Kamis, 02 Januari 2014

Ratusan Warga Berburu Harta Karun Kerajaan Aceh

Logo The Globe Journal - Original

Selasa, 12 November 2013 15:15 WIB
Banda Aceh - Warga Banda Aceh kini dihebohkan dengan temuan 'harta karun' berisi kepingan emas di muara Krueng (sungai) Doy kawasan Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja. Ratusan warga berbondong-bondong turun ke muara untuk mencari koin emas yang diperkirakan peninggalan Kerajaan Aceh masa lampau itu.
 
Pantauan, Selasa (12/11/2013), puluhan warga masih mengais dasar muara untuk mencari emas kuno itu. Mereka menggunakan alat tradisional seperti jala dan tempayan, ada juga yang hanya mengandalkan tangan.
 
Berdasarkan informasi dihimpun dari sejumlah warga, emas itu mulanya ditemukan oleh ibu-ibu pencari tiram dari Lampaseh Kota, Kecamatan Kutaraja, kemarin. Saat mengais lumpur di dasar muara, perempuan itu menemukan sebuah peti 'harta karun' yang di atasnya bersarang tiram-tiram.
 
Perempuan yang belum diketahui namanya itu kemudian memukuli peti tersebut, tujuannya untuk mengambil tiram. Alangkah terkejutnya dia saat mengetahui dalam peti itu ternyata berisi koin-koin emas seukuran kancing baju yang di permukaannya bertulis aksara Arab.
 
Di antara koin itu dibagi kepada temannya yang sedang mencari tiram dan tetangganya. Warga yang mendapatkannya kemudian menjualnya ke toko emas di Banda Aceh yang nilainya mencapai seratusan juta.
 
Kabar temuan emas itu kemudian berhembus dari mulut-mulut. Tak menyia-nyiakan kesempatan, sejumlah warga mendatangi lokasi temuan sejak tadi malam. Berbekal alat penerang seperti lampu baterai dan senter, mereka mendulang koin emas.
 
Hari ini lokasi itu menjadi tempat wisata baru. Sejumlah warga ikut memenuhi kawasan tambak itu, bukan hanya untuk mencari emas tapi juga sekadar untuk membunuh rasa penasaran. Warga kampung mulai memungut biasa sekali masuk ke lokasi Rp2.000.
 
Edi, seorang warga desa tetangga Gampong Pande mengaku, usai mendapat informasi dari mulut ke mulut ada emas di muara itu, ia memutuskan mendatangi lokasi. Sejak pukul 05.00 WIB dini hari tadi, ia ikut bergabung dengan warga lainnya mencari emas. "Tapi belum dapat rezeki, bang," katanya.
 
Menurutnya tadi malam banyak warga yang berhasil mendapatkan emas. "Sekarang mungkin sudah sedikit, sudah banyak yang dapat semalam. Jadinya agak susah," sebut dia.
 
Nasib mujur dialami Amat, warga lainnya. Setelah beberapa jam mencari, ia berhasil mendapat sekeping emas. Beberapa orang menawarkan hingga ratusan ribu, tapi ia enggan menjual. "Saya mau simpan buat koleksi pribadi, ini benda bersejarah," kata pemuda Aceh Besar itu.
 
Lokasi temuan emas itu juga terdapat makam-makam kuno dengan batu nisan terukir. Koin-koin emas yang ditemukan itu diperkirakan dirham atau alat tukar pada masa Aceh berstatus kerajaan.
 
Gampong Pande merupakan kampung tertua dan diyakini sebagai cikal bakal Kota Banda Aceh. Pande artinya pintar.
 
Sahibul riwayat menyebutkan Gampong Pande adalah perkampungan kerajaan Aceh masa lalu. Ini ditandai dengan banyaknya makam-makam kuno di kampung tersebut. Dulu di sana banyak terdapat orang ahli menempa emas perak dan pandai besi.
 
Koin-koin emas yang ditemukan itu diperkirakan hasil produksi Gampong Pande pada masa silam. Saat tsunami melantak Aceh pada 26 Desember 2004, Gampong Pande yang letaknya dekat pantai ikut tersapu ombak. Ribuan warga jadi korban, rumah dan makam-makam kuno juga banyak yang tergerus. [005-okezone]

Lokasi Penemuan Harta Karun, Pusat Industri Kerajaan Aceh

Logo The Globe Journal - Original

Selasa, 12 November 2013 16:40 WIB
Banda Aceh - Penemuan harta karun berisi kepingan emas yang diperkirakan peninggalan zaman kerajaan di Gampong (Desa) Pande, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, menyedot perhatian warga.
Sejarawan Aceh, Husaini Ibrahim, mengatakan, kawasan penemuan emas itu adalah pusat industri yang memproduksi berbagai kebutuhan Kerajaan Aceh Darussalam.

"Mulai dari mata uang dari emas, batu nisan dengan ukiran-ukiran indah, senjata besi untuk berperang dan berbagai kebutuhan kerajaan lainnya," jelas dosen FKIP Sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh itu kepada wartawan, Selasa (12/11/2013).

Menurutnya, Gampong Pande dulu juga dikenal sebagai pusat perdagangan karena letaknya sangat strategis di lintasan Selat Malaka dan berada pada puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).

"Tapi jauh sebelum itu Gampong Pande sudah terkenal sebagai kawasan industri dan pusat perdagangan yang strategis," sebut alumnus Universitas Sains Malaysia (USM) yang pernah membuat penelitian di Gampong Pande untuk disertasi doktoralnya.

Di kampung tersebut memang banyak ditemukan makam-makam zaman dengan batu nisan ukiran kuno. Salah satu makam yang terkenal dan sudah dipugar adalah Makam Teungku Dikandang dan Makam Putroe Ijo.

Husaini memperkirakan koin-koin yang ditemukan itu merupakan hasil pesanan luar yang belum dikirim para penempa emas yang dulunya banyak terdapat di Gampong Pande. Namun, ada dugaan pula emas itu milik kerajaan yang disimpan setelah diproduksi.

"Ini masih butuh penelitian lebih lanjut," ujarnya.

Sekilas koin-koin emas yang ditemukan warga di muara Krueng (sungai) Doy, Gampong Pande bentuknya persis dengan dirham atau mata uang Aceh masa kerajaan di Museum Aceh. Koin seukuran kancing jas itu di permukaannya bertulis aksara Arab.

Husaini meminta pemerintah segera menyelamatkan sejarah Gampong Pande yang dulu terkenal hingga ke semenanjung negara tetangga. Temuan emas itu dikhawatirkan bisa mendorong warga membongkar makam-makam kuno yang ada, karena diyakini ada emas di bawahnya.

"Saya khawatir kalau tidak segera diselamatkan berbagai peninggalan yang sangat bersejarah di Gampong Pande akan punah," sebutnya. [005-okezone]

Uang Dirham Kerajaan Aceh di Museum Bank Indonesia

Logo The Globe Journal - Original

Rabu, 23 Januari 2013 21:00 WIB
UNIKNYA Museum Bank Indonesia (MBI), terlihat pada satu ruang pamer yang beberapa etalase dan lampu sorotnya justru di lantai. Isinya pakaian seragam tentara penjajah sejak zaman VOC, Hinda Belanda, sampai Jepang dengan segala atributnya. Tampak pengunjung yang masih kanak kanak bersimpuh mengamati koleksi yang dipamerkan.
Yang tak kalah menarik adalah ruang kaca tempat menyimpan ratusan batangan emas murni sebagai cadangan moneter negara. Sedangkan di sebuah ceruk dinding ruang itu terdapat sebuah emas batangan yang dapat angkat agar pengunjung mengalami sendiri mengangkat ‘emas murni’ seberat 13,5 kg. Tentu saja emas itu hanya replica namun dengan ukuran dan berat yang sesungguhnya.
Sebelum ruang emas , kita melewati ruang numismatic yang berisi berbagai mata uang sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara sampai zaman NKRI sekarang yang dibagi dalam 9 kelompok.
Ada cerita mendahului ruang ini tentang Keping Cinta bagi Belahan Jiwa. Uang terbuat dari tembaga berdiameter 24 mm dan tebal 0,8 mm yang berlaku di Banten abad 16 bertuliskan huruf Jawa berbunyi “Pangeran Ratu”. Tulisan itu adalah penyebutan bagi Ratu Ayu Kirana putri Sultan Demak yang dipersunting Sultan Hasanuddin Banten tahun 1526.
Ada uang Dirham kerajaan Aceh terbuat dari emas dari abad ke 12-15 dengan tulisan Arab, uang Ropij Jawa juga dari emas bertahun 1814 tertulis Hinggilis Jasa Hing Sura Pringg 1814. Ada lagi koin emas 1 Ropij Jawa bertahun 1796 yang bertuliskan Iha Djazirat Djawa Al Kabir.
Di samping uang lama, ada pula dipamerkan uang yang masih berlaku bergambar Dwi Tunggal Bung Karno dan Bung Hatta namun dalam formasi ‘uang bersambung’.
Dijelaskan dalam kolom informasi , uang itu berjejer 4 lembar, namun tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah senilai total rangkaian uang bersambung tersebut tanpa harus dipotong. Tampak uang bersambung itu dari pecahan 20.000, 50.000 dan 100.000 rupiahan. [001-Harian Terbit]


Asal Muasal Kota Banda Aceh dari Kampung Pande

Logo The Globe Journal - Original

Redaksi The Globe Journal
Selasa, 23 April 2013 01:27 WIB
BANDA ACEH - Dalam memeriah hari ulang tahun (HUT) Kota Banda Aceh ke 808, pemerintah Kota Banda Aceh mengelar Festival Qasidah Rebana Tingkat Kota Banda Aceh, bertempat di taman sari Banda Aceh.

Kegiatan tersebut dibuka secara resmi oleh Walikota Banda Aceh, Mawardy Nurdin. Selain lomba Qasidah, dalam rangka HUT Kota Banda Aceh ke 808 juga diperlombakan sejumlah kegiatan antara lain Lomba Bercerita Anak Islami Tingkat SD/MI, Lomba MTQ Tingkat Pelajar dan Guru dan serangkaian kegiatan lainnya.

Mawardi mengaku bahwa  momentum  HUT Kota Banda Aceh adalah sebagai bentuk  kepedulian seluruh elemen masyarakat terhadap Kota Banda Aceh.

Menurut Mawardy Kota Banda Aceh merupakan kota bersejarah, Ibukota Kesultanan Aceh Darussalam di masa lampau. Asal muasal Kota Banda Aceh adalah Gampong Pande sebagai ibukota Kesultanan Aceh.

"HUT Kota ini janganlah hanya diperingati dengan seremonial dan serangkaian kegiatan dalam berbagai bidang. Akan tetapi, hendaknya menjadikan HUT ini sebagai momentum kita mempelajari dan belajar dari sejarah. Karena suatu bangsa atau daerah akan maju apabila belajar dari masa lalu," tegasnya.

Hasil pantauan dilapangan, ratusan masyarakat Banda Aceh dan sekitarnya sejak pukul 20.00 WIB mulai memadati taman sari. Setelah acara pembukaan, dilanjutkan dengan Lomba Qasidah diikuti oleh peserta dari  tiga kecamatan yaitu Syiah Kuala, Jaya Baru, Meuraxa dan Luengbata.

Di Pande, Menempah Besi dari Generasi ke Generasi

Logo The Globe Journal - Original

Fadel Aziz Pase | The Globe Journal
Minggu, 30 Juni 2013 14:13 WIB
BUNYI pukulan besi di setiap rumah dikampung ini sudah mulai sejak puluhan tahun lalu. Saban hari tak pernah mengenal lelah. Sudah beranak cucu mereka melakoni pekerjaan ini.
Setiap harinya ribuan tempahan besi yang sudah menjadi parang, sabit, pisau, cangkul, dihasilkan dari kampung ini.
Perjalanan lumayan jauh dari pusat ibukota Aceh Utara di Lhoksukon. Kita butuh waktu selama 30 menit menuju kampung Pande dengan mengendarai kendaraan roda dua. Kira-kira 20 kilometer dari pusat Ibukota Petro Dolar, Aceh Utara di Lhoksukon.
Kampung ini berada di Kecamatan Tanah Pasir. Pada 26 Desember 2004 lalu sebagian penduduk dan harta bendanya ikut digulung gelombang tsunami yang menimpa tanah rencong ini.
Kampung ini bersebelahan dengan pusat kecamatan Tanah Pasir (Keude Simpang Peut – red). Bagi masyarakat Aceh Utara kampung Pande tidak asing lagi, bahkan ketika kita berbicara tentang peralatan pertanian atau perkebunan, mereka langsung mengarahkan kita ke kampung Pande untuk membelinya.
Hari menjelang siang, Minggu (30/6/2013) The Globe Journal tiba di Kampung Pande. Lelaki tua yang sudah berumur 60 tahun terlihat masih kuat memukul besi ditempat tempahan besi yang berada disamping rumahnya.
Abu Bakar Hasan namanya, kumisnya sudah memutih namun semangatnya tidak pernah berkurang untuk mencari nafkah dengan keahliannya sebagai pandai besi.
Sudah cukup lama ia melakoni pekerjaannya, sejak dirinya masih kanak-kanak telah membantu orang tuanya yang juga berprofesi sebagai pandai besi yang saban hari membentuk besi tempahan. “Sudah cukup lama, ketika saya sekolah SD dulu sudah membantu Ayah,” ujar lelaki paruh baya tersebut.
Menurut ayah lima anak ini, dirinya tidak mengetahui sejak kapan awal mulanya tempahan besi dimulai dikampungnya. Karena kata Abu bakar, ayahnya juga pernah bercerita kalau neneknya juga berprofesi sebagai pandai besi dikampung tersebut.
“Sudah cukup lama, sejak nenek saya juga sudah ada disini,” katanya.
“Sudah beranak cucu masyarakat disini berprofesi sebagai pandai besi,” tambah Abu Bakar yang dibenarkan Bariah (50) isterinya yang duduk membantu Abu Bakar.
Tidak salah kalau masyarakat di Aceh Utara menamakan kampung Pande adalah kampung seribu pandai besi. Beberapa pemuda yang asli berasal dari desa tersebut telah menikah dengan perempuan di daerah lain sudah membuka dan bekerja sebagai perajin besi di daerah yang mereka huni sekarang, seperti Panton Labu dan Bireuen.
Mau memiliki parang, sabit, cangkul atau pisau sesuai dengan selera anda? Yuk kunjungi dan pesan di kampung pande. []

Rabu, 01 Januari 2014

Mapesa: Pemerintah Aceh Harus Beli Kembali Dirham yang Dijual Warga

Logo The Globe Journal - Original

Rahmad | The Globe Journal
Selasa, 12 November 2013 14:15 WIB
Banda Aceh – Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) mengungkapkan keprihatinannya berkaitan dengan penjualan emas kuno (dirham) Kesultanan Aceh yang ditemukan oleh sejumlah warga Banda Aceh di ruas Krueng Merduati, Senin (11/11/2013). Mereka berharap, Pemerintah Aceh dapat mendeteksi kembali keberadaan penjualan emas tersebut dan membelinya kembali untuk dijadikan dokumentasi sejarah.
Sekretaris Mapesa, Mizuar mengatakan penemuan mata uang dirham  oleh masyarakat Merduati ini menjadi bukti penguatan tentang kejayaan Aceh.  “Seharusnya masyarakat yang menemukan dirham ini tidak menjualnya, mengingat dirham merupakan mata uang Kesultanan Aceh dulunya yang sangat jarang ditemukan saat ini,” kata Mizuar Selasa (12/11/2013).
Menurutnya tindakan masyarakat ini terjadi karena kurangnya sosialisasi  tentang pentingnya pelestarian benda cagar budaya. Dalam hal ini tugasnya Pemerintah khususnya Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh Besar yang merupakan  unit pelaksana teknis (UPT) Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
“Jika Pemerintah aktif mengkampanyekan pelestarian  benda cagar budaya kepada masyarakat, maka kejadian seperti ini tidak akan terjadi. Bahkan akan semakin banyak benda cagar budaya bisa diselamatkan dari temuan masyarakat”, pungkas Mizuar.
Ia berharap kepada Pemerintah Aceh dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh Besar agar menindaklanjuti hasil temuan ini.
“Hal yang memprihatinkan jika Pemerintah Aceh dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh Besar tidak merespon temuan ini. Sebenarnya penemuan benda sejarah seperti dirham ini, tidak boleh dijual, karena ini adalah aset sejarah yang dilindungi undang-undang,” ujarnya.
“ Jikapun telah dijual, maka Pemerintah harus membeli kembali agar ini menjadi barang koleksi meseum yang akan menjadi pengetahuan sejarah bagi generasi selanjutnya”, tandas Mizuar lagi.
Selain itu, Mizuar juga juga berpesan kepada masyarakat yang menemukan benda peninggalan sejarah agar tidak menjualnya dan segera memberitahukan Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh Besar yang berada di Gampong Lampisang Kecamatan Peukan Bada Aceh Besar. [005-R]

Gampong Pande Lokasi Pencetakan Dirham untuk Kerajaan Islam Dunia

Logo The Globe Journal - Original

Selasa, 12 November 2013 18:13 WIB
Banda Aceh - Ratusan warga sejumlah desa di Banda Aceh masih memburu harta karun berupa koin emas di dasar muara sungai kawasan Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh.

Ratusan warga laki-laki dan perempuan berbasah-basah masuk sungai dengan kedalaman sepinggang orang dewasa itu untuk mendapatkan koin emas yang diyakini milik kerajaan Aceh tempo dulu.

Koin emas dalam bentuk uang dirham yang merupakan mata uang kerajaan Islam Aceh tempo dulu itu awalnya ditemukan pencari tiram di sungai antara Gampong Merduati dan Gampong Pande, Senin petang kemarin.

Pencari kerang itu menemukan satu koin emas sebesar kancing baju di dalam kerang. Selanjutnya juga ditemukan lagi beberapa butir koin emas di sekitar lokasi temuan awal di sungai itu. 

Muchtar, seorang warga, kini tidak hanya warga Gampong Pande yang mencari harta karun itu tapi juga warga desa lain ikut masuk sungai memburu harta karun tersebut.

Sejarawan Aceh M Adli Abdullah, meminta pemerintah provinsi menyelamatkan koin emas mata uang dirham yang ditemukan, dengan membelinya dari masyarakat.

"Itu sudah menjadi tanggungjawab pemerintah untuk membeli kembali temuan masyarakat itu sehingga tidak jatuh kepada pihak lain. Sebab, mata uang dirham itu bagian dari peradaban Aceh yang mengalami masa kejayaannya tempo dulu," katanya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh itu menjelaskan, dirham yang ditemukan tersebut merupakan barang purbakala yang harus dilindungi dan diselamatkan pemerintah.

"Jadi setelah pemerintah membeli dari masyarakat, kemudian diletakkan di museum sehingga menjadi bukti otentik sejarah peradaban Aceh yang pernah berkembang dan berjaya dimasa lalu," kata dia.

Ia menjelaskan, Gampong Pande dan kawasan sekitarnya sampai ke Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh adalah lokasi pabrik pencetakan uang dirham yang tidak hanya berlaku di Aceh tapi di beberapa negara Islam lainnya yang tetap berlaku hingga sekitar 1880-an.

"Dirham sebagai mata uang Aceh berlaku juga di beberapa negara Islam saat itu, karena emas Aceh bisa dikatakan stabil. Namun dalam sejarah masuknya kolonial Belanda ke Aceh sempat dipalsukan mata uang dirham sehingga ekonomi kerajaan Aceh juga hancur saat itu," katanya. [Antara]

Warga Gampong Pande Minta Lokasi Harta Karun Ditutup

Logo The Globe Journal - Original

Nurul Fajri | The Globe Journal
Selasa, 12 November 2013 19:56 WIB
Banda Aceh - Ramainya warga Kota Banda Aceh yang datang mencari kepingan emas di muara Krueng Doy, Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja membuat perangkat desa dan warga setempat meminta agar tempat tersebut segera disterilkan.
“Kita meminta supaya kawasan ini diawasi dan disterilkan dalam beberapa hari supaya tidak merambah ke tempat-tempat lain. Ini dilakukan jangan sampai ada pemikiran masyarakat kita yang awam seolah-olah ini menjadi tempat tambang, untuk mencari harta karun,” tutur Geuchik Gampong Pande, Yusnardi saat ditemui The Globe Journal dilokasi, Selasa (12/11/2013).
Permintaan agar lokasi ini ditutup segera, ujarnya juga berasal dari warga gampong Pande sendiri. Menurutnya, masyarakat merasa ramainya orang-orang yang mencari koin emas peninggalan kerajaan Aceh tersebut merupakan hal yang tidak layak.
“Karena ini merupakan kawasan yang dilindungi. Mereka sudah menjaga makam-makam tersebut sejak lama. Dan juga masyarakat merasa mereka yang punya tanah di sini, jadi mereka meminta pemerintah kota memberi himbauan agar tidak melakukan pencarian lagi,” jelas Yusnardi.
Dia mengatakan, pihaknya telah meminta agar lokasi penemuan ‘harta karun’ tersebut dapat ditutup nanti malam. Hal tersebut dilakukan agar tidak ada lagi masyarakat yang terpancing untuk terjun mencari kepingan emas tersebut.
Terkait penemuan koin emas tersebut, Yusnardi mengatakan itu hanya kebetulan ditemukan oleh para pencari tiram di kawasan itu.
“Kalau sekarang ini sudah tidak ada lagi lah, kalau kemarin itu kebetulan saja. Mereka itu memang mencari tiram, dan mata pencahariannya sudah bertahun-tahun di situ. Artinya mereka bukan sengaja mencari itu,” ungkapnya.

Mendikbud Mohammad Nuh Sebut akan Tebus Koin Emas Gampong Pande

Logo The Globe Journal - Original

Sabtu, 16 November 2013 13:42 WIB
JAKARTA– Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akhirnya menyikapi penemuan koin emas dan benda-benda bersejarah di sekitar situs Gampong Pande, Banda Aceh. Mereka meminta masyarakat yang masih memegang benda-benda bersejarah itu untuk menyerahkan ke negara. Kemendikbud juga menyiapkan kompensasi atau dana tebusan.
Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan, penyelamatan peninggalan sejarah merupakan bagian dari upaya besar konservasi budaya.
"Jika ada masyarakat yang memiliki benda-benda bersejarah, mohon didaftarkan ke pemerintah," katanya di Jakarta.
 
Permohonan itu diantaranya menyikapi penemuan sejumlah koin emas peninggalan masa Kesultanan Aceh (1496-1903). Menteri asal Surabaya itu meminta masyarakat menyerahkan koin-koin emas dan sejumlah temuan lain seperti pedang dan sebagainya.
Nuh menegaskan pemerintah memiliki mekanisme untuk membeli atau memberikan kompensasi uang kepada masyarakat untuk melepas barang-barang bersejarah itu. Tetapi sampai sekarang, belum ditetapkan anggaran untuk menebus koin-koin emas itu dari masyarakat.
Menurut dia, upaya konservasi ini tidak hanya digeber di bekas peninggalan Kesultanan Aceh. Upaya serupa juga dilakukan untuk peninggalan sejarah di situs gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat; situs peninggalan kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur; dan kompel candi Muaro Jambi di Jambi.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Kacung Marijan mengelak jika Kemendikbud disebut kecolongan terkait penemuan koin emas itu. "Penemuan oleh masyarakat itu wajar. Kadang kita (pemerintah, red) duluan, kadang masyarakat duluan," ujarnya.
Kacung mengatakan saat ini tim dari Balai Pelestarian dan Cagar Budaya (BPCB) Aceh untuk terjung ke lapangan. Kacung masih belum bisa mengatakan lebih detail rencana menebus atau memberikan kompensasi ke masyarakat yang bersedia memberikan koin emas itu.
"Yang penting kita identifikasi dan kita selamatkan dulu," papar dia. Guru besar Universitas Airlangga (Unair), Surabaya itu menegaskan, pada prinsipnya sangat dimungkinkan pemberian insentif kepada masyarakat yang memegang benda-benda bersejarah tadi.
Kacung menegaskan kasus penemuan koin emas ini sekaligus dijadikan sebagai media edukasi masyarakat. Yakni tentang pentingnya benda-benda bersejarah, terutama yang masuk dalam cagar budaya. Dia berharap masyarakat tidak melakukan pengerusakan dan memberlakukan benda-benda cagar budaya secara sembarangan. [JPNN]

"Penelitian di Kawasan Lamuri Perlu Dilanjutkan"

Logo The Globe Journal - Original

Rahmad | The Globe Journal
Senin, 18 November 2013 15:00 WIB
Banda Aceh – Mapesa (Masyarakat Peduli Sejarah Aceh) mengapresiasi seminar kajian pelestarian Kawasan Sejarah di Buket Lamreh yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh, Minggu (17/11) di aula Kantor BPCB Aceh.
Kabid Humas dan Informasi Mapesa, Muhammad Zikri mengatakan Seminar Kajian Pelestarian Kawasan Sejarah Lamuri merupakan langkah positif yang diambil untuk menyelamatkan kawasan sejarah di Buket Lamreh.

“Seminar kajian pelestarian Kawasan Buket Lamreh yang dilakukan oleh BPCB Aceh kemarin merupakan langkah yang tepat dalam upaya penyelamatan kawasan sejarah di kawasan tersebut,” kata Zikri dalam siaran persnya yang dikirim Senin (18/11/2013).
Ia berharap Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh melanjutkan penelitian di Kawasan Buket Lamreh agar nilai sejarah yang terkandung di kawasan tersebut dapat diungkap untuk dokumentasi sejarah Aceh.

“Penelitian lebih lanjut merupakan hal yang sangat diperlukan, karena penelitian yang dilakukan saat ini masih sebatas penelitian di permukaan kawasan. Karena itu kami berharap pihak BPCB dapat melakukan penelitian secara komprehensif di kawasan tersebut,” tandasnya. [005-R]

Budjang Salim, Pahlawan “Tanpa Sepuluh November”

Logo The Globe Journal - Original

Nanda Feriana |The Globe Journal
Jum`at, 29 November 2013 21:45 WIB
Di pertengahan bulan November, kisah-kisah kepahlawanan menyeruak di banyak tempat. Cerita-cerita ikhwal perjuangan pun terdengar di berbagai sudut negeri. Di penghujung November seperti saat ini, kisah-kisah tersebut tanpa terasa menghilang secara perlahan. Seolah tenggelam dalam ingatan semua orang dan akhirnya hanya berakhir sebagai peringatan seremonial tahunan. Begitulah.   
Meski tanggal 10 November sudah berlalu, namun “aura” perjuangan itu  tampaknya tak bisa hilang begitu saja. Setidaknya itulah yang selalu dirasakan oleh Atjeh Neuksom, putri bungsu dari Teuku Budjang Salim, salah seorang pahlawan asal Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara.
Melalui  Atjeh Neuksom, saya mencoba menggali informasi seputar sejarah Teuku Budjang Salim. Sosok perempuan yang ramah dan bersahaja itu antusias menceritakan sejarah seputar sang ayah tercinta. Sore itu, 15 November 2013, sambil ia duduk di kursi goyang di depan teras rumahnya yang bercat orange muda, dengan santai ia berbagi cerita.
Konon di salah satu Kecamatan di Kabupaten Aceh Utara, tepatnya di Kecamatan Dewantara, lahir seorang putra yang diberi nama Teuku Budjang. Buah cinta dari pasangan Teuku Rieh Mahmud dan Cut Baren ini lahir pada tahun 1891 di desa Meunasah Rayeuk, Nisam. Sang Ayah yang merupakan seorang keturunan Ulee Balangcukup terkenal kala itu.
Kemasyhuran sang ayah diketahui oleh Belanda. Budjang sendiri bahkan sempat di sekolahkan oleh kolonial Belanda di Kweekschool (setingkat SMA) dan Sekolah pemerintahan (hari ini sederajat IPDN). Ketika ia dewasa, Teuku Budjang menikah dengan seorang perempuan asal Desa Tambon Tunong. Tak lama setelah itu, dari pernikahan pertamanya ini ia dikaruniai seorang anak bernama Cut Babuyung. 
Teuku Budjang berdakwah ke banyak tempat. Dengan bekal ilmu agama yang diajarkan oleh orang tuanya, ia mengajak masyarakat untuk menerapkan nilai—nilai ajaran agama islam dalam kehidupan sehari-harinya. Pada masa itu, pergolakan memang sedang terjadi dimana-mana. Belanda sangat menguasai dan menduduki banyak wilayah.  
Tak perlu waktu yang lama, dakwah sembunyi-sembunyi yang disebarkan oleh Teuku Budjang pun terdengar hingga ke telinga para kompeni Belanda. Budjang akhirnya dibuang oleh Belanda ke berbagai daerah di Nusantara seperti ke Purwokerto, Jogja, Semarang, Padang, Medan, Jakarta, hingga Merauke.
Ketika di Padang, Budjang banyak menuntut ilmu agama kepada Syekh Jambek.   Sementara ketika di Meurauke, ia bertemu dan dijodohkan dengan wanita asal Betawi yang bernama Jawiyah. Di Merauke lah, untuk kedua kalinya Budjang menikah. Dari pernikahannya dengan Jawiyah, Budjang dikaruniai 7 orang anak.
Selama di Meurauke, Budjang masih terus menyiarkan ajaran-ajaran islam. Ia mendirikan balai-balai pengajian. Mengetahui pergerakan Budjang yang semakin gencar, kolonial Belanda  panik dan takut jikalau Budjang akan semakin memiliki banyak pengikut.  Tak lama setelah itu, Budjang pun diasingkan oleh Belanda ke Boven Digul, Papua, yakni salah satu tempat pengasingan yang cukup terkenal, terutama karena dijadikan pengasingan sejumlah tokoh nasional, seperti Muhammad Hatta.
Meski terus diintimidasi Belanda, tetapi semangat Budjang berdakwah tidak surut. Ia tidak mau tunduk begitu saja pada Belanda. Ia tetap menyiarkan dakwahnya. Setelah di Boven Digul, Budjang berpindah ke Australia. Selama di perantauan, Budjang terus dikaruniai beberapa orang buah hati. Mereka adalah Budjang Jaya, Djangjakedi, Djang Jahyadi, Babudjangja, Gulyiang Kedi, dan Mackaustrali. Gulyiang Kedi adalah anaknya yang dilahirkan sewaktu ia berada di Boven Digul. Sedangkan Makaustrali adalah anaknya yang lahir di kota Mackay, Australia. Itu sebabnya sengaja diberi nama Makaustrali.
Nama keluarga besar Budjang Salim memang unik. Ada yang mengambil nama –nama benda, dan ada yang mengambil nama pristiwa-pristiwa tertentu.  Di antara nama-nama itu seperti Mapilindo (Pristiwa Malaya Philipina Indonesia), Koko Chili, (Cabai, Kelapa), Homo cosmic (Suka baca komik), Antabeta (saya dan kamu). Menurut Atjeh Neksom, gelar Cut atau Teuku sengaja tidak disematkan untuk menghindari terjadinya perbedaan-perbedaan kelas dalam masyarakat.
Setelah beberapa tahun kemerdekaan tepatnya tahun 1952, Budjang memutuskan pulang kembali ke Aceh. Ia pun membangun kota Krueng Geukuh. Tak lama setelah kepulangannya, ia langsung ditunjuk oleh warga Nisam untuk memimpin Krueng Geukuh. Saat itu ia menjabat sebagai Camat. Kota Krueng Geukuh sendiri sengaja dibuat di pinggir laut  dengan alasan supaya memudahkan transportasi, sehingga roda perekonomian masyarakat menjadi mudah berkembang.
Di tahun tersebut, 1952, lahirlah Atjeh Neuksom. Beliau adalah satu-satunya putri Budjang Salim yang dilahirkan di Aceh. Itu sebabnya namanya sendiri, Atjeh Neksom, memiliki arti “Nanggroe Atjeh Daerah Nisam.”
Pada tahun 1923, sebuah mesjid yang diberi nama dengan mesjid Budjang Salim berdiri di kota Krueng Geukuh. Kata “Salim” itu sendiri merupakan pemberian dari masyarakat Dewantara. Salim berarti “selamat”. Pemberian nama tersebut merupakan wujud syukur masyarakat Nisam karena Budjang telah selamat pulang ke Aceh setelah perjuangan panjangnya menyebarkan dakwah di berbagai pelosok di Indonesia. Ada pula yang memanggilnya dengan Budjang Selamat.
Budjang sangat dicintai oleh orang-orang Nisam. Sosoknya yang dermawan, religius, disiplin, teratur, suka menyantuni anak yatim dan peduli terhadap pendidikan khususnya pendidikan agama membuatnya dielu-elukan oleh seantero masyarakat Nisam dan Krueng Geukuh. Namanya juga cukup tenar di Kabupaten Aceh Utara.
Selain mendirikan Mesjid, Budjang juga membangun pasar, kantor, jalan raya,hingga stasiun. Namanya memang tidak terlalu familiar di Aceh. Tetapi pengaruh Budjang Salim cukup besar, dan ia sangat ditakuti oleh Belanda. Bahkan saat ini, menurut penuturan Atjeh Neuksom, konon foto Budjang Salim dipajangkan di salah satu Meuseum di Belanda.
Setelah berkelana ke banyak pelosok nusantara, dan pulang ke Aceh untuk membangun Kota Krueng Geukuh, di tahun 1961 Budjang Salim pun menghadap yang maha kuasa. Kepergian Budjang Salim mendatangkan kesedihan mendalam bagi masyarakat. Itu sebabnya ia begitu dikenang oleh masyarakat. Dulu sekitar tahun 1970-an hingga 80-an, bila tiba hari 17 agustus sejumlah orang selalu datang beramai-ramai berziarah ke makamnya. Memperingati 17 Agustus, keluarga Budjang juga selalu mendapat undangan khusus untuk menghadiri upacara17-an.
Pada masa itu Pemerintah Kabupaten juga rutin memberikan penghargaan dan bantuan bagi keluarga Budjang. Sesekali juga diadakan acara temu ramah antara keluarga pahlawan dengan Bupati. Namun saat ini, itu semua sudah tidak ada lagi. Budjang Salim kian terlupakan oleh zaman. Di hari 10 november pun bahkan makam Budjang Salim terlihat sepi tanpa penziarah.
“Orang sekarang tidak mengerti lagi tentang pentingnya menghargai jasa pahlawan. Mereka sudah tidak tahu-menahu tentang sejarah.” Ungkap Atjeh Neksom dengan nada kecewa.
Atjeh selalu berharap makam ayahnya ada pengunjung. Ia juga berharap agar makam ayahnya tidak hanya menjadi milik keluarga besar Budjang salim semata,atau milik orang Krueng Geukuh saja, tetapi juga milik Aceh Utara, dan Aceh pada umumnya.
“Setidaknya, anak-anak SD sekarang dibawa kemari oleh guru-gurunya. Supaya mereka tidak buta sejarah dan mau menghargai jasa-jasa pahlawan. Saya hanya bisa berharap semoga saja makam ini akan ada terus orang yang menjaga dan merawatnya, meski nanti saya sudah tak ada.” Ujarnya.
Demikian pesan Atjeh Neuksom. Ia memandang bahwa di luar sana ada banyak pahlawan “tanpa sepuluh November” lainnya yang namanya tidak begitu terdengar. Mereka bisa saja ulama, atau veteran. Mereka memang tidak tercatat sebagai pahlawan, namun apa yang telah diperjuangkan layak diberikan penghargaan.
Langit petang mulai menghitam. Suara Azan magrib yang berasal dari mesjid Budjang Salim terdengar jelas. Sambil bangun dari duduknya, perempuan berkacamata itu pamit masuk ke dalam rumah nya. Dia menggambil mukenanya dan bergegas menuju mesjid untuk melaksanakan shalat magrib. Suara Azan magrib dari mesjid Budjang Salim itupun semakin merdu. Semakin syahdu, memecah kebisingan Kota Krueng Geukuh. []