Kamis, 31 Januari 2013

Perang Cumbok, realita kelam Aceh

Oleh Boy NA

Esakalasi Konflik Aceh di Tahun 43

”…rupanya agak tegang udara di Aceh zaman peralihan itu. Terutama diantara hulubalang dengan PUSA. Pusa berusaha mendekati Jepang untuk kepentingannya, hulubalangpun demikian pula. Pertentangan diantara kaum bangsawan dengan ulama rupanya telah bertambah naik.” (Lihat Hamka, op.cit., hlm.210-211.)

Statemen di atas merupakan kesaksian Hamka tentang keadaan politik di Aceh pada akhir tahun 1942 seperti yang dituliskan Dalam buku Sejarah Aceh yang dikarang T. M. Isa Sulaiman. Dalam buku tersebut juga dijelaskan pemicu konflik tersebut diakibatkan oleh adanya rivalitas perebutan kekuasaan antara kedua belah pihak. Sebaliknya, pemerintah militer Jepang selaku pemegang kedaulatan tertinggi secara cerdik memanfaatkan persaingan antara dua kelompok elit masyarakat ini untuk memperoleh kemenangan dalam perang Asia Timur Raya.

Jepang selaku kekuatan baru yang muncul di Asia Timur mampu merebut semenanjung Malaya yang dikuasai Inggris. Sejak diberlakukannya restorasi Meiji di Jepang oleh kaisar Hirohito, negeri Samurai tersebut terus mengadakan ekspansi wilayahnya ke arah barat Asia sehingga berbenturan dengan kekuatan barat yang telah berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil Asia.

Jepang yang berhasil mempropaganda masyarakat Asia termasuk Aceh sebagai saudara tua dari Asia dan penyelamat bangsa Asia ini, berhasil mengambil hati tokoh-tokoh masyarakat dan politik Aceh termasuk dari golongan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dan para hulubalang Aceh. Para perantau Sumatera, khususnya Aceh di Semenanjung Malaya yang sempat menyaksikan keajaiban dan keberanian serdadu Jepang itu segera terpikat oleh kehebatan pasukan samurai tersebut.

Satu diantaranya adalah Sayid Abu Bakar (1915-1985), mantan guru Madrasah Perguruan Islam Seulimum yang sejak 1941 telah pindah menjadi guru agama pada sebuah Madrasah di Yan, Keudah. Ia terus berusaha melakukan kontak dengan penguasa militer Jepang untuk bergabung dengan pasukan mereka yang akan menyerbu Aceh. (Sayid Abu Bakar (Alaydrus adalah keturunan bangsawan Arab yang lahir di Kampung Jawa, Kutaraja pada tahun 1915. Ia adalah kawan dekat Ali Hasjmy sewaktu belajar di Madrasah Sumatera Thawalib, Sumatera Barat.)

Sayid Abu Bakar yang berhasil melakukan kontak dengan pemerintah Militer Jepang, melalui Mayor Fujiwara yang mempunyai misi khusus membina kolone kelima F.Kikan (Fujiwara Kikan) di Taiping, ditunjuk oleh Jepang untuk merekrut perantau Aceh lainnya dan juga perantau Sumatera agar mau bergabung dengan kolone yang dipimpinnya.

Para perantau yang berhasil direkrut Sayid Abu Bakar tersebut, kemudian mendapat latihan sebagai agen rahasia di bawah bimbingan Masubuchi Sahei (Ia adalah bekas pedagang yang telah menetap di Sumatera dan Semenanjung Malaya +20 tahun, karena itu amat fasih berbahasa Melayu dan malah telah menulis kamus Jepang-Melayu. Pada tanggal 20 September 1941 ia bergabung dengan Kolone kelima F.Kikan itu. Ibid., hlm.20. Selama kependudukan Jepang di Aceh ia memainkan peran yang cukup penting berkat berbagai posisi yang ia duduki).

Berkat hubungan yang baik antara perantau dengan Jepang inilah dan dibantu oleh masyarakat Aceh yang sudah tidak percaya lagi pada pemerintah Hindia Belanda tersebut, akhirnya pasukan Samurai berhasil menyusup ke Aceh dan memukul mundur pasukan Belanda ke daerah pedalaman.

Sejak saat itu, Aceh memasuki babak baru di bawah kependudukan Jepang dan berhasil mengusir pemerintah kolonial Belanda serta membubarkan Zelfbestuurder (Pemerintahan Swapraja) bentukan Hindia Belanda

Kemenangan para perantau Aceh yang didominasi oleh para ulama dan sebagian hulubalang ini, dalam menyusupkan serdadu Jepang ke tanah air serta mengusir para penjajah Belanda, tidak mendapat dukungan penuh dari mayoritas Zelfbestuurder (Pemerintahan Swapraja) bentukan Hindia Belanda tersebut.

Zelfbestuurder yang dijabat oleh golongan hulubalang ini merasa panik karena dengan kemenangan Jepang itu, posisi mereka sebagai raja-raja kecil di daerah akan ikut terenggut. Apalagi, Jepang yang masuk ke Aceh di dukung penuh oleh para ulama, rival politik para hulubalang di Aceh.

Sementara itu, penguasa militer Jepang yang memegang otorisasi penuh di Aceh tidak mau ambil pusing dengan perselisihan kedua elit politik tersebut. Mereka malah memanfaatkan keadaan ini untuk mengambil hati kedua golongan guna memenangkan perang Asia Timur Raya.

M. Isa Sulaiman menuliskan, dalam penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, Pemerintah Militer memberlakukan kebijaksanaan pemerintahan dengan tidak mempergunakan elit lokal secara tidak langsung. Beberapa kaum bangsawan yang bersimpati kepada F.Kikan seperti T. Nyak Arief, T. M. Ali Panglima Polem, T. Cut Hasan (1900-1946) dan T. Ahmad Jeunieb dipercayakan pada guncyo (kepala wilayah) yang sebelumnya konteler tersebut dipegang oleh Belanda.

Dikarenakan jumlah guntyo mencapai 21 buah, maka para hulubalang yang berpengaruh seperti T. M. Hasan Glumpang Payong, T. M. Daud Cumbok, T. Chik Mahmud Meureudu dan T. Chik M. Daudsyah dipromosikan menjadi guntyo di daerahnya. Hanya Sayid Abu Bakar dan Marah Husein, aktivis Muhammadyah di Tapak Tuan yang memperoleh jabatan guntyo dari F. Kikan non hulubalang. Mereka masing-masing menjadi guntyo di Bakongan dan Singkil. Sementara hulubalang yang tidak mendapat kedudukan direstorasi kembali pada kedudukan semula dengan sebutan son tyo.

Posisi hulubalang dalam jabatan barunya guntyo dan son tyo tidak lebih sebagai instrumen kekuasaan militer yang oleh T. Idris, mantan gun tyo Bakongan, 1943-1944 dan guntyo Bireuen 1945-Maret 1946 diklasifikasikannya sebagai ”guntyo sebagai mandor I dan Sun tyo sebagai mandor II”.

Para hulubalang yang telah mendapatkan promosi sebagai guntyo dalam pendudukan Jepang tersebut, dikemudian harinya memperolok-olok para ulama yang tergabung dalam F. Kikan. Mereka menertawakan para ulama tersebut karena belum diangkat sebagai pegawai administrasi militer. Padahal para aktivis F. Kikan tersebut sudah sangat berjasa dan bekerja keras untuk Jepang. (Hasan Saleh, op.cit, hlm. 28).

Bahkan, T.M. Hasan Glumpang Payong, T. Cut Hasan dan T. M. Daud Cumbok sempat memberikan laporan pada pihak kempetai (polisi rahasia) yang bersifat memojokkan pemimpin-pemimpin PUSA. Akibatnya, beberapa pimpinan ulama ini seperti Tgk. M. Daud Beureueh, Tgk. A. Wahab Seulimum, T. M. Amin, Tgk. A. Husin Al Mujahid dan Abu Bakar Adamy sempat diintrogasi oleh kempetai, walaupun mereka dapat melakukan pembelaan diri.

”Dalam situasi penuh kecurigaan, hubungan akrab yang terjalin oleh seseorang atau kelompok dengan Jepang telah ditanggapi dengan penuh kecurigaan oleh lawan mereka. Konon lagi bila keluar sesuatu kebijakan atau tindakan Penguasa Militer yang merugikan kepentingan mereka. Sebab menurut pandangan pihak yang dirugikan lahirnya kebijakan itu tidak terlepas dari lobi lawan mereka,” sebut Isa Sulaiman dalam bukunya, Sejarah Aceh halaman 102.

Ketegangan antara dua kelompok bersaing itu semakin terpicu saat Penguasa Militer mencopoti kekuasaan kepolisian dan kehakiman hulubalang melalui pembentukan pengadilan negeri (ku hoin) dan pengadilan agama (kadhi tyo) di tiap wilayah hulubalang pada permulaan tahun 1944.

Isa Sulaiman menyebutkan, kebijaksanaan yang merugikan posisi mereka itu sudah dapat dipastikan mendapat reaksi keras dari golongan hulubalang. T. Nyak Arief, ketua Aceh Syu Sangi Kai dan T. M. Hasan Glumpang Payong, waktu itu memegang jabatan guntyo Kutaraja/wakil ketua Aceh Syu Sangi Kai melakukan protes keras kepada Pemerintah Militer (Gunseikanbu).

Reaksi dari para hulubalang juga terjadi di level bawah. Pengadilan yang sudah dikukuhkan oleh Jepang dengan Ibnu Saadan menjabat sebagai hakim pada Tiho Hoin Sigli (1943-1944), diadukan oleh T. M. Daud Cumbok dan T. M. Hasan Glumpang Payong kepada kempetai Sigli. Ia dituduhkan telah mempunyai hubungan erat dengan konteler Lameulo. Akibatnya, Ibnu Saadan ditahan (1944) dan baru dapat lolos dari hukuman setelah adanya campur tangan dari Tgk. M. Daud Beureueh.

Rasa tidak puas terbesar para hulubalang ini, tentunya ditujukan penuh kepada pemerintah militer Jepang karena seluruh kebijaksanaan yang diterapkan sangat merugikan pihak mereka. Sehingga pada tahun 1944, para hulubalang yang sakit hati pada pemerintah Nippon itu meleburkan diri dalam gerakan bawah tanah yang diorganisir oleh O. Treffers (mantan assisten residen Aceh Besar).

Akhir tahun 1944, banyak hulubalang yang ditangkap pihak kempetai akibat adanya laporan dari lawan politik mereka. Hulubalang yang ditangkap ini, sepenuhnya terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah. Mereka yang mempunyai jabatan dalam struktur administratif pemerintahan militer digantikan karena dianggap sebagai pengkhianat dan kemudian digantikan oleh kerabatnya yang loyal dengan kelompok radikal.

Pergeseran Kekuasaan dan Kekalahan Jepang Atas Sekutu

Kekalahan Jepang atas sekutu dengan di bom atomnya kota Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika Serikat, baru diketahui secara resmi oleh masyarakat Aceh pada tanggal 25 Agustus 1945. Peristiwa kekalahan Jepang ini, tentu saja sangat berpengaruh pada para pemimpin Aceh yang telah terlalu jauh menjalin hubungan dan bekerjasama dengan Jepang.

Sebaliknya, hulubalang yang sangat dirugikan akibat kebijakan-kebijakan pemerintahan militer Jepang tersebut, menyambut baik kekalahan negeri matahari terbit itu dengan membentuk Comite van Ontvangst (komite penyambutan) pada Belanda yang akan kembali memerintah Aceh. Suatu hal yang sangat menjatuhkan kredibilitas orang Aceh tentunya, karena terlalu senang dengan kemenangan kekuatan asing yang sebenarnya adalah kaum penjajah.

Faktor Utama Perpecahan Ulama dan Uleebalang

Uleebalang yang dipercaya sebagai zelfbestuurder pada masa kesultanan merupakan ’raja-raja’ kecil yang absolut. Mereka memegang kekuasaan turun temurun atas nama sultan. Namun semakin lama kekuasaan yang dipegang oleh uleebalang ini, ikatan antaranya menjadi lemah dan kemudian memutuskan serta memisahkan diri dari pemerintahan sultan secara diam-diam.

Pemisahan diri ini tentu saja memudahkan para penjajah yang memasuki Aceh untuk mempengaruhi raja-raja kecil tersebut. Uleebalang yang sebelumnya bahu membahu dengan ulama memerangi penjajah Belanda, lambat laun berubah dan memihak serta setia kepada Belanda. Sementara ulama tidak pernah menerima ”kekuasaan Belanda” itu.

Karenanya, tidak mengherankan apabila pada bulan Maret 1942 ketika terjadi pemberontakan terhadap Belanda dan ulama yang bergabung dalam PUSA mengijinkan serta bekerjasama dengan Jepang untuk memasuki Aceh. Faktor tersebut terus memperuncing hubungan kedua belah pihak. Ulama akhirnya mengambil keputusan untuk memerangi uleebalang dengan maksud menghapus sistem pemerintahan feodal bersama dengan kekuasaan Belanda apabila perang pasifik meletus. (El Ibrahimy, Peranan Tgk. M. Daud Beureueh dalam Pergolakan Aceh).

Kabar tentang adanya Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang sampai ke Aceh pada bulan September dengan perantaraan kawat yang dikirim oleh A.K Gani, Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera di Palembang, mendapat sambutan dingin dari beberapa uleebalang. Mereka malah mencemooh proklamasi tersebut dan bermaksud menggagalkannya. (Abdullah Arif dalam tulisannya Di Sekitar Pengkhianatan Cumbok).

Tindakan yang dilakukan para uleebalang tersebut akhirnya memunculkan satu kesepakatan final bagi para ulama untuk memerangi zelfbestuurder tersebut secara terang-terangan. Dimulai pada saat Jepang menyerahkan senjatanya, tanggal 4 Desember 1946 di Sigli. Dalam peristiwa tersebut terjadi pertumpahan darah dalam memperebutkan senjata Jepang itu, antara ulama dan uleebalang.

Walaupun pertempuran itu dapat dipadamkan oleh pemerintah daerah Aceh yang sudah dibentuk sejak Indonesia merdeka pada tanggal 6 Desember, akan tetapi persengketaan antara kedua belah pihak terus berlanjut. Peristiwa ini, kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Cumbok.

Kronologis Perang Cumbok

El ibrahimy dalam kesaksiannya menuliskan bahwasanya di Pidie yang menjadi pusat kekuatan dari dua golongan yang berbeda, sering kali terjadi benturan-benturan antar uleebalang dengan ulama. Setelah Jepang kalah pada bulan Agustus 1945, seratus lebih uleebalang yang memerintah Aceh berabad-abad secara absolut monarki tipe kecil di bawah lindungan Belanda ikut terseret dalam kekalahan.

November 1945, suhu politik di daerah ini mulai panas. Faktor utama penyebabnya adalah T. Daud Cumbok yang tak dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru akibat timbulnya proklamasi kemerdekaan Indonesia. T. Daud Cumbok cs menghendaki agar Jepang menyerahkan senjatanya kepada mereka dengan pertimbangan karena Jepang adalah sahabat mereka. Selain itu, pada saat Jepang masih berkuasa mereka pernah menjanjikan akan memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Hal inilah yang menginspirasikan T. Daud Cumbok untuk mengambil senjata Jepang sebagai itikad baik mereka dalam membantu perjuangan Indonesia.

Sementara T. Nyak Arief selaku Residen Aceh merasa gusar jikalau senjata tersebut akan jatuh ke tangan rakyat karena kondisi keamanan masih belum stabil. Ia mengirimkan utusannya ke Sigli untuk menemui Jepang dan meminta mereka, menyerahkan senjatanya ke pihak Tentara Keamanan Rakyat (TKR) selaku tentara resmi dari pemerintah Indonesia.

Pihak Jepang yang ditemui oleh utusan residen Aceh itu merasa keberatan melakukan penyerahan senjata secara cepat. Mereka atas dasar intruksi Iino, bekas Gubernur Pemerintahan Militer Jepang di Aceh, akan terus memelihara pertentangan antara ulama dan uleebalang. Bahkan harus lebih dipertajam dengan maksud untuk mengalihkan perhatian dan tekanan orang-orang Aceh atas tentara Jepang yang dikonsentrasikan di Banda Aceh, guna diberangkatkan kembali ke Jepang. Atas dasar intruksi Iino im Muramoto membuat kalkulasi bahwa perimbangan kekuatan (balance of power) antara dua golongan yang bersaing itu harus dipelihara.

Karenanya, kekuatan uleebalang yang menurut kalkulasi Muramoto pada akhir November agak lemah, secara rahasia ia memerintahkan untuk melakukan penyerahan selusin senjata pada pihak tersebut yang diterima oleh T. Tjut Hasan, Gunco Sigli. Disisi lain, Muramoto berjanji secara terpisah kepada masing-masing pihak nanti pada tanggal 4 Desember senjata-senjata Jepang baru akan diserahkan sepenuhnya.

Disini terlihat jelas adanya politik perpecah belahan yang dilakukan pasukan Nippon terhadap putra-putra Aceh. Pemerintah Militer Jepang yang jelas telah kalah dalam perang pasifik, tetap menginginkan daerah Aceh berada dalam kemelut. Namun, sangat disayangkan pada saat itu, tokoh-tokoh elit politik Aceh yang memimpin rakyat tidak bisa mahfum dengan politik dan strategi tentara Jepang dalam melemahkan isu-isu kemerdekaan Indonesia dan wujud kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Politik devide et empera yang dilakukan oleh Jepang, benar-benar telah menjebak kedua belah pihak untuk bertikai, terutama sekali kaum uleebalang yang haus akan kekuasaan memimpin kembali nanggroe merdeka menurut versi tersendiri.

Minggu akhir bulan November, ketegangan di Kabupaten Pidie memuncak. Kira-kira 200 orang yang bersenjata dari pengikut uleebalang Pidie, T. Pakeh Sulaiman, secara diam-diam pada tengah malam memasuki kota Sigli. Semua jalan masuk ke kota tersebut diblokade dan semua tempat yang strategis di duduki. Dari Lam Meulo datang pula massa lainnya yang tergabung dalam Tentara Cap Sauh di bawah pimpinan T. Abdullah Titeu dan Tentara Cap Tumbak di bawah pimpinan T. Sarong Peudada.

Menurut sebagian penulis, tulis El Ibrahimy, tujuan uleebalang memasuki kota Sigli tersebut guna mendahului kaum ulama dan PRI menguasai senjata yang akan diserahkan oleh Jepang pada tanggal 4 Desember. Akan tetapi pada kenyataannya, perebutan senjata Jepang tersebut dilakukan untuk kepentingan perjuangan mereka sesuai dengan rencana yang telah disusun.

Dilain pihak, PRI dibawah pimpinan Hasan Ali dan Husin Sab mengerahkan pengikut-pengikutnya bersama dengan ribuan rakyat dari Garot dan Gigieng untuk mengepung kota Sigli. Begitu pula dengan keresidenan Aceh. T. Nyak Arif mengirimkan Sjamaun Gaharu dengan satu pasukan kecil dari TKR untuk mencoba mencari penyelesaian. Turut pula dalam peristiwa itu T. Panglima Polem Mohd. Ali selaku Wakil Residen yang mewakili Pemerintah Daerah Aceh dan T. Djohan Meuraxa selaku Wakil Gubernur Sumatera. Mereka berhasil mendesak pasukan Jepang untuk menyerahkan senjatanya kepada pihak berwajib (dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia). Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Nippon akhirnya menyerahkan seluruh senjata mereka kepada TKR dengan beberapa perjanjian, antaranya jaminan keselamatan nyawa dan harta benda tentara Jepang, berada sepenuhnya ditangan pemerintah Indonesia.

Sebelum perjanjian ini ditandatangani, pihak TKR melalui Sjamaun Gaharu pada pukul 03.00 WIB menjumpai pimpinan-pimpinan PRI/PUSA yang berada ditengah ribuan rakyat diluar kota Sigli. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk membujuk mereka agar mau membubarkan diri karena persoalan senjata Jepang yang menjadi pemicu konflik telah diselesaikan oleh pihak pemerintah yang sah. Dengan kata lain, ketakutan mereka akan jatuhnya senjata Jepang ke tangan para uleebalang tidak akan terjadi lagi.

Namun ditengah mediasi yang dilakukan pihak TKR ini, tiba-tiba dari arah uleebalang berkumpul yakni di depan rumah T. Pakeh Sulaiman, uleebalang Pidie terdengar letusan senjata sebanyak tiga kali yang diarahkan ke arah massa demonstran. Keadaan menjadi panas kembali. Banyak rakyat yang berada diluar kota Sigli tertembak.

Pihak TKR yang berada di barisan rakyat demonstran dan bersenjata akhirnya membalas tembakan tersebut. Peperangan yang dihindari pun terjadi. Sebanyak 50 orang kurang lebih menjadi korban. Dominannya dari pihak PRI dan PUSA Padang Tiji dan T. Rizal salah satu anggota TKR yang berada di kerumunan demonstran PRI serta ajudan Sjamaun Gaharu.

Guna mengantisipasi perlawanan pihak uleebalang dan melakukan perdamaian, Residen Aceh kembali mengirimkan satu detasemen TKR dari Kutaraja. Akan tetapi, tugas tentara TKR ini terbendung oleh sikap rakyat di Seulimum yang melucuti senjata mereka. Residen Aceh tak kehilangan akal. Ia kembali mengirimkan Polisi Istimewa ke Sigli bersama dengan T. Hamid Anwar, Ka.Staf TKR di Kutaraja. Pengerahan polisi rahasia ini berhasil menenangkan suasana. Pihak yang bersangkutan bersedia berembuk dan pada tanggal 6 Desember 1945 dicapailah sebuah keputusan untuk mengadakan gencatan senjata.

Guna mengantisipasi perlawanan pihak uleebalang dan melakukan perdamaian, Residen Aceh kembali mengirimkan satu detasemen TKR dari Kutaraja. Akan tetapi, tugas tentara TKR ini terbendung oleh sikap rakyat di Seulimum yang melucuti senjata mereka. Residen Aceh tak kehilangan akal. Ia kembali mengirimkan Polisi Istimewa ke Sigli bersama dengan T. Hamid Anwar, Ka.Staf TKR di Kutaraja. Pengerahan polisi rahasia ini berhasil menenangkan suasana. Pihak yang bersangkutan bersedia berembuk dan pada tanggal 6 Desember 1945 dicapailah sebuah keputusan untuk mengadakan gencatan senjata

Klimaks Pertentangan Uleebalang dan Non Uleebalang

Peristiwa Sigli telah memperluas jurang pertentangan antara kaum ulama dan uleebalang. Ini merupakan tetcase bagi masing-masing pihak. Dari peristiwa tersebut pihak ulama atau PUSA mengambil pelajaran yang berharga. Guna menghadapi uleebalang yang lebih lengkap persenjataannya tidak cukup dengan jumlah massa yang banyak dan pekikan Allahu Akbar semata. Mereka harus mempunyai senjata yang lengkap dan pergerakan yang teroganisir dengan baik.

Sedangkan pihak uleebalang menilai peristiwa Sigli merupakan ancaman yang serius bagi kedudukan mereka. Karena itu untuk mengatasi hal tersebut mereka tidak boleh merasa berbelas kasih kepada lawan. Dengan kata lain, pihak uleebalang merasa perlu mengambil tindakan tegas dan keras dengan membentuk komando yang kuat dan tidak kenal kompromi dalam menghadapi lawan. Guna memuluskan rencana mereka tersebut, pihak uleebalang mengutus beberapa perwakilannya untuk menemui dan meminta bantuan Belanda di Medan. (Anthony Reid, Op.cit,.hal 200).

Pihak uleebalang juga mengangkat T. Daud Cumbok selaku pucuk pimpinan yang kemudian melakukan machtsvertoon (unjuk kekuatan) secara besar-besaran dengan menembaki rumah-rumah penduduk menggunakan karaben, metraliur dan mortir. Selain itu, mereka juga mulai melakukan penangkapan-penangkapan dan pembunuhan terhadap pimpinan organisasi pemuda.

Berada dibawah pimpinan T. Daud Cumbok pergerakan uleebalang semakin ganas. Dalam pemahamannya Cumbok tidak mengenal falsafah diplomasi. Ia hanya mengenal cara diktator dan tirani dengan unjuk kekuatan melalui senjata. Atas dasar inilah, T. Daud Cumbok menolak bertemu dengan Gubernur Sumatera, Mr. T. Mohd. Hasan yang sengaja datang ke Aceh. Ia hanya mengirimkan adiknya, T. Mahmud untuk menyampaikan bahwa kejadian-kejadian dan sengketa yang terjadi di Aceh merupakan kesalahan PUSA yang telah mengepung Lam Meulo.

”Pada tanggal 16 Desember 1945, mereka mulai mempergunakan senjata berat. Dengan senjata-senjata ini mereka menembaki kampung-kampung disekitar Lueng Putu dan Meutareum. Disusul pula dengan pembakaran-pembakaran,” jelas Mr. S. M. Amin dalam bukunya, Kenang-kenangan Masa Lampau halaman 135.

Peristiwa ini menggerakkan Tgk. M. Daud Beureuh untuk melaporkan tindakan Cumbok ke Forum Komite Nasional Daerah Aceh yang sama sekali tidak ditanggapi. Tidak habis akal, Ia juga mengadukan tindakan Cumbok tersebut kepada T.T Mohd Said, Assisten Residen Sigli. Namun setelah melakukan penyelidikan secara langsung ke Lam Meulo, T.T. Mohd. Said mengatakan penembakan itu merupakan ketidaksengajaan yang disebabkan efek dari sebuah latihan.

Keterangan dari Assisten Residen Sigli ini, tentu saja menimbulkan kecurigaan dari rakyat akan keberpihakan dirinya pada kaum uleebalang. Karenanya, T.T. Mohd. Said menjadi target kemarahan rakyat sama dengan T. Tjut Hasan Guncyo Sigli yang telah menyediakan rumahnya menjadi kubu pertahanan barisan uleebalang.

Tindakan uleebalang tidak hanya sekedar memborbardir perkampungan penduduk. Mereka kembali melakukan aksi dengan melakukan pembakaran rumah sekolah agama di Titeue dan kantor kehakiman di bebarapa tempat pada tanggal 20 Desember 1945.

Serangan Umum ke Cumbok

Pihak ulama dan rakyat non uleebalang yang terdiri dari PUSA, Pemuda PUSA dan PRI serta yang lainnya mengkonsolidasikan diri untuk membentuk organisasi perlawanan atas aksi-aksi anarkis pihak uleebalang tersebut. Mereka membentuk suatu badan perjuangan rakyat yang dinamakan Pusat Markas Barisan Rakyat yang berkedudukan di Garot di bawah pimpinan Hasan Ali dan dibantu oleh T. A Hasan. Selain itu, mereka juga mendirikan cabang-cabang di Glee Gapui dibawah pimpinan Hasballah Daud dan di Gigieng di bawah pimpinan Mohd. Husin.

Dengan terbentuknya badan perjuangan rakyat ini, peperangan antara kedua belah pihak telah berada di puncak klimaksnya. Pihak uleebalang yang sama sekali tidak memperdulikan akan berdirinya badan perjuangan rakyat tersebut, pada tanggal 30 Desember 1945 kembali menyerang Meutareum dan kampung-kampung sekitarnya seperti Ilot, Lagang, Lala dan Pulo Kameng. Tentara Cumbok merajalela, merampok dan merampas berbagai macam harta kepunyaan rakyat serta melakukan pembakaran-pembakaran rumah rakyat.

Tindakan anarkis pihak uleebalang kali ini, kembali dilaporkan Tgk. M. Daud Beuereueh ke Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh sembari membawakan bukti-bukti fisik berupa pecahan mortir dari lokasi Tempat Kejadian Pekara (TKP). Melihat bukti-bukti ini, pihak KNID Aceh mengadakan rapat umum dan menemui jalan buntu hingga waktu siang hari. Melihat rapat yang terkesan berjalan di tempat ini, Sjamaun Gaharu berinisiatif untuk mengalihkan persoalan ini ke Markas Umum Daerah Aceh.

Di dalam rapat Markas Umum Daerah Aceh akhirnya didapar sebuah kesimpulan bahwa perusuh-perusuh yang bertindak di luar Pidie yang berpusat di Cumbok merupakan pengkhianat tanah air (musuh negara RI). Sementara di rapat kedua MUD Aceh kembali mengambil kesimpulan bahwa kekacauan di Luhak Pidie dilakukan oleh NICA dan kaki tangannya.

Resolusi yang diambil waktu itu adalah berupa ultimatum agar Cumbok menyerah atau digempur sekira pukul 12.00 pada tanggal 10 Januari 1946. Namun, ultimatum tersebut sama sekali tidak digubris pihak Cumbok. Karena pasukan Cumbok begitu keras kepala akhirnya pihak pemerintah mengadakan serangan umum secara besar-besaran di Lam Meulo yang dibantu oleh rakyat.

Sementara itu rakyat yang telah lebih dahulu mengambil tindakan pada tanggal 7 Januari 1946 telah menyerang Lueng Putu dengan melancarkan serangan dari tiga jurusan. Dari selatan, massa rakyat dipimpin oleh Nyak Hasan dibantu oleh Tgk. Ahmad Abdullah, T. H. Husin, T. H Zainal Abidin dan Peutua Ma’ Ali. Dari timur menyusuri rel kereta api serangan dipimpin oleh pasukan-pasukan raja Uma, Muhd Tahir dan Said Umar. Sementara dari Timur menyusuri jalan raya serangan ke Cumbok dilancarkan oleh pasukan-pasukan A. Gani Mutiara/Sjamaun Gaharu dan Nyak Ishak/Daud Hasan.

Lueng Putu berhasil dilumpuhkan setelah penyerangan dari segala jurusan dan memakan korban, termasuk T. Laksmana Umar yang terbunuh serta salah satu panglima Hasballah Hajji, dari pasukan PUSA tertembak di kepala tapi masih bisa diselamatkan. Tanggal 10 Januari 1946, pasukan rakyat berhasil memasuki Teupin Raya tanpa perlawanan berarti. Satu hari kemudian, barisan rakyat kembali menyerang Beureuneun dan mampu mematahkan pertahanan uleebalang yang berada di Blang Malu.

Tepat pada tanggal 12 Januari 1946, sesuai dengan ultimatum yang diberikan MUD Aceh, pihak rakyat bersama TKR dan PUSA melakukan serangan umum ke Lam Meulo selaku benteng pertahanan terkuat pihak uleebalang. Pertempuran besar-besaran itu telah banyak memakan korban. Barisan rakyat baru berhasil memasuki Kota Lam Meulo pada tanggal 13 Januari 1946 dan menyaksikan bekas-bekas pertempuran dan perlawanan hebat di dalamnya. Halaman rumah T. M. Daud Cumbok yang menjadi basis pertahanan uleebalang, porak poranda akibat hantaman artileri.

Meskipun kota Lam Meulo dapat diduduki, namun Panglima Cumbok dan staf-stafnya berhasil melarikan diri. Ia baru berhasil ditangkap pada tanggal 16 Januari 1946 di atas Gunung Seulawah Jantan oleh barisan rakyat dari Seulimum pimpinan Tgk. Ahmad Abdullah. Sementara T. Muda Dalam, uleebalang Bambi dan Unoe yang terlibat dalam pemberontakan tersebut melarikan diri ke rumah Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba untuk memohon perlindungan. Akan tetapi oleh Tgk H. Abdullah Ujong Rimba ia diserahkan kepada rakyat.

Atas keberhasilan penangkapan pimpinan-pimpinan Cumbok tersebut, runtuhlah kekuasaan uleebalang yang memerintah Aceh selama berabad-abad dibawah lindungan Belanda. Setelah uleebalang diseluruh Aceh ditumbangkan, landschap-landschap yang tadinya diperintah oleh uleebalang atas dasar sistem absolut monarki tipe kecil dibawah lindungan Belanda, dirombak menjadi kecamatan-kecamatan yang diperintah oleh camat atas dasar sistem demokrasi yang bersumber kepada UUD 1945.

Nama-nama landschap dan kota-kotanya juga ditukar. Landschap Cumbok misalnya, berubah menjadi Kecamatan Sakti dan Kota Lam Meulo yang merupakan markas besar daerah Perang Cumbok berubah menjadi Kota Bakti.

Masihkah Kita Percaya Pada Kekuatan Asing?

Dari peperangan Cumbok ini, dapat kita ambil sebuah kesimpulan atas ketamakan yang tidak berbuah hasil. Sejarah telah mencatat, sikap yang terlalu bergantung pada kekuatan asing di Aceh, baik seperti yang dilakukan pihak ulama dan uleebalang sangat tidak efektif dalam melaksanakan pembangunan bangsa ke depan.

Ulama yang tergabung dalam PUSA, yang terlalu menggantungkan harapan pada Jepang untuk mengusir Belanda di Aceh, pada kemudian hari harus kembali bahu membahu bersama rakyat merebut kemerdekaannya dari tangan pasukan Nippon tersebut.

Begitu pula para uleebalang yang tergiur mempertahankan kekuasaannya selaku zelfbestuurder. Permohonan belas kasih dan bantuan Belanda sama sekali telah menghancurkan kepercayaan diri dan wibawa mereka yang sebelumnya disegani rakyat atas pengangkatan kekuasaan mereka oleh Sultan Aceh.

Hanya sedikit efek positif yang bisa diberikan ’asing’ pada kemajuan Aceh dan Indonesia. Seperti halnya guyonan yang terdengar samar-samar di telinga penulis, tidak ada makan siang gratis. Artinya apapun yang diberikan oleh asing kepada kita, pasti berujung pada permintaan yang kemudian bisa-bisa mencekik leher bangsa kita yang bermartabat. Baik untuk Aceh maupun Indonesia.

Agar terhindar dari malapetaka perpecahan yang ada antara sesama ada baiknya kita semua membuka dan mempelajari kembali lembaran-lembaran sejarah Aceh yang telah dinukilkan. Hari ini, meskipun ketakutan akan adanya perpecahan antara ulama dan uleebalang seperti tempo dulu tidak akan terjadi lagi, namun kewaspadaan pertentangan antar anak cucu Iskandar Muda yang saat ini haus akan kekuasaan dalam memimpin Aceh masa depan patut kita kontrol bersama.

Selaku rakyat Aceh yang mempunyai hak di jaman demokrasi ini, kita tidak boleh berpangku tangan dengan hanya menyaksikan episode-episode perjalanan politik, sosial dan keamanan Aceh begitu saja. Harus ada yang berani menentang apabila kebijakan-kebijakan yang dibuat itu telah menyalahi aturan. Dan apabila ada sindrom Perang Cumbok jilid II kembali mewabah, selaku masyarakat bersama pemerintah dan elit politik Aceh, setidaknya ada wadah pemersatu menuju Aceh yang lebih madani tanpa harus bertikai dan menumpahkan darah antar sesama demi agenda pembangunan Aceh ke depan ke arah yang lebih baik.

Terpenting dari semua kajian dan tulisan di atas yang ingin ditekankan adalah jangan mudah percaya pada kekuatan asing. Meskipun dijanjikan keselamatan dan kemerdekaan dalam arti apapun, kita juga harus mewaspadai adanya ‘tidak ada makan siang gratis’ dari bantuan yang akan diberikan tersebut.

Abangdetak.wordpress.com

4 komentar:

  1. Denden Pulaa Pisang, bangbang Pulaa Padee....
    Teuku Cumbok puga prang, Uleebalang Habeh Matee

    BalasHapus
  2. itulah tabiat manusia... dan sebagai generasi aceh sekarang kita juga harus tau sejarah aceh itu sendiri.. jangan dengar dari cerita orang sekarang.. tapi dengar dari cerita orang dulu yang pernah berkecimpung didalamnya

    BalasHapus
  3. Menarik memamg ..konflik yg brkepanjangan mengenai aceh..

    BalasHapus
  4. Menarik memamg ..konflik yg brkepanjangan mengenai aceh..

    BalasHapus