Selasa, 08 September 2015

Teuku Cut Muhammad Dan Peristiwa Krueng Sampoiniet

Bunga Rampai Aceh

5 Juni 2012

Beragam versi sejarah perang Aceh ditulis, dari Jakarta sampai Belanda. Namun dari tiga puluhan nama pahlawan nasional, hanya empat pahlawan Aceh yang dikenal, yang sering dijual di pinggir jalan. Mereka adalah Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan Tgk. Chik di Tiro

Di hati orang Aceh, pahlawan mereka tidaklah sedikit. Terkait persoalan ini, Belanda telah memberikan nama-nama yang pernah membuat pasukan mereka harus berjuang mati-matian untuk menaklukkan Aceh sejak dari 21 Maret 1873 sampai tahun 1942. Jika sumber sejarah nasional (Jakarta) sangat “miskin” kisah perlawanan rakyat Aceh, maka sumber Belanda sangat kaya, bahkan kita karena tidak paham bahasa Belanda, mungkin akan sangat sedikit bahannya terhadap sejarah ini.

Dalam “sejarah tercecer” kali ini saya akan mengangkat kisah seorang pejuang Aceh Teuku Cut Muhammad yang ditulis oleh Abdul Karim, Penginjak Rem Kereta Api di Aceh Tram. Dalam bukunya Pengalamanku Masa Perang Atjeh yang terbit pada tahun 1941, yang disadur Joesoef Syou’yb ( Di Pinggir Krueng Sampoiniet, 1941). Karim mengaku dia ditangkap hidup-hidup ketika terjadi penyergapan Kereta Api di Lhokseukon oleh pasukan Teuku Cut Muhammad sedangkan tentara Belanda dan penumpang kereta api lainnya mati ditangan Pang Nanggroe pada tahun 1902 M. Karim selamat dari pasukan Teuku Cut Muhammad yang dipimpin oleh Pang Naggroe karena mengaku dirinya Muslim dan mampu mengucapkan dua dua kalimat shahadat ketika pasukan kaum muslimin Aceh hendak membunuhnya.

Nama Karim ini tidak pernah terdengar di telinga kita. Karim memang pernah tinggal di Aceh ketika dia bersama kekasihnya dari pulau Jawa, Dina, juru rawat tentara Belanda. Bekerja pada pemerintahan Belanda di Aceh. Dari kisah kesaksian Karim ini juga terlihat bagaimana pola perjuangan di Aceh, yaitu sistem yang dibangun dengan keluarga. Warisan “kebencian terhadap” Belanda harus terpelihara erat di dalam sebuah keluarga, seperti yang terlihat dalam artikel berikut ini. Jadi, pada edisi ini, kita akan melihat sejarah perjuangan Aceh dari mata Karim dan juga bagaimana keteguhan pejuang Aceh di dalam melawan Belanda.

Alkisah, ada seorang tokoh perlawanan rakyat Aceh ketika melawan Belanda yaitu Teuku Cut Muhammmad (1851-1905M), suami pertama Cut Meutia. Anak Teuku Bentara Jamaloi (Teuku Ben Beureugang) dan Datoknya adalah Tok Bahra Ibnu Tok Wan Ibnu Ja Po Intan, pahlawan Aceh yang gugur di Melaka (Malaysia) dalam pertempuran melawan Portugis, masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M. Di sebutkan di dalam sejarah bahwa Teuku Cut Muhammad bersama guru dan teman seperjuangannya seperti Teungku Chik di Lapang, Teungku Chik Ara Keumudi, Teungku Chik Lhok Euncien, dan Teungku Chik Paya Bakong, Tgk Chik di Barat, Pang Nanggroe, Teungku Ben Daud dan isterinya Cut Meutia adalah mujahid yang terkenal dan disegani oleh Belanda. Berbagai taktik digunakan untuk melawan Belanda.

Tercatatlah satu peristiwa tanggal 21 Nopember 1902 M, Teuku Cut Muhammad mengirim agen intelijen yang bernama Pang Mubin yang menyamar sebagai penduduk yang telah takluk kepada Belanda. Agen Teuku Cut Muhammad ini mendatangi sebuah bivak tentara di Gampong Matang Rajeuk, memberitahukan bahwa pejuang Aceh sedang mengadakan kenduri di seberang Krueng Piada, Sampoiniet. Komandan bivak segera mengirimkan pasukan kesana dengan perhitungan semua yang hadir dalam kenduri akan dapat dihabisi. Kepada Letnan P.R.D. de Kok, seorang perwira yang berpengalaman dalam pertempuran di hutan-hutan dan terkenal keberaniannya, diserahi memimpin penyergapan ini. Ketika mendekati tempat yang dituju, mereka harus menyeberangi sebuah sungai, karena menurut laporan, upacara yang sedang berlangsung adalah di seberang sungai itu.

De Kok memerintahkan Pang Mubin dan kawannya mengayuhkan perahu ke seberang. Dan pada malam terang bulan itu terbayanglah padanya harapan kemenangan yang gemilang. Tetapi semua serdadu tersebut tenggelam dalam khayalannya, karena perahu mereka telah dibocori oleh agen Teuku Cut Muhammad tersebut.. Karim menukilkan kesaksiannya sebagai berikut:

Sahabat ! Tiada kuat hatiku akan mentjeriterakan kengerian peristiwa masa itu. Sampai kepada masa ini peristiwa Sampoinit itu amat tertjatat didalam sedjarah. Masih tampak-tampak olehku, dalam tjahaja bintang jang terkidjap-kidjap dipermukaan air, sungai besar itu meraih oleh darah; dan dipinggir sungai, darah berleleran diatas rumput.

Djangan dikata pula lagi raung djerit dan pekik jang menjeramkan. Kesingkatan peristiwa itu sadja jang sanggup saja tjeritakan. Benarlah berlaku kedjadian jang mareka rentjanakan sedjak bermula. Kedua perahu itu mendekati tengah. Dua tembakan kedengaran dan kedua perahu itu sekonjong-konjong terbalik. Suara pekik lalu bertjampur dengan djerit gemas dan amarah jang kalang kabut.

“Tukang dajung !”
“Setan, tangkap ia !”
“Keduanja lolos ....”
“Buru dan selami lekas !”
“Wahai, senapanku !”

Kearah tumpak itu sekonjong-konjong menghudjan peluru dari pinggir. Djerit gemas bergantikan djerit sakarat. Mana jang sanggup menjeberang kepinggir disambut pula oleh pedang dan kelewang. Konon kabarnja - setelah saja beroleh kabar pasti beberapa hari kemudiannja - diantara empatpulun lima orang serdadu itu ada duapuluh sembilan orang jang mendjadi korban. Seorang diantaranja Luitenant Kock sendiri. Dalam pada itu ada empatpuluh dua senapan jang hilang lenjap. Kedjadian itu ialah dalam bulan Nopember 1903.

Agaknya, jauh sebelum kejadian 10 November (hari Pahlawan) di Jawa Timur yang melambungkan nama Bung Tomo, kisah kepahlawanan Aceh pada November 1903 memang tidak pernah tercatat rapi di dalam sejarah perjuangan nasional. Kesaksian Karim, asal Padang (Sumbar) ini bisa menjadi “sejarah tercecer” bagaimana perang berlangsung di Aceh saat itu.

Banyak tentara Belanda yang menjadi korban atas taktik dan siasat yang dimainkan oleh Teuku Cut Muhammad, Gubernur Jenderal Van Heutz akhirnya menekan Cut Nyak Asia, adik ayah Teuku Cut Muhammad, agar menyerahkan kemenakannnya dan dijamin keselamatannya. Akhirnya, Teuku Cut Muhammad, atas tipu daya Letnan Van Vuuren penguasa Belanda di Lhokseumawe berhasil menangkap Teuku Cut Muhammad dengan cara mengundangnya untuk makan bersama dikediamannya. Karena siasat ini pula dia akhirnya dihukum mati bulan 25 Maret 1905.

Selama berada di dalam penjara Belanda, Teuku Cut Muhammad berpesan agar istrinya Cut Meutia bersedia melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Di samping dia disuruh menjaga anak semata wayang mereka, yaitu Raja Sabi, Cut Meutia juga dinasehatkan agar mau menikah lagi dengan Pang Nanggroe - sebagai panglima perang Teuku Cut Muhammad. Inilah sejarah awal kenapa Cut Meutia terlibat di dalam kancah perang Aceh. Sampai sekarang dalam sejarah nasional, nama-nama suami Cut Meutia jarang diungkit sebagai pahlawan nasional. Gambar Cut Meutia terlihat jelas di dalam barisan pahlawan Nasional segaris dengan R.A. Kartini yang dianggap sebagai tokoh emansipasi wanita Indonesia.

Kisah kesaksian Karim dan bagaimana sikap Teuku Cut Muhammad memang jarang dikisahkan. Dalam hal ini, jiwa kepahlawanan para pejuang Aceh memang merata di setiap penjuru tanah Aceh. Jadi, kita tidak sepatutnya hanya mengatakan bahwa pejuang Aceh hanya berasal dari kawasan tertentu, lalu karena ada gelar kampung tersebut, kita menganggapnya pahlawan hingga sekarang.

Perjuangan rakyat Aceh dulu, adalah perjuangan kerakyatan. Artinya, kendali perang bukan dari istana atau bahkan dari luar negeri. Sejarah perjuangan Aceh adalah sejarah seluruh rakyat Aceh secara komprehensif, bukan sejarah keluarga si fulan dari daerah si fulen.

Satu hal lagi yang menarik adalah sudah saatnya rakyat dan pemerintah Aceh menulis ulang sejarah perjuangan mereka. Sumber-sumber sejarah masih berserakan dimana-mana. Banyak nama pahlawan yang tidak kita kenal. Sehingga menganggap kisah heroik mereka adalah mitos atau legenda di masa yang akan datang. Akibatnya kita menjadi kehilangan kendali sejarah— peuturi droe keudroe. Ini bedanya dengan tempat lain, banyak kisah perjuangan melawan penjajah kemudian dijadikan sebagai simbol-simbol perjuangan bangsa Indonesia.

Inilah saat yang tepat untuk mengambil ruh perjuangan mereka untuk dijadikan sebagai piring sejarah. Lalu bisa dinikmati generasinya. Kisah Karim dari Padang juga menarik untuk mahami bagaimana kesetiaan orang Aceh di dalam mempertahankan tanah indatu. Inilah kesadaran yang sekarang makin pupus.
Diposkan oleh Chaerol Riezal

Pocut Baren

Pocut Baren

Rabu, 02 September 2015

5 Peristiwa di Aceh Yang Paling Bersejarah Sepanjang Masa



Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis: Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Aceh memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer proto bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan bahasa Aneuk Jame.

Sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek.

Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil.

Sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari hikayat Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi (Jawoe).

Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Perang Sabil mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.

Memang sejarah di aceh cukup banyak. tapi inilah sejarah aceh yang paling mengerikan yang pernah terjadi di aceh yang saat ini telah menjadi sejarah.

1. Pembantaian Tanah Gayo, Alas, dan Batak


G.C.E van Daalen
Pembantaian Tanah Gayo, Alas, dan Batak dilakukan oleh KNIL di bawah pimpinan G.C.E. van Daalen pada tahun 1904 selama Perang Aceh.

Latar belakang dari terjadinya pembantaian ini diawali Pada bulan Desember 1903, pemerintah Tanah Gayo, Alas, dan Batak mengadakan lawatan dinas dari Teluk Aru dan Salahaji ke Kuala Simpang untuk menyelidiki beberapa sengketa yang timbul antara Kejurun Karang, wilayah utama Tamiang, yang berbatasan langsung dengan permukiman Gayo, yang terletak di Krueng Tamiang.

Meskipun sudah diketahui sebelumnya banyak orang Gayo - terutama dari Gayo Lues, Serbejadi, dan Linge - turun ke Tamiang untuk menjual hasil hutan dan ternaknya dan mereka sendiri perlu membeli barang impor, kunjungan itu benar-benar menunjukkan bahwa kontak penduduk asli dengan pemerintahan Hindia-Belanda jauh lebih besar ketika pegawai Belanda tidak mencatat semua kontak dengan urusan dalam suku-suku independen itu secara sistematis.

Oleh karena itu diputuskan bahwa pemerintah sipil dan militer memerintahkan penguasa Tanah Gayo dan Alas (yang ke arah merekalah konvoi diarahkan) untuk merancang instruksi untuk komandan pasukan yang disebutkan tadi dari Kuala Simpang; setelah instruksi ini disetujui oleh komandan militer Sumatera Timur, konvoi Tamiang ditarik ke Pedeng untuk mencapai sasaran dalam waktu yang mencukupi untuk mengantisipasi tugas berikutnya.


Overste Van Daalen mengumpulkan semua tetua Gayo-Lues.

Kampung Bambel yang berada di atas Krueng Singkil dijadikan bivak; dari tempat itu, berturut-turut kubu di Likat dan Kute Lengat Baru jatuh pada tanggal 20 dan 24 Juni setelah perlawanan berat. Dalam pertempuran di Likat, pasukan Belanda membantai tanpa pandang bulu, sehingga 432 orang mati terbunuh, di antaranya 220 pria, 124 wanita, dan 88 orang anak-anak.

Yang luka-luka berat dan ringan sebanyak 51 orang, di antaranya 2 orang pria, 17 orang wanita dan 32 orang anak--anak, yang tertangkap hidup-hidup hanya anak-anak sebanyak 7 orang. Dengan jatuhnya kubu pertahanan tersebut, perlawanan di Krueng Bambel dipatahkan, sementara Kejuron Batu Mbulan - di mana terdapat 2 kubu, Batu Mbulan dan Tanjung yang telah ditinggalkan tepat pada waktunya - tetap tenang dengan pimpinan Berakan, putera Reje Mbulan, tanpa sikap permusuhan apapun. Pada tanggal 29 Juni, tetua Bambel dan Batu Mbulan muncul bersama rombongannya, yang setelah itu ditahan oleh komandan barisan.

Bacaselengkapnya di WIKIPEDIA

2. Kerkoff Peucut


Kerkoff Peucut . Sumber Wikipedia

Kerkoff Peucut adalah kuburan prajurit Belanda yang tewas dalam Perang Aceh. Kompleks kuburan ini banyak tersebar di wilayah Indonesia. Salah satunya terletak di kota Banda Aceh, dan sekarang menjadi objek wisata menarik, khususnya bagi wisatawan mancanegara (terutama wisatawan asal Belanda).

Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan Belanda yang memerangi Aceh. Rakyat Aceh mempertahankan Negerinya dengan harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup lama mengakibatkan banyak korban dikedua belah pihak.


Gerbang Kerkoff Peucut (1890-1910) ( Wikipedia )

Bukti sejarah ini dapat ditemukan di pekuburan Belanda Kerkhoff ini. Disini dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda, dan termasuk di antaranya serdadu Jawa, Batak, Ambon dan beberapa serdadu suku lainnya yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Hindia-Belanda. yang kuburannya masih dirawat dengan baik. Hingga saat ini Pemerintah Kerajaan Belanda sangat haru dan menghormati warga Banda Aceh yang merawat dengan rapi kuburan tersebut.

Kuburan Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang terletak di luar negeri Balanda yang terluas di dunia. Dalam sejarah Belanda, Perang Aceh merupakan perang paling pahit yang melebihi pahitnya pengalaman mereka pada saat Perang Napoleon.
Sebaliknya tidak terhitung banyaknya rakyat Aceh yang tewas dalam mempertahankan setiap jengkal tanah airnya yang tidak diketahui dimana kuburnya.

Di area ini, juga terdapat makam putra Sultan Iskandar Muda, yaitu Amat Popok yang berzina dan dijatuhi hukuman rajam.

3. Invasi Belanda ke Pantai Barat Sumatera (1831)


Serangan Belanda ke Pantai Barat Sumatera.
Dalam gambar itu tampak Let. Bisschoff. Sumber : Wikipedia

Invasi Belanda ke Pantai Barat Sumatera dilaksanakan oleh Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger di bawah pimpinan Jan Jacob Roeps dan Andreas Victor Michiels pada tahun 1831.

Pada tanggal 7 Februari 1831, kapal Friendship milik Amerika Serikat dirompak di Kuala Batee oleh orang-orang Aceh. Tak lama setelahnya, skuner Dolfijn milik Belanda juga dibajak; usaha membawa kembali kapal itu gagal, namun ketakutan akan perselisihan dengan Britania Raya dan pecahnya perang dengan Aceh membuat Belanda tidak mengambil tindakan lanjutan apapun. Akibatnya, orang-orang Aceh menjadi nekat dengan menduduki Barus dan sejumlah pos milik Belanda. Oleh karena itu, diputuskanlah untuk memperluas kekuasaan Belanda di Pantai Barat Sumatera hingga Singkil. Barus, Tapus, dan Singkil sendiri merdeka dari Kesultanan Aceh, meskipun kesultanan mengklaimnya. Karena ketiga daerah tersebut bukan bagian Kesultanan Aceh, Belanda tidak merasa perlu terikat dengan Perjanjian Sumatera.

LetKol. Roeps (komandan di Barus) hanya diperintahkan memimpin serbuan khusus saja. Didorong oleh tekanan penduduk Aceh yang bermusuhan, ia melancarkan sejumlah ekspedisi, yang dengan itulah ia melibas perlawanan bersenjata. Di salah satu pertempuran, ia terluka parah oleh tembakan. Andreas Victor Michiels kini maju dengan 700 prajurit dan anggota salah satu skuadron ke Barus dan banyak orang Aceh di kubu pertahanannya. Let. Bisschoff menaiki tembok pembatas salah satu bangunan itu dan merebut bendera Aceh. Musuh merebutnya kembali dan mendaratkan 11 luka sabet kepadanya. Dengan meninggalkan senjata dan amunisi, musuh berlari ke Tapus dan Singkil, tempat kekuatan utama orang-orang Aceh yang dipimpin oleh Mohammad Arief. Di sini, musuh juga dihalau setelah diberangus senjatanya dan tujuan ekspedisi kecil ini tercapai. Dengan demikian, Singkil masuk Hindia-Belanda.

4. Operasi militer Indonesia di Aceh 2003-2004

Operasi militer Indonesia di Aceh (disebut juga Operasi Terpadu oleh pemerintah Indonesia) adalah operasi yang dilancarkan Indonesia melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dimulai pada 19 Mei 2003 dan berlangsung kira-kira satu tahun. Operasi ini dilakukan setelah GAM menolak ultimatum dua minggu untuk menerima otonomi khusus untuk Aceh di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Operasi ini merupakan operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja (1975), dan pemerintah mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti, dengan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap, atau menyerahkan diri. Operasi ini berakibat lumpuhnya sebagian besar militer GAM, dan bersama dengan gempa bumi dan tsunami di tahun 2004 menyebabkan berakhirnya konflik 30 tahun di Aceh


Yang bewarna Hijau Adalah Lokasi Aceh Indonesia
Lokasi Operasi Meliter 2003-2004
Tepatnya pada Tanggal 19 Mei 2003 – 13 Mei 2004



Pihak yang terlibat
Indonesia Gerakan Aceh Merdeka
Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)

Komandan
Megawati Soekarnoputri Hasan Di Tiro
Endriartono Sutarto Muzakkir Manaf
Kekuatan
30.000 tentara 5.000
12.000 polisi
total: 42.000
Jumlah korban
2.000 tewas (kebanyakan warga sipil)


5. Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami 24 Desember 2004



Gempa bumi tektonik berkekuatan 8,5 SR berpusat di Samudra India (2,9 LU dan 95,6 BT di kedalaman 20 km (di laut berjarak sekitar 149 km selatan kota Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam). Gempa itu disertai gelombang pasang (Tsunami) yang menyapu beberapa wilayah lepas pantai di Indonesia (Aceh dan Sumatera Utara), Sri Langka, India, Bangladesh, Malaysia, Maladewa dan Thailand.

Menurut Koordinator Bantuan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jan Egeland, jumlah korban tewas akibat badai tsunami di 13 negara (hingga minggu 2/1) mencapai 127.672 orang. Namun jumlah korban tewas di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika Timur yang sebenarnya tidak akan pernah bisa diketahui, diperkirakan sedikitnya 150.000 orang. PBB memperkirakan sebagian besar dari korban tewas tambahan berada di Indonesia. Pasalnya, sebagian besar bantuan kemanusiaan terhambat masuk karena masih banyak daerah yang terisolir.



Sementara itu data jumlah korban tewas di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara menurut Departemen Sosial RI (11/1/2005) adalah 105.262 orang. Sedangkan menurut kantor berita Reuters, jumlah korban Tsunami diperkirakan sebanyak 168.183 jiwa dengan korban paling banyak diderita Indonesia, 115.229 (per Minggu 16/1/2005). Sedangkan total luka-luka sebanyak 124.057 orang, diperkirakan 100.000 diantaranya dialami rakyat Aceh dan Sumatera Utara. [sumber]