Kamis, 31 Januari 2013

Dekontruksi Sejarah dan Sastra Aceh Klasik


Kehidupan sebuah bangsa amat dipengaruhi oleh sejauh mana masyarakatnya memiliki kesadaran sejarah akan bangsanya. Bangsa yang besar adalah mereka yang mau belajar dari masa lalu, mengambil manfaat dari kesuksesan dan tidak mengulangi kesalahan. Dengan demikian sebuah bangsa akan berjalan ke arah yang lebih maju dan membangun peradaban semakin tinggi dan bermanfaat bagi kehidupan mereka.

Melihat sejarahnya, Aceh merupakan sebuah bangsa dan memiliki kedaulatan dan kemandirian, mengurus rumah tangga sendiri dan mampu membangun kerja sama dan hubungan dengan bangsa lain. Inggris, Turki, Spanyol dan Belanda meruakan beberapa negara yang pernah menjalin kerja sama dengan Kesultanan Aceh masa lalu. Hubungan dengan bangsa lain bukan hanya dalam bidang ekonomi, namun juga dalam bidang politik, agama dan ilmu pengetahuan, persenjataan dan lainnya. Kekuasaan yang luas dan sistem pemerintahan yang sudah teratur semakin memungkinkan Aceh tumbuh dan berkembang menjadi sebuah bangsa.

Kemajuan Aceh dalam bidang politik juga diikuti dengan perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama. Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry dan Abdurrauf as-Singkili merupakan empat nama yang menjadi icon perkembangan pengetahuan agama di Aceh masa lalu. Berkat usaha Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, maka bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan di Nusantara yang kini menjadi bahasa Nasional. Mereka menggunakan bahasa Melayu dalam karya puisi dan prosa yang mereka buat, sehingga sedikit demi sedikit bahasa tersebut berkembang di seluruh Indonesia. Peran yang sama juga dimainkan oleh Nuruddin ar-Raniry dan Abdurrauf as-Singkili yang telah mewariskan pengetahuan agama untuk umat Islam dewasa ini. Bahkan banyak informasi sejarah Aceh kita ketahui dari “ensiklopedi” Bustan al-Salatin yang ditulis oleh Ar-Raniry.

Pudarnya Kesadaran
Dewasa ini banyak anggota masyarakat Aceh yang tidak mengenal dan merasa asing dengan sejarah yang benar mengani daerahnya sendiri. Demikian juga banyak kaum terpelajar Aceh lebih mengenal Syekh Siti Jenar daripada Hamzah Fansuri. Padahal kalau dilihat dari realitas sejarah, Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan tulisan sendiri dan tidak mendeskripsikan dengan jelas konsepsi-konsepsi beragamanya. Dilain pihak, Hamzah Fansuri, memiliki karya sendiri, terstruktur dalam prosa dan puisi, berperan dalam masyarakat dan Kesultanan Aceh, akan tetapi kurang dikenal oleh masyarakta Aceh sendiri. Ini terlihat dari minimnya sastrawan dan akademisi Aceh yang mengangkat kembali pemikiran dan ajaran-ajaran yang telah dikemukakan oleh Hamzah Fansuri dalam kehidupan beragama dan dunia sastra Aceh modern. Demikian juga halnya dengan kebesaran Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry dan Abdurrauf as-Singkili.

Hal yang sama juga berlaku dalam hal masalah sejarah Aceh. Dilihat dari realitas keilmuan saat ini, kebanyakan sejarah Aceh ditulis oleh sarjana asing. Selain memiliki keunggulan metodologi, mereka juga memiliki akses yang mudah untuk mendapakan data dan manuskrip peninggalan sejarah Aceh masa lalu. Catatan dan bukti kebesaran Aceh masa lalu, kini tersimpan di Museum Negeri Belanda, Inggris, Rusia dan Malaisya. Hanya sedikit tersisa di Museum Negeri Aceh dan beberapa Museum dan Pustaka Pribadi di Aceh. Apalagi catatan mengenai sejarah Aceh juga dilakukan oleh sarjana dan penjelajah asing yang sempat singgah dan menyaksikan perkembangan Aceh masa lalu.
Dengan kenyataan ini studi terhadap Aceh dapat saja dilakukan meskipun tidak pergi ke Aceh.

Kondisi lain yang memprihatinkan adalah kajian-kajian budaya yang transformatif dan minim sehingga budaya Aceh seolah tidak relevan untuk kontek perkembangan modern. Hal ini menyebabkan salah pandang mengenai masyarakat dan struktur budaya Aceh, dan salah pula dalam menafsirkan sistem sosial yang berkembang di Aceh. Salah satu contoh adalah masalah gender. Beberapa gerakan perempuan –termasuk organisasi perempaun di pemerintahan- tidak berusaha menggali konsep hubungan dan relasi gender yang mengakar dalam masyarakat Aceh. Kebanyakan konsep yang dibawa justru konsep impor yang kadang kala tidak sesuai dengan kultur keacehan. Konsepsi budaya yang mandiri dan berakar dalam masyarakat juga ada dalam masalah child protection. Konsepsi perlindungan berbasis kawoem dalam budaya Aceh sebenarnya menjadi dasar yang kuat bagi permasalahan sosial mengani pengemis dan anak terlantar.

Melihat kenyataan di atas, sungguh ironis jika selama ini pemerintah, akademisi, bdan dan pihak terkait di Aceh lainnya tidak memperhatikan masalah sejarah dan budaya Aceh. Meskipun kita sadar kalau setiap orang, darimana dan berbangsa apapun ia berhak menulis masalah Aceh, namun sudah sewajarnya dan seharusnya pula, sejarah Aceh juga ditulis oleh orang Aceh sendiri yang memiliki keterikatan budaya dan mewarisi prinsip-prinsip budaya yang tidak ditulis dalam catatan sejarah, namun dipraktekkan turun temurun dalam masyarakat. Dengan demikian tentunya catatan dan kajian yang akan dilakukan oleh orang Aceh akan lebih hidup dan sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat Aceh sendiri. Dan akhirnya akan lebih memberikan spirit untuk masyarakat Aceh dalam membangun kehidupan masa kininya.

Kontruksi sejarah dan Sastra Aceh klasik semakin nniscaya dilakuakn untuk Aceh kontemporer dengan beberapa pertimbangan. Pertama, keinginan masyarakat Aceh untuk mengulang kesuksesan masa lalu dalam pemerintahan kesultanan Aceh dalam konteks kehidupan modern. Hal ini hanya dapat diakukan dengan memiliki konstruksi yang jelas mengenai Aceh masa lalu. Dengan demikian akan ditemukan struktur dan pola yang dapat dipakai dan digunakan untuk konteks pemerintahan saat ini. Kedua, keinginan masyarakat untuk dapat menerapkan ajaran Islam sebagaimana dalam sejarah Aceh. Hal ini juga hanya dapat dilakukan dengan adanya sebuah paparan yang jelas mengenai sejarah agama dia ceh masa lalu yang tertulis dalam karya-karya sastra, prosa dan buku ilmiah agama yang dtulis oleh ulama Aceh.

Selama ini, banyak pihak –yang umumnya dari luar- sadar akan kondisi ini dan berusaha melakukan penyelematan naskah dan pengaturan sumber naskah sejarah Aceh. Sementara masyarakat Aceh dan tidak memberikan perhatian cukup dalam masalah ini. Hal ini terlihat kurungnya perhatian pemerintah untuk menjaga dan melestarikan situs-situs sejarah yang ada di Aceh, dan perhatian yang kurang dalam uapya penyelamatan naskah klasik. Dikhawatirkan, kalau masalah ini tidak diperhatikan maka khazanah klasik Aceh tersebut akan hancur dan leyap, hilang ditelan zaman. Bhakan pasca Ali Hasjmy, Ibrahim Alfian, Isa Sulaiman, Talsya, Rusdi Sufi, Zakaria Ahmad, Amirul Hadi, maka tidak ada orang lain yang melakukan kajian serius mengenai sejarah dan budaya Aceh masa lalu sebagai bahan dalam pengembangan budaya Aceh masa depan. Sehingga cerita mengenai kebesaran Aceh masa lalu dalam bidang politik dan agama yang berkembang dalam dalam masyarakat Aceh saat ini akan lebih banyak bersifat fiktif dan dongeng daripada kenyataan sesungguhnya yang diambil dari kajian akademik yang serius. Kalau ini terjadi, maka bukannya manfaat yang dapat diperoleh, namun malah kehinaan dan rasa malu karena kita tidak mengerti dengan sejarah masa lalu kita sendiri.

Beberapa Usaha
Melihat realitass di atas, maka seharusnya Pemerintah Daerah Provinsi NAD, DPRA dan kalangan akademisi di Aceh untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka “penyelamatkan” manuskrip dan catatan sejarah Aceh masa lalu, melakukan penelitian dan penulisan ulang, menafsirkannya untuk konteks kehidupan modern, dengan beberapa upaya:

Selain itu diperlakukan pula untuk melakukan inventarisasi dan membuat duplikasi terhadap berbagai peninggalan sejarah Aceh, baik berupa manuskrip maupun bahan arkeologis yang ada di berbagai belahan dunia dan “membawa pulang” ke Aceh, sehingga memudahkan bagi sarja dan mahasiswa Aceh untuk mengkaji peninggalan sejarah mereka dalam usaha merekonstruksi sejarah Aceh masa lalu untuk pelajaran bagi pembangunan Aceh masa depan.

Pemerintah dan berbagai pihak yang berwewenang lainnya juga perlu melakukan usaha-usaha yang mendorong dan memotivasi masyarakat untuk mencintai dan mengerti sejarah Aceh dan menyari kebesarannya, sehingga memotivasi mereka untuk terus berkarya dan mendalami sejarah. Hal ini dapat dilakukan dengan, misalnya, melakukan peringatan dan pesta budaya yang merujuk pada sastrawan Aceh masa lalu, beasiswa studi sejarah Aceh, penerbitan manuskrip budaya dan sejarah, seminar dan diskusi sejarah dan sastra Aceh masa lalu.

Dan terakhir melakukan upaya inventarisasi dan pemugaran cagar budaya Aceh yang tersebar di berbagai wilayah Aceh yang selama ini terkesan diabaikan dan tidak diperhatikan. Beberapa cagar budaya tidak diperhatikan dan tidak diurus dengan benar, misalnya Benteng Inong Balee di Krueng Raya Aceh Besar, dan Kuburan-kuburan lama di Singkil dan Aceh Utara.

Perang Cumbok, realita kelam Aceh

Oleh Boy NA

Esakalasi Konflik Aceh di Tahun 43

”…rupanya agak tegang udara di Aceh zaman peralihan itu. Terutama diantara hulubalang dengan PUSA. Pusa berusaha mendekati Jepang untuk kepentingannya, hulubalangpun demikian pula. Pertentangan diantara kaum bangsawan dengan ulama rupanya telah bertambah naik.” (Lihat Hamka, op.cit., hlm.210-211.)

Statemen di atas merupakan kesaksian Hamka tentang keadaan politik di Aceh pada akhir tahun 1942 seperti yang dituliskan Dalam buku Sejarah Aceh yang dikarang T. M. Isa Sulaiman. Dalam buku tersebut juga dijelaskan pemicu konflik tersebut diakibatkan oleh adanya rivalitas perebutan kekuasaan antara kedua belah pihak. Sebaliknya, pemerintah militer Jepang selaku pemegang kedaulatan tertinggi secara cerdik memanfaatkan persaingan antara dua kelompok elit masyarakat ini untuk memperoleh kemenangan dalam perang Asia Timur Raya.

Jepang selaku kekuatan baru yang muncul di Asia Timur mampu merebut semenanjung Malaya yang dikuasai Inggris. Sejak diberlakukannya restorasi Meiji di Jepang oleh kaisar Hirohito, negeri Samurai tersebut terus mengadakan ekspansi wilayahnya ke arah barat Asia sehingga berbenturan dengan kekuatan barat yang telah berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil Asia.

Jepang yang berhasil mempropaganda masyarakat Asia termasuk Aceh sebagai saudara tua dari Asia dan penyelamat bangsa Asia ini, berhasil mengambil hati tokoh-tokoh masyarakat dan politik Aceh termasuk dari golongan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dan para hulubalang Aceh. Para perantau Sumatera, khususnya Aceh di Semenanjung Malaya yang sempat menyaksikan keajaiban dan keberanian serdadu Jepang itu segera terpikat oleh kehebatan pasukan samurai tersebut.

Satu diantaranya adalah Sayid Abu Bakar (1915-1985), mantan guru Madrasah Perguruan Islam Seulimum yang sejak 1941 telah pindah menjadi guru agama pada sebuah Madrasah di Yan, Keudah. Ia terus berusaha melakukan kontak dengan penguasa militer Jepang untuk bergabung dengan pasukan mereka yang akan menyerbu Aceh. (Sayid Abu Bakar (Alaydrus adalah keturunan bangsawan Arab yang lahir di Kampung Jawa, Kutaraja pada tahun 1915. Ia adalah kawan dekat Ali Hasjmy sewaktu belajar di Madrasah Sumatera Thawalib, Sumatera Barat.)

Sayid Abu Bakar yang berhasil melakukan kontak dengan pemerintah Militer Jepang, melalui Mayor Fujiwara yang mempunyai misi khusus membina kolone kelima F.Kikan (Fujiwara Kikan) di Taiping, ditunjuk oleh Jepang untuk merekrut perantau Aceh lainnya dan juga perantau Sumatera agar mau bergabung dengan kolone yang dipimpinnya.

Para perantau yang berhasil direkrut Sayid Abu Bakar tersebut, kemudian mendapat latihan sebagai agen rahasia di bawah bimbingan Masubuchi Sahei (Ia adalah bekas pedagang yang telah menetap di Sumatera dan Semenanjung Malaya +20 tahun, karena itu amat fasih berbahasa Melayu dan malah telah menulis kamus Jepang-Melayu. Pada tanggal 20 September 1941 ia bergabung dengan Kolone kelima F.Kikan itu. Ibid., hlm.20. Selama kependudukan Jepang di Aceh ia memainkan peran yang cukup penting berkat berbagai posisi yang ia duduki).

Berkat hubungan yang baik antara perantau dengan Jepang inilah dan dibantu oleh masyarakat Aceh yang sudah tidak percaya lagi pada pemerintah Hindia Belanda tersebut, akhirnya pasukan Samurai berhasil menyusup ke Aceh dan memukul mundur pasukan Belanda ke daerah pedalaman.

Sejak saat itu, Aceh memasuki babak baru di bawah kependudukan Jepang dan berhasil mengusir pemerintah kolonial Belanda serta membubarkan Zelfbestuurder (Pemerintahan Swapraja) bentukan Hindia Belanda

Kemenangan para perantau Aceh yang didominasi oleh para ulama dan sebagian hulubalang ini, dalam menyusupkan serdadu Jepang ke tanah air serta mengusir para penjajah Belanda, tidak mendapat dukungan penuh dari mayoritas Zelfbestuurder (Pemerintahan Swapraja) bentukan Hindia Belanda tersebut.

Zelfbestuurder yang dijabat oleh golongan hulubalang ini merasa panik karena dengan kemenangan Jepang itu, posisi mereka sebagai raja-raja kecil di daerah akan ikut terenggut. Apalagi, Jepang yang masuk ke Aceh di dukung penuh oleh para ulama, rival politik para hulubalang di Aceh.

Sementara itu, penguasa militer Jepang yang memegang otorisasi penuh di Aceh tidak mau ambil pusing dengan perselisihan kedua elit politik tersebut. Mereka malah memanfaatkan keadaan ini untuk mengambil hati kedua golongan guna memenangkan perang Asia Timur Raya.

M. Isa Sulaiman menuliskan, dalam penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, Pemerintah Militer memberlakukan kebijaksanaan pemerintahan dengan tidak mempergunakan elit lokal secara tidak langsung. Beberapa kaum bangsawan yang bersimpati kepada F.Kikan seperti T. Nyak Arief, T. M. Ali Panglima Polem, T. Cut Hasan (1900-1946) dan T. Ahmad Jeunieb dipercayakan pada guncyo (kepala wilayah) yang sebelumnya konteler tersebut dipegang oleh Belanda.

Dikarenakan jumlah guntyo mencapai 21 buah, maka para hulubalang yang berpengaruh seperti T. M. Hasan Glumpang Payong, T. M. Daud Cumbok, T. Chik Mahmud Meureudu dan T. Chik M. Daudsyah dipromosikan menjadi guntyo di daerahnya. Hanya Sayid Abu Bakar dan Marah Husein, aktivis Muhammadyah di Tapak Tuan yang memperoleh jabatan guntyo dari F. Kikan non hulubalang. Mereka masing-masing menjadi guntyo di Bakongan dan Singkil. Sementara hulubalang yang tidak mendapat kedudukan direstorasi kembali pada kedudukan semula dengan sebutan son tyo.

Posisi hulubalang dalam jabatan barunya guntyo dan son tyo tidak lebih sebagai instrumen kekuasaan militer yang oleh T. Idris, mantan gun tyo Bakongan, 1943-1944 dan guntyo Bireuen 1945-Maret 1946 diklasifikasikannya sebagai ”guntyo sebagai mandor I dan Sun tyo sebagai mandor II”.

Para hulubalang yang telah mendapatkan promosi sebagai guntyo dalam pendudukan Jepang tersebut, dikemudian harinya memperolok-olok para ulama yang tergabung dalam F. Kikan. Mereka menertawakan para ulama tersebut karena belum diangkat sebagai pegawai administrasi militer. Padahal para aktivis F. Kikan tersebut sudah sangat berjasa dan bekerja keras untuk Jepang. (Hasan Saleh, op.cit, hlm. 28).

Bahkan, T.M. Hasan Glumpang Payong, T. Cut Hasan dan T. M. Daud Cumbok sempat memberikan laporan pada pihak kempetai (polisi rahasia) yang bersifat memojokkan pemimpin-pemimpin PUSA. Akibatnya, beberapa pimpinan ulama ini seperti Tgk. M. Daud Beureueh, Tgk. A. Wahab Seulimum, T. M. Amin, Tgk. A. Husin Al Mujahid dan Abu Bakar Adamy sempat diintrogasi oleh kempetai, walaupun mereka dapat melakukan pembelaan diri.

”Dalam situasi penuh kecurigaan, hubungan akrab yang terjalin oleh seseorang atau kelompok dengan Jepang telah ditanggapi dengan penuh kecurigaan oleh lawan mereka. Konon lagi bila keluar sesuatu kebijakan atau tindakan Penguasa Militer yang merugikan kepentingan mereka. Sebab menurut pandangan pihak yang dirugikan lahirnya kebijakan itu tidak terlepas dari lobi lawan mereka,” sebut Isa Sulaiman dalam bukunya, Sejarah Aceh halaman 102.

Ketegangan antara dua kelompok bersaing itu semakin terpicu saat Penguasa Militer mencopoti kekuasaan kepolisian dan kehakiman hulubalang melalui pembentukan pengadilan negeri (ku hoin) dan pengadilan agama (kadhi tyo) di tiap wilayah hulubalang pada permulaan tahun 1944.

Isa Sulaiman menyebutkan, kebijaksanaan yang merugikan posisi mereka itu sudah dapat dipastikan mendapat reaksi keras dari golongan hulubalang. T. Nyak Arief, ketua Aceh Syu Sangi Kai dan T. M. Hasan Glumpang Payong, waktu itu memegang jabatan guntyo Kutaraja/wakil ketua Aceh Syu Sangi Kai melakukan protes keras kepada Pemerintah Militer (Gunseikanbu).

Reaksi dari para hulubalang juga terjadi di level bawah. Pengadilan yang sudah dikukuhkan oleh Jepang dengan Ibnu Saadan menjabat sebagai hakim pada Tiho Hoin Sigli (1943-1944), diadukan oleh T. M. Daud Cumbok dan T. M. Hasan Glumpang Payong kepada kempetai Sigli. Ia dituduhkan telah mempunyai hubungan erat dengan konteler Lameulo. Akibatnya, Ibnu Saadan ditahan (1944) dan baru dapat lolos dari hukuman setelah adanya campur tangan dari Tgk. M. Daud Beureueh.

Rasa tidak puas terbesar para hulubalang ini, tentunya ditujukan penuh kepada pemerintah militer Jepang karena seluruh kebijaksanaan yang diterapkan sangat merugikan pihak mereka. Sehingga pada tahun 1944, para hulubalang yang sakit hati pada pemerintah Nippon itu meleburkan diri dalam gerakan bawah tanah yang diorganisir oleh O. Treffers (mantan assisten residen Aceh Besar).

Akhir tahun 1944, banyak hulubalang yang ditangkap pihak kempetai akibat adanya laporan dari lawan politik mereka. Hulubalang yang ditangkap ini, sepenuhnya terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah. Mereka yang mempunyai jabatan dalam struktur administratif pemerintahan militer digantikan karena dianggap sebagai pengkhianat dan kemudian digantikan oleh kerabatnya yang loyal dengan kelompok radikal.

Pergeseran Kekuasaan dan Kekalahan Jepang Atas Sekutu

Kekalahan Jepang atas sekutu dengan di bom atomnya kota Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika Serikat, baru diketahui secara resmi oleh masyarakat Aceh pada tanggal 25 Agustus 1945. Peristiwa kekalahan Jepang ini, tentu saja sangat berpengaruh pada para pemimpin Aceh yang telah terlalu jauh menjalin hubungan dan bekerjasama dengan Jepang.

Sebaliknya, hulubalang yang sangat dirugikan akibat kebijakan-kebijakan pemerintahan militer Jepang tersebut, menyambut baik kekalahan negeri matahari terbit itu dengan membentuk Comite van Ontvangst (komite penyambutan) pada Belanda yang akan kembali memerintah Aceh. Suatu hal yang sangat menjatuhkan kredibilitas orang Aceh tentunya, karena terlalu senang dengan kemenangan kekuatan asing yang sebenarnya adalah kaum penjajah.

Faktor Utama Perpecahan Ulama dan Uleebalang

Uleebalang yang dipercaya sebagai zelfbestuurder pada masa kesultanan merupakan ’raja-raja’ kecil yang absolut. Mereka memegang kekuasaan turun temurun atas nama sultan. Namun semakin lama kekuasaan yang dipegang oleh uleebalang ini, ikatan antaranya menjadi lemah dan kemudian memutuskan serta memisahkan diri dari pemerintahan sultan secara diam-diam.

Pemisahan diri ini tentu saja memudahkan para penjajah yang memasuki Aceh untuk mempengaruhi raja-raja kecil tersebut. Uleebalang yang sebelumnya bahu membahu dengan ulama memerangi penjajah Belanda, lambat laun berubah dan memihak serta setia kepada Belanda. Sementara ulama tidak pernah menerima ”kekuasaan Belanda” itu.

Karenanya, tidak mengherankan apabila pada bulan Maret 1942 ketika terjadi pemberontakan terhadap Belanda dan ulama yang bergabung dalam PUSA mengijinkan serta bekerjasama dengan Jepang untuk memasuki Aceh. Faktor tersebut terus memperuncing hubungan kedua belah pihak. Ulama akhirnya mengambil keputusan untuk memerangi uleebalang dengan maksud menghapus sistem pemerintahan feodal bersama dengan kekuasaan Belanda apabila perang pasifik meletus. (El Ibrahimy, Peranan Tgk. M. Daud Beureueh dalam Pergolakan Aceh).

Kabar tentang adanya Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang sampai ke Aceh pada bulan September dengan perantaraan kawat yang dikirim oleh A.K Gani, Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera di Palembang, mendapat sambutan dingin dari beberapa uleebalang. Mereka malah mencemooh proklamasi tersebut dan bermaksud menggagalkannya. (Abdullah Arif dalam tulisannya Di Sekitar Pengkhianatan Cumbok).

Tindakan yang dilakukan para uleebalang tersebut akhirnya memunculkan satu kesepakatan final bagi para ulama untuk memerangi zelfbestuurder tersebut secara terang-terangan. Dimulai pada saat Jepang menyerahkan senjatanya, tanggal 4 Desember 1946 di Sigli. Dalam peristiwa tersebut terjadi pertumpahan darah dalam memperebutkan senjata Jepang itu, antara ulama dan uleebalang.

Walaupun pertempuran itu dapat dipadamkan oleh pemerintah daerah Aceh yang sudah dibentuk sejak Indonesia merdeka pada tanggal 6 Desember, akan tetapi persengketaan antara kedua belah pihak terus berlanjut. Peristiwa ini, kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Cumbok.

Kronologis Perang Cumbok

El ibrahimy dalam kesaksiannya menuliskan bahwasanya di Pidie yang menjadi pusat kekuatan dari dua golongan yang berbeda, sering kali terjadi benturan-benturan antar uleebalang dengan ulama. Setelah Jepang kalah pada bulan Agustus 1945, seratus lebih uleebalang yang memerintah Aceh berabad-abad secara absolut monarki tipe kecil di bawah lindungan Belanda ikut terseret dalam kekalahan.

November 1945, suhu politik di daerah ini mulai panas. Faktor utama penyebabnya adalah T. Daud Cumbok yang tak dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru akibat timbulnya proklamasi kemerdekaan Indonesia. T. Daud Cumbok cs menghendaki agar Jepang menyerahkan senjatanya kepada mereka dengan pertimbangan karena Jepang adalah sahabat mereka. Selain itu, pada saat Jepang masih berkuasa mereka pernah menjanjikan akan memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Hal inilah yang menginspirasikan T. Daud Cumbok untuk mengambil senjata Jepang sebagai itikad baik mereka dalam membantu perjuangan Indonesia.

Sementara T. Nyak Arief selaku Residen Aceh merasa gusar jikalau senjata tersebut akan jatuh ke tangan rakyat karena kondisi keamanan masih belum stabil. Ia mengirimkan utusannya ke Sigli untuk menemui Jepang dan meminta mereka, menyerahkan senjatanya ke pihak Tentara Keamanan Rakyat (TKR) selaku tentara resmi dari pemerintah Indonesia.

Pihak Jepang yang ditemui oleh utusan residen Aceh itu merasa keberatan melakukan penyerahan senjata secara cepat. Mereka atas dasar intruksi Iino, bekas Gubernur Pemerintahan Militer Jepang di Aceh, akan terus memelihara pertentangan antara ulama dan uleebalang. Bahkan harus lebih dipertajam dengan maksud untuk mengalihkan perhatian dan tekanan orang-orang Aceh atas tentara Jepang yang dikonsentrasikan di Banda Aceh, guna diberangkatkan kembali ke Jepang. Atas dasar intruksi Iino im Muramoto membuat kalkulasi bahwa perimbangan kekuatan (balance of power) antara dua golongan yang bersaing itu harus dipelihara.

Karenanya, kekuatan uleebalang yang menurut kalkulasi Muramoto pada akhir November agak lemah, secara rahasia ia memerintahkan untuk melakukan penyerahan selusin senjata pada pihak tersebut yang diterima oleh T. Tjut Hasan, Gunco Sigli. Disisi lain, Muramoto berjanji secara terpisah kepada masing-masing pihak nanti pada tanggal 4 Desember senjata-senjata Jepang baru akan diserahkan sepenuhnya.

Disini terlihat jelas adanya politik perpecah belahan yang dilakukan pasukan Nippon terhadap putra-putra Aceh. Pemerintah Militer Jepang yang jelas telah kalah dalam perang pasifik, tetap menginginkan daerah Aceh berada dalam kemelut. Namun, sangat disayangkan pada saat itu, tokoh-tokoh elit politik Aceh yang memimpin rakyat tidak bisa mahfum dengan politik dan strategi tentara Jepang dalam melemahkan isu-isu kemerdekaan Indonesia dan wujud kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Politik devide et empera yang dilakukan oleh Jepang, benar-benar telah menjebak kedua belah pihak untuk bertikai, terutama sekali kaum uleebalang yang haus akan kekuasaan memimpin kembali nanggroe merdeka menurut versi tersendiri.

Minggu akhir bulan November, ketegangan di Kabupaten Pidie memuncak. Kira-kira 200 orang yang bersenjata dari pengikut uleebalang Pidie, T. Pakeh Sulaiman, secara diam-diam pada tengah malam memasuki kota Sigli. Semua jalan masuk ke kota tersebut diblokade dan semua tempat yang strategis di duduki. Dari Lam Meulo datang pula massa lainnya yang tergabung dalam Tentara Cap Sauh di bawah pimpinan T. Abdullah Titeu dan Tentara Cap Tumbak di bawah pimpinan T. Sarong Peudada.

Menurut sebagian penulis, tulis El Ibrahimy, tujuan uleebalang memasuki kota Sigli tersebut guna mendahului kaum ulama dan PRI menguasai senjata yang akan diserahkan oleh Jepang pada tanggal 4 Desember. Akan tetapi pada kenyataannya, perebutan senjata Jepang tersebut dilakukan untuk kepentingan perjuangan mereka sesuai dengan rencana yang telah disusun.

Dilain pihak, PRI dibawah pimpinan Hasan Ali dan Husin Sab mengerahkan pengikut-pengikutnya bersama dengan ribuan rakyat dari Garot dan Gigieng untuk mengepung kota Sigli. Begitu pula dengan keresidenan Aceh. T. Nyak Arif mengirimkan Sjamaun Gaharu dengan satu pasukan kecil dari TKR untuk mencoba mencari penyelesaian. Turut pula dalam peristiwa itu T. Panglima Polem Mohd. Ali selaku Wakil Residen yang mewakili Pemerintah Daerah Aceh dan T. Djohan Meuraxa selaku Wakil Gubernur Sumatera. Mereka berhasil mendesak pasukan Jepang untuk menyerahkan senjatanya kepada pihak berwajib (dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia). Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Nippon akhirnya menyerahkan seluruh senjata mereka kepada TKR dengan beberapa perjanjian, antaranya jaminan keselamatan nyawa dan harta benda tentara Jepang, berada sepenuhnya ditangan pemerintah Indonesia.

Sebelum perjanjian ini ditandatangani, pihak TKR melalui Sjamaun Gaharu pada pukul 03.00 WIB menjumpai pimpinan-pimpinan PRI/PUSA yang berada ditengah ribuan rakyat diluar kota Sigli. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk membujuk mereka agar mau membubarkan diri karena persoalan senjata Jepang yang menjadi pemicu konflik telah diselesaikan oleh pihak pemerintah yang sah. Dengan kata lain, ketakutan mereka akan jatuhnya senjata Jepang ke tangan para uleebalang tidak akan terjadi lagi.

Namun ditengah mediasi yang dilakukan pihak TKR ini, tiba-tiba dari arah uleebalang berkumpul yakni di depan rumah T. Pakeh Sulaiman, uleebalang Pidie terdengar letusan senjata sebanyak tiga kali yang diarahkan ke arah massa demonstran. Keadaan menjadi panas kembali. Banyak rakyat yang berada diluar kota Sigli tertembak.

Pihak TKR yang berada di barisan rakyat demonstran dan bersenjata akhirnya membalas tembakan tersebut. Peperangan yang dihindari pun terjadi. Sebanyak 50 orang kurang lebih menjadi korban. Dominannya dari pihak PRI dan PUSA Padang Tiji dan T. Rizal salah satu anggota TKR yang berada di kerumunan demonstran PRI serta ajudan Sjamaun Gaharu.

Guna mengantisipasi perlawanan pihak uleebalang dan melakukan perdamaian, Residen Aceh kembali mengirimkan satu detasemen TKR dari Kutaraja. Akan tetapi, tugas tentara TKR ini terbendung oleh sikap rakyat di Seulimum yang melucuti senjata mereka. Residen Aceh tak kehilangan akal. Ia kembali mengirimkan Polisi Istimewa ke Sigli bersama dengan T. Hamid Anwar, Ka.Staf TKR di Kutaraja. Pengerahan polisi rahasia ini berhasil menenangkan suasana. Pihak yang bersangkutan bersedia berembuk dan pada tanggal 6 Desember 1945 dicapailah sebuah keputusan untuk mengadakan gencatan senjata.

Guna mengantisipasi perlawanan pihak uleebalang dan melakukan perdamaian, Residen Aceh kembali mengirimkan satu detasemen TKR dari Kutaraja. Akan tetapi, tugas tentara TKR ini terbendung oleh sikap rakyat di Seulimum yang melucuti senjata mereka. Residen Aceh tak kehilangan akal. Ia kembali mengirimkan Polisi Istimewa ke Sigli bersama dengan T. Hamid Anwar, Ka.Staf TKR di Kutaraja. Pengerahan polisi rahasia ini berhasil menenangkan suasana. Pihak yang bersangkutan bersedia berembuk dan pada tanggal 6 Desember 1945 dicapailah sebuah keputusan untuk mengadakan gencatan senjata

Klimaks Pertentangan Uleebalang dan Non Uleebalang

Peristiwa Sigli telah memperluas jurang pertentangan antara kaum ulama dan uleebalang. Ini merupakan tetcase bagi masing-masing pihak. Dari peristiwa tersebut pihak ulama atau PUSA mengambil pelajaran yang berharga. Guna menghadapi uleebalang yang lebih lengkap persenjataannya tidak cukup dengan jumlah massa yang banyak dan pekikan Allahu Akbar semata. Mereka harus mempunyai senjata yang lengkap dan pergerakan yang teroganisir dengan baik.

Sedangkan pihak uleebalang menilai peristiwa Sigli merupakan ancaman yang serius bagi kedudukan mereka. Karena itu untuk mengatasi hal tersebut mereka tidak boleh merasa berbelas kasih kepada lawan. Dengan kata lain, pihak uleebalang merasa perlu mengambil tindakan tegas dan keras dengan membentuk komando yang kuat dan tidak kenal kompromi dalam menghadapi lawan. Guna memuluskan rencana mereka tersebut, pihak uleebalang mengutus beberapa perwakilannya untuk menemui dan meminta bantuan Belanda di Medan. (Anthony Reid, Op.cit,.hal 200).

Pihak uleebalang juga mengangkat T. Daud Cumbok selaku pucuk pimpinan yang kemudian melakukan machtsvertoon (unjuk kekuatan) secara besar-besaran dengan menembaki rumah-rumah penduduk menggunakan karaben, metraliur dan mortir. Selain itu, mereka juga mulai melakukan penangkapan-penangkapan dan pembunuhan terhadap pimpinan organisasi pemuda.

Berada dibawah pimpinan T. Daud Cumbok pergerakan uleebalang semakin ganas. Dalam pemahamannya Cumbok tidak mengenal falsafah diplomasi. Ia hanya mengenal cara diktator dan tirani dengan unjuk kekuatan melalui senjata. Atas dasar inilah, T. Daud Cumbok menolak bertemu dengan Gubernur Sumatera, Mr. T. Mohd. Hasan yang sengaja datang ke Aceh. Ia hanya mengirimkan adiknya, T. Mahmud untuk menyampaikan bahwa kejadian-kejadian dan sengketa yang terjadi di Aceh merupakan kesalahan PUSA yang telah mengepung Lam Meulo.

”Pada tanggal 16 Desember 1945, mereka mulai mempergunakan senjata berat. Dengan senjata-senjata ini mereka menembaki kampung-kampung disekitar Lueng Putu dan Meutareum. Disusul pula dengan pembakaran-pembakaran,” jelas Mr. S. M. Amin dalam bukunya, Kenang-kenangan Masa Lampau halaman 135.

Peristiwa ini menggerakkan Tgk. M. Daud Beureuh untuk melaporkan tindakan Cumbok ke Forum Komite Nasional Daerah Aceh yang sama sekali tidak ditanggapi. Tidak habis akal, Ia juga mengadukan tindakan Cumbok tersebut kepada T.T Mohd Said, Assisten Residen Sigli. Namun setelah melakukan penyelidikan secara langsung ke Lam Meulo, T.T. Mohd. Said mengatakan penembakan itu merupakan ketidaksengajaan yang disebabkan efek dari sebuah latihan.

Keterangan dari Assisten Residen Sigli ini, tentu saja menimbulkan kecurigaan dari rakyat akan keberpihakan dirinya pada kaum uleebalang. Karenanya, T.T. Mohd. Said menjadi target kemarahan rakyat sama dengan T. Tjut Hasan Guncyo Sigli yang telah menyediakan rumahnya menjadi kubu pertahanan barisan uleebalang.

Tindakan uleebalang tidak hanya sekedar memborbardir perkampungan penduduk. Mereka kembali melakukan aksi dengan melakukan pembakaran rumah sekolah agama di Titeue dan kantor kehakiman di bebarapa tempat pada tanggal 20 Desember 1945.

Serangan Umum ke Cumbok

Pihak ulama dan rakyat non uleebalang yang terdiri dari PUSA, Pemuda PUSA dan PRI serta yang lainnya mengkonsolidasikan diri untuk membentuk organisasi perlawanan atas aksi-aksi anarkis pihak uleebalang tersebut. Mereka membentuk suatu badan perjuangan rakyat yang dinamakan Pusat Markas Barisan Rakyat yang berkedudukan di Garot di bawah pimpinan Hasan Ali dan dibantu oleh T. A Hasan. Selain itu, mereka juga mendirikan cabang-cabang di Glee Gapui dibawah pimpinan Hasballah Daud dan di Gigieng di bawah pimpinan Mohd. Husin.

Dengan terbentuknya badan perjuangan rakyat ini, peperangan antara kedua belah pihak telah berada di puncak klimaksnya. Pihak uleebalang yang sama sekali tidak memperdulikan akan berdirinya badan perjuangan rakyat tersebut, pada tanggal 30 Desember 1945 kembali menyerang Meutareum dan kampung-kampung sekitarnya seperti Ilot, Lagang, Lala dan Pulo Kameng. Tentara Cumbok merajalela, merampok dan merampas berbagai macam harta kepunyaan rakyat serta melakukan pembakaran-pembakaran rumah rakyat.

Tindakan anarkis pihak uleebalang kali ini, kembali dilaporkan Tgk. M. Daud Beuereueh ke Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh sembari membawakan bukti-bukti fisik berupa pecahan mortir dari lokasi Tempat Kejadian Pekara (TKP). Melihat bukti-bukti ini, pihak KNID Aceh mengadakan rapat umum dan menemui jalan buntu hingga waktu siang hari. Melihat rapat yang terkesan berjalan di tempat ini, Sjamaun Gaharu berinisiatif untuk mengalihkan persoalan ini ke Markas Umum Daerah Aceh.

Di dalam rapat Markas Umum Daerah Aceh akhirnya didapar sebuah kesimpulan bahwa perusuh-perusuh yang bertindak di luar Pidie yang berpusat di Cumbok merupakan pengkhianat tanah air (musuh negara RI). Sementara di rapat kedua MUD Aceh kembali mengambil kesimpulan bahwa kekacauan di Luhak Pidie dilakukan oleh NICA dan kaki tangannya.

Resolusi yang diambil waktu itu adalah berupa ultimatum agar Cumbok menyerah atau digempur sekira pukul 12.00 pada tanggal 10 Januari 1946. Namun, ultimatum tersebut sama sekali tidak digubris pihak Cumbok. Karena pasukan Cumbok begitu keras kepala akhirnya pihak pemerintah mengadakan serangan umum secara besar-besaran di Lam Meulo yang dibantu oleh rakyat.

Sementara itu rakyat yang telah lebih dahulu mengambil tindakan pada tanggal 7 Januari 1946 telah menyerang Lueng Putu dengan melancarkan serangan dari tiga jurusan. Dari selatan, massa rakyat dipimpin oleh Nyak Hasan dibantu oleh Tgk. Ahmad Abdullah, T. H. Husin, T. H Zainal Abidin dan Peutua Ma’ Ali. Dari timur menyusuri rel kereta api serangan dipimpin oleh pasukan-pasukan raja Uma, Muhd Tahir dan Said Umar. Sementara dari Timur menyusuri jalan raya serangan ke Cumbok dilancarkan oleh pasukan-pasukan A. Gani Mutiara/Sjamaun Gaharu dan Nyak Ishak/Daud Hasan.

Lueng Putu berhasil dilumpuhkan setelah penyerangan dari segala jurusan dan memakan korban, termasuk T. Laksmana Umar yang terbunuh serta salah satu panglima Hasballah Hajji, dari pasukan PUSA tertembak di kepala tapi masih bisa diselamatkan. Tanggal 10 Januari 1946, pasukan rakyat berhasil memasuki Teupin Raya tanpa perlawanan berarti. Satu hari kemudian, barisan rakyat kembali menyerang Beureuneun dan mampu mematahkan pertahanan uleebalang yang berada di Blang Malu.

Tepat pada tanggal 12 Januari 1946, sesuai dengan ultimatum yang diberikan MUD Aceh, pihak rakyat bersama TKR dan PUSA melakukan serangan umum ke Lam Meulo selaku benteng pertahanan terkuat pihak uleebalang. Pertempuran besar-besaran itu telah banyak memakan korban. Barisan rakyat baru berhasil memasuki Kota Lam Meulo pada tanggal 13 Januari 1946 dan menyaksikan bekas-bekas pertempuran dan perlawanan hebat di dalamnya. Halaman rumah T. M. Daud Cumbok yang menjadi basis pertahanan uleebalang, porak poranda akibat hantaman artileri.

Meskipun kota Lam Meulo dapat diduduki, namun Panglima Cumbok dan staf-stafnya berhasil melarikan diri. Ia baru berhasil ditangkap pada tanggal 16 Januari 1946 di atas Gunung Seulawah Jantan oleh barisan rakyat dari Seulimum pimpinan Tgk. Ahmad Abdullah. Sementara T. Muda Dalam, uleebalang Bambi dan Unoe yang terlibat dalam pemberontakan tersebut melarikan diri ke rumah Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba untuk memohon perlindungan. Akan tetapi oleh Tgk H. Abdullah Ujong Rimba ia diserahkan kepada rakyat.

Atas keberhasilan penangkapan pimpinan-pimpinan Cumbok tersebut, runtuhlah kekuasaan uleebalang yang memerintah Aceh selama berabad-abad dibawah lindungan Belanda. Setelah uleebalang diseluruh Aceh ditumbangkan, landschap-landschap yang tadinya diperintah oleh uleebalang atas dasar sistem absolut monarki tipe kecil dibawah lindungan Belanda, dirombak menjadi kecamatan-kecamatan yang diperintah oleh camat atas dasar sistem demokrasi yang bersumber kepada UUD 1945.

Nama-nama landschap dan kota-kotanya juga ditukar. Landschap Cumbok misalnya, berubah menjadi Kecamatan Sakti dan Kota Lam Meulo yang merupakan markas besar daerah Perang Cumbok berubah menjadi Kota Bakti.

Masihkah Kita Percaya Pada Kekuatan Asing?

Dari peperangan Cumbok ini, dapat kita ambil sebuah kesimpulan atas ketamakan yang tidak berbuah hasil. Sejarah telah mencatat, sikap yang terlalu bergantung pada kekuatan asing di Aceh, baik seperti yang dilakukan pihak ulama dan uleebalang sangat tidak efektif dalam melaksanakan pembangunan bangsa ke depan.

Ulama yang tergabung dalam PUSA, yang terlalu menggantungkan harapan pada Jepang untuk mengusir Belanda di Aceh, pada kemudian hari harus kembali bahu membahu bersama rakyat merebut kemerdekaannya dari tangan pasukan Nippon tersebut.

Begitu pula para uleebalang yang tergiur mempertahankan kekuasaannya selaku zelfbestuurder. Permohonan belas kasih dan bantuan Belanda sama sekali telah menghancurkan kepercayaan diri dan wibawa mereka yang sebelumnya disegani rakyat atas pengangkatan kekuasaan mereka oleh Sultan Aceh.

Hanya sedikit efek positif yang bisa diberikan ’asing’ pada kemajuan Aceh dan Indonesia. Seperti halnya guyonan yang terdengar samar-samar di telinga penulis, tidak ada makan siang gratis. Artinya apapun yang diberikan oleh asing kepada kita, pasti berujung pada permintaan yang kemudian bisa-bisa mencekik leher bangsa kita yang bermartabat. Baik untuk Aceh maupun Indonesia.

Agar terhindar dari malapetaka perpecahan yang ada antara sesama ada baiknya kita semua membuka dan mempelajari kembali lembaran-lembaran sejarah Aceh yang telah dinukilkan. Hari ini, meskipun ketakutan akan adanya perpecahan antara ulama dan uleebalang seperti tempo dulu tidak akan terjadi lagi, namun kewaspadaan pertentangan antar anak cucu Iskandar Muda yang saat ini haus akan kekuasaan dalam memimpin Aceh masa depan patut kita kontrol bersama.

Selaku rakyat Aceh yang mempunyai hak di jaman demokrasi ini, kita tidak boleh berpangku tangan dengan hanya menyaksikan episode-episode perjalanan politik, sosial dan keamanan Aceh begitu saja. Harus ada yang berani menentang apabila kebijakan-kebijakan yang dibuat itu telah menyalahi aturan. Dan apabila ada sindrom Perang Cumbok jilid II kembali mewabah, selaku masyarakat bersama pemerintah dan elit politik Aceh, setidaknya ada wadah pemersatu menuju Aceh yang lebih madani tanpa harus bertikai dan menumpahkan darah antar sesama demi agenda pembangunan Aceh ke depan ke arah yang lebih baik.

Terpenting dari semua kajian dan tulisan di atas yang ingin ditekankan adalah jangan mudah percaya pada kekuatan asing. Meskipun dijanjikan keselamatan dan kemerdekaan dalam arti apapun, kita juga harus mewaspadai adanya ‘tidak ada makan siang gratis’ dari bantuan yang akan diberikan tersebut.

Abangdetak.wordpress.com

Teuku Umar, Pahlawan atau Oportunis Sejati? -1

Kompas.com 
 
 Kamis, 22 Desember 2011 | 02:46 WIB
 
Oleh: Margono Dwi Susilo

Berdasarkan TRADISI LISAN yang dimuat dalam komik Aceh. Penulis tambah yakin tentang cerita komik itu saat Anthony Reid sendiri juga memberikan catatan tentang keberadaan ramalan tersebut dan protes Cut Nyak Dhien (Reid, 2005 : 297 catatan kaki no.64)

Sumber lokal (Anonim, 1995 : 74) yang dikutip www.acehprov.go.id juga “mencurigai” motif Teuku Umar, dikatakan “sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya.

Benarkah Teuku Umar hanya “pura-pura” menyerah? Atau sebenarnya itu adalah cerminan jiwa oportunis? Atau ingin menjadi Sultan Aceh dengan bantuan Belanda?

Anthony Reid dalam bukunya menuduh Umar sebagai “oportunis brilian yang memilih saat-saat seperti ini untuk berpihak kepada Belanda.” Reid mendiskripsikan perilaku Umar tersebut pada peristiwa S.S Nisero. Lebih jauh Reid juga memberi catatan “Teuku Umar adalah sebuah contoh klasik dari seorang petualang berbakat yang melihat perang sebagai sebuah peluang besar” (Reid, 2005 : catatan kaki bab 7 no.65).

Dengan spd motor saya hanya menderu di jalanan Banda Aceh yang sedang bersolek menyambut “Visit Banda Aceh 2011”. Saat melintasi jalan Taman Makam Pahlawan mata saya kembali melihat baliho besar yang menampilkan enam sosok pahlawan nasional asal Aceh, mereka adalah Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Tengku Chik Ditiro, Panglima Polem, Teuku Nyak Arif dan Teuku Umar.

Baliho itu sebenarnya sudah lama dipasang, sejak Nopember lalu saat Indonesia memperingati hari Pahlawan. Yang mencolok adalah wajah tirus Teuku Umar dengan peci miringnya, ia dicetak paling atas dengan ukuran paling besar. Ini wajar karena Teuku Umar pahlawan yang sungguh komplit, pakai “pura-pura” menyerah segala untuk mendapatkan senjata dan mempelajari strategi musuh. Justru itulah yang mengusik pikiran saya.

Benarkah “menyerahnya” Teuku Umar merupakan strategi perjuangannya? Atau jangan jangan…

Tanggal 8 April 1873 di lepas pantai Ceureumen Banda Aceh, kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen buang sauh. Lalu tanggal 11 April 1873 dengan penuh percaya diri pasukan Belanda yang terdiri dari 3.198 pasukan termasuk 168 perwira KNIL, didukung oleh kurang lebih 1000 kuli, diturunkan dari kapal untuk menggempur kedudukan pejuang Aceh (Kawilarang, 2008 : 60).

Bagi bangsa Aceh tidak ada kata lain : lawan. Dokumen Belanda sendiri menyebutkan bahwa Aceh bukan petarung sembarangan. Berbeda dengan suku bangsa lain di Indonesia, Aceh menerapkan taktik jitu, termasuk memasang sniper di ketinggingan bangunan.

Malang bagi Belanda karena sang panglima, Jenderal JHR Kohler, tewas pada 14 April 1873 terkena bidikan senapan mauser yang beberapa tahun sebelumnya diimpor dari Penang. Penggantinya, Kolonel van Daalen gagal mengangkat moral pasukan sehingga memaksanya mundur pada 25 April 1873.

Berita perang dan kekalahan Belanda diulas di London Time (edisi 22 April 1873) dan The New York Time (edisi 15 Mei 1873). Batavia tersentak.
Tetapi orang Aceh juga tahu bahwa Belanda bukan kolonialis sembarangan. Artinya Aceh tetap butuh bantuan. Tetapi siapa yang bisa membantu? Inggris, Perancis atau Amerika?

Tidak! Sesama kolonial tidak akan saling menghancurkan. Satu-satunya jalan adalah meminta perlindungan pada pusat kekuasaan islam, khilafah Turki Utsmaniah. Sultan Aceh (Mahmud) bersegera memerintahkan diplomatnya Habib Abdul Rahman Az-Zahir – yang waktu itu di Mekah (saat itu Arabia adalah propinsi Turki) — menuju Istambul. Pada tanggal 27 April 1873 Habib tiba di Istambul (Reid, 2005 : 129).

Belanda sempat gemetar tatkala tersiar kabar bahwa kapal perang Turki “Ertogrul” beserta beberapa kapal pendamping bergerak cepat menuju Aceh. Tetapi kabar itu ternyata bohong. Turki abad-19 berbeda dengan Turki Abad-15. Turki abad-19 adalah imperium yang tengah menggali liang kubur dalam-dalam. Misi Habib gagal total.

Dari Istambul ia mendengar kabar bahwa Kutaraja (Banda Aceh) telah jatuh ketangan Belanda, sedangkan Sultan dan para pejuang mengungsi ke Indrapuri kemudian Keumala.

Saat Citadel menembakan meriam pertamanya, Teuku Umar baru menginjak 19 tahun (lahir 1854 di Meulaboh, Wikipedia). Seperti layaknya orang Aceh, Umar muda juga terimbas gejolak perang. Waktu itu sebagai Keuchik (Kepala Gampong) ia adalah pemimpin perlawanan di Kampungnya. Ia dikenal cerdas dan pandai mempengaruhi orang. Umarpun menyaksikan bahwa perang itu telah berlangsung lama dan belum ada tanda-tanda selesai. Satu hal yang pasti perang menimbulkan penderitaan.

Tetapi perangpun di mata Umar pada akhirnya membuka peluang. Setidaknya ia melihat banyak ulee balang (bangsawan, penguasa daerah) yang telah berdamai dengan Belanda mendapatkan perlindungan dan keuntungan finansial, berupa gaji dan izin untuk berdagang.

Pada tahun-tahun tersebut Aceh terkenal dengan perdagangan lada. Komuditas ekonomi ini yang menjadikan kaum ulee balang menangguk keuntungan. Berbeda dengan kaum ulama dan santri yang menganjurkan perang total tanpa kompromi demi kehormatan, kaum ulee balang dan serdadunya tidak senantiasa demikian. Baginya kehormatan perlu, tetapi uang juga penting.

Setelah bermain kucing-kucingan dengan Belanda, pada akhirnya, Teuku Umar beserta pasukannya berdamai dengan Belanda tahun 1883 (Rusdi Sufi, 1994 : 88) dan menyerah secara resmi pada Maret 1984 (Reid, 2005 : 256). Hal ini menimbulkan kemarahan besar dari pejuang Aceh.

Penyerahan tersebut sangat menyakinkan karena Teuku Umar akhirnya ikut aktif bertempur untuk Belanda. Anthony Reid dalam bukunya menuduh Umar sebagai “oportunis brilian yang memilih saat-saat seperti ini untuk berpihak kepada Belanda.” Reid mendiskripsikan perilaku Umar tersebut pada peristiwa S.S Nisero. Lebih jauh Reid juga memberi catatan “Teuku Umar adalah sebuah contoh klasik dari seorang petualang berbakat yang melihat perang sebagai sebuah peluang besar” (Reid, 2005 : catatan kaki bab 7 no.65).

Saat perang Aceh memasuki masa yang rumit, pada 8 Nopember 1883 kapal dagang Inggris S.S Nisero berisi 29 ABK kandas di dekat Panga (40 mil di utara Meulaboh) dan disandera oleh penguasa Teunom, Teuku Imam. Upaya Belanda untuk membebaskan sandera tidak mudah sehingga menimbulkan perselisihan di Amsterdam dan London. Belanda tahu bahwa Teuku Imam dari Teunom ini adalah musuh bebuyutan Teuku Umar.

Akhirnya Umar yang telah menyerah dipilih untuk menjadi pimpinan pasukan komando membebaskan sandera. Pada tanggal 3 Juli 1884 pasukan komando itu bergerak menuju Rigas (dekat Teunom) dengan membawa senjata, amunisi dan uang tebusan.

Di perjalanan rupanya Teuku Umar dan pasukannya mendapat perlakuan diskriminatif dari kapten dan awak kapal perang Belanda. Umar dan pasukannya disuruh tidur digeladak dan dilarang mondar-mandir. Sebagai orang Aceh yang menjunjung kehormatan, Umar tersinggung. Pada saat kapal mendarat di Rigas maka Umar dan anak buahnya membunuh seluruh awak kapal belanda dan membawa lari senjata, amunisi dan uang. Hal ini membawa kemarahan Belanda. Sejak itu Umar dan Belanda pecah kongsi. Tetapi perlu diingat ini bukan yang terakhir Umar menyerah lalu pecah kongsi dengan Belanda.

Setidaknya Kawilarang mencatat bahwa tahun 1885 Teuku Umar ditengarai kembali berdamai dengan Belanda. Mungkin saja Umar telah berhasil menjelaskan tragedi pasukan komando S.S Nisero, bahwa ia terpaksa membunuh karena dilecehkan, sehingga akhirnya ia diterima kembali oleh Belanda. Menyerahnya Umar tahun 1885 ini perlu diklarifikasi ulang, karena Kawilarang tidak secara tegas menyertakan sumbernya. Justru Kawilarang melakukan kesalahan pengutipan “mendengar ayahnya berkhianat Cut Gambang – anak Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien – menangis tersedu.

Sang Ibu (Cut Nyak Dhien) langsung menghardik : Seorang perempuan Aceh tidak pernah menangis kepada siapapun yang syahid” (Kawilarang, 2008 : 129). Setahu saya hardikan Cut Nyak Dhien ini dilakukan saat Teuku Umar tewas tahun 1899, bukan pengkhianatan 1885.

Hal yang paling mungkin adalah bahwa sejak peristiwa pasukan komando S.S Nisero, Teuku Umar menerapkan strategi “dua muka” untuk meraih keuntungan pribadi. Ini masuk akal karena Umar mempunyai naluri bisnis yang kuat, “di beberapa daerah daerah ia (Teuku Umar) mempersatukan ekspor lada yang menguntungkan itu dalam satu tangan, yakni tangannya sendiri; di daerah lain ia memungut hasil sebesar $0,25 per pikul, di atas kertas atas nama Sultan. Kekayaan ini dengan murah hati ia bagi-bagikan kepada para pengikutnya, dan juga kepada istana dan kaum ulama di Keumala” (Reid, 2005 : 282). Reid juga menjelaskan bahwa kapal Hok Kanton membuang sauh di Rigas pada 14 Juni 1886 “untuk berdagang seperti biasa dengan Teuku Umar”.

Dari penjelasan Reid setidaknya kita tahu bahwa Umar terbiasa berdagang di pantai Barat Aceh. Padahal Belanda menerapkan blokade yang cukup ketat atas perdagangan. Hanya orang-orang yang pro Belanda – atau setidaknya yang bermain mata – yang bisa berdagang bebas seperti itu. Itulah kecerdikan Teuku Umar.
Disunting kembali oleh Atl Lisan
(bersambung)
 

Teuku Umar, Pahlawan Atau Oportunis Sejati? -2

Kompas.com 
 
Kamis, 22 Desember 2011 | 09:06 WIB
 
Oleh: Margono Dwi Susilo
Sejak 1891 perang Aceh memasuki babak baru, ditandai dengan peran Snouck Hoergronye, yang terkenal dengan rekomendasinya: agar dilakukan pengejaran tidak kenal ampun terhadap pejuang Aceh. Untuk itulah pasukan khusus marsose dibentuk. Hasilnya jelas, pejuang Aceh mengalami tekanan hebat.

Snouck dengan jeli juga menyimpulkan bahwa kekuatan utama perang Aceh ada pada ulama, bukan Sultan, bukan pula kaum ulee balang. Belanda mencoba mengadu domba antara golongan ulama dan ulee balang.

Hasilnya segera nampak, Aceh pecah. Harry Kawilarang, dengan merangkum berbagai sumber menjelaskan : “Pada tahun 1891, Aceh berduka karena Teungku Chik Di Tiro wafat (diracun oleh anak buah sendiri-Pen)…Serangan gerilya oleh pasukan aceh berkurang.

Aceh mengalami krisis kepemimpinan. Habib Samalanga yang memperoleh wewenang dari Sultan gagal menggalang kekuatan. Begitu juga usaha Chik Kutakarang atau Mat Amin, putra Teungku Chik Ditiro. Semua dikalahkan oleh pemimpin-pemimpin setempat yang kecil-kecil hingga timbul perpecahan” (Kawilarang, 2008 : 119).

Siapakah pemimpin-pemimpin setempat yang kecil-kecil itu? Tidak lain ulee balang yang bersedia kompromi dengan Belanda.

Dalam situasi seperti ini Teuku Umar pada akhirnya kembali menyerah pada Belanda pada September 1893 beserta 13 orang panglima bawahan dan 250 pasukannya. Buku sejarah kita menyebutkan bahwa penyerahan ini hanya “pura-pura” untuk memperoleh senjata dan mempelajari siasat Belanda.

Setelah melakukan tugas-tugas penumpasan perlawanan Aceh dan melakukan sumpah setia pada tanggal 1 Januari 1894 Teuku Umar memperoleh gelar Tuanku Johan Pahlawan, dengan jabatan Panglima Besar Nedherland. Rumahnya di Lampisang juga diperindah oleh Belanda. Sejak itu pakaian yang dikenakan adalah pakaian seorang Jenderal dengan beberapa buah bintang emas didadanya (www.acehprov.go.id/T.umar mengutip Hazil, 1955:97).

Cut Nyak Dhien sangat marah terhadap Teuku Umar sebab ia tidak setuju dengan sikap suaminya yang nampak hanya mementingkan diri sendiri, yang hanya mengejar kemewahan dan kedudukan dengan mengorbankan kepentingan bangsa (www.acehprov.go.id/T.Umar). Paul van T. Veer dalam buku Perang Aceh penerbit Grafitti Press, menceritakan bahwa Umar mampu berkomunikasi dan menyerap informasi dalam bahasa Belanda dan Inggris, hidup dengan gaya seorang Baron Eropa. Lebih jauh Paul van T.Veer juga mengatakan bahwa Umar pernah bercita-cita menjadi Sultan Aceh, ketika ia mendapatkan kepercayaan penuh dari Belanda.

Hal ini membuktikan bahwa Umar punya ambisi politik. Melihat situasi saat itu, hanya Belandalah yang mampu mewujudkan ambisi tersebut. Hal ini penting untuk diketahui, untuk menelaah lebih lanjut motif Umar sebenarnya.

Benarkah Teuku Umar hanya “pura-pura” menyerah? Atau sebenarnya itu adalah cerminan jiwa oportunis? Atau ingin menjadi Sultan Aceh dengan bantuan Belanda? Tidak ada kepastian, yang jelas sumber sejarah resmi kita dari SD sampai perguruan tinggi meyakini bahwa Umar hanya “pura-pura” menyerah untuk memperoleh senjata dan mempelajari siasat Belanda.

Tetapi segera timbul pertanyaan? Apakah Belanda sebodoh itu dengan bisa ditipu Teuku Umar berkali-kali? Atau mengapa Cut Nyak Dhien sendiri begitu kecewa dengan menyerahnya Teuku Umar? Sumber lokal (Anonim, 1995 : 74) yang dikutip www.acehprov.go.id juga “mencurigai” motif Teuku Umar, dikatakan “sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya. Dalam perjuangannya ia mempunyai cara tersendiri yang sering kali sulit dipahami. Oleh karena itu, ia dianggap oleh teman-teman seperjuangannya sebagai tokoh yang kontroversial.”

Setelah memperoleh jabatan Jenderal, Umar diberi senjata dan uang untuk membersihkan musuh-musuh Belanda di bagian wilayah XXV Mukim dan XXVI Mukim. Umar sukses, sebagian memang bukan karena kemampuan bertempur tetapi lebih karena kemampuan diplomasi.

Umar membentuk persekutuan dengan Teungku Kutakarang, guru agama terkemuka XXV Mukim. Umar dan Kutakarang sangat menentang kelompok-kelompok gerilya pimpinan putra-putra Tengku Chik Ditiro yang berusaha menegakkan hak sabil (Pajak perang) di XXV Mukim, yang merugikan Teungku Kutakarang. Teungku inilah yang menyebarkan fatwa bahwa melawan Teuku Umar tidak dapat dianggap sebagai perang suci.

Dukungan fatwa inilah kiranya yang menyebabkan pasukan Aceh setengah hati melawan Umar, sehingga Umar berhasil menaklukan sebelas benteng/pos pasukan Aceh untuk Belanda (Reid, 2005 : 296-297). Melihat prestasi tersebut Deijkerhoff — Gubernur Sipil dan Militer Aceh periode 1892-1896—memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada Umar.

Hal tersebut memicu rasa iri dari tokoh Aceh yang terlebih dahulu menyerah, seperti Panglima Muhammad Tibang dan Teuku Nek Meuraxa. Namun ada perkembangan situasi di lapangan, pada November 1895 Teungku Kutakarang meninggal dunia, ini adalah pukulan berat bagi Teuku Umar, karena sejak itu para ulama di XXV Mukim mulai berani memprotes cara-cara Umar.

Pada suatu hari Umar mengajukan proposal untuk menaklukkan benteng Lam Krak, benteng yang dipertahankan oleh pejuang perempuan Aceh. Proposal disetujui, dan Teuku Umar beserta pasukannya mendapatkan perlengkapan berupa 880 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg peledak dan uang tunai 18.000 dollar.

Tetapi rupanya pihak Aceh telah menyebarkan perang urat syaraf berupa ramalan, bahwa Umar akan tewas saat penyerbuan ke benteng perempuan. Saya bisa memahami jika Umar terkejut bukan main, terkait dengan hubungan proposal dan ramalan itu.

Dari mana orang aceh tahu tentang proposal Lamk Krak itu? Umar yang seorang muslim dan kuyup tradisi Aceh tentu percaya akan ramalan tersebut, apalagi konon ramalan tersebut datang dari ulama besar.

Umar tentu berpikir keras dan menyimpulkan, amatlah celaka jika ia sebagai muslim mati saat membela Belanda (kafir). Keislaman Umarpun bangkit, apalagi protes dari Cut Nyak Dhien semakin tak tertahankan.

Akhirnya Teuku Umar membangkang dari Belanda dan berbalik ke kaum muslimin Aceh pada tanggal 30 Maret 1896. Aceh bersorak, Belanda meradang. Sejak itu prestasi tempur Teuku Umar sungguh mengagumkan. Anthony Reid sendiri mencatat bahwa sejak itu perlawanan Aceh berada dalam satu komando, yakni Teuku Umar.

Penulis mendapati kisah tentang ramalan ini berdasarkan TRADISI LISAN yang dimuat dalam komik Aceh. Penulis tambah yakin tentang cerita komik itu saat Anthony Reid sendiri juga memberikan catatan tentang keberadaan ramalan tersebut dan protes Cut Nyak Dhien (Reid, 2005 : 297 catatan kaki no.64).

Motif inilah yang tidak diungkap dalam sejarah kita. Padahal hal ini penting untuk mengungkap karakter pahlawan kita ini.

Pada titik ini penulis menyimpulkan bahwa Teuku Umar sebelum membangkang dari Belanda telah mengalami proses psikologis yang berliku, dimulai dari meninggalnya Teungku Kutakarang (guru sekaligus pelindungnya), kritikan dari istrinya (Cut Nyak Dhien) yang bertubi-tubi, dan ketakutan akan kebenaran ramalan yang bermuara pada bangkitnya rasa keislaman.

Apapun motif dan ambisi Teuku Umar, Penulis tetap menghargai perannya. Disaat tokoh lain di seluruh Nusantara selalu dikibuli Belanda, Umarlah satu-satunya yang mampu menipu Belanda, bukan sekali, tetapi beberapa kali. Disinilah letak kehebatan pahlawan kita. Selebihnya wallahualam.

EPILOG :

Diplomat Aceh, Habib Abdur Rahman Az-Zahir, setelah gagal meyakinkan Turki Utsmaniah akhirnya kembali ke Aceh dan memimpin perlawanan, namun gagal, putus asa dan menyerah pada Belanda tanggal 13 Oktober 1878, sebagai imbalannya Belanda mengangkutnya ke Jeddah dan memberinya uang pensiun sebesar $1.000 per bulan.

Pemimpin Teunom, Teuku Imam akhirnya memperoleh uang tebusan $10.000 dalam kasus S.S Nissero, dan sejak itu menjadi kaki tangan setia Belanda.

Sejak pembangkangannya tanggal 30 Maret 1896, Belanda memutuskan Teuku Umar tidak bisa dipercaya lagi. Perang sengit terjadi sampai akhirnya Umar terbunuh oleh penyergapan pasukan marsose pada 11 Februari 1899.

Snouck Horgronye akhirnya menjadi muslim sejati, setidaknya ia pernah dua kali menikah secara islam dengan mojang Sunda.

Dr.P.S. Koningsvled (wawancara Kompas 6 Februari 1983, saya mengutipnya dari Seri Buku Tempo, 2011) menuturkan bahwa keluarga Kalifah Apo – mertua Snouck – yakin benar dengan keislaman Snouck secara lahir batin.

Koningsvled juga sempat bertemu dengan Raden Yusuf – anak Snouck dari perkawinan dengan Siti Saidah – yang menuturkan bahwa ibunya yakin dengan mutlak bahwa Snouck telah menjadi muslim sejati. Snouck disebut rajin sembahyang, puasa dan telah disunat.

Apakah kebetulan jika jumlah senjata GAM yang diserahkan kepada AMN yang mengakhiri konflik dengan TNI ternyata sama dengan jumlah senjata Teuku Umar saat membelot dari Belanda (880 pucuk).
 
Sumber :
Atl Lisan
Editor :
Jodhi Yudono
 
 
 

Perkembangan Politik Kerajaan Aceh

Posted by Budiyanto

Perkembangan Politik Kerajaan Aceh- Kerajaan Aceh didirikan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pidie. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Alaudin al-Kahar (1537-1568). 

 Sultan Alaudin al-Kahar menyerang kerajaan Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri dan menentang Aceh. Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah datang pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin berdagang di Aceh.

Penggantinya adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada masa inilah, Portugis melakukan penyerangan karena ingin melakukan monopoli perdagangan di Aceh, tapi usaha ini tidak berhasil. Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman, Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).

Gejala kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642. Iskandar Sani adalah menantu Iskandar Muda. Tak seperti mertuanya, ia lebih mementingkan pembangunan dalam negeri daripada ekspansi luar negeri. Dalam masa pemerintahannnya yang singkat, empat tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum syariat Islam ditegakkan, dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.

Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga berkembang pesat. Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin tarekat dari Gujarat, India. Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar Sani. Maka dari itu, ia kemudian diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan. Pada masa ini terjadi pertikaian antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan agama (Teungku).

Seusai Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat orang sultanah (sultan perempuan) berturut-turut. Sultanah yang pertama adalah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675), janda Iskandar Sani. Kemudian berturut-turut adalah Sri Ratu Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah

Pada masa Sultanah Kamalat Syah ini turun fatwa dari Mekah yang melarang Aceh dipimpin oleh kaum wanita. Pada 1699 pemerintahan Aceh pun dipegang oleh kaum pria kembali. Ketika Sultanah Safiatuddin Tajul Alam berkuasa, di Aceh tengah berkembang Tarekat Syattariah yang dibawa oleh Abdur Rauf Singkel. Sekembalinya dari Mekah tahun 1662, ia menjalin hubungan dengan Sultanah, dan kemudian menjadi mufti Kerajaan Aceh.

 Abdur Rauf Singkel dikenal sebagai penulis. Ia menulis buku tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu, berjudul Tarjuman al-Mustafid (Terjemahan Pemberi Faedah), buku tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis di Indonesia. Pada tahun 1816, sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai dengan Jawharul Alam Aminuddin

Kesempatan ini dipergunakan oleh Gubernur Jenderal asal Inggris, Thomas Stanford Raffles yang ingin menguasai Aceh yang belum pernah ditundukkan oleh Belanda. Ketika itu pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai Indonesia tengah digantikan oleh pemerintahan Inggris. Pada tanggal 22 April 1818, Raffles yang ketika itu berkedudukan di Bengkulu, mengadakan perjanjian dagang dengan Aminuddin. Berkat bantuan pasukan Inggris akhirnya Aminuddin menjadi sultan Aceh pada tahun 1816, menggantikan Sultan Saiful Alam.

Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London, Inggris. Traktat London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak boleh mengadakan praktik kolonialisme di Aceh. Namun, pada 1871, berdasarkan keputusan Traktat Sumatera, Belanda kemudian berhak memperluas wilayah jajahannya ke Aceh. Dua tahun kemudian, tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan Belanda adalah karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. 

Sejak saat itu, Aceh terus terlibat peperangan dengan Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh, pria-wanita, di antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.

Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik perang orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, yang telah berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr. Snouck Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada tahun 1945 Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Malahayati, Laksmana Perempuan Pertama di Dunia

September 7th, 2012 by Widi Astuti
 
b7654d17d386ae6daa8e22a4720d11f1_malahayati

Jika kita berbicara tentang Aceh, maka yang terbayang di benak kita adalah para mujahid dan mujahidah yang berjuang gigih tanpa pamrih. Aceh telah melahirkan begitu banyak pahlawan. Sungguh heroik perjuangan putra-putri Aceh dalam melawan penjajah. Tak ada satupun penguasa Aceh yang mau bekerjasama dengan penjajah. Ini menyebabkan Aceh sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak pernah dikuasai oleh penjajah.

Kegigihan pejuang Aceh melawan penjajah tidak bisa dilepaskan dari kultur masyarakat Aceh yang sangat relijius. Aceh merupakan tempat pertama kali Islam masuk ke bumi nusantara. Ini dibuktikan dengan peninggalan berupa makam Sultan Malik al-Saleh raja Samudra Pasai yang wafat pada tahun 1297 M di Pasai, Aceh Utara. Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Sejak saat itu landasan ajaran Islam sangat mempengaruhi perjalanan sejarah peradaban pemerintahan kerajaan-kerajaan di Aceh. Bahkan hingga kini landasan hukum berupa syariat Islam berlaku di sana.

Aceh terletak di daerah yang sangat strategis, yaitu di selat Malaka. Semua kapal-kapal Eropa yang bertujuan memasuki wilayah Indonesia terutama pulau Jawa harus melalui selat Malaka. Jalur selat Malaka ini sangat ramai, sering juga disebut jalur sutera dua. Para pedagang dari benua Eropa, China, Asia sering menggunakan jalur sutera dua ini untuk membeli rempah-rempah di kepulauan nusantara. Pada saat itu komoditi rempah-rempah sangat berharga.

Kondisi geografis seperti ini mengharuskan Aceh memiliki angkatan laut yang tangguh. Dan sejarah pun mencatat Aceh pernah berhasil menjadi penguasa selat Malaka yang gagah berani nan disegani. Aceh memiliki laksmana-laksmana yang gagah dan hebat. Salah satu laksmana yang begitu fenomenal dan spektakuler dalam sejarah adalah Malahayati. Dialah laksmana perempuan pertama di dunia. Ketika negara-negara maju menggembar-gemborkan emansipasi wanita di dunia ketiga, maka Malahayati telah melenggang menunjukan kemampuannya memimpin pasukan perang.

Malahayati yang memiliki nama asli Keumala Hayati berasal dari keluarga militer. Belum diketahui secara pasti kapan tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Menurut manuskrip yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia, diperkirakan Malahayati lahir tahun 1575. Ayahnya adalah Laksamana Mahmud Syah. Sedangkan ibunya telah meninggal dunia ketika Malahayati masih kecil.

Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.

Malahayati kecil sering diajak berlayar oleh ayahnya. Hal ini menyebabkan Malahayati mencintai dunia bahari sejak dini. Dia bertekad untuk menjadi pelaut handal seperti ayahnya. Malahayati menempuh pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis yang dimiliki kerajaan Aceh Darussalam saat itu.
Ketika dewasa, Malahayati menikah dengan seorang Perwira Laut alumni dari Akademi Militer tersebut. Malahayati telah memantapkan tekadnya untuk menapaki karir di dunia militer.

 Pasangan suami istri ini menjadi pasangan perwira laut yang handal. Akan tetapi tak lama kemudian suaminya meninggal dalam pertempuran laut melawan Portugis. Malahayati berduka. Meski terpukul karena menjadi janda muda, tetapi Malahayati tidak mundur dari dunia militer. Malahayati menjabat sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan di luar istana. Kemudian menjadi kepala dinas rahasia.

Pada saat itu menjadi janda karena ditinggal mati syahid oleh suami yang berperang adalah hal lumrah di Aceh. Malahayati bisa memahami kondisi kejiwaan para janda tersebut, karena dia pun janda. Pada masa itu hampir seluruh pria dewasa warga Aceh menyambut seruan jihad melawan penjajah Portugis. Mereka berperang sampai titik darah penghabisan, hingga syahid menjemput.

Perempuan Aceh bukanlah perempuan cengeng, mereka bangga apabila salah satu anggota keluarganya ada yang mati syahid. Karena orang yang mati syahid mampu memberikan syafaat bagi 70 anggota keluarganya di akhirat nanti. Meski menjadi janda, tetapi perempuan Aceh tetap tegar menapaki kehidupan. Bahkan janda-janda tersebut bertekad untuk hidup mulia atau mati syahid seperti para suami mereka. Malahayati berinisiatif untuk mengorganisir janda tersebut dengan membentuk Inong Balee.

Inong Balee adalah pasukan khusus perempuan yang terdiri dari para janda. Inoong Balee membangun benteng yang kokoh di Teluk Kreung Raya. Benteng ini sering disebut juga benteng Malahayati. Benteng Malahayati ini berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi 2000 janda anggota pasukan Inong Balee. Melalui benteng ini mereka mengawasi perairan Selat Malaka, mereka mengintai armada-armada Portugis, Belanda, dan Inggris. Malahayati berhasil melatih janda-janda tersebut menjadi pasukan marinir yang tangguh. Sungguh mereka adalah para janda luar biasa.

Sebagai seorang pimpinan, Malahayati secara ksatria memimpin pertempuran secara langsung di lapangan. Dia memimpin armada laut kerajaan Aceh yang jumlahnya cukup banyak. Menurut John Davis, nahkoda kapal Belanda yang mengunjungi kerajaan Aceh pada saat Malahayati menjadi Laksmana, Kerajaan Aceh memiliki 100 buah kapal perang. Diantaranya ada yang berkapasitas 400-500 penumpang. Malahayati lah pimpinan tertinggi angkatan laut Kerajaan Aceh.

Armada Laut Kerajaan Aceh sangat ditakuti oleh Portugis, Inggris dan Belanda. Padahal pada masa itu ketiga negara tersebut adalah negara adidaya. Banyak catatan orang asing seperti China, Eropa, Arab, India, yang mengakui kehebatan Malahayati.

Salah satu peristiwa yang akan selalu dikenang oleh sejarah adalah Malahayati berhasil mengusir armada-armada Belanda dibawah pimpinan De Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick de Houtman. Cornelis de Houtman adalah orang Belanda yang pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1596 dan berhasil menancapkan kuku imperialisme di Jawa.

Pada tahun 1599, De Houtman bersuadara melakukan kunjungan kedua ke Indonesia. Dalam kunjungan kedua ini de Houtman bersaudara bersandar di Aceh pada tanggal 21 Juni 1599. Mereka berniat untuk mengusai kerajaan Aceh karena letaknya yang sangat strategis sebagai gerbang kepulauan nusantara. Malahayati mengetahui niat busuk de Houtman bersaudara, dia bertekad akan bertempur habis-habisan mengusir penjajah terlaknat.

Malahayati mengerahkan seluruh pasukannya dan memegang komando tertinggi. Armada Belanda kelabakan, terdesak, dan akhirnya berhasil dihancurkan semua. Frederick de Houtman tertangkap kemudian dijadikan tawanan Kerajaan Aceh. Sedangkan Cornelis De Houtman berhasil dibunuh oleh Malahayati sendiri pada tanggal 11 September 1599. Pada awalnya Cornelis berniat menjebak Malahayati dalam suatu perjamuan makan malam untuk membicarakan gencatan senjata.

Tetapi niat jahat tersebut tidak tercapai, Malahayati berhasil menyelamatkan diri bahkan berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam pertarungan duel satu lawan satu diatas geladak kapal. Saya merinding, saat menulis bagian ini. Membayangkan keperkasaan Malahayati ketika duel bersenjatakan rencong. Atas jasanya memukul mundur armada Belanda, Malahayati dianugerahi gelar Laksamana oleh Kerajaan Aceh.

Selain armada Belanda, Malahayati juga berhasil memukul mundur armada Portugis. Reputasi Malahayati sebagai penjaga Selat Malaka sangat ditakuti oleh negara-negara asing. Sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa, terutama Belanda. Sekaligus menunjukkan kewibawaan Laksamana Malahayati.

Kerajaan Belanda sangat menghormati kerajaan Aceh. Hal ini terlihat ketika Mahkamah Amstredam menjatuhkan hukuman denda kepada Paulus Van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada kerajaan Aceh. Bayar denda tersebut adalah akibat dari tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh dan menenggelamkan kapal dagang Aceh. Setelah itu Van Caerden merampas muatan lada lalu pergi meninggalkan Aceh.

Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama adalah ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoelhamid, Sri Muhammad dan Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari sebuah kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda. Banyak cacatan orang asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang ketika itu diakui oleh negara Belanda, Portugis, Inggris, Arab, China dan India.

Bahkan Inggris pun tidak berani secara terang-terangan menunjukan keinginannya untuk menguasai rempah-rempah di nusantara. Inggris yang terkenal sebagai penguasa lautan memilih jalan damai dengan kerajaan Aceh. Ratu Elizabeth I mengirim surat diplomatik yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh. Surat diplomatik ini membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.

Malahayati menjabat sebagai laksmana kerajaan Aceh dalam waktu yang cukup lama, yaitu selama masa kepemimpinan Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil (1589-1604 M). Malahayati berhasil mengantarkan Aceh menjadi kerajaan yang disegani baik oleh kawan maupun lawan. Malahayati berhasil menjaga stabilitas Selat Malaka. Kehebatannya diakui oleh semua bangsa yang berhubungan dengan kerajaan Aceh. Nama Malahayati cukup membuat bergidik bangsa-bangsa adidaya saat itu.
Tapi saat ini, nama Malahayati tinggallah kenangan. Banyak orang yang tak mengenalnya.

Namanya tenggelam ditelan zaman. Sungguh sangat menyedihkan, realitas pahlawan yang dilupakan oleh bangsanya sendiri. Padahal dialah Laksmana perempuan pertama di dunia. Dialah yang menggempur armada-armada Belanda dan Portugis. Di kala wanita-wanita barat belum mengenal emansipasi, Malahayati telah menjadi Laksmana dan memimpin beribu-ribu pasukan perang mengusir penjajah. Sungguh wanita hebat yang jarang tandingannya, baik di masa sebelumnya maupun masa sesudahnya. Malahayati……engkaulah pahlawan wanita sepanjang masa….

Salatiga 7 September 2012

Mengenang sosok Malahayati yang tenggelam ditelan zaman….

Pocut Meurah Intan, Heldhafting dari Serambi Mekah

September 13th, 2012 by Widi Astuti
 
4d4318295fdca2b628019287f0c4ba37_pocut-meurah-intan

Dibandingkan dengan daerah lain di nusantara, maka Aceh mampu melahirkan lebih banyak pahlawan-pahlawan wanita perkasa . Jika pahlawan wanita dari luar Aceh kebanyakan berjuang secara non fisik, maka wanita Aceh berjuang secara fisik. Melakukan konfrontasi senjata secara langsung dengan penjajah Portugis dan Belanda. Keberanian, ketangguhan, kecerdasan, dan keshalihan melekat erat dalam pribadi pahlawan wanita Aceh.

Selama ini kita mengenal pahlawan wanita Aceh hanya Cut Nyak Dien dan Cut Meutia. Padahal masih banyak wanita hebat Aceh lainnya yang gigih berjuang hingga mati syahid . Cut Nyak Dien dan Cut Meutia adalah pionir pengobar semangat mujahidah-mujahidah Aceh. Mereka berhasil melakukan kaderisasi dengan baik . Ketika Cut Nyak Dien dan Cut Meutia syahid, maka tunas-tunas muda didikan mereka tumbuh melanjutkan estafet perjuangan.

Salah satu wanita hebat Aceh yang keberaniannya diakui Belanda adalah Pocut Meurah Intan. Dia mendapat gelar Heldhafting artinya Yang Gagah Berani. Gelar heldhafting ini diberikan oleh seorang perwira Belanda Letkol TJ.Veltman. Pemberian gelar ini sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan atas keberanian Pocut Meurah Intan. Dialah wanita bersenjatakan rencong yang berani melawan 18 serdadu Belanda seorang diri. Keberaniannya membuat terkagum-kagum tentara Belanda.

Pocut Meurah merupakan nama pangilan khusus bangsawan wanita keturunan kesultanan Aceh. Ayahnya Keujreun (kepala daerah) Biheu adalah keturunan Pocut Bantan. Meski Pocut Meurah Intan adalah ibu tiri dari Permaisuri Sultan Alaidin Muhmmad Daud Syah (Sultan terakhir kerajaan Aceh), tidak serta merta membuat seorang Pocut Meurah Intan menjadi perempuan yang lemah dan manja. Seluruh hidupnya hanya didedikasikan untuk mengusir “kaphee” (istilah untuk penjajah dalam bahasa Aceh) dari tanah serambi Mekkah.

Pocut Meurah Intan bersuamikan Tuanku Abdul Majid, Putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Alam Syah. Tuanku Abdul Majid adalah salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau berdamai dengan Belanda. Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang Belanda, ia disebut oleh beberapa penulis Belanda sebagai perompak laut.

 Dia mengganggu kapal-kapal Belanda yang lewat di perairan Aceh. Tuanku Abdul Majid merupakan pejabat kesultanan yang ditugaskan untuk mengutip bea cukai di pelabuhan Kuala Batee. Tetapi sangat disayangkan, tak lama kemudian Tuanku Abdul Majid menyerah kepada Belanda. Hal ini menyebabkan kemarahan dahsyat Pocut Meurah Intan. Beliau langsung menuntut cerai suaminya dan bersumpah akan membunuh semua rakyat yang menyerah kepada Belanda.

Meskipun suaminya telah menyerah kepada Belanda, tetapi Pocut Meurah Intan bersumpah untuk membunuh para penjajah. Dia tinggalkan kehidupan kesultanan yang nyaman dan bergabung dengan para pejuang di hutan belantara. Hidupnya diabdikan sepenuhnya untuk perjuangan. Dibuangnya segala kemewahan kaum bangsawan dan disematkan kecintaan mati syahid di dadanya.

 Pocut membawa ketiga putranya hasil pernikahannya dengan Tuanku Abdul Majid dalam perang gerilya yang berkepanjangan. Ketiga putra Pocut tersebut adalah Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin.

Ibu beserta ketiga putranya tersebut terkenal sebagai pemimpin utama perlawanan terhadap Belanda. Mereka masuk dalam daftar buronan Belanda. Marsosse Belanda sering mengadakan patroli dan pengejaran terhadap para gerilyawan. Metode hit and run kaum gerilyawan Aceh cukup merepotkan dan merugikan Belanda.

Persenjataan dan perlengkapan yang minim tidak membuat patah semangat gerilyawan Aceh. Iman di dada lah senjata utama mereka. Semangat jihad dan ganjaran surga menjadi sumber energi yang tak pernah habis. Pocut Meurah menanamkan mati syahid sebagai cita-cita tertinggi kepada ketiga putranya.
Muhammad Batee melakukan perlawanan sengit kepada Belanda. Dalam sebuah pertempuran dia terdesak dan akhirnya ditangkap Belanda pada bulan Februari 1900. Karena dianggap berbahaya, Muhammad Batee diasingkan ke Tondano Sulawesi Utara pada tanggal 19 April 1900.

Pocut berduka. Tapi berduka tidaklah menyelesaikan keadaan. Penangkapan Muhammad Batee membuat Pocut semakin geram. Bersama kedua putranya yang lain dia masih memimpin perang gerilya di hutan belantara. Berbagai peperangan ia pimpin dengan semangat. Dua tahun setelah pengasingan Muhammad Batee, Pocut terdesak. Di suatu pertempuran di Gampong Sigli pada tanggal 11 November 1902 Pocut tertangkap.

Dalam penangkapan tersebut ada kisah heroik yang diabadikan oleh Zentgraft, mantan serdadu Belanda di masa penjajahan yang beralih profesi menjadi wartawan. Ia meliput perang antara Aceh dan Belanda. Zentgraft merasa takjub dan terpesona akan keberanian Pocut Meurah. Dalam bukunya, Zentgraft menuliskan kejadian pada tanggal 11 November 1902 tersebut dengan apik.

 Dikisahkan pada saat itu 18 marsosse (serdadu) Belanda yang dipimpin Veltman sedang mengejar Pocut Meurah Intan yang terdesak. Semua pasukan Pocut telah gugur. Pocut terkepung dan terdesak. Meski hanya tinggal seorang diri tapi Pocut tidak sudi menyerah. Ia berteriak dengan lantang lebih baik mati daripada menyerah.

 Pocut menghunus rencongnya dan menyerang 18 serdadu Belanda tersebut secara membabi buta. Pasukan Belanda terkejut, tidak menyangka akan mendapat perlawanan dari seorang wanita yang terdesak. Beberapa serdadu terluka oleh rencong Pocut. Serdadu Belanda pun ganti menyerang Pocut dengan bayonet. Sungguh pertempuran yang tidak imbang. Pocut mengalami luka-luka parah. Dua tatakan parang di kepalanya, dua di bahunya dan satu di otot tumitnya putus. Tak terpikir untuk menyerah. Semangatnya tak pernah mundur walaupun ia rubuh bersimbah darah.

Seorang sersan diantara pasukan Veltman merasa iba kepada Pocut. Ia bermaksud mengakhiri penderitaaan Pocut dengan menembaknya. Tapi Veltman melarang. Veltman berpikir Pocut akan meninggal dengan sendirinya karena lukanya yang sangat parah.

Lalu pasukan Belanda meneruskan patroli, membiarkan Pocut terkapar bersimbah darah. Akhirnya Pocut ditemukan oleh sanak keluaganya dan diobati secara tradisional. Berkat perawatan itu akhirnya Pocut berhasil melewati masa kirtis.

Beberapa hari kemudian, Letnan Veltman yang juga bisa berbahasa Aceh berpatroli di Biheu.Dia kaget mendengar Pocut Meurah masih hidup bahkan berencana membunuh penduduk yang berkhianat kepadanya. Velmant seakan-akan tidak percaya Pocut masih hidup. Untuk mendapatkan kepastian, ia membawa pasukannya mengepung desa dan merazia satu-satu persatu rumah penduduk. Akhirnya Veltmant menemukan Pocut dalam sebuah rumah penduduk di balik tumpukan kain-kain tua.

Veltmant menemukan Pocut dalam keadaan demam, menggigil kesakitan. Luka-lukanya dipenuhi oleh belatung. Veltmant merasa iba. Hatinya trenyuh, tersentuh dan tergetar melihat keagungan Pocut. Ia mencoba membujuk Pocut agar mau diobati. Pada awalnya Pocut menolak. Tapi Veltmant yang fasih berbahasa Aceh terus gigih membujuk Pocut. Akhirnya Pocut bersedia diobati oleh dokter Belanda.

Kabar keberanian Pocut tersebar ke seluruh Nusantara. Adalah Kolonel Scheur, komandan militer dari Jawa yang baru saja menaklukkan puri cakra negara di Pulau Lombok. Ia sengaja datang ke Biheu untuk berjumpa dengan Pocut Meurah Intan pada masa ia belum sembuh sepenuhnya. Dihadapan wanita itu, ia mengambil sikap sebagai seorang prajurit dan memberi hormat dengan meletakkan jari-jarinya di pinggir topi petnya. Sesampainya ia di depan Pocut Biheu ia berkata kepada Veltman “katakan kepadanya bahwa saya merasa sangat kagum kepadanya” Veltman pun menyampaikan hal itu kepada Pocut.

Beberapa saat kemudian Pocut Meurah Intan sembuh dari sakitnya. Setelah sembuh, bersama seorang puteranya, Tuanku Budiman, ia dimasukkan ke dalam penjara di Aceh. Sementara itu, Tuanku Nurdin, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kalee.

Belanda kerepotan menghadapi perlawanan Tuanku Nurdin. Meskipun ibu dan kakaknya sudah tertangkap , tapi perjuangan Tuanku nurdin tidaklah surut. Bahkan Belanda menerapkan tatktik licik untuk memadamkan perjuangan Tuanku Nurdin. Belanda menangkap isteri Tuanku Nurdin pada bulan Desember 1904, dengan harapan agar suaminya menyerah. Tetapi Tuanku Nurdin tidak melakukan hal tersebut.Tuanku Nurdin tak gentar dan tetap melanjutkan perjuangan

Namun pertempuran yang tak seimbang menyebabkan Tuanku Nurdin tertangkap pada tanggal 18 Februari 1905. Belanda berhasil menangkapnya di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju. Setelah itu Tuanku Nurdin di tahan bersama ibunya, Pocut Meurah Intan dan saudaranya Tuanku Budiman. Dan juga seorang keluarga sultan yang bernama Tuanku Ibrahim.

Mereka berempat di buang ke Blora di Jawa Tengah. Pocut Meurah Intan menghabiskan masa tuanya di tempat pengasingan hingga akhir hayatnya. Banyak masyarakat Blora yang tidak mengetahui latar belakang Pocut. Mereka menganggap Pocut hanya orang biasa-biasa saja.

Pocut menjalin hubungan yang baik dengan Bupati Blora. Ia berpesan agar jasadnya dikebumikan di Blora saja. Akhirnya Pocut berpulang ke-rakhmatullah pada tanggal 19 September 1937. Sampai saat ini makam Pocut Meurah Intan sang Heldhafting masih berada di Blora. Dan sampai saat ini banyak orang yang tidak mengenal Pocut sebagai pahlawan karena makamnya yang sederhana. Apalah arti sebuah makam. Yang lebih penting lagi jiwa yang berada di dalam makam tersebut. Walau sejarah tidak membukukan nama Pocut, tapi Alloh tak pernah lupa untuk membukukuan amal baik hamba-Nya. Semoga Pocut diberikan tempat yang terpuji di sisi-Nya….amiiin….

Salatiga 13 September 2012

Takjub dengan sang Heldhafting dari Serambi Mekah

Cut Nyak Meutia, Sang Mutiara Pendamba Syahid

Oktober 9th, 2012 by Widi Astuti
 
819de2026bf9ca8d04d3d2545f328046_perang-aceh

Perang Aceh merupakan salah satu perang terhebat di nusantara dalam melawan penjajah Belanda. Perang yang meletus di tahun 1873-1904 ini merupakan perang yang menelan korban serdadu Belanda paling banyak . Belanda sendiri mengakui bahwa perang Aceh adalah perang yang paling pahit, melebihi pahitnya pengalaman mereka dalam Perang Napoleon. Hal ini bisa dibuktikan oleh saksi bisu sejarah, yaitu kuburan Kerkhof.

Kuburan Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang terletak di luar negeri Belanda. Kuburan tentara ini adalah salah satu yang terluas di dunia. Sekitar 2.200 tentara termasuk empat orang jenderal dimakamkan di sini. Serdadu-serdadu Belanda tersebut menjadi saksi kegigihan perjuangan rakyat Aceh yang tak pernah lelah mengobarkan jihad melawan “kaphee” (si kafir) Belanda.

Bahkan Belanda sempat putus asa dalam menghadapai perlawanan rakyat Aceh, tidak tahu harus bagaimana lagi untuk memadamkannya. Atas jasa Dr. Christiaan Snouck Hurgronje lah Belanda dapat mengusai Kesultanan Aceh.

Snouck Hurgronje berpura-pura masuk Islam untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang kelemahan rakyat Aceh. Selama dua tahun Ia berbaur dengan rakyat Aceh. Dari hasil penelitiannya yang dibukukan dalam buku berjudul De Acehers (Rakyat Aceh) Ia memberi pandangan bahwa pemimpin perang sebenarnya bukanlah sultan Aceh tetapi para ulama.

Ia menyarankan agar tentara Belanda berkonsentrasi dalam menumpas dan memberangus para ulama. Setelah para ulama tertangkap dan diasingkan atau bahkan dibunuh barulah perjuangan rakyat Aceh bisa dipadamkan. Saran Snouck Hurgronje dijalankan oleh Belanda, dan ternyata berhasil dengan baik. Perang Aceh bisa dipadamkan sedikit demi sedikit.

Tak ada yang menyangkal keheroikan rakyat Aceh dalam berjuang. Bahkan ketika Sultan Aceh, Sultan Muhammad Daud Syah menyerah pada tahun 1904, rakyat Aceh tetap melanjutkan perang secara gerilya. Mereka berjuang bukan demi Sultan, tetapi karena panggilan jihad suci mempertahankan tanah air. Perang gerilya tetap berlangsung hingga tahun 1942, tahun berakhirnya penjajahan Belanda karena kedatangan tentara Jepang.

Perang Aceh telah begitu banyak melahirkan para pahlawan, tak hanya laki-laki tetapi juga pahlawan perempuan. Salah satu pahlawan tersebut adalah Teungku Fakinah, seorang ulama perempuan yang menjadi panglima perang di daerahnya.

Teungku adalah sebutan bagi alim ulama Aceh. Sedangkan Teuku adalah gelar kebangsawanan. Teungku Fakinah merupakan salah satu ulama perempuan yang hidup sezaman dengan Cut Nyak Dien. Ia sahabat karib Cut Nyak Dien dalam berjuang. Ia juga sering menjadi penasihat spiritual Cut Nyak Dien.
Teungku Fakinah dilahirkan tahun 1856 di desa Lam Krak. Ayahnya bernama Datuk Mahmud, seorang pejabat pemerintahan kesultanan Aceh. Sedangkan ibunya bernama Teungku Muhammad Sa’at pendiri pesantren Lam Pucok. Ibunya adalah seorang ulama. Pesantren Lam Pucok menghasilkan banyak pejuang gigih Aceh, salah satunya adalah Teungku Chik Ditiro.

Teungku Fakinah tidak pernah menempuh pendidikan formal. Ia menempuh pendidikan agama di pesantren milik kedua orang tuanya. Ia belajar agama dengan tekun seperti ilmu Tauhid, tafsir, hadits, Bahasa Arab. Sedangkan ilmu keputrian ia peroleh dari ibunya.

Teungku Fakinah dibesarkan dalam kondisi perang Aceh. Semua masyarakat Aceh bersatu padu mengobarkan semangat jihad. Tua, muda, laki-laki, perempuan semuanya membenci kaphee Belanda. Terlebih lagi ketika Masjid agung Baiturrahman di kuasai Belanda, semua rakyat Aceh bersumpah untuk merebutnya kembali. Tercatat terjadi empat kali pertempuran besar dalam merebut Masjid Agung Baiturrahman.

Meskipun perempuan, tetapi Teungku Fakinah memiliki keberanian yang tidak kalah dengan laki-laki. Ia dikarunia wajah yang rupawan. Kecantikan wajahnya tidak membuat ia lupa diri. Tidak membuat ia mengeksploitasi dirinya sendiri untuk kepentingan duniawi semata. Kecantikan wajahnya ia lengkapi dengan kecantikan hatinya. Teungku Fakinah memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam kehidupannya. Ia hanya mau menerima pinangan pemuda yang taat beragama.

Ketika berusia 16 tahun, yaitu di tahun 1872, Teungku Fakinah menggenapkan separuh agamanya. Ia menikah dengan Teungku Ahmad, seorang pemuda shalih dari kampung Lam Beunot. Pasangan suami istri ini telah mewakafkan dirinya untuk berjuang bersama di jalan Alloh. Mereka mendirikan pesantren di Lam Beunot. Disamping aktif mengajar di pesantren, Teungku Ahmad juga gigih berjuang mengusir Belanda.Ia bersumpah untuk berjuang di jalan Alloh hingga syahid menjelang.

Tatkala pecah perang Aceh untuk pertama kalinya di tahun 1873, tanpa ragu Teungku Ahmad turut berjuang memenuhi panggilan jihad suci. Ia memperkuat barisan pasukan Panglima Polim (Panglima Kesultanan Aceh) . Meskipun masih pengantin baru dan mempunyai istri cantik, tetapi hal tersebut tidak menyurutkan langkahnya untuk berjihad. Ia berjuang dengan gagah berani di garis depan. Pertempuran terjadi dengan dahsyatnya. Banyak kaum mujahidin yang syahid, termasuk di dalamnya Teungku Ahmad.

Teungku Fakinah berduka sekaligus bangga memiliki suami yang syahid di jalan Alloh. Ia menjadi janda dalam usia yang sangat muda yaitu 17 tahun. Teungku Fakinah adalah tipe mukmin sejati yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk berjuang di jalan Alloh. Meskipun suaminya telah tiada, bukan berarti ia harus larut dalam kedukaan. Ia bahkan bangkit meneruskan perjuangan suaminya.

Kiprah pertamanya adalah membentuk Badan Amal bagi kaum mujahidin. Ia mengkoordinir para perempuan terutama para janda untuk bangkit berjuang. Ia berkeliling Aceh mengumpulkan sumbangan untuk menyokong perang Aceh. Berbagai sumbangan yang ia peroleh baik berupa uang, makanan, senjata, ataupun pakaian diserahkan sepenuhnya bagi kepetingan kaum mujahidin. Ia juga mendirikan dapur umum dan tenda darurat bagi mujahidin yang terluka.

Ketika Kutaraja (Banda Aceh) berhasil dikuasai Belanda, para pejuang memindahkan pertahanannya di Lam Bhouk. Tetapi pertahanan tesebut tidak bisa bertahan lama, Lam Bhouk berhasil dikuasai Belanda pada tahun 1883. Para pejuang kemudian bergerilya dan memindahkan pusat pertahanannya di Aneuk Galung. Dengan dipimpin oleh Teungku Cik Di Tiro, para pejuang berjuang mati-matian mempertahankan daerah Aneuk Galung. Dahulunya, daerah Aneuk Galung ini merupakan markas pertahanan Panglima Polim. Tetapi Panglima Polim berhasil ditangkap Belanda pada tahun 1878.

Disamping memperkuat pertahanana daerah Aneuk Galung, para pejuang juga membangun basis-basis pertahanan di daerah lain. Diantaranya yaitu daerah Lam Sa Yeun yang dipimpin oleh Tengku Mat Saleh, daerah Cut Weue yang dipimpin oleh Tengku Fakinah, daerah Bak Balee dipimpin Habib Lhong, dan daerah Bak Garot yang dipimpin oleh Tengku Amat. Tengku Amat merupakan paman Teungku Fakinah, yaitu adik dari Teungku Muhammad Sa’at.

Tengku Fakinah merupakan satu-satunya panglima perang perempuan. Ia memimpin langsung pembangunan benteng di daerah Cut Weue. Ia mengerahkan anak buahnya untuk memasang pagar, menggali parit dan memasang ranjau. Ia memiliki pasukan perempuan yang hebat, pasukan perempuan berani mati. Tercatat nama-nama hebat seperti Cutpo Fatimah Blang Preh, Nyak Raniah, Cutpo Habi, Cutpo Nyak Cut, dan Cut Puteh menjadi anggota pasukannya.

Semua pejuang menghormati Teungku Fakinah. Semua rakyat Aceh mencintai Teungku Fakinah. Ia sering menghadiri rapat koordinasi dengan para panglima perang daerah lain. Waktu itu Teungku Fakinah adalah seorang janda. Adat dan tradisi masyrakat Aceh memandang kurang baik apabila seorang perempuan menghadiri pertemuan dengan para panglima laki-laki seorang diri. Atas desakan anak buahnya, akhirnya Teungku Fakinah menikah untuk kedua kalinya dengan Teungku Nyak Badai, seorang pejuang dari Pidie.

Pernikahan mereka adalah hasil dari perjodohan kaum mujahidin. Dengan harapan, sepasang mujahidin ini semakin teguh berjuang di jalan Alloh. Akan tetapi pernikahan mereka pun tidak berumur panjang. Teungku Nyak Badai mati syahid dalam sebuah pertempuran di tahun 1896. Ketika itu Belanda di bawah pimpinan Kolonel J. W Stempoort menyerbu markas Teungku Fakinah. Teungku Nyak Badai beserta istrinya berjuang mati-matian mempertahankan benteng. Akhirnya Teungku Nyak Badai menunaikan janji sucinya untuk menjadi syuhada.

Sepeninggal suaminya, Teungku Fakinah tidak mundur setapak pun dari jalan perjuangan. Salah satu jasa besar yang tercatat oleh sejarah adalah ketika Teungku Fakinah berhasil mengembalikan Teuku Umar (suami Cut Nyak Dien) untuk insyaf berjuang kembali melawan kaphee Belanda.

Waktu itu Teuku Umar sempat membelot, memihak kepada Belanda. Ia bahkan dianugerahi gelar Johan Pahlawan oleh Belanda atas jasa-jasanya menumpas pemberontakan rakyat Aceh. Padahal sebelumnya Teuku Umar adalah seorang pejuang yang gigih melawan Belanda. Entah karena alasan taktik atau bukan, Teuku Umar sempat membelot. Rakyat Aceh sangat bersedih dengan keadaan ini, mereka kehilangan sosok Teuku Umar yang selama ini memimpin perjuangan.

Teungku Fakinah tak cukup hanya bersedih, ia menyusun taktik agar Teuku Umur dapat insyaf kembali, berjuang bersama rakyat kembali. Ia mengirimkan pesan kepada Cut Nyak Dien yang merupakan sahabatnya. Ia berkata, sampaikan kepada Teuku Umar untuk membawa pasukannya ke Cut Weue, untuk memerangi kaum janda dan anak-anak. Cut Nyak Dien terdiam mendapat pesan tersebut. Hatinya tertohok. Ia malu mendapati suaminya berpihak kepada musuh, terlebih lagi memerangi janda dan anak-anak bangsanya sendiri. Kemudian Cut Nyak Dien mempengaruhi suaminya agar kembali ke pangkuan ibu pertiwi, kembali berjuang bersama rakyat Aceh.

 Akhirnya Teuku Umur tersadar, ia menyadari kekeliruannya. Ia merasa sangat malu mendapati pesan dari Teungku Fakinah untuk memerangi janda dan anak-anak. Teuku Umar pun kembali berjuang bersama rakyat Aceh. Ia melarikan 800 pucuk senapan beserta berkarung-karung makanan. Kemudian senapan-senapan tersebut ia bagikan kepada kaum mujahidin. Belanda merasa tertipu, merasa dipermainkan oleh Teuku Umur. Sejak saat itu Teuku Umar dan Cut Nyak Dien menjadi buronan nomor wahid. Hingga akhir hayatnya Teuku Umar dan Cut Nyak Dien tetap setia membela ibu pertiwi.

Sesudah jatuhnya markas pertahanannya, Teungku Fakinah berpindah-pindah tempat. Mula-mula ia tinggal di Lammeulo. Setelah itu ia tinggal di Blang Peuneuleun (Pucok Peuneuleun). Daerah ini merupakan daerah yang sangat indah dan lahan yang sangat subur, sehingga ditempat ini dijadikan perkampungan dan sekaligus membuka lahan pertanian. Teungku Fakinah pun sempat membuka pesantren di daerah ini. Akan tetapi pada tahun 1899 menyerbu tempat ini dan memporak-porandakan semua bangunan yang ada. Teungku Fakinah berhasil lolos dari pengepungan.

Sejak saat itu Teungku Fakinah tidak pernah membuat markas pertahanan lagi. Ia mengobarkan perang gerilya bersama perempuan hebat lainnya seperti Pocut Awan (ibunda Panglima Polim), Pocut Lam Gugob (kerabat sultan),dll.

 Mereka mengarungi hutan belantara, berpindah-pindah sampai kepegunungan Pasai, Gayo Luas, serta tempat-tempat lain disekitar Laut Tawar. Sekalipun Teungku Fakinah tidak lagi memegang peranan sebagai Panglima Perang, namun beliau tetap aktif dalam bidang pendidikan agama, terutama mengajar wanita-wanita yang turut bergerilya. Ia mengobarkan semangat jihad mujahidah0mujahidah hebat tersebut.

Setelah Panglima Polim dan Kesultanan Aceh menyerah, Teungku Fakinah kembali ke kampung halamannya pada tanggal 21 Mei 1910. Dia kembali ke kampung halamannya di desa lam Kraak dalam usia 54 tahun. Kemudian ia pun mendirikan pesantren pada tahun 1911. Teungku Fakinah sangat dihormati dan dicintai rakyat Aceh. Banyak tokoh masyarakat yang menyumbangkan dana untuk pembangunan pesantren tersebut. Teungku Fakinah pun mengisi hari tuanya dengan mengajar agama di pesantren. Murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru Aceh.

Teungku Fakinah mempunyai cita-cita untuk berangkat haji ke tanah suci. Ia sudah berumur tetapi niatnya belum terlaksana. Di tahun 1914 ia bertekad untuk berangkat haji. Tetapi ia seorang janda, dan tidak diperkenankan seorang janda untuk berangkat haji sendiri. Akhirnya ia memutuskan untuk menikah lagi agar ada muhrim yang menemani perjalanannya naik haji. Teungku Fakinah menikah lagi dengan Ibrahim. Akhirnya di tahun 1915 mereka menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Waktu itu Teungku Fakinah sudah berusia 58 tahun.

Selesai menunaikan ibadah haji, Teungku Fakinah memutuskan tinggal sementara di Mekkah untuk memperdalam ilmu agama. Di tahun keempat di tanah suci,sang suami yaitu Ibrahim meninggal dunia. Maka pada tahun 1918 Teungku Fakinah memutuskan untuk kembali ke Aceh.

Sesampainya di Aceh, ia memimpin kembali pesantren di Lam Krak. Ia mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada para muridnya. Ia mengabdikan dirinya di pesantren hingga ajal menjemputnya. Teungku Fakinah menghembuskan nafas terakhir pada tahun 1938 di usianya yang ke-75 . Aceh berduka.

 Seorang ulama perempuan sekaligus panglima perang telah tutup usia. Teungku Fakinah telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengibarkan panji-panji Islam. Meski namanya tak pernah tercatat dalam buku-buku sejarah Indonesia, tetapi namanya tetap abadi di sisi pencipta alam semesta. Salam penuh takzim untuk sang ulama panglima perang…….

Merenungi kembali mozaik sejarah…Kita tidak pernah menemukan materi perang Aceh dalam buku-buku pelajaran sejarah dari SD,SMP,SMA….padahal perang Aceh adalah perang terhebat dan terlama di nusantara. Bahkan Belanda pun mengakuinya sebagai perang paling pahit, melebihi pahitnya perang Napoleon…..Kuburan Berkhoff menjadi saksi bisu kehebatan rakyat Aceh….Aceh menjadi mimpi buruk bagi 2200 serdadu Belanda yang mati dalam perang ini…. 

Salatiga, 9 Oktober 2012