MAKAM SEORANG ULAMA BESAR ACEH, TGK. MUHAMMAD PANTE KULU
MAKAM seorang ulama besar Aceh, Tgk. Muhammad Pante Kulu
Lokasi di Desa Lam Leuot, Kecamatan Cot Glie, Aceh Besar, minggu lalu
saya bersama sahabat Muliadi Kurdi (dosen IAIN Ar-Raniry) menziarahinya.
Kami ke taman peristiratan akhir pengarang Hikayat Prang Sabil itu,
juga untuk kepentingan data penulisan insklopedi ulama Aceh dari abad ke
13 hingga ulama yang masih hidup sekarang ini.
Namun, sungguh
menyedihkan, makam seorang ulama sekaligus seorang pujangga besar dunia,
tapi diabaikan sedemikian rupa. Makamnya berselemak taih lembu dan
memang tidak diurus sama sekali. Luar biasa, kita sebagai orang Aceh
sungguh tidak pernah menghargai sejarah, bahkan sekalipun bagi seorang
ulama besar seperti Tgk Chik Pante Kulu.
Misal, di kawasan
makam ulama ini sudah tak lagi tampak berupa nama, tanggal lahir dan
tahun meninggalnya Tgk. Chik Pante Kulu. Begitu juga pagar makam dari
kawat berduri sebagian sudah copot-copot berukuran. Tidak tampak lagi
kalau itu makam seorang tokoh ulama besar setenar namanya Tgk. Chik
Pante Kulu.
Ternyata, Chik Pante Kulu yang kita agung-angungkan
dan bahkan namanya ditabalkan pada nama Perguruan Tinggi dan pada
beberapa nama jalan, saying dalam realitas tidak pernah dihargai
termasuk makam beliau yang sepi dan diabaikan. Malahan, kita tega
membiarkan komplek makam Chik Pante Kulu di Desa Lam Leuot menjadi
sarang hewan yang penuh dengan kotorannya.
Padahal jasa Tgk.
Chik Pante Kulu yang telah diberikan kepada bangsa ini harus dibayar
dengan memoleskan makamnya dengan emas. Pengaruh hikayat perang sabil
hasil karangannya, telah mampu membangkitkan semangat jihat siapa saja
yang membaca ataupun mendengarnya untuk terjun ke medan perang melawan
penjajahan Belanda ketika itu. Sehingga Zentgraf dalam bukunya “Aceh”
(1983) menulis banyak pemuda yang memantapkan langkahnya ke medan perang
Aceh melawan Belanda karena pengaruh buku hikayat perang sabil yang
sengaja ditulis seorang ulama besar Aceh bernama Tgk. Muhammad Pante
Kulu.
Menurut Zentgraf, hikayat perang sabil karangan ulama
Pante Kulu telah menjadi momok yang sangat ditakuti oleh Balanda,
sehingga siapa saja yang diketahui menyimpan-apalagi membaca hikayat
perang sabil itu mereka akan mendapatkan hukuman dari pemerintah Hindia
Belanda dengan membuangnya ke Papua atau Nusa Kembangan. Sarjana Belanda
ini menyimpulkan, bahwa belum pernah ada karya sastra di dunia yang
mampu membakar emosional manusia untuk rela berperang dan siap mati,
kecuali hikayat perang sabil karya Pante Kulu dari Aceh. Kalau pun ada
karya sastrawan Perancis La Marseillaise dalam masa Revolusi Perancis,
dan karya Common Sense dalam masa perang kemerdekaan Amerika, namun
kedua karya sastra itu tidak sebesar pengaruh hikayat perang sabil yang
dihasilkan Muhammad Pente Kulu.
Itu sebabnya, Ali Hasjmy
menilai bahwa hikayat perang sabil yang ditulis Tgk. Chik Pante Kulu
telah berhasil menjadi karya sastra puisi terbesar di dunia. Menurut
Hasjmy, pengaruh syair hikayat perang sabil sama halnya dengan pengaruh
syair-syair perang yang ditulis oleh Hasan bin Sabit dalam mengobarkan
semangat jihat umat Islam di zaman Rasulullah. Atau paling tidak,
hikayat perang sabil karya Chik Pente Kulu dapat disamakan dengan illias
dan Odyssea dalam kesusastraan epos karya pujangga Homerus di zaman
“Epic Era” Yunany sekitar tahun 700-900 sebelum Mesehi.
Mengapa
hikayat perang sabil begitu berpengaruh dalam membangkitkan semangat
jihat perang orang Aceh melawan Belanda. Menurut telaahan, hikayat
perang sabil yang ditulis Chik Pente Kulu ini terdiri dari empat bagian
(cerita). Pertama, mengisahkan tentang Ainul Mardhiah, sosok bidadari
dari syurga yang menanti jodohnya orang-orang syahid yang berperang di
jalan Allah. Kedua, mengisahkan pahala syahid bagi orang-orang yang
tewas dalam perang sabil. Ketiga, mengisahkan tentang Said Salamy,
seorang Habsi berkulit hitam dan buruk rupa. Keempat, menceritakan
tentang kisah Muda Belia yang sangat mempengaruhi jiwa para pemuda untuk
berjihat di medan perang melawan kezaliman penjajahan Belanda.
Ada dua fersi pendapat tentang Tgk. Chik Pente Kulu dalam mengarang
hikayat perang sabil ini. Sebagian mengatakan, hikayat perang sabil ini
dikarang Chik Pante Kulu ketika beliau dalam perjalanan pulang dari
Mekkah ke Aceh. Berarti hikayat perang sabil ditulis Chik Pante Kulu di
atas kapal selama dalam pelayarannya dari Arab ke Aceh. Pendapat lain
mengatakan, hikayat perang sabil ini ditulis Chik Pante Kulu adalah atas
suruhan Tgk. Chik Abdul Wahab Tanoh Abee yang lebih dikenal Tgk. Chik
Tonoh Abee.
Karena, pada waktu Tgk. Muhammad Saman Ditiro
meminta izin pada Tgk. Chik Tanoh Abee untuk berperang melawan Belanda.
Maka saat itu Tgk. Chik Tanoh Abee menanyakan pada Tgk. Chik Ditiro:
“Soe yang muprang dan soe yang taprang?”. Chik Ditiro menjawab: “Yang
muprang Muhammad Saman, yang taprang kafe Belanda”. Menurut hikayat
marga tanoh abee, sekiranya waktu itu Chik Ditiro menjawab, yang muprang
ureung Islam, yang taprang Belanda. Kemungkinan Tgk. Chik Tanoh Abee
tidak merestui Chik Ditiro untuk berperang, karena kalau orang Islam
yang berperang, karena di kalangan orang Islam sendiri masih banyak yang
harus diperangi, yaitu orang-orang yang bukan Islam sejati.
Tetapi karena jawaban Tgk. Chik Ditiro: yang muprang Muhammad Saman dan
yang taprang kafe Belanda, maka Tgk. Chik Tanoh Abee merestui Tgk. Chik
Ditiro menggerakkan peperangan untuk melawan Belanda. Dalam mendukung
gerakan perang ini Tgk. Chik Tanoh Abee mengarang khusus hikayat perang
sabil dalam bahasa Arab untuk pimpinan-pimpinan perang. Sedangkan untuk
lasykar perang hikayat perang sabilnya dikarang oleh Tgk. Chik Pante
Kulu dalam huruf Jawi berhasa Aceh, yang kemudian hikayat perang sabil
karangan Tgk. Chik Pante Kulu ini membawa pengaruh luar biasa dalam
membangkitkan semangat jihad lasykar Aceh berperang melawan Belanda.
Tidak mengherankan kemudian penyair Taufik Islamil mengabadikan
kehebatan hikayat perang sabil karya Tgk. Chik Pante Kulu ini dalam
sebuah syair panjangnya berjudul : “Teringat Hamba Pada Syuhada Kita
Dihari Kemerdekaan, Musim Haji 1406 H”. Taufik bersyair: …nampakkah
olehmu puisi itu diserahkan kepada Teungku Chik Ditiro/ Di sebuah desa
di dekat Sigli /Dan puisi itu berubah menjadi sejuta rencong/
Terdengerkah olehmu merdunya Al Furqan dinyanyikan/ Kemudian puisi
perang sabi dibacakan/ Yang mendidih darah memanggang udara/ Menjelang
setiap pasukan terlibat pertempuran/ Mengibarkan panji
fi-sabilillah//…hamba menulis puisi juga/ Tapi betapa kurus puisi hamba
/Kurang sikap ikhlas hamba/ Banyak ria dan ingin tepuk tangan/ Apalah
artinya dibandingkan puisi perang sabi Muhammad Pante Kulu /Allah,
berkahi penyair abad sembilan belas ini/ Beri dia firdaus seluas langit
bumi…
Begitu hebatnya Tgk. Chik Pante Kulu di mata penyair
Taufik Ismail. Sampai-sampai Taufik menilai puisi-puisi yang ditulisnya
selama ini belum memiliki arti apa-apa dibandingkan kebesaran syair
hikayat perang sabil yang ditulis Tgk. Chik Pante Kulu. Ulama dan
pujanggawan kelahiran 1836 M di Desa Pante Kulu, Kemukiman Titeue, Kota
Bakti, Pidie ini, telah lama meninggalkan kita. Namun hikayat perang
sabil yang ditinggalkan tetap hidup di jiwa orang yang memang Aceh
sebagai hasil karya sastra terbesar yang diakui dunia pada zamannya.
Semoga makam pujanggawan terbesar Tgk. Chik Pante Kulu di Desa Lam
Leuot, Aceh Besar, akan segera ada yang memugarnya.
* NAB BAHANY AS, adalah budayawan, tinggal di Banda Aceh.
Aceh Ada karena sejarahnya
BalasHapusBener banget... dan sejarah itu adalah Jati diri sebuah bangsa...
BalasHapusMari sama sama kita kembali marwah aceh yang telah hilang.....
BalasHapusMakanya kehidupan kita Di Aceh selalu susah walaupun serba kecukupan, Hana Berkat Dari Ulama
BalasHapus