Kamis, 22 Desember 2011 | 02:46 WIB
Oleh: Margono Dwi Susilo
Berdasarkan TRADISI LISAN yang dimuat dalam komik Aceh. Penulis tambah yakin tentang cerita komik itu saat Anthony Reid sendiri juga memberikan catatan tentang keberadaan ramalan tersebut dan protes Cut Nyak Dhien (Reid, 2005 : 297 catatan kaki no.64)
Sumber lokal (Anonim, 1995 : 74) yang dikutip www.acehprov.go.id juga “mencurigai” motif Teuku Umar, dikatakan “sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya.
Benarkah Teuku Umar hanya “pura-pura” menyerah? Atau sebenarnya itu adalah cerminan jiwa oportunis? Atau ingin menjadi Sultan Aceh dengan bantuan Belanda?
Anthony Reid dalam bukunya menuduh Umar sebagai “oportunis brilian yang memilih saat-saat seperti ini untuk berpihak kepada Belanda.” Reid mendiskripsikan perilaku Umar tersebut pada peristiwa S.S Nisero. Lebih jauh Reid juga memberi catatan “Teuku Umar adalah sebuah contoh klasik dari seorang petualang berbakat yang melihat perang sebagai sebuah peluang besar” (Reid, 2005 : catatan kaki bab 7 no.65).
Dengan spd motor saya hanya menderu di jalanan Banda Aceh yang sedang bersolek menyambut “Visit Banda Aceh 2011”. Saat melintasi jalan Taman Makam Pahlawan mata saya kembali melihat baliho besar yang menampilkan enam sosok pahlawan nasional asal Aceh, mereka adalah Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Tengku Chik Ditiro, Panglima Polem, Teuku Nyak Arif dan Teuku Umar.
Baliho itu sebenarnya sudah lama dipasang, sejak Nopember lalu saat Indonesia memperingati hari Pahlawan. Yang mencolok adalah wajah tirus Teuku Umar dengan peci miringnya, ia dicetak paling atas dengan ukuran paling besar. Ini wajar karena Teuku Umar pahlawan yang sungguh komplit, pakai “pura-pura” menyerah segala untuk mendapatkan senjata dan mempelajari strategi musuh. Justru itulah yang mengusik pikiran saya.
Benarkah “menyerahnya” Teuku Umar merupakan strategi perjuangannya? Atau jangan jangan…
Tanggal 8 April 1873 di lepas pantai Ceureumen Banda Aceh, kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen buang sauh. Lalu tanggal 11 April 1873 dengan penuh percaya diri pasukan Belanda yang terdiri dari 3.198 pasukan termasuk 168 perwira KNIL, didukung oleh kurang lebih 1000 kuli, diturunkan dari kapal untuk menggempur kedudukan pejuang Aceh (Kawilarang, 2008 : 60).
Bagi bangsa Aceh tidak ada kata lain : lawan. Dokumen Belanda sendiri menyebutkan bahwa Aceh bukan petarung sembarangan. Berbeda dengan suku bangsa lain di Indonesia, Aceh menerapkan taktik jitu, termasuk memasang sniper di ketinggingan bangunan.
Malang bagi Belanda karena sang panglima, Jenderal JHR Kohler, tewas pada 14 April 1873 terkena bidikan senapan mauser yang beberapa tahun sebelumnya diimpor dari Penang. Penggantinya, Kolonel van Daalen gagal mengangkat moral pasukan sehingga memaksanya mundur pada 25 April 1873.
Berita perang dan kekalahan Belanda diulas di London Time (edisi 22 April 1873) dan The New York Time (edisi 15 Mei 1873). Batavia tersentak.
Tetapi orang Aceh juga tahu bahwa Belanda bukan kolonialis sembarangan. Artinya Aceh tetap butuh bantuan. Tetapi siapa yang bisa membantu? Inggris, Perancis atau Amerika?
Tidak! Sesama kolonial tidak akan saling menghancurkan. Satu-satunya jalan adalah meminta perlindungan pada pusat kekuasaan islam, khilafah Turki Utsmaniah. Sultan Aceh (Mahmud) bersegera memerintahkan diplomatnya Habib Abdul Rahman Az-Zahir – yang waktu itu di Mekah (saat itu Arabia adalah propinsi Turki) — menuju Istambul. Pada tanggal 27 April 1873 Habib tiba di Istambul (Reid, 2005 : 129).
Belanda sempat gemetar tatkala tersiar kabar bahwa kapal perang Turki “Ertogrul” beserta beberapa kapal pendamping bergerak cepat menuju Aceh. Tetapi kabar itu ternyata bohong. Turki abad-19 berbeda dengan Turki Abad-15. Turki abad-19 adalah imperium yang tengah menggali liang kubur dalam-dalam. Misi Habib gagal total.
Dari Istambul ia mendengar kabar bahwa Kutaraja (Banda Aceh) telah jatuh ketangan Belanda, sedangkan Sultan dan para pejuang mengungsi ke Indrapuri kemudian Keumala.
Saat Citadel menembakan meriam pertamanya, Teuku Umar baru menginjak 19 tahun (lahir 1854 di Meulaboh, Wikipedia). Seperti layaknya orang Aceh, Umar muda juga terimbas gejolak perang. Waktu itu sebagai Keuchik (Kepala Gampong) ia adalah pemimpin perlawanan di Kampungnya. Ia dikenal cerdas dan pandai mempengaruhi orang. Umarpun menyaksikan bahwa perang itu telah berlangsung lama dan belum ada tanda-tanda selesai. Satu hal yang pasti perang menimbulkan penderitaan.
Tetapi perangpun di mata Umar pada akhirnya membuka peluang. Setidaknya ia melihat banyak ulee balang (bangsawan, penguasa daerah) yang telah berdamai dengan Belanda mendapatkan perlindungan dan keuntungan finansial, berupa gaji dan izin untuk berdagang.
Pada tahun-tahun tersebut Aceh terkenal dengan perdagangan lada. Komuditas ekonomi ini yang menjadikan kaum ulee balang menangguk keuntungan. Berbeda dengan kaum ulama dan santri yang menganjurkan perang total tanpa kompromi demi kehormatan, kaum ulee balang dan serdadunya tidak senantiasa demikian. Baginya kehormatan perlu, tetapi uang juga penting.
Setelah bermain kucing-kucingan dengan Belanda, pada akhirnya, Teuku Umar beserta pasukannya berdamai dengan Belanda tahun 1883 (Rusdi Sufi, 1994 : 88) dan menyerah secara resmi pada Maret 1984 (Reid, 2005 : 256). Hal ini menimbulkan kemarahan besar dari pejuang Aceh.
Penyerahan tersebut sangat menyakinkan karena Teuku Umar akhirnya ikut aktif bertempur untuk Belanda. Anthony Reid dalam bukunya menuduh Umar sebagai “oportunis brilian yang memilih saat-saat seperti ini untuk berpihak kepada Belanda.” Reid mendiskripsikan perilaku Umar tersebut pada peristiwa S.S Nisero. Lebih jauh Reid juga memberi catatan “Teuku Umar adalah sebuah contoh klasik dari seorang petualang berbakat yang melihat perang sebagai sebuah peluang besar” (Reid, 2005 : catatan kaki bab 7 no.65).
Saat perang Aceh memasuki masa yang rumit, pada 8 Nopember 1883 kapal dagang Inggris S.S Nisero berisi 29 ABK kandas di dekat Panga (40 mil di utara Meulaboh) dan disandera oleh penguasa Teunom, Teuku Imam. Upaya Belanda untuk membebaskan sandera tidak mudah sehingga menimbulkan perselisihan di Amsterdam dan London. Belanda tahu bahwa Teuku Imam dari Teunom ini adalah musuh bebuyutan Teuku Umar.
Akhirnya Umar yang telah menyerah dipilih untuk menjadi pimpinan pasukan komando membebaskan sandera. Pada tanggal 3 Juli 1884 pasukan komando itu bergerak menuju Rigas (dekat Teunom) dengan membawa senjata, amunisi dan uang tebusan.
Di perjalanan rupanya Teuku Umar dan pasukannya mendapat perlakuan diskriminatif dari kapten dan awak kapal perang Belanda. Umar dan pasukannya disuruh tidur digeladak dan dilarang mondar-mandir. Sebagai orang Aceh yang menjunjung kehormatan, Umar tersinggung. Pada saat kapal mendarat di Rigas maka Umar dan anak buahnya membunuh seluruh awak kapal belanda dan membawa lari senjata, amunisi dan uang. Hal ini membawa kemarahan Belanda. Sejak itu Umar dan Belanda pecah kongsi. Tetapi perlu diingat ini bukan yang terakhir Umar menyerah lalu pecah kongsi dengan Belanda.
Setidaknya Kawilarang mencatat bahwa tahun 1885 Teuku Umar ditengarai kembali berdamai dengan Belanda. Mungkin saja Umar telah berhasil menjelaskan tragedi pasukan komando S.S Nisero, bahwa ia terpaksa membunuh karena dilecehkan, sehingga akhirnya ia diterima kembali oleh Belanda. Menyerahnya Umar tahun 1885 ini perlu diklarifikasi ulang, karena Kawilarang tidak secara tegas menyertakan sumbernya. Justru Kawilarang melakukan kesalahan pengutipan “mendengar ayahnya berkhianat Cut Gambang – anak Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien – menangis tersedu.
Sang Ibu (Cut Nyak Dhien) langsung menghardik : Seorang perempuan Aceh tidak pernah menangis kepada siapapun yang syahid” (Kawilarang, 2008 : 129). Setahu saya hardikan Cut Nyak Dhien ini dilakukan saat Teuku Umar tewas tahun 1899, bukan pengkhianatan 1885.
Hal yang paling mungkin adalah bahwa sejak peristiwa pasukan komando S.S Nisero, Teuku Umar menerapkan strategi “dua muka” untuk meraih keuntungan pribadi. Ini masuk akal karena Umar mempunyai naluri bisnis yang kuat, “di beberapa daerah daerah ia (Teuku Umar) mempersatukan ekspor lada yang menguntungkan itu dalam satu tangan, yakni tangannya sendiri; di daerah lain ia memungut hasil sebesar $0,25 per pikul, di atas kertas atas nama Sultan. Kekayaan ini dengan murah hati ia bagi-bagikan kepada para pengikutnya, dan juga kepada istana dan kaum ulama di Keumala” (Reid, 2005 : 282). Reid juga menjelaskan bahwa kapal Hok Kanton membuang sauh di Rigas pada 14 Juni 1886 “untuk berdagang seperti biasa dengan Teuku Umar”.
Dari penjelasan Reid setidaknya kita tahu bahwa Umar terbiasa berdagang di pantai Barat Aceh. Padahal Belanda menerapkan blokade yang cukup ketat atas perdagangan. Hanya orang-orang yang pro Belanda – atau setidaknya yang bermain mata – yang bisa berdagang bebas seperti itu. Itulah kecerdikan Teuku Umar.
Disunting kembali oleh Atl Lisan
(bersambung)
Berdasarkan TRADISI LISAN yang dimuat dalam komik Aceh. Penulis tambah yakin tentang cerita komik itu saat Anthony Reid sendiri juga memberikan catatan tentang keberadaan ramalan tersebut dan protes Cut Nyak Dhien (Reid, 2005 : 297 catatan kaki no.64)
Sumber lokal (Anonim, 1995 : 74) yang dikutip www.acehprov.go.id juga “mencurigai” motif Teuku Umar, dikatakan “sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya.
Benarkah Teuku Umar hanya “pura-pura” menyerah? Atau sebenarnya itu adalah cerminan jiwa oportunis? Atau ingin menjadi Sultan Aceh dengan bantuan Belanda?
Anthony Reid dalam bukunya menuduh Umar sebagai “oportunis brilian yang memilih saat-saat seperti ini untuk berpihak kepada Belanda.” Reid mendiskripsikan perilaku Umar tersebut pada peristiwa S.S Nisero. Lebih jauh Reid juga memberi catatan “Teuku Umar adalah sebuah contoh klasik dari seorang petualang berbakat yang melihat perang sebagai sebuah peluang besar” (Reid, 2005 : catatan kaki bab 7 no.65).
Dengan spd motor saya hanya menderu di jalanan Banda Aceh yang sedang bersolek menyambut “Visit Banda Aceh 2011”. Saat melintasi jalan Taman Makam Pahlawan mata saya kembali melihat baliho besar yang menampilkan enam sosok pahlawan nasional asal Aceh, mereka adalah Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Tengku Chik Ditiro, Panglima Polem, Teuku Nyak Arif dan Teuku Umar.
Baliho itu sebenarnya sudah lama dipasang, sejak Nopember lalu saat Indonesia memperingati hari Pahlawan. Yang mencolok adalah wajah tirus Teuku Umar dengan peci miringnya, ia dicetak paling atas dengan ukuran paling besar. Ini wajar karena Teuku Umar pahlawan yang sungguh komplit, pakai “pura-pura” menyerah segala untuk mendapatkan senjata dan mempelajari strategi musuh. Justru itulah yang mengusik pikiran saya.
Benarkah “menyerahnya” Teuku Umar merupakan strategi perjuangannya? Atau jangan jangan…
Tanggal 8 April 1873 di lepas pantai Ceureumen Banda Aceh, kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen buang sauh. Lalu tanggal 11 April 1873 dengan penuh percaya diri pasukan Belanda yang terdiri dari 3.198 pasukan termasuk 168 perwira KNIL, didukung oleh kurang lebih 1000 kuli, diturunkan dari kapal untuk menggempur kedudukan pejuang Aceh (Kawilarang, 2008 : 60).
Bagi bangsa Aceh tidak ada kata lain : lawan. Dokumen Belanda sendiri menyebutkan bahwa Aceh bukan petarung sembarangan. Berbeda dengan suku bangsa lain di Indonesia, Aceh menerapkan taktik jitu, termasuk memasang sniper di ketinggingan bangunan.
Malang bagi Belanda karena sang panglima, Jenderal JHR Kohler, tewas pada 14 April 1873 terkena bidikan senapan mauser yang beberapa tahun sebelumnya diimpor dari Penang. Penggantinya, Kolonel van Daalen gagal mengangkat moral pasukan sehingga memaksanya mundur pada 25 April 1873.
Berita perang dan kekalahan Belanda diulas di London Time (edisi 22 April 1873) dan The New York Time (edisi 15 Mei 1873). Batavia tersentak.
Tetapi orang Aceh juga tahu bahwa Belanda bukan kolonialis sembarangan. Artinya Aceh tetap butuh bantuan. Tetapi siapa yang bisa membantu? Inggris, Perancis atau Amerika?
Tidak! Sesama kolonial tidak akan saling menghancurkan. Satu-satunya jalan adalah meminta perlindungan pada pusat kekuasaan islam, khilafah Turki Utsmaniah. Sultan Aceh (Mahmud) bersegera memerintahkan diplomatnya Habib Abdul Rahman Az-Zahir – yang waktu itu di Mekah (saat itu Arabia adalah propinsi Turki) — menuju Istambul. Pada tanggal 27 April 1873 Habib tiba di Istambul (Reid, 2005 : 129).
Belanda sempat gemetar tatkala tersiar kabar bahwa kapal perang Turki “Ertogrul” beserta beberapa kapal pendamping bergerak cepat menuju Aceh. Tetapi kabar itu ternyata bohong. Turki abad-19 berbeda dengan Turki Abad-15. Turki abad-19 adalah imperium yang tengah menggali liang kubur dalam-dalam. Misi Habib gagal total.
Dari Istambul ia mendengar kabar bahwa Kutaraja (Banda Aceh) telah jatuh ketangan Belanda, sedangkan Sultan dan para pejuang mengungsi ke Indrapuri kemudian Keumala.
Saat Citadel menembakan meriam pertamanya, Teuku Umar baru menginjak 19 tahun (lahir 1854 di Meulaboh, Wikipedia). Seperti layaknya orang Aceh, Umar muda juga terimbas gejolak perang. Waktu itu sebagai Keuchik (Kepala Gampong) ia adalah pemimpin perlawanan di Kampungnya. Ia dikenal cerdas dan pandai mempengaruhi orang. Umarpun menyaksikan bahwa perang itu telah berlangsung lama dan belum ada tanda-tanda selesai. Satu hal yang pasti perang menimbulkan penderitaan.
Tetapi perangpun di mata Umar pada akhirnya membuka peluang. Setidaknya ia melihat banyak ulee balang (bangsawan, penguasa daerah) yang telah berdamai dengan Belanda mendapatkan perlindungan dan keuntungan finansial, berupa gaji dan izin untuk berdagang.
Pada tahun-tahun tersebut Aceh terkenal dengan perdagangan lada. Komuditas ekonomi ini yang menjadikan kaum ulee balang menangguk keuntungan. Berbeda dengan kaum ulama dan santri yang menganjurkan perang total tanpa kompromi demi kehormatan, kaum ulee balang dan serdadunya tidak senantiasa demikian. Baginya kehormatan perlu, tetapi uang juga penting.
Setelah bermain kucing-kucingan dengan Belanda, pada akhirnya, Teuku Umar beserta pasukannya berdamai dengan Belanda tahun 1883 (Rusdi Sufi, 1994 : 88) dan menyerah secara resmi pada Maret 1984 (Reid, 2005 : 256). Hal ini menimbulkan kemarahan besar dari pejuang Aceh.
Penyerahan tersebut sangat menyakinkan karena Teuku Umar akhirnya ikut aktif bertempur untuk Belanda. Anthony Reid dalam bukunya menuduh Umar sebagai “oportunis brilian yang memilih saat-saat seperti ini untuk berpihak kepada Belanda.” Reid mendiskripsikan perilaku Umar tersebut pada peristiwa S.S Nisero. Lebih jauh Reid juga memberi catatan “Teuku Umar adalah sebuah contoh klasik dari seorang petualang berbakat yang melihat perang sebagai sebuah peluang besar” (Reid, 2005 : catatan kaki bab 7 no.65).
Saat perang Aceh memasuki masa yang rumit, pada 8 Nopember 1883 kapal dagang Inggris S.S Nisero berisi 29 ABK kandas di dekat Panga (40 mil di utara Meulaboh) dan disandera oleh penguasa Teunom, Teuku Imam. Upaya Belanda untuk membebaskan sandera tidak mudah sehingga menimbulkan perselisihan di Amsterdam dan London. Belanda tahu bahwa Teuku Imam dari Teunom ini adalah musuh bebuyutan Teuku Umar.
Akhirnya Umar yang telah menyerah dipilih untuk menjadi pimpinan pasukan komando membebaskan sandera. Pada tanggal 3 Juli 1884 pasukan komando itu bergerak menuju Rigas (dekat Teunom) dengan membawa senjata, amunisi dan uang tebusan.
Di perjalanan rupanya Teuku Umar dan pasukannya mendapat perlakuan diskriminatif dari kapten dan awak kapal perang Belanda. Umar dan pasukannya disuruh tidur digeladak dan dilarang mondar-mandir. Sebagai orang Aceh yang menjunjung kehormatan, Umar tersinggung. Pada saat kapal mendarat di Rigas maka Umar dan anak buahnya membunuh seluruh awak kapal belanda dan membawa lari senjata, amunisi dan uang. Hal ini membawa kemarahan Belanda. Sejak itu Umar dan Belanda pecah kongsi. Tetapi perlu diingat ini bukan yang terakhir Umar menyerah lalu pecah kongsi dengan Belanda.
Setidaknya Kawilarang mencatat bahwa tahun 1885 Teuku Umar ditengarai kembali berdamai dengan Belanda. Mungkin saja Umar telah berhasil menjelaskan tragedi pasukan komando S.S Nisero, bahwa ia terpaksa membunuh karena dilecehkan, sehingga akhirnya ia diterima kembali oleh Belanda. Menyerahnya Umar tahun 1885 ini perlu diklarifikasi ulang, karena Kawilarang tidak secara tegas menyertakan sumbernya. Justru Kawilarang melakukan kesalahan pengutipan “mendengar ayahnya berkhianat Cut Gambang – anak Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien – menangis tersedu.
Sang Ibu (Cut Nyak Dhien) langsung menghardik : Seorang perempuan Aceh tidak pernah menangis kepada siapapun yang syahid” (Kawilarang, 2008 : 129). Setahu saya hardikan Cut Nyak Dhien ini dilakukan saat Teuku Umar tewas tahun 1899, bukan pengkhianatan 1885.
Hal yang paling mungkin adalah bahwa sejak peristiwa pasukan komando S.S Nisero, Teuku Umar menerapkan strategi “dua muka” untuk meraih keuntungan pribadi. Ini masuk akal karena Umar mempunyai naluri bisnis yang kuat, “di beberapa daerah daerah ia (Teuku Umar) mempersatukan ekspor lada yang menguntungkan itu dalam satu tangan, yakni tangannya sendiri; di daerah lain ia memungut hasil sebesar $0,25 per pikul, di atas kertas atas nama Sultan. Kekayaan ini dengan murah hati ia bagi-bagikan kepada para pengikutnya, dan juga kepada istana dan kaum ulama di Keumala” (Reid, 2005 : 282). Reid juga menjelaskan bahwa kapal Hok Kanton membuang sauh di Rigas pada 14 Juni 1886 “untuk berdagang seperti biasa dengan Teuku Umar”.
Dari penjelasan Reid setidaknya kita tahu bahwa Umar terbiasa berdagang di pantai Barat Aceh. Padahal Belanda menerapkan blokade yang cukup ketat atas perdagangan. Hanya orang-orang yang pro Belanda – atau setidaknya yang bermain mata – yang bisa berdagang bebas seperti itu. Itulah kecerdikan Teuku Umar.
Disunting kembali oleh Atl Lisan
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar