Kehidupan sebuah bangsa amat dipengaruhi oleh sejauh mana masyarakatnya memiliki kesadaran sejarah akan bangsanya. Bangsa yang besar adalah mereka yang mau belajar dari masa lalu, mengambil manfaat dari kesuksesan dan tidak mengulangi kesalahan. Dengan demikian sebuah bangsa akan berjalan ke arah yang lebih maju dan membangun peradaban semakin tinggi dan bermanfaat bagi kehidupan mereka.
Melihat sejarahnya, Aceh merupakan sebuah bangsa dan memiliki kedaulatan dan kemandirian, mengurus rumah tangga sendiri dan mampu membangun kerja sama dan hubungan dengan bangsa lain. Inggris, Turki, Spanyol dan Belanda meruakan beberapa negara yang pernah menjalin kerja sama dengan Kesultanan Aceh masa lalu. Hubungan dengan bangsa lain bukan hanya dalam bidang ekonomi, namun juga dalam bidang politik, agama dan ilmu pengetahuan, persenjataan dan lainnya. Kekuasaan yang luas dan sistem pemerintahan yang sudah teratur semakin memungkinkan Aceh tumbuh dan berkembang menjadi sebuah bangsa.
Kemajuan Aceh dalam bidang politik juga diikuti dengan perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama. Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry dan Abdurrauf as-Singkili merupakan empat nama yang menjadi icon perkembangan pengetahuan agama di Aceh masa lalu. Berkat usaha Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, maka bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan di Nusantara yang kini menjadi bahasa Nasional. Mereka menggunakan bahasa Melayu dalam karya puisi dan prosa yang mereka buat, sehingga sedikit demi sedikit bahasa tersebut berkembang di seluruh Indonesia. Peran yang sama juga dimainkan oleh Nuruddin ar-Raniry dan Abdurrauf as-Singkili yang telah mewariskan pengetahuan agama untuk umat Islam dewasa ini. Bahkan banyak informasi sejarah Aceh kita ketahui dari “ensiklopedi” Bustan al-Salatin yang ditulis oleh Ar-Raniry.
Pudarnya Kesadaran
Dewasa ini banyak anggota masyarakat Aceh yang tidak mengenal dan merasa asing dengan sejarah yang benar mengani daerahnya sendiri. Demikian juga banyak kaum terpelajar Aceh lebih mengenal Syekh Siti Jenar daripada Hamzah Fansuri. Padahal kalau dilihat dari realitas sejarah, Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan tulisan sendiri dan tidak mendeskripsikan dengan jelas konsepsi-konsepsi beragamanya. Dilain pihak, Hamzah Fansuri, memiliki karya sendiri, terstruktur dalam prosa dan puisi, berperan dalam masyarakat dan Kesultanan Aceh, akan tetapi kurang dikenal oleh masyarakta Aceh sendiri. Ini terlihat dari minimnya sastrawan dan akademisi Aceh yang mengangkat kembali pemikiran dan ajaran-ajaran yang telah dikemukakan oleh Hamzah Fansuri dalam kehidupan beragama dan dunia sastra Aceh modern. Demikian juga halnya dengan kebesaran Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry dan Abdurrauf as-Singkili.
Hal yang sama juga berlaku dalam hal masalah sejarah Aceh. Dilihat dari realitas keilmuan saat ini, kebanyakan sejarah Aceh ditulis oleh sarjana asing. Selain memiliki keunggulan metodologi, mereka juga memiliki akses yang mudah untuk mendapakan data dan manuskrip peninggalan sejarah Aceh masa lalu. Catatan dan bukti kebesaran Aceh masa lalu, kini tersimpan di Museum Negeri Belanda, Inggris, Rusia dan Malaisya. Hanya sedikit tersisa di Museum Negeri Aceh dan beberapa Museum dan Pustaka Pribadi di Aceh. Apalagi catatan mengenai sejarah Aceh juga dilakukan oleh sarjana dan penjelajah asing yang sempat singgah dan menyaksikan perkembangan Aceh masa lalu.
Dengan kenyataan ini studi terhadap Aceh dapat saja dilakukan meskipun tidak pergi ke Aceh.
Kondisi lain yang memprihatinkan adalah kajian-kajian budaya yang transformatif dan minim sehingga budaya Aceh seolah tidak relevan untuk kontek perkembangan modern. Hal ini menyebabkan salah pandang mengenai masyarakat dan struktur budaya Aceh, dan salah pula dalam menafsirkan sistem sosial yang berkembang di Aceh. Salah satu contoh adalah masalah gender. Beberapa gerakan perempuan –termasuk organisasi perempaun di pemerintahan- tidak berusaha menggali konsep hubungan dan relasi gender yang mengakar dalam masyarakat Aceh. Kebanyakan konsep yang dibawa justru konsep impor yang kadang kala tidak sesuai dengan kultur keacehan. Konsepsi budaya yang mandiri dan berakar dalam masyarakat juga ada dalam masalah child protection. Konsepsi perlindungan berbasis kawoem dalam budaya Aceh sebenarnya menjadi dasar yang kuat bagi permasalahan sosial mengani pengemis dan anak terlantar.
Melihat kenyataan di atas, sungguh ironis jika selama ini pemerintah, akademisi, bdan dan pihak terkait di Aceh lainnya tidak memperhatikan masalah sejarah dan budaya Aceh. Meskipun kita sadar kalau setiap orang, darimana dan berbangsa apapun ia berhak menulis masalah Aceh, namun sudah sewajarnya dan seharusnya pula, sejarah Aceh juga ditulis oleh orang Aceh sendiri yang memiliki keterikatan budaya dan mewarisi prinsip-prinsip budaya yang tidak ditulis dalam catatan sejarah, namun dipraktekkan turun temurun dalam masyarakat. Dengan demikian tentunya catatan dan kajian yang akan dilakukan oleh orang Aceh akan lebih hidup dan sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat Aceh sendiri. Dan akhirnya akan lebih memberikan spirit untuk masyarakat Aceh dalam membangun kehidupan masa kininya.
Kontruksi sejarah dan Sastra Aceh klasik semakin nniscaya dilakuakn untuk Aceh kontemporer dengan beberapa pertimbangan. Pertama, keinginan masyarakat Aceh untuk mengulang kesuksesan masa lalu dalam pemerintahan kesultanan Aceh dalam konteks kehidupan modern. Hal ini hanya dapat diakukan dengan memiliki konstruksi yang jelas mengenai Aceh masa lalu. Dengan demikian akan ditemukan struktur dan pola yang dapat dipakai dan digunakan untuk konteks pemerintahan saat ini. Kedua, keinginan masyarakat untuk dapat menerapkan ajaran Islam sebagaimana dalam sejarah Aceh. Hal ini juga hanya dapat dilakukan dengan adanya sebuah paparan yang jelas mengenai sejarah agama dia ceh masa lalu yang tertulis dalam karya-karya sastra, prosa dan buku ilmiah agama yang dtulis oleh ulama Aceh.
Selama ini, banyak pihak –yang umumnya dari luar- sadar akan kondisi ini dan berusaha melakukan penyelematan naskah dan pengaturan sumber naskah sejarah Aceh. Sementara masyarakat Aceh dan tidak memberikan perhatian cukup dalam masalah ini. Hal ini terlihat kurungnya perhatian pemerintah untuk menjaga dan melestarikan situs-situs sejarah yang ada di Aceh, dan perhatian yang kurang dalam uapya penyelamatan naskah klasik. Dikhawatirkan, kalau masalah ini tidak diperhatikan maka khazanah klasik Aceh tersebut akan hancur dan leyap, hilang ditelan zaman. Bhakan pasca Ali Hasjmy, Ibrahim Alfian, Isa Sulaiman, Talsya, Rusdi Sufi, Zakaria Ahmad, Amirul Hadi, maka tidak ada orang lain yang melakukan kajian serius mengenai sejarah dan budaya Aceh masa lalu sebagai bahan dalam pengembangan budaya Aceh masa depan. Sehingga cerita mengenai kebesaran Aceh masa lalu dalam bidang politik dan agama yang berkembang dalam dalam masyarakat Aceh saat ini akan lebih banyak bersifat fiktif dan dongeng daripada kenyataan sesungguhnya yang diambil dari kajian akademik yang serius. Kalau ini terjadi, maka bukannya manfaat yang dapat diperoleh, namun malah kehinaan dan rasa malu karena kita tidak mengerti dengan sejarah masa lalu kita sendiri.
Beberapa Usaha
Melihat realitass di atas, maka seharusnya Pemerintah Daerah Provinsi NAD, DPRA dan kalangan akademisi di Aceh untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka “penyelamatkan” manuskrip dan catatan sejarah Aceh masa lalu, melakukan penelitian dan penulisan ulang, menafsirkannya untuk konteks kehidupan modern, dengan beberapa upaya:
Selain itu diperlakukan pula untuk melakukan inventarisasi dan membuat duplikasi terhadap berbagai peninggalan sejarah Aceh, baik berupa manuskrip maupun bahan arkeologis yang ada di berbagai belahan dunia dan “membawa pulang” ke Aceh, sehingga memudahkan bagi sarja dan mahasiswa Aceh untuk mengkaji peninggalan sejarah mereka dalam usaha merekonstruksi sejarah Aceh masa lalu untuk pelajaran bagi pembangunan Aceh masa depan.
Pemerintah dan berbagai pihak yang berwewenang lainnya juga perlu melakukan usaha-usaha yang mendorong dan memotivasi masyarakat untuk mencintai dan mengerti sejarah Aceh dan menyari kebesarannya, sehingga memotivasi mereka untuk terus berkarya dan mendalami sejarah. Hal ini dapat dilakukan dengan, misalnya, melakukan peringatan dan pesta budaya yang merujuk pada sastrawan Aceh masa lalu, beasiswa studi sejarah Aceh, penerbitan manuskrip budaya dan sejarah, seminar dan diskusi sejarah dan sastra Aceh masa lalu.
Dan terakhir melakukan upaya inventarisasi dan pemugaran cagar budaya Aceh yang tersebar di berbagai wilayah Aceh yang selama ini terkesan diabaikan dan tidak diperhatikan. Beberapa cagar budaya tidak diperhatikan dan tidak diurus dengan benar, misalnya Benteng Inong Balee di Krueng Raya Aceh Besar, dan Kuburan-kuburan lama di Singkil dan Aceh Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar