Kamis, 31 Januari 2013

Safiatudin, Sultanah Aceh Pecinta Ilmu Pengetahuan


 969b97f39203e0d74b0366a58634c468_ratu-safiatuddin 

Kesultanan Aceh pernah dipimpin oleh empat Sultanah (ratu perempuan) secara berturut-turut. Mereka adalah Safiatuddin, Naqiatuddin, Zakiatuddin, dan Kamalat. Total masa pemerintahan keempat Sultanah ini adalah 59 tahun. Dari keempat Sultanah tersebut, yang paling menonjol dan paling lama memerintah yaitu Sultanah Safiatuddin.

Sultanah Safiatuddin memerintah Aceh dari tahun 1641-1675. Dimasa pemerintahannya Aceh mencapai kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan. Masyarakat Aceh didorong untuk menuliskan buku-buku agama, pemerintahan, maupun kesusateraan. Tercatat ulama-ulama besar seperti Hamzah fanzuri dan Nurudin ar-Raniry muncul dan sangat produktif berkarya di masa pemerintahannya.

Safiatudin lahir pada tahun 1612. Ia adalah putri dari Sultan Iskandar Muda (Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia). Dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Aceh mencapai puncak kejayaannya sebagai kerajaan besar di wilayah nusantara. Wilayah kekuasaannya ketika itu meliputi Malaysia, Sumatra Barat, Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya. Aceh juga menjadi pusat peradaban kebudayaan Islam, disamping juga sebagai pusat perniagaan yang strategis.

Sebagai seorang putri Sultan yang sangat berpengaruh, Safiatudin memiliki kesempatan menuntut ilmu seluas-luasnya. Ayahnya pun sangat mendukung keinginan belajar putri tunggalnya. Beberapa ulama dan kaum cendekia dipanggil Sultan untuk membimbing putrinya.

Sedari kecil Safiatudin sudah terlihat sangat mencitai ilmu pengetahuan. Ketika berumur 7 tahun, ia sudah giat berguru kepada para ulama besar seperti Hamzah Fansuri, Syekh Nuruddin Ar raniri, Syekh Kamaluddin dan lainnya. Safiatudin belajar ilmu agama, berhitung, pemerintahan, bahasa, dan kesusateraan. Berkat kegigihannya belajar, Safiatudin menguasai 4 bahasa, yaitu bahasa Melayu, Arab, Urdu, dan Persia.

Ketika dewasa, ia menikah dengan Iskandar Tsani. Pernikahan mereka merupakan hasil perjodohan kedua orang tua. Iskandar Tsani adalah putera dari Sultan Pahang-Malaysia, Ahmad Syah. Ia dibawa ke Aceh oleh Sultan Iskandar Muda ketika Aceh menguasai Pahang pada tahun 1617. Kemudian Iskandar Tsani dinikahkan dengan Safiatudin.

Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, Iskandar Tsani naik tahta dan bergelar Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah. Tetapi masa pemerintahan Iskandar Tsani hanya berlangsung sebentar karena ia meninggal di usia muda. Iskandar Tsani memimpin Aceh dari tahun 1637-1641.

Setelah Iskandar Tsani wafat, rakyat Aceh dan pihak kesultanan kebingungan mencari penggantinya. Sebab Sultan Iskandar Muda tidak mempunyai keturunan atau kerabat laki-laki. Ia hanya memiliki seorang putri yaitu Safiatudin. Akhirnya Safiatudin naik tahta.

Pengangkatan Safiatudin menjadi Sultanah sempat menimbulkan pro kontra. Selama ini Aceh belum pernah dipimpin oleh seorang wanita. Banyak ulama yang tidak menyetujui pengangkatan Safiatudin. Penolakan ini didasari keyakinan wanita dilarang menjadi pemimpin. Tetapi ada juga ulama yang mendukung, dengan alasan wanita hanya dilarang menjadi pemimpin atau imam dalam sholat, sedangkan dalam masalah keduniawian tidak mengapa menjadi memimpin.

Akhirnya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry menengahi perselisihan tersebut dan menyetujui pengangkatan Safiatudin menjadi Sultanah menggantikan suaminya. Safiatudin tidak menyia-nyiakan kepercayaan tersebut. Ia berusaha sekuat tenaga untuk memajukan Kesultanan Aceh dalam segala bidang kehidupan. Ia membenahi Aceh dalam bidang pemerintahan, pendidikan, keagamaan dan perekonomian.

Di bidang agama, ia memerintahkan para ulama untuk menghidupkan kembali budaya menulis. Akhirnya sejumlah kitab pun berhasil ditulis dengan baik. Tercatat muncul sejumlah kitab seperti Hidayatul Iman Fi Fadhlil Manan karya Nuruddin Ar-Raniry dan buku Miratuth Thullab karya Abdurrauf Syiah Kuala.

Nuruddin Ar-Raniry telah menyelesaikan 30 judul buku. Sedangkan Abdurrauf Syiah Kuala menyelesaikan 10 judul buku dalam berbagai bidang ilmu yang menjadi pusat peradaban perkembangan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara. Bahkan nama syiah Kuala dijadikan sebaga nama salah satu Universitas negeri di Aceh. Tahun 1668, Safiatudin mengutus beberapa ulama untuk berdakwah menyebarkan agama Islam di Siam (Thailand). Dengan sepak terjangnya yang sangat memperhatikan kemajuan di bidang agama, akhirnya beberapa ulama yang awalnya menentangnya, berbalik menjadi mendukungnya.

Safiatuddin juga berusaha memperbaiki kegiatan perekonomian Aceh. Aceh terkenal sebagai daerah makmur, daerah penghasil emas. Ia memperbaiki sarana dan prasarana penambangan emas. Ia juga menerapkan kebijakan pemungutan cukai atau pajak pada setiap pedagang asing yang melakukan perdagangan dalam wilayah kekuasaan Aceh dan daerah taklukannya.

Safiatudin menerapkan kebijakan dagang yang cukup ketat terhadap Belanda. Belanda tidak diberi hak-hak istimewa dalam perdagangan. Mereka tetap diharuskan mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku di Kerajaan Aceh. Setiap kapal asing yang berdagang di Kerajaan Aceh diwajibkan membayar pajak masuk sebesar 5 persen dari harga barang yang diperdagangkan. Selain itu, setiap pedagang asing diharuskan memiliki lisensi untuk dapat berdagang di daerah-daerah yang dikuasai Aceh, seperti Pantai Barat Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Lisensi ini harus diambil di ibukota kerajaan. Untuk setiap pemberian lisensi dikenakan biaya yang harus dibayar oleh pedagang asing yang bersangkutan.

Safiatuddin juga melakukan pembangunan terhadap pertahanan militer. Ia membentuk pasukan khusus wanita. Pasukan ini bertugas mengawal istana sekaligus sebagai pasukan elite kerajaan.Ia juga terjun langsung dalam Perang Malaka tahun 1639. Safiatuddin sangat memperhatikan kondisi keluarga pejuang. Ia sangat peduli terhadap nasib mereka.Ia meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan. Ia juga sangat serius mengurus janda dan anak-anak korban perang. Ia memberi tunjangan kepada para janda tersebut.

Di beberapa sisi, Safiatudin terlihat begitu gemilang. Tapi di sisi militer dia sangat lemah. Safiatudin memimpin ketika Aceh berada dalam posisi sulit dan kritis. Dari sisi internal, sebagian masyarakat Aceh tidak menyetujui kepemimpinannya dan berusaha menggulingkannya. Sedangkan secara eksternal, VOC berhasil mengusir Portugis dari Selat Malaka. VOC mengusai Selat Malaka sejak tahun 1641. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa VOC sangat ingin menguasai Kesultanan Aceh yang kaya akan emas.

Safiatudin tidak membenahi angkatan perang Aceh yang mengalami kemunduran sejak kepemimpinan suaminya, Iskandar Tsani. Padahal sewaktu kepemimpinan ayahnya, Sultan Iskandar Muda, angkatan perang Aceh sangat ditakuti dan disegani lawan-lawannya.

Terlepas dari pro kontra tentang kepemimpinan Safiatudin, tak dapat dipungkiri bahwa dibawah pemerintahannya Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaan di bidang ilmu pengetahuan. Safiatudin berhasil membawa kesultanan Aceh menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan di Asia Tenggara. Bahkan Aceh mendapat gelar sebagai Serambi Mekah.

Safiatudin membaktikan seluruh hidupnya demi kemajuan Islam dan kemajuan Kesultanan Aceh. Selama 35 tahun ia memerintah dengan cerdas dan bijaksana. Safiatudin menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 23 Oktober 1675. Rakyat Aceh selalu mengenangnya sebagai Ratu yang cerdas. Bahkan namanya diabadikan menjadi nama sebuah taman yaitu Taman Safiatudin. Sebuah taman yang indah, seindah pemilik nama aslinya. Selamat jalan Safiatudin, kecerdasanmu akan selalu menginspirasi kami untuk senantiasa haus akan ilmu pengetahuan…..

Salatiga, 6 januari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar