Kamis, 31 Januari 2013

Cut Nyak Meutia, Sang Mutiara Pendamba Syahid

Oktober 9th, 2012 by Widi Astuti
 
819de2026bf9ca8d04d3d2545f328046_perang-aceh

Perang Aceh merupakan salah satu perang terhebat di nusantara dalam melawan penjajah Belanda. Perang yang meletus di tahun 1873-1904 ini merupakan perang yang menelan korban serdadu Belanda paling banyak . Belanda sendiri mengakui bahwa perang Aceh adalah perang yang paling pahit, melebihi pahitnya pengalaman mereka dalam Perang Napoleon. Hal ini bisa dibuktikan oleh saksi bisu sejarah, yaitu kuburan Kerkhof.

Kuburan Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang terletak di luar negeri Belanda. Kuburan tentara ini adalah salah satu yang terluas di dunia. Sekitar 2.200 tentara termasuk empat orang jenderal dimakamkan di sini. Serdadu-serdadu Belanda tersebut menjadi saksi kegigihan perjuangan rakyat Aceh yang tak pernah lelah mengobarkan jihad melawan “kaphee” (si kafir) Belanda.

Bahkan Belanda sempat putus asa dalam menghadapai perlawanan rakyat Aceh, tidak tahu harus bagaimana lagi untuk memadamkannya. Atas jasa Dr. Christiaan Snouck Hurgronje lah Belanda dapat mengusai Kesultanan Aceh.

Snouck Hurgronje berpura-pura masuk Islam untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang kelemahan rakyat Aceh. Selama dua tahun Ia berbaur dengan rakyat Aceh. Dari hasil penelitiannya yang dibukukan dalam buku berjudul De Acehers (Rakyat Aceh) Ia memberi pandangan bahwa pemimpin perang sebenarnya bukanlah sultan Aceh tetapi para ulama.

Ia menyarankan agar tentara Belanda berkonsentrasi dalam menumpas dan memberangus para ulama. Setelah para ulama tertangkap dan diasingkan atau bahkan dibunuh barulah perjuangan rakyat Aceh bisa dipadamkan. Saran Snouck Hurgronje dijalankan oleh Belanda, dan ternyata berhasil dengan baik. Perang Aceh bisa dipadamkan sedikit demi sedikit.

Tak ada yang menyangkal keheroikan rakyat Aceh dalam berjuang. Bahkan ketika Sultan Aceh, Sultan Muhammad Daud Syah menyerah pada tahun 1904, rakyat Aceh tetap melanjutkan perang secara gerilya. Mereka berjuang bukan demi Sultan, tetapi karena panggilan jihad suci mempertahankan tanah air. Perang gerilya tetap berlangsung hingga tahun 1942, tahun berakhirnya penjajahan Belanda karena kedatangan tentara Jepang.

Perang Aceh telah begitu banyak melahirkan para pahlawan, tak hanya laki-laki tetapi juga pahlawan perempuan. Salah satu pahlawan tersebut adalah Teungku Fakinah, seorang ulama perempuan yang menjadi panglima perang di daerahnya.

Teungku adalah sebutan bagi alim ulama Aceh. Sedangkan Teuku adalah gelar kebangsawanan. Teungku Fakinah merupakan salah satu ulama perempuan yang hidup sezaman dengan Cut Nyak Dien. Ia sahabat karib Cut Nyak Dien dalam berjuang. Ia juga sering menjadi penasihat spiritual Cut Nyak Dien.
Teungku Fakinah dilahirkan tahun 1856 di desa Lam Krak. Ayahnya bernama Datuk Mahmud, seorang pejabat pemerintahan kesultanan Aceh. Sedangkan ibunya bernama Teungku Muhammad Sa’at pendiri pesantren Lam Pucok. Ibunya adalah seorang ulama. Pesantren Lam Pucok menghasilkan banyak pejuang gigih Aceh, salah satunya adalah Teungku Chik Ditiro.

Teungku Fakinah tidak pernah menempuh pendidikan formal. Ia menempuh pendidikan agama di pesantren milik kedua orang tuanya. Ia belajar agama dengan tekun seperti ilmu Tauhid, tafsir, hadits, Bahasa Arab. Sedangkan ilmu keputrian ia peroleh dari ibunya.

Teungku Fakinah dibesarkan dalam kondisi perang Aceh. Semua masyarakat Aceh bersatu padu mengobarkan semangat jihad. Tua, muda, laki-laki, perempuan semuanya membenci kaphee Belanda. Terlebih lagi ketika Masjid agung Baiturrahman di kuasai Belanda, semua rakyat Aceh bersumpah untuk merebutnya kembali. Tercatat terjadi empat kali pertempuran besar dalam merebut Masjid Agung Baiturrahman.

Meskipun perempuan, tetapi Teungku Fakinah memiliki keberanian yang tidak kalah dengan laki-laki. Ia dikarunia wajah yang rupawan. Kecantikan wajahnya tidak membuat ia lupa diri. Tidak membuat ia mengeksploitasi dirinya sendiri untuk kepentingan duniawi semata. Kecantikan wajahnya ia lengkapi dengan kecantikan hatinya. Teungku Fakinah memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam kehidupannya. Ia hanya mau menerima pinangan pemuda yang taat beragama.

Ketika berusia 16 tahun, yaitu di tahun 1872, Teungku Fakinah menggenapkan separuh agamanya. Ia menikah dengan Teungku Ahmad, seorang pemuda shalih dari kampung Lam Beunot. Pasangan suami istri ini telah mewakafkan dirinya untuk berjuang bersama di jalan Alloh. Mereka mendirikan pesantren di Lam Beunot. Disamping aktif mengajar di pesantren, Teungku Ahmad juga gigih berjuang mengusir Belanda.Ia bersumpah untuk berjuang di jalan Alloh hingga syahid menjelang.

Tatkala pecah perang Aceh untuk pertama kalinya di tahun 1873, tanpa ragu Teungku Ahmad turut berjuang memenuhi panggilan jihad suci. Ia memperkuat barisan pasukan Panglima Polim (Panglima Kesultanan Aceh) . Meskipun masih pengantin baru dan mempunyai istri cantik, tetapi hal tersebut tidak menyurutkan langkahnya untuk berjihad. Ia berjuang dengan gagah berani di garis depan. Pertempuran terjadi dengan dahsyatnya. Banyak kaum mujahidin yang syahid, termasuk di dalamnya Teungku Ahmad.

Teungku Fakinah berduka sekaligus bangga memiliki suami yang syahid di jalan Alloh. Ia menjadi janda dalam usia yang sangat muda yaitu 17 tahun. Teungku Fakinah adalah tipe mukmin sejati yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk berjuang di jalan Alloh. Meskipun suaminya telah tiada, bukan berarti ia harus larut dalam kedukaan. Ia bahkan bangkit meneruskan perjuangan suaminya.

Kiprah pertamanya adalah membentuk Badan Amal bagi kaum mujahidin. Ia mengkoordinir para perempuan terutama para janda untuk bangkit berjuang. Ia berkeliling Aceh mengumpulkan sumbangan untuk menyokong perang Aceh. Berbagai sumbangan yang ia peroleh baik berupa uang, makanan, senjata, ataupun pakaian diserahkan sepenuhnya bagi kepetingan kaum mujahidin. Ia juga mendirikan dapur umum dan tenda darurat bagi mujahidin yang terluka.

Ketika Kutaraja (Banda Aceh) berhasil dikuasai Belanda, para pejuang memindahkan pertahanannya di Lam Bhouk. Tetapi pertahanan tesebut tidak bisa bertahan lama, Lam Bhouk berhasil dikuasai Belanda pada tahun 1883. Para pejuang kemudian bergerilya dan memindahkan pusat pertahanannya di Aneuk Galung. Dengan dipimpin oleh Teungku Cik Di Tiro, para pejuang berjuang mati-matian mempertahankan daerah Aneuk Galung. Dahulunya, daerah Aneuk Galung ini merupakan markas pertahanan Panglima Polim. Tetapi Panglima Polim berhasil ditangkap Belanda pada tahun 1878.

Disamping memperkuat pertahanana daerah Aneuk Galung, para pejuang juga membangun basis-basis pertahanan di daerah lain. Diantaranya yaitu daerah Lam Sa Yeun yang dipimpin oleh Tengku Mat Saleh, daerah Cut Weue yang dipimpin oleh Tengku Fakinah, daerah Bak Balee dipimpin Habib Lhong, dan daerah Bak Garot yang dipimpin oleh Tengku Amat. Tengku Amat merupakan paman Teungku Fakinah, yaitu adik dari Teungku Muhammad Sa’at.

Tengku Fakinah merupakan satu-satunya panglima perang perempuan. Ia memimpin langsung pembangunan benteng di daerah Cut Weue. Ia mengerahkan anak buahnya untuk memasang pagar, menggali parit dan memasang ranjau. Ia memiliki pasukan perempuan yang hebat, pasukan perempuan berani mati. Tercatat nama-nama hebat seperti Cutpo Fatimah Blang Preh, Nyak Raniah, Cutpo Habi, Cutpo Nyak Cut, dan Cut Puteh menjadi anggota pasukannya.

Semua pejuang menghormati Teungku Fakinah. Semua rakyat Aceh mencintai Teungku Fakinah. Ia sering menghadiri rapat koordinasi dengan para panglima perang daerah lain. Waktu itu Teungku Fakinah adalah seorang janda. Adat dan tradisi masyrakat Aceh memandang kurang baik apabila seorang perempuan menghadiri pertemuan dengan para panglima laki-laki seorang diri. Atas desakan anak buahnya, akhirnya Teungku Fakinah menikah untuk kedua kalinya dengan Teungku Nyak Badai, seorang pejuang dari Pidie.

Pernikahan mereka adalah hasil dari perjodohan kaum mujahidin. Dengan harapan, sepasang mujahidin ini semakin teguh berjuang di jalan Alloh. Akan tetapi pernikahan mereka pun tidak berumur panjang. Teungku Nyak Badai mati syahid dalam sebuah pertempuran di tahun 1896. Ketika itu Belanda di bawah pimpinan Kolonel J. W Stempoort menyerbu markas Teungku Fakinah. Teungku Nyak Badai beserta istrinya berjuang mati-matian mempertahankan benteng. Akhirnya Teungku Nyak Badai menunaikan janji sucinya untuk menjadi syuhada.

Sepeninggal suaminya, Teungku Fakinah tidak mundur setapak pun dari jalan perjuangan. Salah satu jasa besar yang tercatat oleh sejarah adalah ketika Teungku Fakinah berhasil mengembalikan Teuku Umar (suami Cut Nyak Dien) untuk insyaf berjuang kembali melawan kaphee Belanda.

Waktu itu Teuku Umar sempat membelot, memihak kepada Belanda. Ia bahkan dianugerahi gelar Johan Pahlawan oleh Belanda atas jasa-jasanya menumpas pemberontakan rakyat Aceh. Padahal sebelumnya Teuku Umar adalah seorang pejuang yang gigih melawan Belanda. Entah karena alasan taktik atau bukan, Teuku Umar sempat membelot. Rakyat Aceh sangat bersedih dengan keadaan ini, mereka kehilangan sosok Teuku Umar yang selama ini memimpin perjuangan.

Teungku Fakinah tak cukup hanya bersedih, ia menyusun taktik agar Teuku Umur dapat insyaf kembali, berjuang bersama rakyat kembali. Ia mengirimkan pesan kepada Cut Nyak Dien yang merupakan sahabatnya. Ia berkata, sampaikan kepada Teuku Umar untuk membawa pasukannya ke Cut Weue, untuk memerangi kaum janda dan anak-anak. Cut Nyak Dien terdiam mendapat pesan tersebut. Hatinya tertohok. Ia malu mendapati suaminya berpihak kepada musuh, terlebih lagi memerangi janda dan anak-anak bangsanya sendiri. Kemudian Cut Nyak Dien mempengaruhi suaminya agar kembali ke pangkuan ibu pertiwi, kembali berjuang bersama rakyat Aceh.

 Akhirnya Teuku Umur tersadar, ia menyadari kekeliruannya. Ia merasa sangat malu mendapati pesan dari Teungku Fakinah untuk memerangi janda dan anak-anak. Teuku Umar pun kembali berjuang bersama rakyat Aceh. Ia melarikan 800 pucuk senapan beserta berkarung-karung makanan. Kemudian senapan-senapan tersebut ia bagikan kepada kaum mujahidin. Belanda merasa tertipu, merasa dipermainkan oleh Teuku Umur. Sejak saat itu Teuku Umar dan Cut Nyak Dien menjadi buronan nomor wahid. Hingga akhir hayatnya Teuku Umar dan Cut Nyak Dien tetap setia membela ibu pertiwi.

Sesudah jatuhnya markas pertahanannya, Teungku Fakinah berpindah-pindah tempat. Mula-mula ia tinggal di Lammeulo. Setelah itu ia tinggal di Blang Peuneuleun (Pucok Peuneuleun). Daerah ini merupakan daerah yang sangat indah dan lahan yang sangat subur, sehingga ditempat ini dijadikan perkampungan dan sekaligus membuka lahan pertanian. Teungku Fakinah pun sempat membuka pesantren di daerah ini. Akan tetapi pada tahun 1899 menyerbu tempat ini dan memporak-porandakan semua bangunan yang ada. Teungku Fakinah berhasil lolos dari pengepungan.

Sejak saat itu Teungku Fakinah tidak pernah membuat markas pertahanan lagi. Ia mengobarkan perang gerilya bersama perempuan hebat lainnya seperti Pocut Awan (ibunda Panglima Polim), Pocut Lam Gugob (kerabat sultan),dll.

 Mereka mengarungi hutan belantara, berpindah-pindah sampai kepegunungan Pasai, Gayo Luas, serta tempat-tempat lain disekitar Laut Tawar. Sekalipun Teungku Fakinah tidak lagi memegang peranan sebagai Panglima Perang, namun beliau tetap aktif dalam bidang pendidikan agama, terutama mengajar wanita-wanita yang turut bergerilya. Ia mengobarkan semangat jihad mujahidah0mujahidah hebat tersebut.

Setelah Panglima Polim dan Kesultanan Aceh menyerah, Teungku Fakinah kembali ke kampung halamannya pada tanggal 21 Mei 1910. Dia kembali ke kampung halamannya di desa lam Kraak dalam usia 54 tahun. Kemudian ia pun mendirikan pesantren pada tahun 1911. Teungku Fakinah sangat dihormati dan dicintai rakyat Aceh. Banyak tokoh masyarakat yang menyumbangkan dana untuk pembangunan pesantren tersebut. Teungku Fakinah pun mengisi hari tuanya dengan mengajar agama di pesantren. Murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru Aceh.

Teungku Fakinah mempunyai cita-cita untuk berangkat haji ke tanah suci. Ia sudah berumur tetapi niatnya belum terlaksana. Di tahun 1914 ia bertekad untuk berangkat haji. Tetapi ia seorang janda, dan tidak diperkenankan seorang janda untuk berangkat haji sendiri. Akhirnya ia memutuskan untuk menikah lagi agar ada muhrim yang menemani perjalanannya naik haji. Teungku Fakinah menikah lagi dengan Ibrahim. Akhirnya di tahun 1915 mereka menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Waktu itu Teungku Fakinah sudah berusia 58 tahun.

Selesai menunaikan ibadah haji, Teungku Fakinah memutuskan tinggal sementara di Mekkah untuk memperdalam ilmu agama. Di tahun keempat di tanah suci,sang suami yaitu Ibrahim meninggal dunia. Maka pada tahun 1918 Teungku Fakinah memutuskan untuk kembali ke Aceh.

Sesampainya di Aceh, ia memimpin kembali pesantren di Lam Krak. Ia mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada para muridnya. Ia mengabdikan dirinya di pesantren hingga ajal menjemputnya. Teungku Fakinah menghembuskan nafas terakhir pada tahun 1938 di usianya yang ke-75 . Aceh berduka.

 Seorang ulama perempuan sekaligus panglima perang telah tutup usia. Teungku Fakinah telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengibarkan panji-panji Islam. Meski namanya tak pernah tercatat dalam buku-buku sejarah Indonesia, tetapi namanya tetap abadi di sisi pencipta alam semesta. Salam penuh takzim untuk sang ulama panglima perang…….

Merenungi kembali mozaik sejarah…Kita tidak pernah menemukan materi perang Aceh dalam buku-buku pelajaran sejarah dari SD,SMP,SMA….padahal perang Aceh adalah perang terhebat dan terlama di nusantara. Bahkan Belanda pun mengakuinya sebagai perang paling pahit, melebihi pahitnya perang Napoleon…..Kuburan Berkhoff menjadi saksi bisu kehebatan rakyat Aceh….Aceh menjadi mimpi buruk bagi 2200 serdadu Belanda yang mati dalam perang ini…. 

Salatiga, 9 Oktober 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar