Kamis, 31 Januari 2013

Kamaruzzaman Sampaikan Mata Kebudayaan Aceh di Tepi Laut

THE GLOBE JOURNAL

Selasa, 22 Januari 2013 17:07 WIB

Darussalam, Banda Aceh - Beberapa kerajaan di tepi laut Aceh, mulai hilang kekuasaan dan otoritas, sejak kedatangan penjajah. Karya intelektual orang Aceh, selain dibakar, juga dibawa lari ke negeri penjajah. Pola ini sebenarnya memang kerap terjadi, ketika di dalam peperangan, yang dibunuh, bukan hanya jasad intelektual, namun spirit intelektual juga diupayakan untuk diputuskan.

Pola membakar istana sebagai simbol kekuasaan, dan membawa lari karya intelektual sebagai simbol otoritas otoritas negeri, merupakan dua hal yang selalu dilakukan penjajah di seluruh dunia. Hingga hari ini, laut di Aceh tidak lagi merapat kapal-kapal, sebagaimana di Temasek (Singapura). Akhirnya, desiran ombak tidak lagi menyaksikan sebuah wangsa yang maju, melainkan wangsa yang mulai hilang identitas, baik spiritual maupun intelektual. Sampai hari ini, masyarakat internasional dan nasional, tidak akan memberikan kesempatan bagi Aceh untuk membuka kembali kedigdayaan peradaban di tepi laut.
        
Karena tidak lagi kekuasaan dan peradaban (hadharah), maka yang tersisa di tepi laut Aceh adalah reusam. Istilah ini berasal dari bahasa Arab yaitu rasm (gambar). Adapun di dalam bahasa Inggris dapat diartikan graphy (grafi). Dengan kata lain, perilaku masyarakat tersebut sudah menjadi tradisi (tradition). Lempengan gambar dan tradisi yang berkembang di tepi laut merupakan warisan dari very abstract system of ideas
.
Namun, tidak lagi memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keluar, melainkan hanya ke dalam masyarakat. Karena tidak memiliki dampak keluar, maka wibawa reusam pun tidak begitu diperhitungkan. Dengan kata lain, aturan-aturan yang muncul di dalam reusam tersebut lebih dilihat sebagai local wisdom.

Karena orang Aceh tidak punya akses kekuasaan dan kekuatan keluar, maka mereka belum mampu melihat kekuatan laut Aceh dalam perspektif keluar. Maksudnya, apakah orang di tepi laut, khususnya nelayan atau pengambil kebijakan, mampu memahami laut Aceh dalam konteks geo-politik? Atau, mampukah orang Aceh memahami nilai kepentingan laut mereka dalam perspektif ASEAN Community 2015? Atau, dapatkah orang Aceh berpikir bagaiman nilai-nilai strategis laut Aceh dari perspektif perdagangan internasional.

Dari perspektif luar, tepi laut Aceh sudah dimasukkan di dalam lanskap percaturan global. Namun, sekali lagi, apakah masyarakat Aceh memiliki kesadaran mengenai hal tersebut? Tentu saja, masih perlu pendalaman lebih lanjut mengenai respon masyarakat Aceh terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Saat kita masih mendiskusikan tepi laut sebagai reusam atau tradisi, orang lain sudah memikirkan jauh ke depan, bagaimana “nasib” Aceh, mulai dari tepi laut, hingga ke Bukit Barisan.

 Harus diakui bahwa dalam sejarah kolonialisasi, laut memegang memiliki arti yang cukup penting untuk “dikuasai.” Pemahaman inilah yang dulu sangat disadari oleh generasi endatu di dalam memainkan politik di Nusantara dan STM (Semenanjung Tanah Melayu).

Saat ini, di depan perahu orang Aceh, berlalu kapal-kapal yang cukup besar. Pada saat yang sama, di depan petani Aceh, tanah air orang Aceh mulai dikorek dan dibawa ke laut. Hasil bumi diangkut di depan mata. Saat orang Aceh sibuk menoton TV di warung kopi di pinggir kuala, orang lain sedang sibuk bagaimana mendaur ulang tanah dan air orang Aceh. Karena kesadaran yang muncul hanya ke dalam, maka orang Aceh tidak pernah mau memahami bagaimana pemahaman orang luar Aceh terhadap laut dan tanah Aceh.

Jika tanah dan air dapat dikuasai, maka hasil bumi pun tidaklah mundah untuk diangkut. Dahulu, orang Aceh sangat disegani di dalam percaturan perdagangan lada, sekarang hasil bumi dibawa lari di depan mata, tidak pernah dipermasalahkan.
***
Pidato Ilmiah Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad dalam Peluncuran buku Pembagian Kewenangan Kelola Laut Aceh (Belajar dari Program Pengelolaan Bersama Perikanan di Aceh) oleh Pushal KP Unsyiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar