Oleh SURIADI, SY
Sebagaimana yang terdapat dalam teks-teks sejarah, bahwasanya pada masa
Belanda berkuasa di Aceh pada tahun (1903-1942) terdapat konflik antara
Ulama dan Uleebalang. Maka dalam tulisan ini penulis ingin melukiskan
peran Ulama dan uleebalang dalam masyarakat Aceh sebelum masuknya
Belanda.
Agar kita dapat menarik benang dari asal usul permasalahan
supaya kita menemukan titik temu dari penyebab konflik tersebut. Dalam
birokrasi tradisional di Aceh, ada tiga jabatan tinggi dalam
pemerintahan yang paling berperan. Pertama Sultan, yaitu Raja dalam
kerajaan, yang kedua Uleebalang sebagai kepala negeri (negeri bagian
seperti di negeri Pedir, Pasai dan Mereuhom daya) namun tetap berpayung
dan tunduk dibawah kekuasaan tinggi Kerajaan Aceh Darussalam.
Yang
ketiga ulama, yaitu Kadhi Malikul Adil (yang mengurus hukum Islam) dan
penasehat bagi Sultan maupun uleebalang dalam setiap pengambilan
keputusan, dan kebijakan. Baik itu mengenai kebijakan sosial
kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan sebagainya.
Mengenai Panglima
Sagoe, Mukim, dan Geuchik, mereka hanya aparatur pemerintah yang berada
dibawah uleebalang yang mengatur wilayah-wilayah kecil seperti halnya
camat dan kepala desa sekarang. Ulama merupakan penasehat bagi pemimpin,
Tanpa adanya restu dari ulama para pemimpin tidak bisa menjalankan
sebuah kebijakan, apalagi mengenai urusan agama, baik syariat, hukum
memutuskan perkara (pengadilan) dan sebagainya yang berhubungan dengan
agama.
Peran ulama dan pemimpin dalam kerajaan tidak bisa di pisahkan.
Apalagi kerajaan Aceh merupakan kerajaan Islam kelima yang pernah
tercatat dalam sejarah kerajaan Islam terbesar di dunia, jadi disini
jelaslah tergambarkan bahwa ulama memiliki peran yang tinggi ataupun
setingkat dengan pemimpin-pemimpin dalam menjalankan roda-roda
pemerintahan. Sehingga lahirlah sebuah pepatah yang biasa kita dengar
dalam hadist maja “ Hukom ngen adat hanjeut cree lage zat ngoen sifeut”.
Mengutip pendapat Drs. Fauzi Ismail, M. Hum dalam bukunya “
kedudukan Ulama & Umara dalam masyarakat Aceh”. Kata Ulama berasal
dari bahasa Arab yaitu jamak dari kata “Alim” yang berarti orang yang
mengetahui atau orang yang berilmu pengetahuan atau para ahli ilmu
pengetahuan. Di dalam Hadist juga dikatakan “Al ulama warisatul ambiya”
ulama pewaris ambiyya. Jadi ulama merupakan seorang figur yang
melanjudkan tongkat estafet Rasulullah SAW ketika beliau sudah tiada.
Dengan menuju kepada peran dan tugas para Nabi,
Qurai Shihab berpendapat
bahwa paling tidak terdapat empat peran dan fungsi yang harus di embani
Ulama. pertama Tabliq (Q.S Al-maidah : 67). kedua Tabyin (Q.S an-Nuhlu :
44). Ketiga Tahkrim ( Q.S Al-baqarah : 213) dan keempat Ustwah (Q.S
Al-ahzab : 21). Peran Tabliq ulama berkewajiban menyampaikan wahyu yang
terdapat dalam al-qur’an dan hadist/ sunnah Nabi. Tabyin bertugas untuk
menjelaskan tentang dogma Agama sesuai dengan semangat Islam dan
mensosialisasikannya kepada masyarakat.
Takhrim memberi fatwa tentang
hukum-hukum Islam yang terjadi dalam masyarakat supaya masyarakat
mendapat sebuah kebenaran sesuai dengan ajaran Islam, maka sebagai
rujukanya adalah ulama. Ustwah menjadi figur bagi ummat. Jadi ulama
tidak hanya berfungsi dalam soal Religius namun termasuk juga dalam
urusan Dunia sebagai pembimbing umat agar umat mengarah kepada kebaikan
dan kesempurnaan dunia dan akhirat.
Dalam masyarakat Aceh ulama
merupakan orang yang disegani karena ilmu yang dimilikinya sehingga
menjadi contoh teladan yang memberi pendapat buat masyarakat untuk
menanyakan berbagai permasalahan mengenai agama, yang mengambil
keputusan dikala masyarakat melakukan perkara (hakim) dan urusan yang
menyangkut kehidupan sosial yang terdapat dalam masyarakat.
Di dalam
kerajaan aceh yaitu pada masa Ali Mughayatsyah, ulama yang menjadi mufti
yaitu Hamzah fansuri, masa Sultan Iskandar muda ulama yang menjadi
mufti Syamsuddin as-sumantrani, Sultan Iskandar Tsani ulama yang menjadi
mufti Nurudin Ar-Raniry dan Ratu Safiatuddin ulama yang menjadi mufti
Syekh Abdur Rauf As-Singkili. Semua mereka adalah ulama yang mempunyai
tugas sebagai penasehat atau yang memberi bimbingan kepada raja dikala
raja mengambil sebuah keputusan. Keputusan tersebut berlaku dalam segala
bidang, baik dalam pemerintahan, Kebijakan dan adat-istiadat. Disamping
itu hubungan ulama di dalam masyarakat sangat dekat emosionalnya dari
pada umara.
Kedekatan tersebut di pengaruhi oleh ilmunya yang tinggi dan
ulama juga lebih mengerti tentang keadaan masyarakat. Sementara kalau
ditingkat desa, ulama berperan sebagai penasehat bagi pemimpin Kampung
(Geuchik), yang memberi pendidikan/ guru agama buat masyarakat, yang
mengatur pembagian zakat, yang menikahkan setiap pasangan ketika kawin,
mendamaikan orang yang bertengkar juga sebagai orang yang memandikan
jenazah dikala ada salah seorang dari warga masyarakat yang meninggal.
Jadi kalau kita melihat dari peran ulama di atas, ulama sangat besar
kewajibannya di bandingkan umara dalam hubungan sosial kemasyrakatan.
Dalam mewujudkan sebuah pembangunan atau urusan kesejahteraan masyarakat
antara ulama dan pemimpin saling bekerja sama, hal ini dapat kita lihat
pada ulama-ulama dalam abad ke 19. Dalam bidang pertanian yaitu Teungku
Chik di pasi, Teungku di Bambi, Teungku Chik di Reubee dan Teungku di
Trueng Campli, mereka ini telah membangun irigasi dan lueng (saluran),
sehingga areal persawahan di Pidie mendapat pengairan.
Mengenai
Uleebalang, uleebalang merupakan raja di Negara-negara (Nanggroe)
bagian. Seperti di kerajaan Daya, kerajaan Samudra Pasai, dan Pedir.
Sebelum masuknya Belanda ke Aceh, sistem birokrasi pemerintahan memeliki
corak sistem Negara bagian (Federal).
Dimana Aceh terdiri dari
Negara-negara kecil, seperti yang tersebut di atas, namun tetap tunduk
dan berada di bawah payung Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di
Kuta Raja (Banda Aceh). Uleebalang adalah wakil Sultan di Negerinya.
Namun dalam posisi sebagai kepala Negeri, yang diterima secara
turun-temurun menurut adat di Negerinya. Dalam bidang tetentu ia
mempunyai hak otonom yang seluas-luasnya yang diserahkan kepadanya oleh
Sultan.
Akan tetapi semenjak terjadinya hubungan dengan para pedagang
Eropa melalui perdagangan, para pedagang ini tidak saja berhubungan
dengan Sultan, melainkan juga ada yang berniaga langsung dengan
raja-raja kecil (uleebalang) di pantai Utara dan Barat. Kadang kala
hubungan dagang itu terjadi antara saudagar Aceh dengan pedagang dari
Barat. Dalam hal demikian para uleebalang berfungsi sebagai pemungut
cukai. Memang secara de jure, uleebalang diangkat dengan surat
pengangkatan ( Sarakata) dari Sultan yang di bubuhi cap sikureung.
Sarakata ini dinilai tinggi bagi kedudukan dan dianggap sebagai sumber
perlindungan dari uleebalang terhadap rakyatnya. Secara fungsi, dalam
buku Perang Dijalan Allah, uleebalang bertugas menjalankan pemerintahan,
politik dan juga pemilik modal dengan sebutan Peutua Pangkai yang
meminjamkan uang kepada para petani melalui perantara yang disebut
Peutua Seuneubok. Para uleebalang juga berdagang dengan luar negeri.
Berdasarkan sarakata mereka bebas dalam import dan eksport barang-barang
dari pelabuhanya.
Namun lambat laun mereka menyalahgunakan sarakata
yang diberikan Sultan kepada. Uleebalang juga memaksa masyarakat untuk
menjualkan lada-lada tersebut ke pihaknya dengan harga murah dan mereka
menjualnya ke Penang (Malaya) dengan harga lebih mahal. Secara tidak
langsung ini merupakan monopoli dagang mirip VOC Belanda terhadap
masyarakat. Mereka membuat masyarakat sangat menderita demi tercapainya
kepentingan mereka.
Disamping itu mereka juga menjadi tangan kanan
belanda dalam menumpaskan gerilyawan-gerilyawan di Aceh. Bahkan mereka
memaaksa uleebalang-uleebalang yang masih memperjuangkan kemerdekaan
untuk menyerah dan bergabung bersama Belanda, seperti yang dilakukan
Habib Abdurrahman. Bahkan dia juga mendapat tunjangan dari pemerintah
Hindia Belanda senilai 12.000 Gulden setahun.
Bahkan dia juga yang
mempengaruhi uleebalang lainya untuk membuka perdamaian dengan Belanda
dengan bayaran 60-70 ribu Gulden dari pemerintah belanda. Kaum
uleebalang hanya duduk manis dan mendapatkan gaji setiap tahun tanpa
bekerja, sementara urusan dalam wilayah diserahkan sepenuhnya kepada
Belanda. Sejalan dengan perkembangan waktu, gaji yang di berikan belanda
kepada uleebalang rupanya tidak dapat memenuhi lagi taraf kebutuhan
hidup, karena gaya hidup uleebalang ketika itu harus mewah, fasilitas
yang lengkap (rumah besar, dsb).
Sasaran akhir untuk menutupi kebutuhan
hidupnya, para uleebalang memaksa masyarakat untuk menyerahkan hasil
pertanian kepada uleebalang, uleebalang juga berkuasa penuh atas sewa
tanah masyarakat dan memaksa masyarakat untuk kerja paksa kepada pihak
uleebalang.
HAMKA yang datang ke Aceh pada tahun 1930 mengatakan, bukan
lagi Belanda yang memaksa masyarakat untuk bekerja secara paksa, akan
tetapi malah uleebalang sendiri yang tega melakukanya.
Melihat
realita yang terjadi maka membuat ulama untuk mengambil tindakan yang
tegas. Maka terjadilah pertentangan antara ulama dan uleebalang. Hal
inilah diantaranya yang menjadi konflik antara ulama dengan pihak
uleebalang.
Namun dari itu, hal ini di perparah lagi dengan takluknya
Sultan terakhir Aceh yaitu Sultan Muhammad Daud Syah serta hegemoni
Belanda pada tahun 1903, dimana Belanda memanfaatkan situasi ini untuk
mendapat dukungan politik dari pihak uleebalang. Taktik yang dilakukan
belanda diantaranya, yang pertama devide et impera yang sering kita
dengar dengan politik belah bambu. Di satu pihak Belanda memberi
kebebasan bagi kaum uleebalang untuk mengatur segala macam urusan dalam
negerinya, dan dipihak lain belanda menekan kaum Ulama.
Disamping itu,
uleebalang juga di beri jabatan yang tinggi dan kekuasaan yang penuh
untuk mengatur sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik dan Agama. Maka
lambat laun posisi ulama dalam urusan sosial kemasyarakatan semakin
tersingkirkan dan uleebalang memegang kekuasaan penuh dalam mengatur
negerinya dengan menyingkirkan kalangan ulama. Nah disini hilanglah
peran ulama sebagaimana terdapat dalam Kesultanan Aceh dulu yang
perannya tak jauh berbeda dengan uleebalang.
Memang pada permulaan
koloni Belanda masuk ke Aceh, antara uleebalang dan ulama bersatu dalam
rangka untuk mengusir penjajah tersebut. Namun karena tergiur oleh
jabatan dan tawaran politik yang diberikan oleh Belanda kepada kalangan
uleebalang, menyebabkan uleebalang berbalik mendukung dan bergabung
dengan pihak Belanda yang akhirnya menyebabkan terjadinya perpecahan
antara dua kubu itu sendiri “karu keu droe-droe”.
Namun yang harus kita
garis bawahi juga bukan berati semua uleebalang melakukan hal yang sama,
karena ada juga sebagian uleebalang seperti Teuku chik meulaboh dan
anaknya Teuku keudjruen muda yang tetap menentang pihak Belanda, bahkan
mereka menentang belanda untuk menginjakkan kaki dan menaikkan
benderanya di daerah Meulaboh.
Semoga sikap Teuku Chik
Meulaboh dan anaknya Teuku Keudjrun Muda menjadi contoh bagi
penguasa-penguasa di masa sekarang karena yang namanya jabatan dan
finansial merupakan suatu hal yang sangat sensitif bagi masyarakat Aceh
terlepas darimana ia berasal.
Sebagaimana yang terdapat dalam teks-teks sejarah, bahwasanya pada masa Belanda berkuasa di Aceh pada tahun (1903-1942) terdapat konflik antara Ulama dan Uleebalang. Maka dalam tulisan ini penulis ingin melukiskan peran Ulama dan uleebalang dalam masyarakat Aceh sebelum masuknya Belanda.
Mengutip pendapat Drs. Fauzi Ismail, M. Hum dalam bukunya “ kedudukan Ulama & Umara dalam masyarakat Aceh”. Kata Ulama berasal dari bahasa Arab yaitu jamak dari kata “Alim” yang berarti orang yang mengetahui atau orang yang berilmu pengetahuan atau para ahli ilmu pengetahuan. Di dalam Hadist juga dikatakan “Al ulama warisatul ambiya” ulama pewaris ambiyya. Jadi ulama merupakan seorang figur yang melanjudkan tongkat estafet Rasulullah SAW ketika beliau sudah tiada. Dengan menuju kepada peran dan tugas para Nabi,
Dalam masyarakat Aceh ulama merupakan orang yang disegani karena ilmu yang dimilikinya sehingga menjadi contoh teladan yang memberi pendapat buat masyarakat untuk menanyakan berbagai permasalahan mengenai agama, yang mengambil keputusan dikala masyarakat melakukan perkara (hakim) dan urusan yang menyangkut kehidupan sosial yang terdapat dalam masyarakat.
Mengenai Uleebalang, uleebalang merupakan raja di Negara-negara (Nanggroe) bagian. Seperti di kerajaan Daya, kerajaan Samudra Pasai, dan Pedir. Sebelum masuknya Belanda ke Aceh, sistem birokrasi pemerintahan memeliki corak sistem Negara bagian (Federal).
Melihat realita yang terjadi maka membuat ulama untuk mengambil tindakan yang tegas. Maka terjadilah pertentangan antara ulama dan uleebalang. Hal inilah diantaranya yang menjadi konflik antara ulama dengan pihak uleebalang.
Semoga sikap Teuku Chik Meulaboh dan anaknya Teuku Keudjrun Muda menjadi contoh bagi penguasa-penguasa di masa sekarang karena yang namanya jabatan dan finansial merupakan suatu hal yang sangat sensitif bagi masyarakat Aceh terlepas darimana ia berasal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar