Rabu, 30 Januari 2013

” Meureuhom Daya dan Adat Seumuleung Raja ”

 
http://www.lintasgayo.com/wp-content/uploads/2012/04/lg.png
 
MUHAJIR ABDUL AZIZ says:
 
Kamis, 08 November 2012 07:45 WIB
MUHAJIR ABDUL AZIZ | Foto : ISTIMEWA

Rafly Kande; Ruh Aceh Ada pada Budaya dan Adat Istiadatnya.

Rumpun Meureuhom Daya Ucapkan Terimakasih pada Keuchik Leumik Adat seumeuleung dan ziarah ke makam Meureuhom Daya masih dilestarikan hingga kini. Di tempat tersebut, ratusan tahun lalu berdiri Kerajaan Nanggroe Daya yang termasyhur.

Menggunakan baju hitam, pedang bersarung merah terikat di pinggangnya. Sementara secarik kain merah melilit kepalanya. Panglima perang kerajaan itu berhenti di depan anak tangga Astaka Diraja. Astaka semacam aula tempat pelaksanaan acara kerajaan sejak dulu. Sebelum mengucapkan salam, dia menghunus pedang dan mendekatkan ke dada dengan posisi siaga.

Namanya Abdurrahman. Dia sering disapa Panglima Raman. Usai mengelilingi Astaka Diraja, Panglima Raman melihat ke sekeliling kepada para tamu. Ia seakan ingin memastikan, tempat sederhana itu aman dari penyusup orang-orang jahat.

Setelah itu, ia menjemput raja di Balai Peuniyoh. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari singgasana raja yang telah disiapkan di Astaka Diraja. Ketika raja datang ke tempat tersebut, semua tamu bangun sebagai bentuk penghormatan. Raja menggunakan pakaian kebesaran kerajaan warna kuning terang.

Tak lama berselang, dua dayang datang. Satu orang langsung duduk di depan raja. Panitia membawakan sebuah dalông (semacam tempayan) besar berisi nasi dan lauk-pauk atau disebut bu ulee. Bu ulee hidangan khusus untuk raja. Setelah itu, raja pun makan disuapi dayang.

Setelah raja makan, barulah para tamu dibolehkan makan. Di deretan tamu, tampak Raja Keluwang Teuku Abdullah, Raja Lamno Teuku Syahrial, Raja Kuala Unga Teuku Nasruddin, dan para undangan lainnya.

***
Prosesi itu disebut seumuleung. Ini salah satu adat menyuapi makan untuk raja. Prosesi tadi digelar Minggu 28 Oktober 2012 oleh masyarakat Kerajaan Nanggroe Daya di Lamno, Aceh Jaya. Acara itu sudah dilaksanakan turun-temurun sejak 1480 Masehi atau setiap tanggal 10 Zulhijjah, di kawasan makam Meureuhom Daya. Selain seumuleung, juga ada seumeunap, prosesi melihat raja makan setelah disuapi dayang.

Hari itu, ribuan orang tumpah ruah ke lokasi acara di tepi Samudera Hindia itu. Makam Meureuhom Daya terletak di Kaki Bukit Gle Jong. Di sinilah Sultan Alaidin Riayat Syah, raja pertama Kerajaan Meureuhom Daya, dimakamkan. Para pengunjung tidak hanya berasal dari Lamno, tetapi juga dari Aceh Besar, Banda Aceh, dan sepanjang pantai barat-selatan Aceh.

Pengunjung datang, selain melihat proses seumuleung dan seumeunap, juga untuk berziarah ke makam Meureuhom Daya. Banyak keluarga datang dengan membawa makanan untuk dimakan bersama di tepi pantai atau di balai-balai dekat makam.

Nurjannah, seorang ibu yang datang bersama keluarganya mengatakan sudah menjadi rutinitas baginya untuk datang ke acara itu. “Setiap hari raya Haji saya pasti kemari. Dari kecil umur belasan saya sudah dibawa oleh ibu saya,” kata perempuan yang berasal dari Lhong, Aceh Besar, itu kepada The Atjeh Times.

Namun, bukan itu saja keunikan tradisi adat itu. Bustami, warga Calang, menceritakan dulunya acara itu juga menjadi tempat mencari jodoh bagi para pemuda. Banyak pemuda, kata Bustami, yang datang ke kawasan Kuala Daya untuk melihat gadis bermata biru keturunan Portugis. “Tapi sekarang sudah jarang karena banyak menjadi korban tsunami,” kata Bustami.

Kuala Daya dan Keluwang, dua kampung di Lamno yang paling banyak didiami keturunan bermata biru itu. Namun, kedua daerah itu paling parah diterjang tsunami akhir 2004 lalu.

Teuku Saifullah, Raja Nanggroe Daya generasi ke-13 mengatakan sejatinya acara tersebut dilaksanakan setiap hari pertama hari raya Idul Adha. “Itu sudah ketentuan, tidak boleh berubah, tidak boleh ditunda, setiap 10 Zulhijjah jam 9 pagi,” kata Teuku Saifullah kepada The Atjeh Times.

Acara itu dilaksanakan ulang pada hari raya ketiga Idul Adha untuk menarik minat wisatawan seluruh Aceh. “Kalau pada 10 Zulhijjjah tidak seramai ini pengunjungnya, cuma warga Lamno saja,” katanya.

Teuku Zaini, salah seorang keluarga Kerajaan Nanggroe Daya, mengatakan sejak dulu juga banyak warga datang ke acara tersebut untuk melepas nazar. Dari zaman dahulu sejak Meureuhom Daya memerintah, kata dia, kerajaan selalu membagikan tanah untuk rakyat berladang, perahu untuk nelayan, dan lainnya kebutuhan ekonomi rakyat. Ketika acara seumuleung dan seumeunap, rakyat sukarela membawa hasil sawah, kebun, dan laut untuk logistik kenduri.

“Semua kebutuhan untuk upacara semuleung dan seumeunap juga berasal dari harta kekayaan Nanggroe Daya. Beras, lauk pauk, dan lainnya hasil kekayaan alam di sini,” kata Ismail Adnan, salah seorang anggota rumpun Meureuhom Daya.

***
Nun jauh sebelum tahun 1480 Masehi, di Kecamatan Lamno, Aceh Jaya tersebutlah ada empat kerajaan kecil: Lamno, Keluwang, Kuala Daya, dan Kuala Unga. Kerajaan Lamno diperintah oleh Muda Perkasa, Kerajaan Keluwang oleh Datok Pahlawan Syah, Kerajaan Kuala Daya oleh Syeh Johan, dan Kuala Unga diperintah oleh Tengku Di Sagop.

Keempat raja tersebut anak Datok Pagu yang berasal dari Pasee. Datok Pagu datang dari Pasee dan membangun empat kerajaan itu.

Saat itu, pedagang Eropa sudah melihat kawasan itu sebagai daerah yang makmur. Portugis pun datang ke tempat tersebut dan bekerja sama dengan Kerajaan Keluwang.

Dari Kutaraja, Jamalul Alam, ayah Sultan Alaidin Inayatsyah Johan Syah, Raja Nanggroe Aceh Darussalam mendengar berita tentang kemakmuran Negeri Daya dan kerja samanya dengan Portugis. Diambillah kesimpulan untuk menaklukkan negeri tersebut.

Jamalul Alam memerintahkan cucunya Alaidin Riayat Syah untuk mengusir Portugis dari Negeri Daya. Di kemudian hari ia dikenal dengan Meureuhom Daya. Alaidin mengutus 40 anggota pasukan pengintai yang berjalan melalui Seulimuem, Cot Empe, dan melewati Pante Ceureumen.

Di Pante Ceureumen, 40 pengintai itu mendirikan kamp dan membuka ladang untuk mempersiapkan logistik bagi pasukan yang akan datang belakangan. Proses berladang tersebut memakan waktu dua tahun.
Setelah semuanya dipersiapkan, pasukan mulai datang dan Kerajaan Lamno ditaklukkan pertama kali. Pertempuran pecah di pasar Lamno. Berikutnya, Kuala Unga dan Kuala Daya juga berhasil ditaklukkan. Saat itu tinggal Keluwang yang tidak bisa dikalahkan karena dibantu Portugis. Portugis menyuplai persenjataan lengkap kepada Keluwang.

Setelah itu Portugis mundur karena takut kalah setelah melihat pasukan Aceh semakin kuat. Portugis lari kembali ke Gowa, Sulawesi. Mundurnya Portugis membuat pasukan dari Kutaraja leluasa menaklukkan Keluwang.

Setelah semuanya ditaklukkan, Jamalul Alam mengukuhkan Alaidin Riayat Syah sebagai Raja Negeri Daya yang membawahkan empat kerajaan tersebut. Walau sudah ditaklukkan, Meureuhom Daya memberikan kekuasaan kepada empat raja sebelumnya untuk tetap berkuasa. Namun, kekuasaan membangun hubungan dengan luar, hubungan militer dan perdagangan tetap berada di bawah kontrol Kerajaan Aceh Darussalam.

Pengukuhan Alaidin Riayat Syah atau Meureuhom Daya sebagai Raja Nanggroe Daya dilakukan Jamalul Alam dengan cara geusuleung dan geupeunap. Geusuleung atau sumeuleung adalah proses penyuapan nasi oleh Jamalul Alam kepada Meureuhom Daya, sedangkan geupeunap atau seumeunap adalah Jamalul Alam melihat Meureuhom Daya makan setelah disuapi.

***
Saat ini, seumeuleung dan semeunap adalah dua dari sebagian kecil adat yang tersisa dari kerajaan-kerajaan di Aceh. Teuku Saifullah berharap Pemerintah Aceh melestarikan budaya Nanggroe Daya itu. Menurutnya, adat di Negeri Daya itu adalah harta yang sangat bernilai. Dia meminta Pemerintah Aceh serius jika ingin budaya kerajaan itu tetap lestari.

“Kita ingin pemerintah serius menjadikan Makam Meureuhom Daya dan adat seumeuleung sebagai bagian dari destinasi wisata budaya di Aceh,” katanya kepada The Atjeh Times.Teuku Zaini mengatakan hal senada. Dia berharap Pemerintah Aceh segera membangun kembali kompleks istana Kerajaan Nanggroe Daya. Ketika tsunami menghumbalang, kompleks tersebut rata tak bersisa.

Di kompleks itu dulunya ada Astaka Diraja, Balee Meunaroi (tempat santai para tamu kerajaan), Balee Peuniyoh (tempat para tamu istirahat ketika ada acara kerajaan), Balee Dabeuh (tempat perlengkapan dan juga sebagai dapur ketika ada acara kerajaan), musala, dan beberapa bangunan lain. Kini, ketika upacara seumuleung digelar, hanya dibuat replika saja untuk bangunan-bangunan itu.“Kita juga ingin agar makam Meureuhom Daya yang merupakan peletak dasar kerajaan bisa dipugar,” kata Zaini.

Bak gayung bersambut, Mirwan Sufi, Asisten Pemerintah Aceh, yang hadir ke acara itu mengatakan Pemerintah Aceh telah membebaskan lahan di kawasan makam Meureuhom Daya. Ada sekitar 7 hektare, kata Mirwan, lahan yang dibebaskan untuk membangun kompleks kerajaan. “Pembangunannya kita lakukan bertahap,” ujarnya.[]
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar