Oleh Boy NA
Esakalasi Konflik Aceh di Tahun 43
”…rupanya agak tegang udara di Aceh zaman peralihan itu. Terutama
diantara hulubalang dengan PUSA. Pusa berusaha mendekati Jepang untuk
kepentingannya, hulubalangpun demikian pula. Pertentangan diantara kaum
bangsawan dengan ulama rupanya telah bertambah naik.” (Lihat Hamka,
op.cit., hlm.210-211.)
Statemen di atas merupakan kesaksian
Hamka tentang keadaan politik di Aceh pada akhir tahun 1942 seperti yang
dituliskan Dalam buku Sejarah Aceh yang dikarang T. M. Isa Sulaiman.
Dalam buku tersebut juga dijelaskan pemicu konflik tersebut diakibatkan
oleh adanya rivalitas perebutan kekuasaan antara kedua belah pihak.
Sebaliknya, pemerintah militer Jepang selaku pemegang kedaulatan
tertinggi secara cerdik memanfaatkan persaingan antara dua kelompok elit
masyarakat ini untuk memperoleh kemenangan dalam perang Asia Timur
Raya.
Jepang selaku kekuatan baru yang muncul di Asia Timur
mampu merebut semenanjung Malaya yang dikuasai Inggris. Sejak
diberlakukannya restorasi Meiji di Jepang oleh kaisar Hirohito, negeri
Samurai tersebut terus mengadakan ekspansi wilayahnya ke arah barat Asia
sehingga berbenturan dengan kekuatan barat yang telah berhasil
menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil Asia.
Jepang yang berhasil
mempropaganda masyarakat Asia termasuk Aceh sebagai saudara tua dari
Asia dan penyelamat bangsa Asia ini, berhasil mengambil hati tokoh-tokoh
masyarakat dan politik Aceh termasuk dari golongan Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA) dan para hulubalang Aceh. Para perantau Sumatera,
khususnya Aceh di Semenanjung Malaya yang sempat menyaksikan keajaiban
dan keberanian serdadu Jepang itu segera terpikat oleh kehebatan pasukan
samurai tersebut.
Satu diantaranya adalah Sayid Abu Bakar
(1915-1985), mantan guru Madrasah Perguruan Islam Seulimum yang sejak
1941 telah pindah menjadi guru agama pada sebuah Madrasah di Yan,
Keudah. Ia terus berusaha melakukan kontak dengan penguasa militer
Jepang untuk bergabung dengan pasukan mereka yang akan menyerbu Aceh.
(Sayid Abu Bakar (Alaydrus adalah keturunan bangsawan Arab yang lahir di
Kampung Jawa, Kutaraja pada tahun 1915. Ia adalah kawan dekat Ali
Hasjmy sewaktu belajar di Madrasah Sumatera Thawalib, Sumatera Barat.)
Sayid Abu Bakar yang berhasil melakukan kontak dengan pemerintah
Militer Jepang, melalui Mayor Fujiwara yang mempunyai misi khusus
membina kolone kelima F.Kikan (Fujiwara Kikan) di Taiping, ditunjuk oleh
Jepang untuk merekrut perantau Aceh lainnya dan juga perantau Sumatera
agar mau bergabung dengan kolone yang dipimpinnya.
Para
perantau yang berhasil direkrut Sayid Abu Bakar tersebut, kemudian
mendapat latihan sebagai agen rahasia di bawah bimbingan Masubuchi Sahei
(Ia adalah bekas pedagang yang telah menetap di Sumatera dan
Semenanjung Malaya +20 tahun, karena itu amat fasih berbahasa Melayu dan
malah telah menulis kamus Jepang-Melayu. Pada tanggal 20 September 1941
ia bergabung dengan Kolone kelima F.Kikan itu. Ibid., hlm.20. Selama
kependudukan Jepang di Aceh ia memainkan peran yang cukup penting berkat
berbagai posisi yang ia duduki).
Berkat hubungan yang baik
antara perantau dengan Jepang inilah dan dibantu oleh masyarakat Aceh
yang sudah tidak percaya lagi pada pemerintah Hindia Belanda tersebut,
akhirnya pasukan Samurai berhasil menyusup ke Aceh dan memukul mundur
pasukan Belanda ke daerah pedalaman.
Sejak saat itu, Aceh
memasuki babak baru di bawah kependudukan Jepang dan berhasil mengusir
pemerintah kolonial Belanda serta membubarkan Zelfbestuurder
(Pemerintahan Swapraja) bentukan Hindia Belanda
Kemenangan
para perantau Aceh yang didominasi oleh para ulama dan sebagian
hulubalang ini, dalam menyusupkan serdadu Jepang ke tanah air serta
mengusir para penjajah Belanda, tidak mendapat dukungan penuh dari
mayoritas Zelfbestuurder (Pemerintahan Swapraja) bentukan Hindia Belanda
tersebut.
Zelfbestuurder yang dijabat oleh golongan hulubalang
ini merasa panik karena dengan kemenangan Jepang itu, posisi mereka
sebagai raja-raja kecil di daerah akan ikut terenggut. Apalagi, Jepang
yang masuk ke Aceh di dukung penuh oleh para ulama, rival politik para
hulubalang di Aceh.
Sementara itu, penguasa militer Jepang yang
memegang otorisasi penuh di Aceh tidak mau ambil pusing dengan
perselisihan kedua elit politik tersebut. Mereka malah memanfaatkan
keadaan ini untuk mengambil hati kedua golongan guna memenangkan perang
Asia Timur Raya.
M. Isa Sulaiman menuliskan, dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, Pemerintah Militer memberlakukan
kebijaksanaan pemerintahan dengan tidak mempergunakan elit lokal secara
tidak langsung. Beberapa kaum bangsawan yang bersimpati kepada F.Kikan
seperti T. Nyak Arief, T. M. Ali Panglima Polem, T. Cut Hasan
(1900-1946) dan T. Ahmad Jeunieb dipercayakan pada guncyo (kepala
wilayah) yang sebelumnya konteler tersebut dipegang oleh Belanda.
Dikarenakan jumlah guntyo mencapai 21 buah, maka para hulubalang yang
berpengaruh seperti T. M. Hasan Glumpang Payong, T. M. Daud Cumbok, T.
Chik Mahmud Meureudu dan T. Chik M. Daudsyah dipromosikan menjadi guntyo
di daerahnya. Hanya Sayid Abu Bakar dan Marah Husein, aktivis
Muhammadyah di Tapak Tuan yang memperoleh jabatan guntyo dari F. Kikan
non hulubalang. Mereka masing-masing menjadi guntyo di Bakongan dan
Singkil. Sementara hulubalang yang tidak mendapat kedudukan direstorasi
kembali pada kedudukan semula dengan sebutan son tyo.
Posisi
hulubalang dalam jabatan barunya guntyo dan son tyo tidak lebih sebagai
instrumen kekuasaan militer yang oleh T. Idris, mantan gun tyo Bakongan,
1943-1944 dan guntyo Bireuen 1945-Maret 1946 diklasifikasikannya
sebagai ”guntyo sebagai mandor I dan Sun tyo sebagai mandor II”.
Para hulubalang yang telah mendapatkan promosi sebagai guntyo dalam
pendudukan Jepang tersebut, dikemudian harinya memperolok-olok para
ulama yang tergabung dalam F. Kikan. Mereka menertawakan para ulama
tersebut karena belum diangkat sebagai pegawai administrasi militer.
Padahal para aktivis F. Kikan tersebut sudah sangat berjasa dan bekerja
keras untuk Jepang. (Hasan Saleh, op.cit, hlm. 28).
Bahkan,
T.M. Hasan Glumpang Payong, T. Cut Hasan dan T. M. Daud Cumbok sempat
memberikan laporan pada pihak kempetai (polisi rahasia) yang bersifat
memojokkan pemimpin-pemimpin PUSA. Akibatnya, beberapa pimpinan ulama
ini seperti Tgk. M. Daud Beureueh, Tgk. A. Wahab Seulimum, T. M. Amin,
Tgk. A. Husin Al Mujahid dan Abu Bakar Adamy sempat diintrogasi oleh
kempetai, walaupun mereka dapat melakukan pembelaan diri.
”Dalam situasi penuh kecurigaan, hubungan akrab yang terjalin oleh
seseorang atau kelompok dengan Jepang telah ditanggapi dengan penuh
kecurigaan oleh lawan mereka. Konon lagi bila keluar sesuatu kebijakan
atau tindakan Penguasa Militer yang merugikan kepentingan mereka. Sebab
menurut pandangan pihak yang dirugikan lahirnya kebijakan itu tidak
terlepas dari lobi lawan mereka,” sebut Isa Sulaiman dalam bukunya,
Sejarah Aceh halaman 102.
Ketegangan antara dua kelompok
bersaing itu semakin terpicu saat Penguasa Militer mencopoti kekuasaan
kepolisian dan kehakiman hulubalang melalui pembentukan pengadilan
negeri (ku hoin) dan pengadilan agama (kadhi tyo) di tiap wilayah
hulubalang pada permulaan tahun 1944.
Isa Sulaiman menyebutkan,
kebijaksanaan yang merugikan posisi mereka itu sudah dapat dipastikan
mendapat reaksi keras dari golongan hulubalang. T. Nyak Arief, ketua
Aceh Syu Sangi Kai dan T. M. Hasan Glumpang Payong, waktu itu memegang
jabatan guntyo Kutaraja/wakil ketua Aceh Syu Sangi Kai melakukan protes
keras kepada Pemerintah Militer (Gunseikanbu).
Reaksi dari para
hulubalang juga terjadi di level bawah. Pengadilan yang sudah
dikukuhkan oleh Jepang dengan Ibnu Saadan menjabat sebagai hakim pada
Tiho Hoin Sigli (1943-1944), diadukan oleh T. M. Daud Cumbok dan T. M.
Hasan Glumpang Payong kepada kempetai Sigli. Ia dituduhkan telah
mempunyai hubungan erat dengan konteler Lameulo. Akibatnya, Ibnu Saadan
ditahan (1944) dan baru dapat lolos dari hukuman setelah adanya campur
tangan dari Tgk. M. Daud Beureueh.
Rasa tidak puas terbesar
para hulubalang ini, tentunya ditujukan penuh kepada pemerintah militer
Jepang karena seluruh kebijaksanaan yang diterapkan sangat merugikan
pihak mereka. Sehingga pada tahun 1944, para hulubalang yang sakit hati
pada pemerintah Nippon itu meleburkan diri dalam gerakan bawah tanah
yang diorganisir oleh O. Treffers (mantan assisten residen Aceh Besar).
Akhir tahun 1944, banyak hulubalang yang ditangkap pihak kempetai
akibat adanya laporan dari lawan politik mereka. Hulubalang yang
ditangkap ini, sepenuhnya terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah.
Mereka yang mempunyai jabatan dalam struktur administratif pemerintahan
militer digantikan karena dianggap sebagai pengkhianat dan kemudian
digantikan oleh kerabatnya yang loyal dengan kelompok radikal.
Pergeseran Kekuasaan dan Kekalahan Jepang Atas Sekutu
Kekalahan Jepang atas sekutu dengan di bom atomnya kota Nagasaki dan
Hiroshima oleh Amerika Serikat, baru diketahui secara resmi oleh
masyarakat Aceh pada tanggal 25 Agustus 1945. Peristiwa kekalahan Jepang
ini, tentu saja sangat berpengaruh pada para pemimpin Aceh yang telah
terlalu jauh menjalin hubungan dan bekerjasama dengan Jepang.
Sebaliknya, hulubalang yang sangat dirugikan akibat kebijakan-kebijakan
pemerintahan militer Jepang tersebut, menyambut baik kekalahan negeri
matahari terbit itu dengan membentuk Comite van Ontvangst (komite
penyambutan) pada Belanda yang akan kembali memerintah Aceh. Suatu hal
yang sangat menjatuhkan kredibilitas orang Aceh tentunya, karena terlalu
senang dengan kemenangan kekuatan asing yang sebenarnya adalah kaum
penjajah.
Faktor Utama Perpecahan Ulama dan Uleebalang
Uleebalang yang dipercaya sebagai zelfbestuurder pada masa kesultanan
merupakan ’raja-raja’ kecil yang absolut. Mereka memegang kekuasaan
turun temurun atas nama sultan. Namun semakin lama kekuasaan yang
dipegang oleh uleebalang ini, ikatan antaranya menjadi lemah dan
kemudian memutuskan serta memisahkan diri dari pemerintahan sultan
secara diam-diam.
Pemisahan diri ini tentu saja memudahkan para
penjajah yang memasuki Aceh untuk mempengaruhi raja-raja kecil
tersebut. Uleebalang yang sebelumnya bahu membahu dengan ulama memerangi
penjajah Belanda, lambat laun berubah dan memihak serta setia kepada
Belanda. Sementara ulama tidak pernah menerima ”kekuasaan Belanda” itu.
Karenanya, tidak mengherankan apabila pada bulan Maret 1942 ketika
terjadi pemberontakan terhadap Belanda dan ulama yang bergabung dalam
PUSA mengijinkan serta bekerjasama dengan Jepang untuk memasuki Aceh.
Faktor tersebut terus memperuncing hubungan kedua belah pihak. Ulama
akhirnya mengambil keputusan untuk memerangi uleebalang dengan maksud
menghapus sistem pemerintahan feodal bersama dengan kekuasaan Belanda
apabila perang pasifik meletus. (El Ibrahimy, Peranan Tgk. M. Daud
Beureueh dalam Pergolakan Aceh).
Kabar tentang adanya
Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang
sampai ke Aceh pada bulan September dengan perantaraan kawat yang
dikirim oleh A.K Gani, Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera di
Palembang, mendapat sambutan dingin dari beberapa uleebalang. Mereka
malah mencemooh proklamasi tersebut dan bermaksud menggagalkannya.
(Abdullah Arif dalam tulisannya Di Sekitar Pengkhianatan Cumbok).
Tindakan yang dilakukan para uleebalang tersebut akhirnya memunculkan
satu kesepakatan final bagi para ulama untuk memerangi zelfbestuurder
tersebut secara terang-terangan. Dimulai pada saat Jepang menyerahkan
senjatanya, tanggal 4 Desember 1946 di Sigli. Dalam peristiwa tersebut
terjadi pertumpahan darah dalam memperebutkan senjata Jepang itu, antara
ulama dan uleebalang.
Walaupun pertempuran itu dapat
dipadamkan oleh pemerintah daerah Aceh yang sudah dibentuk sejak
Indonesia merdeka pada tanggal 6 Desember, akan tetapi persengketaan
antara kedua belah pihak terus berlanjut. Peristiwa ini, kemudian
dikenal dengan sebutan Peristiwa Cumbok.
Kronologis Perang Cumbok
El ibrahimy dalam kesaksiannya menuliskan bahwasanya di Pidie yang
menjadi pusat kekuatan dari dua golongan yang berbeda, sering kali
terjadi benturan-benturan antar uleebalang dengan ulama. Setelah Jepang
kalah pada bulan Agustus 1945, seratus lebih uleebalang yang memerintah
Aceh berabad-abad secara absolut monarki tipe kecil di bawah lindungan
Belanda ikut terseret dalam kekalahan.
November 1945, suhu
politik di daerah ini mulai panas. Faktor utama penyebabnya adalah T.
Daud Cumbok yang tak dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru akibat
timbulnya proklamasi kemerdekaan Indonesia. T. Daud Cumbok cs
menghendaki agar Jepang menyerahkan senjatanya kepada mereka dengan
pertimbangan karena Jepang adalah sahabat mereka. Selain itu, pada saat
Jepang masih berkuasa mereka pernah menjanjikan akan memberikan
kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Hal inilah yang menginspirasikan T.
Daud Cumbok untuk mengambil senjata Jepang sebagai itikad baik mereka
dalam membantu perjuangan Indonesia.
Sementara T. Nyak Arief
selaku Residen Aceh merasa gusar jikalau senjata tersebut akan jatuh ke
tangan rakyat karena kondisi keamanan masih belum stabil. Ia mengirimkan
utusannya ke Sigli untuk menemui Jepang dan meminta mereka, menyerahkan
senjatanya ke pihak Tentara Keamanan Rakyat (TKR) selaku tentara resmi
dari pemerintah Indonesia.
Pihak Jepang yang ditemui oleh
utusan residen Aceh itu merasa keberatan melakukan penyerahan senjata
secara cepat. Mereka atas dasar intruksi Iino, bekas Gubernur
Pemerintahan Militer Jepang di Aceh, akan terus memelihara pertentangan
antara ulama dan uleebalang. Bahkan harus lebih dipertajam dengan maksud
untuk mengalihkan perhatian dan tekanan orang-orang Aceh atas tentara
Jepang yang dikonsentrasikan di Banda Aceh, guna diberangkatkan kembali
ke Jepang. Atas dasar intruksi Iino im Muramoto membuat kalkulasi bahwa
perimbangan kekuatan (balance of power) antara dua golongan yang
bersaing itu harus dipelihara.
Karenanya, kekuatan uleebalang
yang menurut kalkulasi Muramoto pada akhir November agak lemah, secara
rahasia ia memerintahkan untuk melakukan penyerahan selusin senjata pada
pihak tersebut yang diterima oleh T. Tjut Hasan, Gunco Sigli. Disisi
lain, Muramoto berjanji secara terpisah kepada masing-masing pihak nanti
pada tanggal 4 Desember senjata-senjata Jepang baru akan diserahkan
sepenuhnya.
Disini terlihat jelas adanya politik perpecah
belahan yang dilakukan pasukan Nippon terhadap putra-putra Aceh.
Pemerintah Militer Jepang yang jelas telah kalah dalam perang pasifik,
tetap menginginkan daerah Aceh berada dalam kemelut. Namun, sangat
disayangkan pada saat itu, tokoh-tokoh elit politik Aceh yang memimpin
rakyat tidak bisa mahfum dengan politik dan strategi tentara Jepang
dalam melemahkan isu-isu kemerdekaan Indonesia dan wujud kepentingan
bangsa Indonesia secara keseluruhan. Politik devide et empera yang
dilakukan oleh Jepang, benar-benar telah menjebak kedua belah pihak
untuk bertikai, terutama sekali kaum uleebalang yang haus akan kekuasaan
memimpin kembali nanggroe merdeka menurut versi tersendiri.
Minggu akhir bulan November, ketegangan di Kabupaten Pidie memuncak.
Kira-kira 200 orang yang bersenjata dari pengikut uleebalang Pidie, T.
Pakeh Sulaiman, secara diam-diam pada tengah malam memasuki kota Sigli.
Semua jalan masuk ke kota tersebut diblokade dan semua tempat yang
strategis di duduki. Dari Lam Meulo datang pula massa lainnya yang
tergabung dalam Tentara Cap Sauh di bawah pimpinan T. Abdullah Titeu dan
Tentara Cap Tumbak di bawah pimpinan T. Sarong Peudada.
Menurut sebagian penulis, tulis El Ibrahimy, tujuan uleebalang memasuki
kota Sigli tersebut guna mendahului kaum ulama dan PRI menguasai senjata
yang akan diserahkan oleh Jepang pada tanggal 4 Desember. Akan tetapi
pada kenyataannya, perebutan senjata Jepang tersebut dilakukan untuk
kepentingan perjuangan mereka sesuai dengan rencana yang telah disusun.
Dilain pihak, PRI dibawah pimpinan Hasan Ali dan Husin Sab mengerahkan
pengikut-pengikutnya bersama dengan ribuan rakyat dari Garot dan Gigieng
untuk mengepung kota Sigli. Begitu pula dengan keresidenan Aceh. T.
Nyak Arif mengirimkan Sjamaun Gaharu dengan satu pasukan kecil dari TKR
untuk mencoba mencari penyelesaian. Turut pula dalam peristiwa itu T.
Panglima Polem Mohd. Ali selaku Wakil Residen yang mewakili Pemerintah
Daerah Aceh dan T. Djohan Meuraxa selaku Wakil Gubernur Sumatera. Mereka
berhasil mendesak pasukan Jepang untuk menyerahkan senjatanya kepada
pihak berwajib (dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia). Melihat
situasi yang tidak menguntungkan, Nippon akhirnya menyerahkan seluruh
senjata mereka kepada TKR dengan beberapa perjanjian, antaranya jaminan
keselamatan nyawa dan harta benda tentara Jepang, berada sepenuhnya
ditangan pemerintah Indonesia.
Sebelum perjanjian ini
ditandatangani, pihak TKR melalui Sjamaun Gaharu pada pukul 03.00 WIB
menjumpai pimpinan-pimpinan PRI/PUSA yang berada ditengah ribuan rakyat
diluar kota Sigli. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk membujuk mereka
agar mau membubarkan diri karena persoalan senjata Jepang yang menjadi
pemicu konflik telah diselesaikan oleh pihak pemerintah yang sah. Dengan
kata lain, ketakutan mereka akan jatuhnya senjata Jepang ke tangan para
uleebalang tidak akan terjadi lagi.
Namun ditengah mediasi
yang dilakukan pihak TKR ini, tiba-tiba dari arah uleebalang berkumpul
yakni di depan rumah T. Pakeh Sulaiman, uleebalang Pidie terdengar
letusan senjata sebanyak tiga kali yang diarahkan ke arah massa
demonstran. Keadaan menjadi panas kembali. Banyak rakyat yang berada
diluar kota Sigli tertembak.
Pihak TKR yang berada di barisan
rakyat demonstran dan bersenjata akhirnya membalas tembakan tersebut.
Peperangan yang dihindari pun terjadi. Sebanyak 50 orang kurang lebih
menjadi korban. Dominannya dari pihak PRI dan PUSA Padang Tiji dan T.
Rizal salah satu anggota TKR yang berada di kerumunan demonstran PRI
serta ajudan Sjamaun Gaharu.
Guna mengantisipasi perlawanan
pihak uleebalang dan melakukan perdamaian, Residen Aceh kembali
mengirimkan satu detasemen TKR dari Kutaraja. Akan tetapi, tugas tentara
TKR ini terbendung oleh sikap rakyat di Seulimum yang melucuti senjata
mereka. Residen Aceh tak kehilangan akal. Ia kembali mengirimkan Polisi
Istimewa ke Sigli bersama dengan T. Hamid Anwar, Ka.Staf TKR di
Kutaraja. Pengerahan polisi rahasia ini berhasil menenangkan suasana.
Pihak yang bersangkutan bersedia berembuk dan pada tanggal 6 Desember
1945 dicapailah sebuah keputusan untuk mengadakan gencatan senjata.
Guna mengantisipasi perlawanan pihak uleebalang dan melakukan
perdamaian, Residen Aceh kembali mengirimkan satu detasemen TKR dari
Kutaraja. Akan tetapi, tugas tentara TKR ini terbendung oleh sikap
rakyat di Seulimum yang melucuti senjata mereka. Residen Aceh tak
kehilangan akal. Ia kembali mengirimkan Polisi Istimewa ke Sigli bersama
dengan T. Hamid Anwar, Ka.Staf TKR di Kutaraja. Pengerahan polisi
rahasia ini berhasil menenangkan suasana. Pihak yang bersangkutan
bersedia berembuk dan pada tanggal 6 Desember 1945 dicapailah sebuah
keputusan untuk mengadakan gencatan senjata
Klimaks Pertentangan Uleebalang dan Non Uleebalang
Peristiwa Sigli telah memperluas jurang pertentangan antara kaum ulama
dan uleebalang. Ini merupakan tetcase bagi masing-masing pihak. Dari
peristiwa tersebut pihak ulama atau PUSA mengambil pelajaran yang
berharga. Guna menghadapi uleebalang yang lebih lengkap persenjataannya
tidak cukup dengan jumlah massa yang banyak dan pekikan Allahu Akbar
semata. Mereka harus mempunyai senjata yang lengkap dan pergerakan yang
teroganisir dengan baik.
Sedangkan pihak uleebalang menilai
peristiwa Sigli merupakan ancaman yang serius bagi kedudukan mereka.
Karena itu untuk mengatasi hal tersebut mereka tidak boleh merasa
berbelas kasih kepada lawan. Dengan kata lain, pihak uleebalang merasa
perlu mengambil tindakan tegas dan keras dengan membentuk komando yang
kuat dan tidak kenal kompromi dalam menghadapi lawan. Guna memuluskan
rencana mereka tersebut, pihak uleebalang mengutus beberapa
perwakilannya untuk menemui dan meminta bantuan Belanda di Medan.
(Anthony Reid, Op.cit,.hal 200).
Pihak uleebalang juga
mengangkat T. Daud Cumbok selaku pucuk pimpinan yang kemudian melakukan
machtsvertoon (unjuk kekuatan) secara besar-besaran dengan menembaki
rumah-rumah penduduk menggunakan karaben, metraliur dan mortir. Selain
itu, mereka juga mulai melakukan penangkapan-penangkapan dan pembunuhan
terhadap pimpinan organisasi pemuda.
Berada dibawah pimpinan T.
Daud Cumbok pergerakan uleebalang semakin ganas. Dalam pemahamannya
Cumbok tidak mengenal falsafah diplomasi. Ia hanya mengenal cara
diktator dan tirani dengan unjuk kekuatan melalui senjata. Atas dasar
inilah, T. Daud Cumbok menolak bertemu dengan Gubernur Sumatera, Mr. T.
Mohd. Hasan yang sengaja datang ke Aceh. Ia hanya mengirimkan adiknya,
T. Mahmud untuk menyampaikan bahwa kejadian-kejadian dan sengketa yang
terjadi di Aceh merupakan kesalahan PUSA yang telah mengepung Lam Meulo.
”Pada tanggal 16 Desember 1945, mereka mulai mempergunakan senjata
berat. Dengan senjata-senjata ini mereka menembaki kampung-kampung
disekitar Lueng Putu dan Meutareum. Disusul pula dengan
pembakaran-pembakaran,” jelas Mr. S. M. Amin dalam bukunya,
Kenang-kenangan Masa Lampau halaman 135.
Peristiwa ini
menggerakkan Tgk. M. Daud Beureuh untuk melaporkan tindakan Cumbok ke
Forum Komite Nasional Daerah Aceh yang sama sekali tidak ditanggapi.
Tidak habis akal, Ia juga mengadukan tindakan Cumbok tersebut kepada T.T
Mohd Said, Assisten Residen Sigli. Namun setelah melakukan penyelidikan
secara langsung ke Lam Meulo, T.T. Mohd. Said mengatakan penembakan itu
merupakan ketidaksengajaan yang disebabkan efek dari sebuah latihan.
Keterangan dari Assisten Residen Sigli ini, tentu saja menimbulkan
kecurigaan dari rakyat akan keberpihakan dirinya pada kaum uleebalang.
Karenanya, T.T. Mohd. Said menjadi target kemarahan rakyat sama dengan
T. Tjut Hasan Guncyo Sigli yang telah menyediakan rumahnya menjadi kubu
pertahanan barisan uleebalang.
Tindakan uleebalang tidak hanya
sekedar memborbardir perkampungan penduduk. Mereka kembali melakukan
aksi dengan melakukan pembakaran rumah sekolah agama di Titeue dan
kantor kehakiman di bebarapa tempat pada tanggal 20 Desember 1945.
Serangan Umum ke Cumbok
Pihak ulama dan rakyat non uleebalang yang terdiri dari PUSA, Pemuda
PUSA dan PRI serta yang lainnya mengkonsolidasikan diri untuk membentuk
organisasi perlawanan atas aksi-aksi anarkis pihak uleebalang tersebut.
Mereka membentuk suatu badan perjuangan rakyat yang dinamakan Pusat
Markas Barisan Rakyat yang berkedudukan di Garot di bawah pimpinan Hasan
Ali dan dibantu oleh T. A Hasan. Selain itu, mereka juga mendirikan
cabang-cabang di Glee Gapui dibawah pimpinan Hasballah Daud dan di
Gigieng di bawah pimpinan Mohd. Husin.
Dengan terbentuknya
badan perjuangan rakyat ini, peperangan antara kedua belah pihak telah
berada di puncak klimaksnya. Pihak uleebalang yang sama sekali tidak
memperdulikan akan berdirinya badan perjuangan rakyat tersebut, pada
tanggal 30 Desember 1945 kembali menyerang Meutareum dan kampung-kampung
sekitarnya seperti Ilot, Lagang, Lala dan Pulo Kameng. Tentara Cumbok
merajalela, merampok dan merampas berbagai macam harta kepunyaan rakyat
serta melakukan pembakaran-pembakaran rumah rakyat.
Tindakan
anarkis pihak uleebalang kali ini, kembali dilaporkan Tgk. M. Daud
Beuereueh ke Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh sembari membawakan
bukti-bukti fisik berupa pecahan mortir dari lokasi Tempat Kejadian
Pekara (TKP). Melihat bukti-bukti ini, pihak KNID Aceh mengadakan rapat
umum dan menemui jalan buntu hingga waktu siang hari. Melihat rapat yang
terkesan berjalan di tempat ini, Sjamaun Gaharu berinisiatif untuk
mengalihkan persoalan ini ke Markas Umum Daerah Aceh.
Di dalam
rapat Markas Umum Daerah Aceh akhirnya didapar sebuah kesimpulan bahwa
perusuh-perusuh yang bertindak di luar Pidie yang berpusat di Cumbok
merupakan pengkhianat tanah air (musuh negara RI). Sementara di rapat
kedua MUD Aceh kembali mengambil kesimpulan bahwa kekacauan di Luhak
Pidie dilakukan oleh NICA dan kaki tangannya.
Resolusi yang
diambil waktu itu adalah berupa ultimatum agar Cumbok menyerah atau
digempur sekira pukul 12.00 pada tanggal 10 Januari 1946. Namun,
ultimatum tersebut sama sekali tidak digubris pihak Cumbok. Karena
pasukan Cumbok begitu keras kepala akhirnya pihak pemerintah mengadakan
serangan umum secara besar-besaran di Lam Meulo yang dibantu oleh
rakyat.
Sementara itu rakyat yang telah lebih dahulu mengambil
tindakan pada tanggal 7 Januari 1946 telah menyerang Lueng Putu dengan
melancarkan serangan dari tiga jurusan. Dari selatan, massa rakyat
dipimpin oleh Nyak Hasan dibantu oleh Tgk. Ahmad Abdullah, T. H. Husin,
T. H Zainal Abidin dan Peutua Ma’ Ali. Dari timur menyusuri rel kereta
api serangan dipimpin oleh pasukan-pasukan raja Uma, Muhd Tahir dan Said
Umar. Sementara dari Timur menyusuri jalan raya serangan ke Cumbok
dilancarkan oleh pasukan-pasukan A. Gani Mutiara/Sjamaun Gaharu dan Nyak
Ishak/Daud Hasan.
Lueng Putu berhasil dilumpuhkan setelah
penyerangan dari segala jurusan dan memakan korban, termasuk T. Laksmana
Umar yang terbunuh serta salah satu panglima Hasballah Hajji, dari
pasukan PUSA tertembak di kepala tapi masih bisa diselamatkan. Tanggal
10 Januari 1946, pasukan rakyat berhasil memasuki Teupin Raya tanpa
perlawanan berarti. Satu hari kemudian, barisan rakyat kembali menyerang
Beureuneun dan mampu mematahkan pertahanan uleebalang yang berada di
Blang Malu.
Tepat pada tanggal 12 Januari 1946, sesuai dengan
ultimatum yang diberikan MUD Aceh, pihak rakyat bersama TKR dan PUSA
melakukan serangan umum ke Lam Meulo selaku benteng pertahanan terkuat
pihak uleebalang. Pertempuran besar-besaran itu telah banyak memakan
korban. Barisan rakyat baru berhasil memasuki Kota Lam Meulo pada
tanggal 13 Januari 1946 dan menyaksikan bekas-bekas pertempuran dan
perlawanan hebat di dalamnya. Halaman rumah T. M. Daud Cumbok yang
menjadi basis pertahanan uleebalang, porak poranda akibat hantaman
artileri.
Meskipun kota Lam Meulo dapat diduduki, namun
Panglima Cumbok dan staf-stafnya berhasil melarikan diri. Ia baru
berhasil ditangkap pada tanggal 16 Januari 1946 di atas Gunung Seulawah
Jantan oleh barisan rakyat dari Seulimum pimpinan Tgk. Ahmad Abdullah.
Sementara T. Muda Dalam, uleebalang Bambi dan Unoe yang terlibat dalam
pemberontakan tersebut melarikan diri ke rumah Tgk. H. Abdullah Ujong
Rimba untuk memohon perlindungan. Akan tetapi oleh Tgk H. Abdullah Ujong
Rimba ia diserahkan kepada rakyat.
Atas keberhasilan
penangkapan pimpinan-pimpinan Cumbok tersebut, runtuhlah kekuasaan
uleebalang yang memerintah Aceh selama berabad-abad dibawah lindungan
Belanda. Setelah uleebalang diseluruh Aceh ditumbangkan,
landschap-landschap yang tadinya diperintah oleh uleebalang atas dasar
sistem absolut monarki tipe kecil dibawah lindungan Belanda, dirombak
menjadi kecamatan-kecamatan yang diperintah oleh camat atas dasar sistem
demokrasi yang bersumber kepada UUD 1945.
Nama-nama landschap
dan kota-kotanya juga ditukar. Landschap Cumbok misalnya, berubah
menjadi Kecamatan Sakti dan Kota Lam Meulo yang merupakan markas besar
daerah Perang Cumbok berubah menjadi Kota Bakti.
Masihkah Kita Percaya Pada Kekuatan Asing?
Dari peperangan Cumbok ini, dapat kita ambil sebuah kesimpulan atas
ketamakan yang tidak berbuah hasil. Sejarah telah mencatat, sikap yang
terlalu bergantung pada kekuatan asing di Aceh, baik seperti yang
dilakukan pihak ulama dan uleebalang sangat tidak efektif dalam
melaksanakan pembangunan bangsa ke depan.
Ulama yang tergabung
dalam PUSA, yang terlalu menggantungkan harapan pada Jepang untuk
mengusir Belanda di Aceh, pada kemudian hari harus kembali bahu membahu
bersama rakyat merebut kemerdekaannya dari tangan pasukan Nippon
tersebut.
Begitu pula para uleebalang yang tergiur
mempertahankan kekuasaannya selaku zelfbestuurder. Permohonan belas
kasih dan bantuan Belanda sama sekali telah menghancurkan kepercayaan
diri dan wibawa mereka yang sebelumnya disegani rakyat atas pengangkatan
kekuasaan mereka oleh Sultan Aceh.
Hanya sedikit efek positif
yang bisa diberikan ’asing’ pada kemajuan Aceh dan Indonesia. Seperti
halnya guyonan yang terdengar samar-samar di telinga penulis, tidak ada
makan siang gratis. Artinya apapun yang diberikan oleh asing kepada
kita, pasti berujung pada permintaan yang kemudian bisa-bisa mencekik
leher bangsa kita yang bermartabat. Baik untuk Aceh maupun Indonesia.
Agar terhindar dari malapetaka perpecahan yang ada antara sesama ada
baiknya kita semua membuka dan mempelajari kembali lembaran-lembaran
sejarah Aceh yang telah dinukilkan. Hari ini, meskipun ketakutan akan
adanya perpecahan antara ulama dan uleebalang seperti tempo dulu tidak
akan terjadi lagi, namun kewaspadaan pertentangan antar anak cucu
Iskandar Muda yang saat ini haus akan kekuasaan dalam memimpin Aceh masa
depan patut kita kontrol bersama.
Selaku rakyat Aceh yang
mempunyai hak di jaman demokrasi ini, kita tidak boleh berpangku tangan
dengan hanya menyaksikan episode-episode perjalanan politik, sosial dan
keamanan Aceh begitu saja. Harus ada yang berani menentang apabila
kebijakan-kebijakan yang dibuat itu telah menyalahi aturan. Dan apabila
ada sindrom Perang Cumbok jilid II kembali mewabah, selaku masyarakat
bersama pemerintah dan elit politik Aceh, setidaknya ada wadah pemersatu
menuju Aceh yang lebih madani tanpa harus bertikai dan menumpahkan
darah antar sesama demi agenda pembangunan Aceh ke depan ke arah yang
lebih baik.
Terpenting dari semua kajian dan tulisan di atas
yang ingin ditekankan adalah jangan mudah percaya pada kekuatan asing.
Meskipun dijanjikan keselamatan dan kemerdekaan dalam arti apapun, kita
juga harus mewaspadai adanya ‘tidak ada makan siang gratis’ dari bantuan
yang akan diberikan tersebut.
Abangdetak.wordpress.com
Denden Pulaa Pisang, bangbang Pulaa Padee....
BalasHapusTeuku Cumbok puga prang, Uleebalang Habeh Matee
itulah tabiat manusia... dan sebagai generasi aceh sekarang kita juga harus tau sejarah aceh itu sendiri.. jangan dengar dari cerita orang sekarang.. tapi dengar dari cerita orang dulu yang pernah berkecimpung didalamnya
BalasHapusMenarik memamg ..konflik yg brkepanjangan mengenai aceh..
BalasHapusMenarik memamg ..konflik yg brkepanjangan mengenai aceh..
BalasHapus