Kamis, 31 Januari 2013

Konflik Ulama Dan Uleebalang Pada Masa kolonialisme Belanda Di Aceh ”Sebuah Realitas Sosial”

Oleh SURIADI, SY

Sebagaimana yang terdapat dalam teks-teks sejarah, bahwasanya pada masa Belanda berkuasa di Aceh pada tahun (1903-1942) terdapat konflik antara Ulama dan Uleebalang. Maka dalam tulisan ini penulis ingin melukiskan peran Ulama dan uleebalang dalam masyarakat Aceh sebelum masuknya Belanda. 
Agar kita dapat menarik benang dari asal usul permasalahan supaya kita menemukan titik temu dari penyebab konflik tersebut. Dalam birokrasi tradisional di Aceh, ada tiga jabatan tinggi dalam pemerintahan yang paling berperan. Pertama Sultan, yaitu Raja dalam kerajaan, yang kedua Uleebalang sebagai kepala negeri (negeri bagian seperti di negeri Pedir, Pasai dan Mereuhom daya) namun tetap berpayung dan tunduk dibawah kekuasaan tinggi Kerajaan Aceh Darussalam.
 Yang ketiga ulama, yaitu Kadhi Malikul Adil (yang mengurus hukum Islam) dan penasehat bagi Sultan maupun uleebalang dalam setiap pengambilan keputusan, dan kebijakan. Baik itu mengenai kebijakan sosial kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan sebagainya.
 Mengenai Panglima Sagoe, Mukim, dan Geuchik, mereka hanya aparatur pemerintah yang berada dibawah uleebalang yang mengatur wilayah-wilayah kecil seperti halnya camat dan kepala desa sekarang. Ulama merupakan penasehat bagi pemimpin, Tanpa adanya restu dari ulama para pemimpin tidak bisa menjalankan sebuah kebijakan, apalagi mengenai urusan agama, baik syariat, hukum memutuskan perkara (pengadilan) dan sebagainya yang berhubungan dengan agama.
 Peran ulama dan pemimpin dalam kerajaan tidak bisa di pisahkan. Apalagi kerajaan Aceh merupakan kerajaan Islam kelima yang pernah tercatat dalam sejarah kerajaan Islam terbesar di dunia, jadi disini jelaslah tergambarkan bahwa ulama memiliki peran yang tinggi ataupun setingkat dengan pemimpin-pemimpin dalam menjalankan roda-roda pemerintahan. Sehingga lahirlah sebuah pepatah yang biasa kita dengar dalam hadist maja “ Hukom ngen adat hanjeut cree lage zat ngoen sifeut”.

Mengutip pendapat Drs. Fauzi Ismail, M. Hum dalam bukunya “ kedudukan Ulama & Umara dalam masyarakat Aceh”. Kata Ulama berasal dari bahasa Arab yaitu jamak dari kata “Alim” yang berarti orang yang mengetahui atau orang yang berilmu pengetahuan atau para ahli ilmu pengetahuan. Di dalam Hadist juga dikatakan “Al ulama warisatul ambiya” ulama pewaris ambiyya. Jadi ulama merupakan seorang figur yang melanjudkan tongkat estafet Rasulullah SAW ketika beliau sudah tiada. Dengan menuju kepada peran dan tugas para Nabi,
 Qurai Shihab berpendapat bahwa paling tidak terdapat empat peran dan fungsi yang harus di embani Ulama. pertama Tabliq (Q.S Al-maidah : 67). kedua Tabyin (Q.S an-Nuhlu : 44). Ketiga Tahkrim ( Q.S Al-baqarah : 213) dan keempat Ustwah (Q.S Al-ahzab : 21). Peran Tabliq ulama berkewajiban menyampaikan wahyu yang terdapat dalam al-qur’an dan hadist/ sunnah Nabi. Tabyin bertugas untuk menjelaskan tentang dogma Agama sesuai dengan semangat Islam dan mensosialisasikannya kepada masyarakat. 
Takhrim memberi fatwa tentang hukum-hukum Islam yang terjadi dalam masyarakat supaya masyarakat mendapat sebuah kebenaran sesuai dengan ajaran Islam, maka sebagai rujukanya adalah ulama. Ustwah menjadi figur bagi ummat. Jadi ulama tidak hanya berfungsi dalam soal Religius namun termasuk juga dalam urusan Dunia sebagai pembimbing umat agar umat mengarah kepada kebaikan dan kesempurnaan dunia dan akhirat.

Dalam masyarakat Aceh ulama merupakan orang yang disegani karena ilmu yang dimilikinya sehingga menjadi contoh teladan yang memberi pendapat buat masyarakat untuk menanyakan berbagai permasalahan mengenai agama, yang mengambil keputusan dikala masyarakat melakukan perkara (hakim) dan urusan yang menyangkut kehidupan sosial yang terdapat dalam masyarakat. 
Di dalam kerajaan aceh yaitu pada masa Ali Mughayatsyah, ulama yang menjadi mufti yaitu Hamzah fansuri, masa Sultan Iskandar muda ulama yang menjadi mufti Syamsuddin as-sumantrani, Sultan Iskandar Tsani ulama yang menjadi mufti Nurudin Ar-Raniry dan Ratu Safiatuddin ulama yang menjadi mufti Syekh Abdur Rauf As-Singkili. Semua mereka adalah ulama yang mempunyai tugas sebagai penasehat atau yang memberi bimbingan kepada raja dikala raja mengambil sebuah keputusan. Keputusan tersebut berlaku dalam segala bidang, baik dalam pemerintahan, Kebijakan dan adat-istiadat. Disamping itu hubungan ulama di dalam masyarakat sangat dekat emosionalnya dari pada umara. 
Kedekatan tersebut di pengaruhi oleh ilmunya yang tinggi dan ulama juga lebih mengerti tentang keadaan masyarakat. Sementara kalau ditingkat desa, ulama berperan sebagai penasehat bagi pemimpin Kampung (Geuchik), yang memberi pendidikan/ guru agama buat masyarakat, yang mengatur pembagian zakat, yang menikahkan setiap pasangan ketika kawin, mendamaikan orang yang bertengkar juga sebagai orang yang memandikan jenazah dikala ada salah seorang dari warga masyarakat yang meninggal.
 Jadi kalau kita melihat dari peran ulama di atas, ulama sangat besar kewajibannya di bandingkan umara dalam hubungan sosial kemasyrakatan. Dalam mewujudkan sebuah pembangunan atau urusan kesejahteraan masyarakat antara ulama dan pemimpin saling bekerja sama, hal ini dapat kita lihat pada ulama-ulama dalam abad ke 19. Dalam bidang pertanian yaitu Teungku Chik di pasi, Teungku di Bambi, Teungku Chik di Reubee dan Teungku di Trueng Campli, mereka ini telah membangun irigasi dan lueng (saluran), sehingga areal persawahan di Pidie mendapat pengairan.

Mengenai Uleebalang, uleebalang merupakan raja di Negara-negara (Nanggroe) bagian. Seperti di kerajaan Daya, kerajaan Samudra Pasai, dan Pedir. Sebelum masuknya Belanda ke Aceh, sistem birokrasi pemerintahan memeliki corak sistem Negara bagian (Federal).
Dimana Aceh terdiri dari Negara-negara kecil, seperti yang tersebut di atas, namun tetap tunduk dan berada di bawah payung Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di Kuta Raja (Banda Aceh). Uleebalang adalah wakil Sultan di Negerinya. Namun dalam posisi sebagai kepala Negeri, yang diterima secara turun-temurun menurut adat di Negerinya. Dalam bidang tetentu ia mempunyai hak otonom yang seluas-luasnya yang diserahkan kepadanya oleh Sultan.
 Akan tetapi semenjak terjadinya hubungan dengan para pedagang Eropa melalui perdagangan, para pedagang ini tidak saja berhubungan dengan Sultan, melainkan juga ada yang berniaga langsung dengan raja-raja kecil (uleebalang) di pantai Utara dan Barat. Kadang kala hubungan dagang itu terjadi antara saudagar Aceh dengan pedagang dari Barat. Dalam hal demikian para uleebalang berfungsi sebagai pemungut cukai. Memang secara de jure, uleebalang diangkat dengan surat pengangkatan ( Sarakata) dari Sultan yang di bubuhi cap sikureung. 
Sarakata ini dinilai tinggi bagi kedudukan dan dianggap sebagai sumber perlindungan dari uleebalang terhadap rakyatnya. Secara fungsi, dalam buku Perang Dijalan Allah, uleebalang bertugas menjalankan pemerintahan, politik dan juga pemilik modal dengan sebutan Peutua Pangkai yang meminjamkan uang kepada para petani melalui perantara yang disebut Peutua Seuneubok. Para uleebalang juga berdagang dengan luar negeri. Berdasarkan sarakata mereka bebas dalam import dan eksport barang-barang dari pelabuhanya.
 Namun lambat laun mereka menyalahgunakan sarakata yang diberikan Sultan kepada. Uleebalang juga memaksa masyarakat untuk menjualkan lada-lada tersebut ke pihaknya dengan harga murah dan mereka menjualnya ke Penang (Malaya) dengan harga lebih mahal. Secara tidak langsung ini merupakan monopoli dagang mirip VOC Belanda terhadap masyarakat. Mereka membuat masyarakat sangat menderita demi tercapainya kepentingan mereka. 
Disamping itu mereka juga menjadi tangan kanan belanda dalam menumpaskan gerilyawan-gerilyawan di Aceh. Bahkan mereka memaaksa uleebalang-uleebalang yang masih memperjuangkan kemerdekaan untuk menyerah dan bergabung bersama Belanda, seperti yang dilakukan Habib Abdurrahman. Bahkan dia juga mendapat tunjangan dari pemerintah Hindia Belanda senilai 12.000 Gulden setahun. 
Bahkan dia juga yang mempengaruhi uleebalang lainya untuk membuka perdamaian dengan Belanda dengan bayaran 60-70 ribu Gulden dari pemerintah belanda. Kaum uleebalang hanya duduk manis dan mendapatkan gaji setiap tahun tanpa bekerja, sementara urusan dalam wilayah diserahkan sepenuhnya kepada Belanda. Sejalan dengan perkembangan waktu, gaji yang di berikan belanda kepada uleebalang rupanya tidak dapat memenuhi lagi taraf kebutuhan hidup, karena gaya hidup uleebalang ketika itu harus mewah, fasilitas yang lengkap (rumah besar, dsb). 
Sasaran akhir untuk menutupi kebutuhan hidupnya, para uleebalang memaksa masyarakat untuk menyerahkan hasil pertanian kepada uleebalang, uleebalang juga berkuasa penuh atas sewa tanah masyarakat dan memaksa masyarakat untuk kerja paksa kepada pihak uleebalang.
 HAMKA yang datang ke Aceh pada tahun 1930 mengatakan, bukan lagi Belanda yang memaksa masyarakat untuk bekerja secara paksa, akan tetapi malah uleebalang sendiri yang tega melakukanya.
Melihat realita yang terjadi maka membuat ulama untuk mengambil tindakan yang tegas. Maka terjadilah pertentangan antara ulama dan uleebalang. Hal inilah diantaranya yang menjadi konflik antara ulama dengan pihak uleebalang. 
Namun dari itu, hal ini di perparah lagi dengan takluknya Sultan terakhir Aceh yaitu Sultan Muhammad Daud Syah serta hegemoni Belanda pada tahun 1903, dimana Belanda memanfaatkan situasi ini untuk mendapat dukungan politik dari pihak uleebalang. Taktik yang dilakukan belanda diantaranya, yang pertama devide et impera yang sering kita dengar dengan politik belah bambu. Di satu pihak Belanda memberi kebebasan bagi kaum uleebalang untuk mengatur segala macam urusan dalam negerinya, dan dipihak lain belanda menekan kaum Ulama.
 Disamping itu, uleebalang juga di beri jabatan yang tinggi dan kekuasaan yang penuh untuk mengatur sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik dan Agama. Maka lambat laun posisi ulama dalam urusan sosial kemasyarakatan semakin tersingkirkan dan uleebalang memegang kekuasaan penuh dalam mengatur negerinya dengan menyingkirkan kalangan ulama. Nah disini hilanglah peran ulama sebagaimana terdapat dalam Kesultanan Aceh dulu yang perannya tak jauh berbeda dengan uleebalang. 
Memang pada permulaan koloni Belanda masuk ke Aceh, antara uleebalang dan ulama bersatu dalam rangka untuk mengusir penjajah tersebut. Namun karena tergiur oleh jabatan dan tawaran politik yang diberikan oleh Belanda kepada kalangan uleebalang, menyebabkan uleebalang berbalik mendukung dan bergabung dengan pihak Belanda yang akhirnya menyebabkan terjadinya perpecahan antara dua kubu itu sendiri “karu keu droe-droe”. 
Namun yang harus kita garis bawahi juga bukan berati semua uleebalang melakukan hal yang sama, karena ada juga sebagian uleebalang seperti Teuku chik meulaboh dan anaknya Teuku keudjruen muda yang tetap menentang pihak Belanda, bahkan mereka menentang belanda untuk menginjakkan kaki dan menaikkan benderanya di daerah Meulaboh.

Semoga sikap Teuku Chik Meulaboh dan anaknya Teuku Keudjrun Muda menjadi contoh bagi penguasa-penguasa di masa sekarang karena yang namanya jabatan dan finansial merupakan suatu hal yang sangat sensitif bagi masyarakat Aceh terlepas darimana ia berasal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar