJ.Veltman memberi masukan kepada Van Daalen. TJ.Veltmaan adalah seorang perwira Belanda yang fasih berbahasa Aceh. Dia menyarankan agar Pocut dikembalikan menjadi uleebalang ke Tungkop saja, daerah kelahirannya.

Dengan harapan Pocut akan menghentikan perlawanannya terhadap Belanda. Veltmaan berpikir, kaki Pocut yang tinggal sebelah saja akan menyurutkan langkahnya untuk berjuang. Dan Veltmaan pun tahu bahwa Pocut Baren bukanlah sembarang wanita, tapi wanita yang sangat cerdas dan berani. Apa kata Pocut pasti diikuti oleh rakyatnya. Usul tersebut diterima oleh Van Daalen. Akhirnya Pocut tidak jadi dihukum buang ke pulau Jawa, tapi justru diangkat menjadi uleebalang di Tungkop.

Sekembalinya Pocut Baren ke Tungkop dan menjadi uleebalang, dia berusaha keras untuk membangun kembali daerahnya. Tungkop adalah daerah yang subur dan kaya akan bahan tambang emas. Meski daerahnya subur dan kaya, tetapi rakyatnya sangat miskin. Mereka tidak sempat mengolah tanah pertaniannya karena sibuk berperang selama bertahun-tahun.

Pocut sadar bahwa kakinya yang sudah hilang sebelah menjadi kendala bagi dirinya untuk berjuang secara frontal melawan Belanda. Akhirnya Pocut mengubah haluan perjuangannya dari berjuang secara frontal menjadi perjuangan untuk memakmurkan rakyatnya. Pocut memikirkan dengan sungguh-sungguh upaya untuk memakmurkan rakyatnya.

Di bidang pertanian, Pocut membuat kebijakan untuk penanaman kembali secara besar-besaran lahan penduduk yang selama ini terbengkelai. Pocut mewajibkan penduduk untuk menanami kembali sawahnya dengan padi. Masyarakat juga diwajibkan untuk menanami kebunnya dengan tanaman kelapa, pala, kakau, cengkih, nilam, mangga, pisang, jagung dan lain-lain tanaman yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
Agar pertanian dapat berkembang pesat, harus diiringi irigasi yang bagus.

Pocut Baren pun membuat sistem irigasi yang handal. Ia menggerakkan rakyatnya untuk membangun saluran irigasi yang airnya dialirkan dari sungai-sungai besar ke sawah-sawah penduduk. Dengan demikian pada musim kemarau sawah-ladang milik petani tidak akan kekeringan. Untuk menghindarkan perselisihan di antara para petani, maka diadakan pembagian air secara bergilir. Sedangkan untuk menghindarkan serangan hama dan penyakit tanaman, Pocut Baren menyarankan agar para Petani menanam padi secara serempak, sehingga siklus kehidupan hama dapat diputus.

Kebijakan Pocut ini ditaati oleh rakyatnya. Dan sebagai hasilnya, hasil pertanian daerah Tungkop mengalami surplus. Kelebihan tersebut dikirim ke daerah-daerah disekitarnya. Pocut bahagia dapat membangkitkan kembali perekonomian daerahnya yang selama ini terlantar. Pocut pun bertekad akan memakmurkan daerah Tungkop yang dipimpinnya.

Para petani bergiat kembali mengerjakan sawah ladangnya. Para nelayan kembali melaut mencari ikan. Dan para penambang emas kembali memburu emas. Perekonomian di Tungkop benar-benar bergairah kembali dibawah pimpinan Pocut Baren. Seorang Uleebalang perempuan yang mendapat julukan De Vrouwelijke Oeleebalang methet houten been.

Disamping ahli di bidang pemerintahan dan pertanian, ternyata Pocut Baren juga memiliki bakat terpendam sebagai seorang penyair. Karya-karyanya sering dibacakan dalam acara-acara resmi ataupun acara keluarga. Hingga kini sebagian masyarakat Aceh masih melantunkan syair-syair karya Pocut Baren. Bahkan syair-syair Pocut Baren yang berbahasa Melayu dan Arab tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Sebagian karya Pocut Baren diabadikan dan disimpan di Universitas Leiden Belanda.

Sungguh hebat dan cerdas srikandi dari Tungkop ini. Disamping gagah berani di medan perang ternyata ia juga cerdas di bidang pemerintahan, pertanian, dan kesusateraan. Tak heran jika rakyatnya sangat menghormati dan mencintainya. Dibawah kepemimpiannnya Tungkop menjadi daerah yang makmur.

Perubahan yang menyolok dari daerah miskin yang rawan pemberontakan menjadi daerah yang aman dan makmur membuat pemerintah Belanda yang membawahi daerah tersebut menjadi gembira. Adalah Letnan H. Scheurleer, Komandan Bivak Tanoh Mirah yang juga merangkap penguasa sipil di daerah tersebut. la melaporkan kepada atasannya di Kutaraja bahwa Pocut Baren telah berusaha dengan sungguh-sungguh menciptakan ketertiban, keamanan dan kemakmuran.

Sebagai tanda terima kasihnya, Veltman sekali lagi memperlihatkan kebaikan hatinya kepada Pocut Baren. Ia menghadiahkan sebuah kaki palsu yang di buat dari kayu untuk wanita itu. Kaki palsu tersebut didatangkan langsung dari negeri Belanda.

Pocut Baren mengabdikan dirinya di Tungkop hingga akhir hayatnya. Ia meninggal pada tahun 1933. Seluruh rakyatnya merasa sangat kehilangan uleebalang yang begitu berwibawa. Mereka berterimaksih kepada Pocut Baren yang telah membawa angin perubahan di Tungkop.

Meski telah meninggal tapi nama Pocut Baren tetap abadi dan menjadi teladan bagi seluruh rakyat Aceh, bahkan seluruh rakyat Indonesia. Meski ia berkaki kayu tapi tidak menghalangi dirinya untuk berbakti bagi agama dan bangsanya. Kekurangan dirinya tidak menyebabkan ia menjadi lemah dan mengasihani dirinya sendiri. Tapi kekurangan itu justru menjadi pemicu untuk tetap berkarya hingga akhir hayatnya. Selamat jalan Pocut Baren…kaki kayumu menjadi inspirasi bagi kami untuk senantiasa berkarya ditengah segala kelemahan diri.


Sungguh saya jatuh cinta terhadap pendekar-pendekar dari Aceh. Keberanian dan kecerdasan mereka juga membuat jatuh cinta para jurnalis Belanda seperti Zentgraaf dan Doup. Merekalah yang mengabadikan keheroikan perempuan Aceh dengan penuh rasa hormat. Mereka mengabadikan perang Aceh beserta para tokohnya dalam buku-buku yang disimpan di Universitas Leiden Belanda…Tapi kita, bangsa Indonesia justru tak pernah mengenal nama srikandi-srikandi dari Aceh….sangat ironis…..

Salatiga, 21 Nopember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar