Kamis, 31 Januari 2013

Cut Nyak Dien, Ratu Perang dari Aceh

Desember 23rd, 2012 by Widi Astuti
 
Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu, masjid raya Baiturrahman telah dibakar ! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan perbuatan si kafir Belanda ! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda? (Szekely Lulofs, 1951:59).

Begitulah seruan Cut Nyak Dien kepada seluruh rakyat Aceh ketika melihat masjid raya Baiturrahman dibakar oleh Belanda. Hatinya terbakar, gelora jihadnya muncul seketika. Sejak saat itu dia bertekad akan menggabungkan dirinya dalam barisan suci pejuang Aceh. Dia tidak rela bila rumah dan nama Alloh dinistakan oleh penjajah Belanda. Dia tidak rela tanah Aceh bersimbah darah oleh perbuatan keji kaphee Belanda.

Belanda telah menyatakan perang terhadap Aceh pada tanggal 26 Maret 1873. Mereka menembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pasukan Belanda mendarat setelah terlebih dulu menembaki kampung-kampung di pantai. Kemudian mereka berusaha menguasai istana kesultanan.

Masjid raya Aceh yang terletak di depan istana kesultanan pun tak luput dari serangan. Akhirnya Masjid Raya menjadi benteng para prajurit Aceh. Belanda pun menggempur habis-habisan masjid raya Baiturrahman.Akhirnya masjid raya berhasil dikuasai Belanda kemudian dibakar. Peristiwa pembakaran masjid raya Aceh ini terjadi pada tanggal 8 April 1873.

Pembakaran Masjid raya menyadarkan rakyat Aceh bahwa Belanda adalah musuh utamanya. Mereka tersadar bahwa bumi Aceh sudah dijajah oleh bangsa asing. Mereka pun mengobarkan perang dengan semangat jihad fie sabilillah.

Rakyat Aceh menyambut perang tersebut dengan gagah berani. Mereka tidak takut terhadap Belanda. Meskipun persenjataan Belanda lebih banyak dan lebih modern, tetapi itu tidak menciutkan nyali rakyat Aceh. Mereka memiliki senjata yang lebih utama dari itu semua, yaitu senjata iman di dada. Keimanan yang kuat akan pertolongan Alloh lah yang menyebabkan mereka tak pernah gentar menghadapi musuh sehebat apapun.

Perang Aceh pertama (1873-1874) disambut dengan penuh semangat oleh semua lapisan masyarakat. Dari rakyat jelata, bangsawan, hingga Sultan Aceh. Mereka bersatu padu, seiya sekata. Mereka semuanya memenuhi panggilan jihad suci dengan semangat bergelora.

Pasukan Belanda bertempur di bawah pimpinan Kapten Johan Harmen Rudolf Khler. Meski Belanda mendaratkan prajurit dari batavia cukup banyak, yaitu 3.198 orang, tapi mereka kewalahan menghadapi pertahanan rayat Aceh yang sangat kokoh. Pasukan Aceh dibawah pimpinan Panglima Polim bersumpah setia kepada Sultan untuk mempertahankan tanah Aceh hingga titik darah penghabisan.

Rakyat Aceh bertempur habis-habisan. Para Ulama memompakan semangat jihad kepada seluruh ummatnya. Mereka mengumandangkan panggilan perang suci tersebut di seluruh masjid, dayah, maupun meunasah. Tak ada rakyat Aceh yang menolak seruan tersebut. Termasuk Cut Nyak Dien dan Teuku Cik Ibrahim Lamnga, suami pertamanya.

Semuanya bersatu padu di bawah komando Kesultanan Aceh.
Berkat keimanan yang kokoh dan kesatuan komando, akhirnya rakyat Aceh memenangkan pertempuran pertama tersebut. Pasukan Belanda kocar-kacir, bahkan Johan Harmen Rudolf Khler tewas pada April 1873 setelah membakar Masjid Raya Aceh. Sisa-sisa pasukan Belanda segera melarikan diri ke markas utama di Kutaraja (Banda Aceh).

Seluruh rakyat Aceh merayakan kemenangan pertama tersebut dengan suka cita. Mereka menyangka bahwa musuh telah kalah dan tak akan mengganggu kedaulatan Aceh. Tapi ternyata dugaan mereka salah. Setelah kemenangan tersebut, Ibrahim Lamnga beserta Cut Nyak Dien kembali ke kampung halamannya di Lampisang.

Cut Nyak Dien adalah seorang putri bangsawan. Ia lahir di Lampadang 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang di VI Mukim. Teuku Nanta Setia merupakan keturunan dari Machmoed Sati, seorang perantau dari Minangkabau yang datang ke Aceh pada masa pemerintahan Sultan Jamalul Badrul Munir di abad 18. Sedangkan ibunya merupakan putri dari uleebalang Lampagar.

Dalam sitem pemerintahan kesultanan Aceh, wilayah Aceh dibagi ke dalam beberapa wilayah administrasi yang dinamakan uleebalang dan mukim. Pada awalnya, Mukim adalah himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam.

 Sedangkan Uleebalang adalah bawahan Sultan yang ditugasi memimpin beberapa mukim. Pola ini dijumpai di Aceh Besar dan negeri-negeri taklukan Aceh. Sebagai putri seorang Uleebalang, Cut Nyak Dien amat terkenal di daerahnya. Terlebih lagi ia memiliki paras yang menawan. Banyak pemuda yang mendambakan dirinya. Tetapi Cut Nyak Dien amat menjaga diri. Ia dibekali dengan ilmu-ilmu agama sedari kecil. Keluarganya sangat taat menjalankan perintah agama.

Pada tahun 1860 Cut Nyak Dien dilamar oleh seorang pria shalih keturunan bangsawan. Pria tersebut adalah Teuku Cik Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka melangsungkan pernikahan ketika Cut Nyak Dien berusia 12 tahun.

Cut Nyak Dien menjalani kehidupan rumah tangganya dalam suasana damai selama 13 tahun. Ia dikarunia seorang putra. Ketika meletus perang Aceh di tahun 1873, Cut Nyak Dien telah berusia 25 tahun. Sebuah usia yang sudah cukup dewasa. Ia dan suami pun segera memenuhi panggilan perang tersebut.

Meski perempuan, tetapi ia tak mau ketinggalan menyambut seruan suci tersebut. Cut Nyak Dien memimpin kelompok perempuan dan anak-anak untuk mengungsi ke daerah yang aman. Sementara Teuku Cik Ibrahim Lamnga maju bertempur di garis depan bersama prajurit lainnya.

Kemenangan pasukan Aceh di pertempuran pertama tersebut ternyata tidak bertahan lama. Belanda mundur dan menyusun kekuatan kembali. Setelah delapan bulan mengumpulkan kekuatan, Belanda melancarkan serangan balasan. Mereka mendatangkan bala bantuan dari Batavia sebanyak 13.000 prajurit yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Van Swieten. Bala bantuan tentara Belanda ini mendarat di Aceh pada 9 Desember 1873.

Kampung halaman Cut Nyak dien, yaitu Mukim VI diluluhlantakan. Sedangkan istana Kesultanan Aceh dikuasai pada 24 Januari 1874. Dan untuk kedua kalinya, Masjid Raya Darussalam diserang Belanda. Sultan Mahmudberhasil melarikan diri. Tapi dua hari kemudian, yaitu 26 Januari 1873 Sultan Mahmud meninggal dunia karena terkena penyakit kolera. Perjuangan dilanjutkan Panglima Polim. Ia memimpin perang gerilya di hutan belantara. Sedangkan tampuk kesultanan dilanjutkan olehTengku Muhammad Daud Syah, sang putra mahkota.

Seluruh rakyat Aceh menyadari bahwa keadaan Aceh sudah genting. Tapi mereka tidak takut. Mereka bersumpah akan mempertahankan Aceh hingga titik darah penghabisan.Teuku Cik Ibrahim Lamnga memimpin perang gerilya di daerah Mukim VI. Ia meninggalkan Cut Nyak Dien dan putranya dalam waktu cukup lama.

Bersama prajurit lainnya, ia hidup berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lainnya. Ia selalu bertempur dengan gagah berani di garis depan. Dalam suatu pertempuran di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Teuku Ibrahim Cik Lamnga syahid setelah 5 tahun berjuang mempertahankan bumi serambi Mekah.

Cut Nyak Dien berduka sekaligus marah. Berduka karena ia menjadi janda dalam usia yang muda. Dan marah karena Belanda lah yang menyebabkan suaminya meninggal. Kemudian ia bersumpah akan berjuang mengusir Belanda dari tanah rencong hingga akhir hayatnya.

Setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dien tetap teguh dalam perjuangan. Sebenarnya banyak tokoh yang ingin menyunting dirinya. Tapi Cut Nyak Dien telah bersumpah bahwa ia hanya akan menikah dengan pejuang yang mengijinkan dirinya turut serta mengangkat senjata. Sungguh sebuah syarat yang sangat heroik.
Adalah Teuku Umar, seorang pejuang yang cerdas memberanikan diri untuk melamar Cut Nyak Dien. Ia mengijinkan Cut Nyak Dien berjuang bersama di garis depan.

Hati Cut Nyak Dien pun luluh. Akhirnya Cut Nyak Dien melepas status janda yang telah disandangnya selama dua tahun. Mereka melangsungkan pernikahan di tahun 1880. Berita pernikahan dua tokoh pejuang gagah berani ini membangkitkan kembali semangat rakyat Aceh.

Teuku Umar memiliki banyak taktik dalam perjuangannya. Salah satu taktiknya yang tidak lazim adalah dengan berpura-pura memihak Belanda. Sejak tahun 1873 ia menjalin hubungan yang baik derngan Belanda. Ia pernah berusaha membantu Belanda untuk membebaskan kapal Inggris yang tertawan oleh Teuku Imam Muda Raja Tenom.

 Gubernur Aceh Loging Tobias memintanya untuk membebaskan kapal tersebut. Tapi Teuku Umar dikhianati oleh Belanda. Pasukannya diserang oleh prajurit Belanda. Teuku Umar pun marah dan kecewa. Ia memutuskan hubungan baik yang dijalinnya. Akhirnya kapal tersebut dapat dibebaskan dengan uang tebusan sebesar 100.000 dollar yang diberikan kepada Imam Muda Teuku Raja Tenom.

Pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar menyerang kapal Hok Canton yang sedang berlabuh di pantai Rigaih. Ia menawan suami istri Hansen beserta Faya, sang juru mudi. Hansen meninggal. Kemudian Faya beserta istri Hansen dijadikan tawanan. Gubernur Aceh membebaskan kedua tawanan tersebut dengan uang sebesar 25.000 dollar. Teuku Umar membagi-bagikan uang tersebut kepada rakyat Aceh.

Tahun 1893, Teuku Umar menjalankan taktik baru. Ia beserta 250 orang pasukannya pergi ke Kutaraja (Banda Aceh) dan menyerahkan dirinya kepada Belanda. Ia berpura-pura memihak kepada Belanda. Tak ada seorang pun yang tahu taktik barunya, termasuk Cut Nyak Dien. Keputusan tersebut dikecam oleh seluruh rakyat Aceh, ia disebut sebagai pengkhianat.

Belanda sangat senang dengan penyerahan diri Teuku Umar. Kemudian Teuku Umur beserta beserta seluruh prajuritnya menyatakan sumpah setia kepada Jenderal Deijkerhoff dalam suatu upacara resmi. Sumpah setia ini terjadi pada tanggal 30 September 1893. Belanda memberinya gelar Teuku Johan Pahlawan.

Sebagai seorang pejabat, Teuku Umar difasilitasi rumah mewah dan gaji bulanan. Cut Nyak Dien sangat sedih dengan keputusan suaminya untuk memihak Belanda. Ia berkali-kali berusaha menyadarkan suaminya. Ia malu kepada seluruh rakyat Aceh.

Bahkan Teungku Fakinah, seorang ulama sekaligus panglima perang pernah menyindir Cut Nyak Dien. Ia berpesan agar Teuku Umar segera menggempur daerahnya yang berisi janda dan anak-anak. Maksud dari pesan itu adalah betapa hinanya Teuku Umar yang memerangi bangsanya sendiri, terlebih lagi wanita dan anak-anak.

Cut Nyak Dien tertohok hatinya. Ia pun membujuk suaminya agar berjuang kembali bersama rakyat Aceh. Akhirnya Teuku Umar mengakhiri sandiwaranya yang memihak Belanda. Ia kembali bergabung dengan pejuang Aceh dengan membawa 380 pucuk senapan achterlaad, 25.000 peluru Beamont, 120.000 slaghoedjes, 5.000 kg loods, dan uang $18.000.

Belanda sangat murka atas pengkhianatan Teuku Umar. Pengkhianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar). Kemudian Belanda membakar habis rumah mewah yang diberikan Belanda untuknya. Gelar Teuku Johan Pahlawan pun dicabut. Kemudian diumumkan di seluruh penjuru Aceh bahwa Teuku Umar dan Cut Nyak Dien adalah buronan utama pemerintah Belanda. Operasi besar-besaran pun dilakukan. Korps Marsose memburu hingga ke pedalaman dan hutan belantara.

Korps Marsose (Merechaussee) berdiri tahun 1890. Korps ini terdiri dari 20 serdadu yang berjalan kaki dengan dipimpin oleh seorang sersan Belanda. Kebanyakan serdadu Marsose direkrut dari Ambon, Jawa, dan Tionghoa. Kekuatannya terletak pada senjata mereka yang disesuaikan dengan senjata lawan, seperti kelewang, rencong, dan gerak cepat.

Selama beroperasi korps ini bersifat mandiri. Mereka tidak tergantung pada suplai makanan karena mereka membawa dan memasak sendiri makanannya. Korps Marsose terkenal sangat kejam. Dalam operasinya, mereka membantai seluruh warga desa tanpa ampun, termasuk wanita dan anak-anak. Setelah itu seluruh desa pun di bumi hanguskan. Meski serdadunya dalah sesama pribumi, tetapi mereka sangat membenci rakyat Aceh.

Keberadaan korps-korps Marsose yang biadab dan kejam semakin menyudutkan gerak langkah para pejuang. Banyak orang Aceh yang ketakutan terhadap korps ini. Kekejaman mereka mengundang simpati petinggi Belanda terhadap penderitaan rakyat Aceh. Akhirnya korps tersebut dibubarkan oleh Van der Heyden.

Meskipun dicekam rasa ketakutan, tetapi rakyat Aceha tetap setia melindungi keberadaan Teuku Umar-Cut Nyak Dien. Terlebih lagi kini Teuku Umar memiliki persenjataan yang lengkap dan suplai makanan yang mencukupi.

Meski menjadi buron, tetapi dengan gagah berani Teuku Umar dan pasukannya menyerang benteng Belanda di Meulaboh dan Kutaraja (Banda Aceh). Belanda kewalahan menghadapi serbuan pejuang Aceh yang bersenjata lengkap tersebut. Dalam suatu pertempuran di Meulaboh, Teuku Umar gugur diterjang sebutir peluru. Peristiwa ini terjadi pada 11 Februari 1899. Mengetahui suaminya gugur, Cut Nyak Dien dan putrinya Cut Gambang segera melarikan diri. Mereka melanjutkan perang gerilya beserta sisa-sisa pasukannya.

Mereka bersembunyi di hutan belantara. Berpindah dari satu hutan ke hutan lainnya. Cut Nyak Dien mengambil alih tampuk kepimpinan, melanjutkan perjuangan suaminya. Usianya sudah tidak muda lagi, 51 tahun.

Kondisi tubuhnya sudah melemah, penyakit encok dan rabun menjadi keluhannya. Kehidupan perang yang sudah dijalaninya selama 26 tahun membuat stamina tubuhnya melemah. Kekurangan makanan, kepanasan, kehujanan, kedinginan selama berpuluh-puluh tahun membuat kondisi tubuhnya semakin drop. Meskipun demikian Cut Nyak Dien pantang menyerah. Ia tetap gigih melawan Belanda di daerah Meulaboh. Ia sering menyerang pasukan patroli Belanda.

Kondisi fisiknya yang semakin melemah membuat anak buahnya tidak tega. Mereka menyarankan agar Cut Nyak Dien menyerah saja agar bisa berobat ke dokter. Mendengar usul tersebut Cut Nyak Dien marah besar. Ia tidak sudi menyerah untuk mendapat belas kasih kaphee Belanda. Kedua suaminya gugur karena melawan Belanda, maka ia pun akan berjuang hingga titik darah penghabisan.

Mengetahui keteguhan Cut Nyak Dien, salah satu anak buahnya yang bernama Pang Laot Ali mengambil keputusan sendiri. Ia membocorkan keberadaan Cut Nyak Dien kepada Belanda. Pang Laot Ali tidak tega melihat penderitaan pimpinannya, ia berkhianat dengan maksud agar Cut Nyak Dien dapat berobat ke dokter. Pang Laot mensyaratkan kepada Belanda agar Cut Nyak Dien diperlakukan dengan baik, hormat dan diobati segala penyakitnya. Belanda pun menyetujui syarat tersebut.

Dibawah komando Jenderal Van Vuuren, Belanda menyerbu markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Cut Nyak Dien sangat kaget. Meski tahu bahwa dirinya tidak mungkin memenangkan pertempuran, tetapi Cut Nyak Dien tetap tidak mau menyerah. Dengan bersenjatakan sebilah rencong ia melawan sekuat tenaga. Apalah arti perlawan seorang perempuan tua sakit-sakitan bagi pasukan Belanda. Akhirnya Cut nyak dien pun ditangkap. Dengan penangkapan dirinya pada 1905 ini, maka berakhirlah perlawanan Ratu Perang Aceh yang fenomenal ini.

Cut Nyak Dien dibawa ke Kutaraja. Sebagai seorang tahanan, ia diperlakukan dengan baik. Penyakit rabun dan encoknya diobati dan berangsur-angsur sembuh. Banyak pejuang Aceh yang mengunjungi dirinya di penjara. Belanda cemas, bahwa keberadaan Cut Nyak dien meskipun di dalam penjara ternyata masih mampu mengobarkan semangat perang. Akhirnya Belanda mengambil keputusan untuk menetapkan hukum buang. Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang-Jawa Barat. Ia dibuang bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.

Meskipun telah merugikan Belanda, tetapi Belanda tetap menghormati Cut Nyak Dien sebagai sosok wanita agung. Ia tidak dijebloskan ke penjara seperti tahanan lainnya tetapi dititipkan kepada Bupati Sumedang, Aria Suriaatmaja. Cut Nyak Dien diperlakukan dengan penuh hormat. Kemudian Cut Nyak Dien dititipkan dirumah Haji Ilyas, rumahnya terletak di belakang Masjid Raya Sumedang. Haji Ilyas adalah seorang pemuka agama, ia dapat mengetahui bahwa Cut Nyak Dien memiliki ilmu agama yang luas.

Selama tinggal dirumah Haji Ilyas, Cut Nyak Dien mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat setempat. Masyarakat Sumedang memanggilnya Ibu Perbu. Meski tidak mengenal latar belakang dirinya, tetapi masyarakat Sumedang sangat menghormati Cut Nyak Dien. Belanda memang sengaja menutupi identitas dirinya.

Hingga akhir hayatnya, identitas diri Cut Nyak Dien tidak diketahui masyarakat Sumedang. Cut Nyak Dien meninggal pada 8 November 1908. Ia dimakamkan di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.

Masyarakat Aceh sangat kehilangan Cut Nyak Dien. Mereka berusaha mencari makamnya. Penelusuran dilakukan melalui data-data pemerintah kolonial Belanda. Berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12), diketahui bahwa ternyata Sang Ratu Perang tersebut dibuang ke Sumedang.

Akhirnya makam Cut Nyak Dien dapat ditemukan pada 1959. Gubernur Aceh, Ali Hasan yang memprakarsai pencarian makam tersebut. Dari catatan pemerintah kolonial dapat diketahui bahwa pejuang perempuan Aceh yang dibuang ke Sumedang hanya Cut Nyak Dien saja. Akhirnya masyarakat Sumedang pun menyadari bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dien.

Sebagai bentuk penghormatan, pemerintah Aceh merenovasi makam Cut Nyak Dien Sang Ratu Perang. Pemerintah Republik Indonesia pun mengakui dan menghormati perjuangan suci Cut Nyak Dien dengan mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Cut Nyak Dien telah mengabdikan dirinya dalam perjuangan suci. Ia berjuang selama 32 tahun untuk mengusir penjajah. Keteguhan hatinya adalah cerminan keimanannya. Bahkan Snouck Hurgronje pun mengakui bahwa kekuatan perjuangan pasukan Aceh bukan dari tenaga mereka tapi dari agama mereka. Sungguh benar kesimpulan Snouck Hurgronje tersebut. Iman dan Islam lah yang menjadikan Aceh sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang paling sulit ditaklukan.

Salatiga, 7 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar