Dibandingkan dengan daerah lain di nusantara, maka Aceh mampu melahirkan lebih banyak pahlawan-pahlawan wanita perkasa . Jika pahlawan wanita dari luar Aceh kebanyakan berjuang secara non fisik, maka wanita Aceh berjuang secara fisik. Melakukan konfrontasi senjata secara langsung dengan penjajah Portugis dan Belanda. Keberanian, ketangguhan, kecerdasan, dan keshalihan melekat erat dalam pribadi pahlawan wanita Aceh.
Selama ini kita mengenal pahlawan wanita Aceh hanya Cut Nyak Dien dan Cut Meutia. Padahal masih banyak wanita hebat Aceh lainnya yang gigih berjuang hingga mati syahid . Cut Nyak Dien dan Cut Meutia adalah pionir pengobar semangat mujahidah-mujahidah Aceh. Mereka berhasil melakukan kaderisasi dengan baik . Ketika Cut Nyak Dien dan Cut Meutia syahid, maka tunas-tunas muda didikan mereka tumbuh melanjutkan estafet perjuangan.
Salah satu wanita hebat Aceh yang keberaniannya diakui Belanda adalah Pocut Meurah Intan. Dia mendapat gelar Heldhafting artinya Yang Gagah Berani. Gelar heldhafting ini diberikan oleh seorang perwira Belanda Letkol TJ.Veltman. Pemberian gelar ini sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan atas keberanian Pocut Meurah Intan. Dialah wanita bersenjatakan rencong yang berani melawan 18 serdadu Belanda seorang diri. Keberaniannya membuat terkagum-kagum tentara Belanda.
Pocut Meurah merupakan nama pangilan khusus bangsawan wanita keturunan kesultanan Aceh. Ayahnya Keujreun (kepala daerah) Biheu adalah keturunan Pocut Bantan. Meski Pocut Meurah Intan adalah ibu tiri dari Permaisuri Sultan Alaidin Muhmmad Daud Syah (Sultan terakhir kerajaan Aceh), tidak serta merta membuat seorang Pocut Meurah Intan menjadi perempuan yang lemah dan manja. Seluruh hidupnya hanya didedikasikan untuk mengusir “kaphee” (istilah untuk penjajah dalam bahasa Aceh) dari tanah serambi Mekkah.
Pocut Meurah Intan bersuamikan Tuanku Abdul Majid, Putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Alam Syah. Tuanku Abdul Majid adalah salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau berdamai dengan Belanda. Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang Belanda, ia disebut oleh beberapa penulis Belanda sebagai perompak laut.
Dia mengganggu kapal-kapal Belanda yang lewat di perairan Aceh. Tuanku Abdul Majid merupakan pejabat kesultanan yang ditugaskan untuk mengutip bea cukai di pelabuhan Kuala Batee. Tetapi sangat disayangkan, tak lama kemudian Tuanku Abdul Majid menyerah kepada Belanda. Hal ini menyebabkan kemarahan dahsyat Pocut Meurah Intan. Beliau langsung menuntut cerai suaminya dan bersumpah akan membunuh semua rakyat yang menyerah kepada Belanda.
Meskipun suaminya telah menyerah kepada Belanda, tetapi Pocut Meurah Intan bersumpah untuk membunuh para penjajah. Dia tinggalkan kehidupan kesultanan yang nyaman dan bergabung dengan para pejuang di hutan belantara. Hidupnya diabdikan sepenuhnya untuk perjuangan. Dibuangnya segala kemewahan kaum bangsawan dan disematkan kecintaan mati syahid di dadanya.
Pocut membawa ketiga putranya hasil pernikahannya dengan Tuanku Abdul Majid dalam perang gerilya yang berkepanjangan. Ketiga putra Pocut tersebut adalah Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin.
Ibu beserta ketiga putranya tersebut terkenal sebagai pemimpin utama perlawanan terhadap Belanda. Mereka masuk dalam daftar buronan Belanda. Marsosse Belanda sering mengadakan patroli dan pengejaran terhadap para gerilyawan. Metode hit and run kaum gerilyawan Aceh cukup merepotkan dan merugikan Belanda.
Persenjataan dan perlengkapan yang minim tidak membuat patah semangat gerilyawan Aceh. Iman di dada lah senjata utama mereka. Semangat jihad dan ganjaran surga menjadi sumber energi yang tak pernah habis. Pocut Meurah menanamkan mati syahid sebagai cita-cita tertinggi kepada ketiga putranya.
Muhammad Batee melakukan perlawanan sengit kepada Belanda. Dalam sebuah pertempuran dia terdesak dan akhirnya ditangkap Belanda pada bulan Februari 1900. Karena dianggap berbahaya, Muhammad Batee diasingkan ke Tondano Sulawesi Utara pada tanggal 19 April 1900.
Pocut berduka. Tapi berduka tidaklah menyelesaikan keadaan. Penangkapan Muhammad Batee membuat Pocut semakin geram. Bersama kedua putranya yang lain dia masih memimpin perang gerilya di hutan belantara. Berbagai peperangan ia pimpin dengan semangat. Dua tahun setelah pengasingan Muhammad Batee, Pocut terdesak. Di suatu pertempuran di Gampong Sigli pada tanggal 11 November 1902 Pocut tertangkap.
Dalam penangkapan tersebut ada kisah heroik yang diabadikan oleh Zentgraft, mantan serdadu Belanda di masa penjajahan yang beralih profesi menjadi wartawan. Ia meliput perang antara Aceh dan Belanda. Zentgraft merasa takjub dan terpesona akan keberanian Pocut Meurah. Dalam bukunya, Zentgraft menuliskan kejadian pada tanggal 11 November 1902 tersebut dengan apik.
Dikisahkan pada saat itu 18 marsosse (serdadu) Belanda yang dipimpin Veltman sedang mengejar Pocut Meurah Intan yang terdesak. Semua pasukan Pocut telah gugur. Pocut terkepung dan terdesak. Meski hanya tinggal seorang diri tapi Pocut tidak sudi menyerah. Ia berteriak dengan lantang lebih baik mati daripada menyerah.
Pocut menghunus rencongnya dan menyerang 18 serdadu Belanda tersebut secara membabi buta. Pasukan Belanda terkejut, tidak menyangka akan mendapat perlawanan dari seorang wanita yang terdesak. Beberapa serdadu terluka oleh rencong Pocut. Serdadu Belanda pun ganti menyerang Pocut dengan bayonet. Sungguh pertempuran yang tidak imbang. Pocut mengalami luka-luka parah. Dua tatakan parang di kepalanya, dua di bahunya dan satu di otot tumitnya putus. Tak terpikir untuk menyerah. Semangatnya tak pernah mundur walaupun ia rubuh bersimbah darah.
Seorang sersan diantara pasukan Veltman merasa iba kepada Pocut. Ia bermaksud mengakhiri penderitaaan Pocut dengan menembaknya. Tapi Veltman melarang. Veltman berpikir Pocut akan meninggal dengan sendirinya karena lukanya yang sangat parah.
Lalu pasukan Belanda meneruskan patroli, membiarkan Pocut terkapar bersimbah darah. Akhirnya Pocut ditemukan oleh sanak keluaganya dan diobati secara tradisional. Berkat perawatan itu akhirnya Pocut berhasil melewati masa kirtis.
Beberapa hari kemudian, Letnan Veltman yang juga bisa berbahasa Aceh berpatroli di Biheu.Dia kaget mendengar Pocut Meurah masih hidup bahkan berencana membunuh penduduk yang berkhianat kepadanya. Velmant seakan-akan tidak percaya Pocut masih hidup. Untuk mendapatkan kepastian, ia membawa pasukannya mengepung desa dan merazia satu-satu persatu rumah penduduk. Akhirnya Veltmant menemukan Pocut dalam sebuah rumah penduduk di balik tumpukan kain-kain tua.
Veltmant menemukan Pocut dalam keadaan demam, menggigil kesakitan. Luka-lukanya dipenuhi oleh belatung. Veltmant merasa iba. Hatinya trenyuh, tersentuh dan tergetar melihat keagungan Pocut. Ia mencoba membujuk Pocut agar mau diobati. Pada awalnya Pocut menolak. Tapi Veltmant yang fasih berbahasa Aceh terus gigih membujuk Pocut. Akhirnya Pocut bersedia diobati oleh dokter Belanda.
Kabar keberanian Pocut tersebar ke seluruh Nusantara. Adalah Kolonel Scheur, komandan militer dari Jawa yang baru saja menaklukkan puri cakra negara di Pulau Lombok. Ia sengaja datang ke Biheu untuk berjumpa dengan Pocut Meurah Intan pada masa ia belum sembuh sepenuhnya. Dihadapan wanita itu, ia mengambil sikap sebagai seorang prajurit dan memberi hormat dengan meletakkan jari-jarinya di pinggir topi petnya. Sesampainya ia di depan Pocut Biheu ia berkata kepada Veltman “katakan kepadanya bahwa saya merasa sangat kagum kepadanya” Veltman pun menyampaikan hal itu kepada Pocut.
Beberapa saat kemudian Pocut Meurah Intan sembuh dari sakitnya. Setelah sembuh, bersama seorang puteranya, Tuanku Budiman, ia dimasukkan ke dalam penjara di Aceh. Sementara itu, Tuanku Nurdin, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kalee.
Belanda kerepotan menghadapi perlawanan Tuanku Nurdin. Meskipun ibu dan kakaknya sudah tertangkap , tapi perjuangan Tuanku nurdin tidaklah surut. Bahkan Belanda menerapkan tatktik licik untuk memadamkan perjuangan Tuanku Nurdin. Belanda menangkap isteri Tuanku Nurdin pada bulan Desember 1904, dengan harapan agar suaminya menyerah. Tetapi Tuanku Nurdin tidak melakukan hal tersebut.Tuanku Nurdin tak gentar dan tetap melanjutkan perjuangan
Namun pertempuran yang tak seimbang menyebabkan Tuanku Nurdin tertangkap pada tanggal 18 Februari 1905. Belanda berhasil menangkapnya di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju. Setelah itu Tuanku Nurdin di tahan bersama ibunya, Pocut Meurah Intan dan saudaranya Tuanku Budiman. Dan juga seorang keluarga sultan yang bernama Tuanku Ibrahim.
Mereka berempat di buang ke Blora di Jawa Tengah. Pocut Meurah Intan menghabiskan masa tuanya di tempat pengasingan hingga akhir hayatnya. Banyak masyarakat Blora yang tidak mengetahui latar belakang Pocut. Mereka menganggap Pocut hanya orang biasa-biasa saja.
Pocut menjalin hubungan yang baik dengan Bupati Blora. Ia berpesan agar jasadnya dikebumikan di Blora saja. Akhirnya Pocut berpulang ke-rakhmatullah pada tanggal 19 September 1937. Sampai saat ini makam Pocut Meurah Intan sang Heldhafting masih berada di Blora. Dan sampai saat ini banyak orang yang tidak mengenal Pocut sebagai pahlawan karena makamnya yang sederhana. Apalah arti sebuah makam. Yang lebih penting lagi jiwa yang berada di dalam makam tersebut. Walau sejarah tidak membukukan nama Pocut, tapi Alloh tak pernah lupa untuk membukukuan amal baik hamba-Nya. Semoga Pocut diberikan tempat yang terpuji di sisi-Nya….amiiin….
Salatiga 13 September 2012
Takjub dengan sang Heldhafting dari Serambi Mekah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar