Makam-makam Tua yang Terbengkalai di Kampung Pande, Aceh
detikTravel Community -
Banyak makam tua yang tersebar di Banda Aceh, salah satunya di Kampung
Pande, Kecamatan Kutaraja. Sayangnya makam-makam bersejarah ini
terbengkalai, padahal jadi bukti kemashyuran kerajaan Islam pada
zamannya.
Banyak makam tua yang berada di bantaran sungai dan
pantai di Banda Aceh, Provinsi Aceh. Salah satunya, makam-makam tua yang
berada di Gampong atau Kampung Pande. Makam-makam ini jadi salah satu
bukti kemashyuran Banda Aceh sebagai ibukota kerajaan Islam pada
zamannya. Sayangnya, makam-makam tua ini dibiarkan terbengkalai begitu
saja.
Gampong atau Kampung Pande merupakan kampung tua di Banda
Aceh. Lokasinya di sisi barat Krueng Aceh, berdekatan dengan Kecamatan
Meuraxa dan Pelabuhan Ulee Lheue. Kampung Pande diapit beberapa kampung
tua lainnya. Ada Kampung Jawa di sebelah timur, Kampung Peulanggahan dan
Keudah di sebelah selatan. Sementara sebelah utaranya berhadapan dengan
pantai dan kuala Krueng Aceh.
Dari lokasi geografisnya,
Kampung Pande merupakan kota pelabuhan pada zamannya. Bahkan catatan
sejarah Aceh menyebutkan, di kawasan inilah Istana Kerajaan Aceh
berdiri.
Mengutip tulisan Deddy Satria dalam Jurnal Seri
Informasi Kepurbakalaan Arabesk No I Edisi XI, Januari-Juni 2011, kata
'pande' atau 'pandai' berasal dari bahasa Melayu, yang berarti orang
dengan keahlian atau keterampilan khusus. Pande yang dimaksud di sini
yaitu orang-orang yang mempunyai keahlian dan keterampilan dalam
menempa, mencetak atau membuat benda-benda dari logam baik logam mulia
maupun logam biasa.
Nama Kampung Pande ditemukan di Hikayat
Pocut Muhammad yang disusun pada awal abad ke-18 Masehi. Seperti ditulis
Karel F.H van Langen yang berjudul Susunan Pemerintahan Aceh Semasa
Kesultanan, terbitan tahun 1986, Kampung Pande sudah dikenal sebagai
tempat pengrajin benda logam dan batu-batu mulia. Mungkin karena itu
pula dinamakan Kampung Pande.
Menyusuri kampung ini setiap
jengkalnya, seolah membawa kita pada masa silam Banda Aceh yang saat itu
menjadi salah satu bandar besar. Datanglah ke kawasan ini jika
berkunjung ke Banda Aceh, dan nikmati semilir angin lautnya.
Seharusnya Kampung Pande yang merupakan salah satu kampung tua ini,
dapat dijadikan semacam laboratorium bagi sejarah perkembangan kota
Banda Aceh. Tak hanya itu saja, kampung tua yang kaya sejarah ini juga
dapat dijadikan salah satu tujuan wisata sejarah di Banda Aceh. Kampung
ini memegang peranan penting dalam perkembangan kota Banda Aceh baik di
masa kini maupun di masa mendatang.
Sayangnya, pemerintah
daerah belum terlihat sungguh-sungguh melakukan upaya untuk mewujudkan
kawasan ini menjadi tujuan wisata sejarah. Kenyataan ini saya dapatkan
dalam perjalanan saya menyusuri Kampung Pande.
Ada dua makam
komplek yang sudah diberi pagar di kawasan ini. Makam Tuanku Di Kandang
dan komplek makam Putroe Ijo. Tapi tak ada informasi apapun dari kedua
makam ini selain papan tanda yang menyebutkan nama komplek makam
tersebut. Di papan nama komplek disebutkan bahwa makam-makam ini berada
di bawah naungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata.
Komplek makam Tuanku Di Kandang
sepertinya sedang diperbaiki. Beberapa nisan yang sudah dibongkar
terlihat diberi nomor. Sayangnya, tak ada penjaga atau warga yang bisa
ditanyai. Sementara di komplek makam Putro Ijo yang berada di tengah
perkampungan, nasibnya lebih miris. Sekeliling pagarnya dijadikan tempat
menjemur pakaian warga dan juga menjemur bahan-bahan makanan yang
sengaja dikeringkan. Beberapa nisan yang rusak dibiarkan tergeletak
begitu saja.
Mengutip keterangan dari Cloude Guillot &
Ludvik Kalus, ’Les Monuments Foneraires et l’Histoire du Sultanate
de Pase a Sumatra’, Cahierd’ Archipel 37, Paris, 2008, p.326-336,
jenis batu nisan di makam Tuanku Di Kandang, disebut dengan batu nisan
'plak pling'.
Nisan-nisan ini diperkirakan berasal dari
pertengahan akhir abad 15 M atau sekitar tahun 1460-an. Guillot &
Kalus yang telah membaca teks epitap berhasil membaca beberapa batu
nisan jenis ini pada lima batu nisan yang berada di pemakaman Tuan Di
Kandang dengan kode TK ().Periode batu nisan 'plak pling' diperkirakan
berasal dari tahun 1446-1484 M. Tapi sayangnya, informasi ini tak saya
temukan di lokasi makam.
Dari beberapa referensi yang saya
dapat, para arkeolog dan ahli sejarah juga pernah melakukan penelitian
terhadap batu-batu nisan di komplek pemakaman ini. Salah satu bantu
nisan disebutkan milik Sultan Firman Syah, cucu dari Sultan Alauddin
Johan Mahmud Syah yang memerintah dari tahun 1267-1309 M.
Dari
nisan ini akhirnya kemudian terungkap bawa kampung yang menjadi asal
muasal Kota Banda Aceh itu dibangun pada hari Jum’at tanggal 1
Ramadhan tahun 610 Hijriah atau 22 April 1205 Masehi. Tapi entah nisan
yang mana, karena tak ada keterangan di sana. Jadi, tulisan pada
batu-batu nisan itu bukan hanya hiasan kaligrafi semata. Banyak
terkandung informasi sejarah bersamanya.
Mengutip Hikayat Pocut
Muhammad dan Adat Meukuta Alam, dulu kampung-kampung di kuala sungai
dan di sekitar sungai Aceh ini sangat krusial posisinya bagi pendapatan
Sultan Aceh karena sebagai tempat perdagangan dan dekat dengan
pelabuhan.
Pernyataan dalam Hikayat Pocut Muhammad tersebut
agaknya masih cukup relevan hingga kini. Jika saja pemerintah dan
masyarakat di Banda Aceh jeli, kawasan ini dapat dijadikan sumber
pendapatan pemerintah daerah dan juga warga sekitar.
Kampung
Pande sebagai muasal Kota Banda Aceh, dapat dijadikan destinasi wisata
sejarah Kota Banda Aceh. Jika dirawat dan dipelihara dengan baik,
nisan-nisan tua ini juga dapat menjadi saksi bisu bagi anak cucu kelak
tentang kejayaan Aceh di masa silam.
http://travel.detik.com/read/2013/01/02/163253/2131442/1025/makam-makam-tua-yang-terbengkalai-di-kampung-pande-aceh?8800041024 — dengan Mohd Hafasdzillah Jusoh dan Zakkir Muzakkir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar