Oleh: Adi Warsidi
Telah ada sejak ratusan tahun lalu, tradisi Negeri Daya terus
berkembang turun-temurun di kalangan warga penghuni pertapakan kerajaan
itu. Saban tahun setelah Idul Adha, para keturunan raja dihias dan
diberi singgasana lewat upacara adat bernama Seumuleng, membangkitkan
kembali semangat para leluhur yang bersemayam di komplek makam para
Sultan. Ahad 28 Oktober 2012, Tempo diundang untuk melihat langsung
prosesi itu, di alun-alun Astaka Diraja, Pantai Kuala Daya, Lamno, Aceh
Jaya.
Seribuan orang tumpah ke alun-alun Astaka Diraja. Diapit bukit dan pantai, sebelah kanan pintu masuk puluhan tenda pasar dadakan terpacak pada tanah berpasir, menjual aneka makanan dan minuman. Di kirinya, riuh para pengunjung beriringan dengan jerit anak-anak yang bermain air pada teluk kecil selaksa kolam, dipisahkan dengan laut oleh dua tebing bebatuan seperti pintu gerbang.
Alun-alun itu hanya sebidang tanah datar di kaki bukit kecil yang terletak menjorok ke laut. Sebagian pantainya tertutup batu-batu besar untuk pemecah ombak mencegah erosi. Di bukit itulah, sebuah negeri menorehkan sejarahnya, pada makam raja-raja yang pernah memerintah di Negeri Meureuhom Daya atau kerap disebut Negeri Daya.
Saat Tempo tiba di sana, sebuah perlehatan akbar akan digelar. Upacara adat Seumuleng (menyuapi) Raja Daya, sebuah tradisi turun temurun yang dijaga oleh para keturunan raja dan warganya.
Sepelemparan batu dari pintu masuk, Astaka Diraja atau sebuah balai pentas terbuka tempat singgasana raja terletak telah dirias dengan dominan kuning. Telah pula disiapkan beberapa tenda di sampingnya untuk menampung para tamu yang ingin melihat prosesi adat.
Para tamu mulai berdatangan menjelang dhuhur, menempati kursi-kursi di bawah tenda mencari lindung dari panas matahari yang menyengat. Langit masih biru di atas alun-alun, di kejauhan sana, awan hitam mulai berkumpul.
Sebelum masuk acara puncak Seumuleng Raja, segala persiapan dilakukan oleh sebuah badan pelaksana yang bertanggung jawab suksesnya acara. “Badan itu juga dibentuk turun temurun, sejak masa kerajaan dulu,” kata Safrizal, pemerhati sejarah Negeri Daya.
Tradisi terjaga di badan pelaksana, juga secara turun temurun. Misalnya kata Safrizal, raja dulunya memberikan hak mengelola kebun dan sawah raja kepada warga yang ditunjuk. Merekalah yang harus mempersiapkan segala macam hidangan dalam tradisi Seumuleng dan kebutuhan adat lainnya. Dalam perjalanan waktu sampai kini, aturan itu tetap terpelihara. Keturunan merekalah yang kemudian harus menyiapkan bahan makanan untuk kebutuhan upacara pada Ahad itu, tak peduli apa jabatan dan statusnya kini. Tradisi dengan kesepakatan bersama.
Bahan makanan yang disiapkan untuk Raja Daya dalam upacara Seumuleng, harus berasal dari tanah-tanah peninggalan raja. Padi dari sawah kerajaan dulunya, kelapa dan segala sayur-mayurnya. Untuk ikan, udang tak boleh dibeli. Ada pekerja khusus yang mencarinya di Laut Negeri Daya, semua seperti dulu.
Alhasil, terhidanglah makanan serba mewah ditaruh dalam macam-macam tampan perak peninggalan negeri, yang akan dihadapkan kepada raja. Dari nasi, lobster besar sampai bulukat takeh, makanan khas Kerajaan Daya dari beras ketan dan kelapa yang dihaluskan seperti selai.
Dalam tradisi, Safrizal mengatakan, pada malam hari ada juga ritual menyalakan Pham Kutika (lampu teplok) dengan tujuh sumbu yang berbeda warna. Lampu dinyalakan oleh Penjaga Makam, terbuat dari tanah liat berbahan bakar minyak goreng, digantungkan di dekat makam Raja Daya. Konon, jika ketujuh sumbu menyala baik, rezeki akan datang melimpah di tahun itu.
***
Bakda Dhuhur, pemandu prosesi adat Seumuleng, Ibnu Hajar mempersilakan para tamu kehormatan naik ke balai Astaka Diraja. Mereka adalah para pemangku adat, ulama, hakim kerajaan, para penasihat, bahkan pejabat pemerintahan Provinsi Aceh dan Aceh Jaya. Ada juga tiga raja kecil masing-masing Raja Lamno, Raja Kuala Unga dan Raja Keuluang, yang berada dalam kekuasaan Negeri Daya.
Sesaat kemudian, Panglima Kerajaan Abdurrahman masuk balai dengan pedang panjangnya memeriksa kelengkapan upacara adat. Bajunya hitam dengan ikat kepala merah. “Upacara siap dilaksanakan,” suaranya lantang sambil mengeluarkan pedang dari sarungnya. Dia kemudian turun menjemput Sang Raja Daya, Teuku Saifullah di sebuah bangunan dekat tak jauh dari sana.
Tengku Saifullah adalah keturunan ke 13 yang mewariskan Negeri Daya, sedangkan Panglima Abdurrahman adalah keturunan ke 11 dari Panglima Besar Kerajaan dulunya.
Raja Saifullah menuju Astaka Diraja dikawal Panglima dengan pedang terhunus. Pakaiannya serba kuning, lengkap kopiah kerajaan bermanik warna keemasan. Naik ke balai, seluruh penghuni panggung diminta berdiri. Mereka duduk kembali setelah Raja Saifullah duduk bersila. Dua khadam kerajaan duduk berhadapan dengan raja dan hakim, mengibaskan kipas. Ratusan pasang mata warga menuju ke tempat itu. Gerimis turun menyapa alun-alun, beberapa warga berdesakan dalam tenda-tenda, tak terganggu.
Ibnu Hajar memandu para petugas untuk mengidangkan makanan-makanan dalam tampan berwarna perak. “Sesaat lagi Seumuleng raja akan berlangsung,” ujarnya. Tampan itu pernah hilang ratusan tahun dan kembali lagi setelah kolektor benda-benda sejarah menemukan riwayat benda itu dan mengembalikannya sebagai aset Kerajaan Daya.
Setelah doa-doa yang dipimpim oleh Mufti (ulama) kerajaan, Khadam membuka kain bungkusan hidangan, lalu mencuci tangan raja dan tangannya dengan air dalam kendi yang juga berwarna perak. Lalu sesuap nasi yang disebut Bu Ulee disulangkan ke mulut Raja Saifullah. Itulah Seumuleng yang berarti menyuapi raja.
Selanjutnya kue khas untuk raja, bulukat pakeh dihidangkan. Raja Daya mengambilnya sendiri makanan itu. Prosesi makan usai. Lalu raja bangkit membacakan amanat kerajaan menggunakan bahasa daerah, yang artinya; “Pada hari ini kita mengingat hari berdirinya Negeri Daya yang didirikan oleh leluhur kita, Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah pada tahun 1480 Masehi, yang kita rayakan setiap saat pada hari raya Idul Adha.”
“Kita wajib memikirkan selalu Negeri Daya baik di bidang agama, adat istiadat dan memakmurkan negeri dengan sawah, kebun dan laut,” ujar Raja Saifullah.
Dalam amanat, raja juga menyampaikan agar setiap perkara di dalam Negeri Daya diputuskan dengan hukum Allah dan juga hukum adat. Amanat itulah yang dibaca berulang-ulang saban tahun dalam peringatan tradisi Seumuleng Raja Daya. Mengingatkan warga pada petuah leluhur mereka.
Selesai amanat raja, para tamu kehormatan makan bersama dengan suasana penuh keakraban. Hidangan raja juga dibagikan kepada para warga, mereka antusias mengambil makanan itu lalu menyantap. Zaman dulu, makanan sisa raja dipercaya mendatangkan berkah. Tempo kebagian mencicipi bulukat takeh, rasanya khas beras ketan yang lembut dilapisi selai kelapa.
***
Langit kembali terang-benderang. Tradisi berlanjut dengan ziarah makam para Raja Daya yang pernah berkuasa di negeri itu pada zaman kerajaan dulunya. Dengan dikawal panglima, Raja Saifullah menaiki 99 anak tangga yang dibuat khusus menuju makam para leluhurnya, di atas bukit. Di belakangnya, menyusul para pengawal dan perangkat Negeri Daya.
Ada sepuluh raja terdahulu yang dimakamkan di sana. Makam-makam itu berada dalam satu bangunan yang dipagar besi. Batu-batu nisan bertulisan huruf arab, dibalut kain putih. Di atasnya ditaburi batu-batu warna putih. Makam pendiri Negeri Daya, Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah ditandai dengan tembok beton sekelilingnya dan tampak dominan.
Sebelum masuk makam, Raja Saifullah, panglima, hakim kerajaan dan para raja bawahannya membasuh muka dengan air yang dinilai suci, berasal dari guci peninggalan Negeri Daya dengan sumber mataair di atas bukit. Penjaga Makam, Abidin (60 tahun) mengambil air dengan gayung dari tempurung kelapa yang telah diberikan pegangan, menuang ke tangan raja, lalu membasuh muka dan kepala.
Raja kemudian memasuki areal makam mengelilingi sambil melafalkan doa-doa. Selesai ziarah, raja dan perangkat Negeri Daya beristirahat di sebuah balai dekat makam, berdiskusi dengan tokoh masyarakat dan pemerintahan terkait menjaga tradisi di negeri itu. Prosesi adat pun selesai.
Adik Raja Saifullah, Teuku Zaini mengisahkan upacara adat Seumuleng beriringan dengan ziarah makam, adalah amanah nenek moyang yang tetap harus dijalankan dalam kondisi apapun. Pesan itu turun temurun disampaikan oleh dari ayah ke anak. Ayah dari Zaini dan juga Raja Saifullah adalah Teuku Hasymi el Hakimi, keturunan ke 12 Raja Daya.
“Kalau kami tidak ada lagi, gantikan kami dan jagalah tradisi seperti yang kami lakukan dulu,” kata Zaini menirukan perintah ayahnya semasa hidup. “Itulah yang kemudian kami lakukan, juga merawat makam,” sambungnya.
Kerajaan Daya bermula dari pemukiman para pengungsi dari Kerajaan Indra Jaya, sebuah Kerajaan yang berpusat di Bandar Panton Bie (Seudu, Aceh Besar). Mereka mengungsi ke wilayah Kuala Unga untuk menghindari serangan tentara angkatan laut Negeri China yang menyerang negeri mereka.
Lalu datang para mubaligh pimpinan Teungku Sagop dari Kerajaan Peureulak dan menyebarkan Islam yang diterima baik oleh warga di sana. Tengku Sagop bahkan berhasil menguasai Indra Jaya dan kemudian diangkat menjadi raja, dengan pusat kerajaan dipindahkan ke Kuala Unga. Dia mangkat, kerajaan dipegang keturunannnya, salah satu yang terkenal adalah Meureuhom Onga. Sepeninggal Onga, Negeri Daya mengalami kemunduran dan kekacauan, terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil.
Pemerhati sejarah Negeri Daya, Safrizal mengisahkan, akhirnya datanglah Raja Inayat Syah dan puteranya Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam. Sultan Salatin ditugaskan untuk mengatasi kemelut di wilayah daya yang telah terbagi menjadi empat kerajaan kecil, Kerajaan Keuluang, Lamno, Kuala Unga dan Kerajaan Kuala Daya.
Kemelut selesai dan Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah diangkat menjadi Raja Daya bergelar Po Teumuereuhom Daya. Dia kemudian diangkat sebagai raja pada Idul Adha tahun 1480. Dalam penobatan itulah dia disuapi makanan oleh orang tuanya, awal dari upacara adat Seumuleng.
Tradisi itu kemudian terus berlangsung dari tahun ke tahun di awal bulan zulhijjah, semasa pemerintahan Sultan Salatin. “Upacara Seumeuleung sebenarnya penghormatan saat pengangkatan Sultan Salatin menjadi Raja Daya,” terang Safrizal.
Setelah Sultan Salatin tiada, putrinya yang bernama Ratu Nurul Huda memerintah. Dia menikah dengan Raja Kerajaan Aceh Darussalam, Ali Mughayatsyah. Bersatulah dua kerajaan itu. Nurul tetap memerintah Negeri Daya selama 23 tahun dan berhasil membawa kemakmuran. Usai Nurul mangkat, Negeri Daya mengalami kemunduran karena kericuhan raja-raja dalam wilayah kerajaan itu. Tradisi Seumuleng pun mulai jarang dilaksanakan.
Lebih duaratus tahun kemudian, saat Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (1711 – 1735 M) menghidupkan kembali tradisi. Dia berkunjung ke Negeri Daya untuk menertibkan kekacauan. Seluruh raja kecil dan pemuka adat dan agama dikumpulkan dan membuat beberapa ketetapan yang tak boleh dilanggar. Ditunjuklah hakim tinggi sebagai pemangku Raja Daya bergelar Setialila untuk mendamaikan sengketa.
Salah satu ketetapan yang dibuat adalah aturan upacara adat Seumuleng. “Setelahnya tradisi itu hidup sampai kini,” kata Safrizal. Dan saban tahun setelah Idul Adha, para keturunan raja dihias dan diberi singgasana, untuk membangkitkan kembali semangat para leluhur yang berdiam di komplek makam para Sultan, seperti Ahad 28 Oktober 2012 lalu. ***
Seribuan orang tumpah ke alun-alun Astaka Diraja. Diapit bukit dan pantai, sebelah kanan pintu masuk puluhan tenda pasar dadakan terpacak pada tanah berpasir, menjual aneka makanan dan minuman. Di kirinya, riuh para pengunjung beriringan dengan jerit anak-anak yang bermain air pada teluk kecil selaksa kolam, dipisahkan dengan laut oleh dua tebing bebatuan seperti pintu gerbang.
Alun-alun itu hanya sebidang tanah datar di kaki bukit kecil yang terletak menjorok ke laut. Sebagian pantainya tertutup batu-batu besar untuk pemecah ombak mencegah erosi. Di bukit itulah, sebuah negeri menorehkan sejarahnya, pada makam raja-raja yang pernah memerintah di Negeri Meureuhom Daya atau kerap disebut Negeri Daya.
Saat Tempo tiba di sana, sebuah perlehatan akbar akan digelar. Upacara adat Seumuleng (menyuapi) Raja Daya, sebuah tradisi turun temurun yang dijaga oleh para keturunan raja dan warganya.
Sepelemparan batu dari pintu masuk, Astaka Diraja atau sebuah balai pentas terbuka tempat singgasana raja terletak telah dirias dengan dominan kuning. Telah pula disiapkan beberapa tenda di sampingnya untuk menampung para tamu yang ingin melihat prosesi adat.
Para tamu mulai berdatangan menjelang dhuhur, menempati kursi-kursi di bawah tenda mencari lindung dari panas matahari yang menyengat. Langit masih biru di atas alun-alun, di kejauhan sana, awan hitam mulai berkumpul.
Sebelum masuk acara puncak Seumuleng Raja, segala persiapan dilakukan oleh sebuah badan pelaksana yang bertanggung jawab suksesnya acara. “Badan itu juga dibentuk turun temurun, sejak masa kerajaan dulu,” kata Safrizal, pemerhati sejarah Negeri Daya.
Tradisi terjaga di badan pelaksana, juga secara turun temurun. Misalnya kata Safrizal, raja dulunya memberikan hak mengelola kebun dan sawah raja kepada warga yang ditunjuk. Merekalah yang harus mempersiapkan segala macam hidangan dalam tradisi Seumuleng dan kebutuhan adat lainnya. Dalam perjalanan waktu sampai kini, aturan itu tetap terpelihara. Keturunan merekalah yang kemudian harus menyiapkan bahan makanan untuk kebutuhan upacara pada Ahad itu, tak peduli apa jabatan dan statusnya kini. Tradisi dengan kesepakatan bersama.
Bahan makanan yang disiapkan untuk Raja Daya dalam upacara Seumuleng, harus berasal dari tanah-tanah peninggalan raja. Padi dari sawah kerajaan dulunya, kelapa dan segala sayur-mayurnya. Untuk ikan, udang tak boleh dibeli. Ada pekerja khusus yang mencarinya di Laut Negeri Daya, semua seperti dulu.
Alhasil, terhidanglah makanan serba mewah ditaruh dalam macam-macam tampan perak peninggalan negeri, yang akan dihadapkan kepada raja. Dari nasi, lobster besar sampai bulukat takeh, makanan khas Kerajaan Daya dari beras ketan dan kelapa yang dihaluskan seperti selai.
Dalam tradisi, Safrizal mengatakan, pada malam hari ada juga ritual menyalakan Pham Kutika (lampu teplok) dengan tujuh sumbu yang berbeda warna. Lampu dinyalakan oleh Penjaga Makam, terbuat dari tanah liat berbahan bakar minyak goreng, digantungkan di dekat makam Raja Daya. Konon, jika ketujuh sumbu menyala baik, rezeki akan datang melimpah di tahun itu.
***
Bakda Dhuhur, pemandu prosesi adat Seumuleng, Ibnu Hajar mempersilakan para tamu kehormatan naik ke balai Astaka Diraja. Mereka adalah para pemangku adat, ulama, hakim kerajaan, para penasihat, bahkan pejabat pemerintahan Provinsi Aceh dan Aceh Jaya. Ada juga tiga raja kecil masing-masing Raja Lamno, Raja Kuala Unga dan Raja Keuluang, yang berada dalam kekuasaan Negeri Daya.
Sesaat kemudian, Panglima Kerajaan Abdurrahman masuk balai dengan pedang panjangnya memeriksa kelengkapan upacara adat. Bajunya hitam dengan ikat kepala merah. “Upacara siap dilaksanakan,” suaranya lantang sambil mengeluarkan pedang dari sarungnya. Dia kemudian turun menjemput Sang Raja Daya, Teuku Saifullah di sebuah bangunan dekat tak jauh dari sana.
Tengku Saifullah adalah keturunan ke 13 yang mewariskan Negeri Daya, sedangkan Panglima Abdurrahman adalah keturunan ke 11 dari Panglima Besar Kerajaan dulunya.
Raja Saifullah menuju Astaka Diraja dikawal Panglima dengan pedang terhunus. Pakaiannya serba kuning, lengkap kopiah kerajaan bermanik warna keemasan. Naik ke balai, seluruh penghuni panggung diminta berdiri. Mereka duduk kembali setelah Raja Saifullah duduk bersila. Dua khadam kerajaan duduk berhadapan dengan raja dan hakim, mengibaskan kipas. Ratusan pasang mata warga menuju ke tempat itu. Gerimis turun menyapa alun-alun, beberapa warga berdesakan dalam tenda-tenda, tak terganggu.
Ibnu Hajar memandu para petugas untuk mengidangkan makanan-makanan dalam tampan berwarna perak. “Sesaat lagi Seumuleng raja akan berlangsung,” ujarnya. Tampan itu pernah hilang ratusan tahun dan kembali lagi setelah kolektor benda-benda sejarah menemukan riwayat benda itu dan mengembalikannya sebagai aset Kerajaan Daya.
Setelah doa-doa yang dipimpim oleh Mufti (ulama) kerajaan, Khadam membuka kain bungkusan hidangan, lalu mencuci tangan raja dan tangannya dengan air dalam kendi yang juga berwarna perak. Lalu sesuap nasi yang disebut Bu Ulee disulangkan ke mulut Raja Saifullah. Itulah Seumuleng yang berarti menyuapi raja.
Selanjutnya kue khas untuk raja, bulukat pakeh dihidangkan. Raja Daya mengambilnya sendiri makanan itu. Prosesi makan usai. Lalu raja bangkit membacakan amanat kerajaan menggunakan bahasa daerah, yang artinya; “Pada hari ini kita mengingat hari berdirinya Negeri Daya yang didirikan oleh leluhur kita, Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah pada tahun 1480 Masehi, yang kita rayakan setiap saat pada hari raya Idul Adha.”
“Kita wajib memikirkan selalu Negeri Daya baik di bidang agama, adat istiadat dan memakmurkan negeri dengan sawah, kebun dan laut,” ujar Raja Saifullah.
Dalam amanat, raja juga menyampaikan agar setiap perkara di dalam Negeri Daya diputuskan dengan hukum Allah dan juga hukum adat. Amanat itulah yang dibaca berulang-ulang saban tahun dalam peringatan tradisi Seumuleng Raja Daya. Mengingatkan warga pada petuah leluhur mereka.
Selesai amanat raja, para tamu kehormatan makan bersama dengan suasana penuh keakraban. Hidangan raja juga dibagikan kepada para warga, mereka antusias mengambil makanan itu lalu menyantap. Zaman dulu, makanan sisa raja dipercaya mendatangkan berkah. Tempo kebagian mencicipi bulukat takeh, rasanya khas beras ketan yang lembut dilapisi selai kelapa.
***
Langit kembali terang-benderang. Tradisi berlanjut dengan ziarah makam para Raja Daya yang pernah berkuasa di negeri itu pada zaman kerajaan dulunya. Dengan dikawal panglima, Raja Saifullah menaiki 99 anak tangga yang dibuat khusus menuju makam para leluhurnya, di atas bukit. Di belakangnya, menyusul para pengawal dan perangkat Negeri Daya.
Ada sepuluh raja terdahulu yang dimakamkan di sana. Makam-makam itu berada dalam satu bangunan yang dipagar besi. Batu-batu nisan bertulisan huruf arab, dibalut kain putih. Di atasnya ditaburi batu-batu warna putih. Makam pendiri Negeri Daya, Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah ditandai dengan tembok beton sekelilingnya dan tampak dominan.
Sebelum masuk makam, Raja Saifullah, panglima, hakim kerajaan dan para raja bawahannya membasuh muka dengan air yang dinilai suci, berasal dari guci peninggalan Negeri Daya dengan sumber mataair di atas bukit. Penjaga Makam, Abidin (60 tahun) mengambil air dengan gayung dari tempurung kelapa yang telah diberikan pegangan, menuang ke tangan raja, lalu membasuh muka dan kepala.
Raja kemudian memasuki areal makam mengelilingi sambil melafalkan doa-doa. Selesai ziarah, raja dan perangkat Negeri Daya beristirahat di sebuah balai dekat makam, berdiskusi dengan tokoh masyarakat dan pemerintahan terkait menjaga tradisi di negeri itu. Prosesi adat pun selesai.
Adik Raja Saifullah, Teuku Zaini mengisahkan upacara adat Seumuleng beriringan dengan ziarah makam, adalah amanah nenek moyang yang tetap harus dijalankan dalam kondisi apapun. Pesan itu turun temurun disampaikan oleh dari ayah ke anak. Ayah dari Zaini dan juga Raja Saifullah adalah Teuku Hasymi el Hakimi, keturunan ke 12 Raja Daya.
“Kalau kami tidak ada lagi, gantikan kami dan jagalah tradisi seperti yang kami lakukan dulu,” kata Zaini menirukan perintah ayahnya semasa hidup. “Itulah yang kemudian kami lakukan, juga merawat makam,” sambungnya.
Kerajaan Daya bermula dari pemukiman para pengungsi dari Kerajaan Indra Jaya, sebuah Kerajaan yang berpusat di Bandar Panton Bie (Seudu, Aceh Besar). Mereka mengungsi ke wilayah Kuala Unga untuk menghindari serangan tentara angkatan laut Negeri China yang menyerang negeri mereka.
Lalu datang para mubaligh pimpinan Teungku Sagop dari Kerajaan Peureulak dan menyebarkan Islam yang diterima baik oleh warga di sana. Tengku Sagop bahkan berhasil menguasai Indra Jaya dan kemudian diangkat menjadi raja, dengan pusat kerajaan dipindahkan ke Kuala Unga. Dia mangkat, kerajaan dipegang keturunannnya, salah satu yang terkenal adalah Meureuhom Onga. Sepeninggal Onga, Negeri Daya mengalami kemunduran dan kekacauan, terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil.
Pemerhati sejarah Negeri Daya, Safrizal mengisahkan, akhirnya datanglah Raja Inayat Syah dan puteranya Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam. Sultan Salatin ditugaskan untuk mengatasi kemelut di wilayah daya yang telah terbagi menjadi empat kerajaan kecil, Kerajaan Keuluang, Lamno, Kuala Unga dan Kerajaan Kuala Daya.
Kemelut selesai dan Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah diangkat menjadi Raja Daya bergelar Po Teumuereuhom Daya. Dia kemudian diangkat sebagai raja pada Idul Adha tahun 1480. Dalam penobatan itulah dia disuapi makanan oleh orang tuanya, awal dari upacara adat Seumuleng.
Tradisi itu kemudian terus berlangsung dari tahun ke tahun di awal bulan zulhijjah, semasa pemerintahan Sultan Salatin. “Upacara Seumeuleung sebenarnya penghormatan saat pengangkatan Sultan Salatin menjadi Raja Daya,” terang Safrizal.
Setelah Sultan Salatin tiada, putrinya yang bernama Ratu Nurul Huda memerintah. Dia menikah dengan Raja Kerajaan Aceh Darussalam, Ali Mughayatsyah. Bersatulah dua kerajaan itu. Nurul tetap memerintah Negeri Daya selama 23 tahun dan berhasil membawa kemakmuran. Usai Nurul mangkat, Negeri Daya mengalami kemunduran karena kericuhan raja-raja dalam wilayah kerajaan itu. Tradisi Seumuleng pun mulai jarang dilaksanakan.
Lebih duaratus tahun kemudian, saat Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (1711 – 1735 M) menghidupkan kembali tradisi. Dia berkunjung ke Negeri Daya untuk menertibkan kekacauan. Seluruh raja kecil dan pemuka adat dan agama dikumpulkan dan membuat beberapa ketetapan yang tak boleh dilanggar. Ditunjuklah hakim tinggi sebagai pemangku Raja Daya bergelar Setialila untuk mendamaikan sengketa.
Salah satu ketetapan yang dibuat adalah aturan upacara adat Seumuleng. “Setelahnya tradisi itu hidup sampai kini,” kata Safrizal. Dan saban tahun setelah Idul Adha, para keturunan raja dihias dan diberi singgasana, untuk membangkitkan kembali semangat para leluhur yang berdiam di komplek makam para Sultan, seperti Ahad 28 Oktober 2012 lalu. ***
Adi Warsidi MEULABOH says: