[Serambi Indonesia, 3 Juli 2011]
Adalah Prof Imran Teuku Abdullah (ITA) yang terpilih mewakili Aceh
untuk mempresentasikan sejarah penanggalan Aceh dalam Seminar Budaya
yang bertema “Menelusuri Sejarah Penanggalan Nusantara” dalam rangka
memperingati Dies Natalis ke-62 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah
Mada Yogyakarta.
Dalam presentasinya, sang profesor membahas penanggalan lokal
yang merupakan bagian dari sistem sosiokultural masyarakat dalam membaca
arah musim.
Menurut ITA, penanggalan musim di Aceh telah mengalami
proses akulturasi dari penanggalan hijriah hingga terbentuklah 13 bulan
musim yang penanggalan awalnya dimulai dari bulan pertama hijriah.
Kata
depan dari bulan tersebut semuanya diawali dari kata keunong (kena) yang
merupakan nama perhitungan pranoto-mongsonya orang Aceh, yakni keunong
sikureung, keunong tujoh, keunong limoeng, keunong lhee, keunong sa,
keunong trenggileh, keunong dua ploh sa, keunong sikureung blah, keunong
tujoh blah, keunong limong blah, keunong lhee blah, dan keunong
siblah.
Walau pemaparan tentang literatur penanggalan Aceh sangat sedikit
dan penjelasannya pun tidak komprehensif, namun beliau mampu memukau
audien dengan melukiskan fenomena penanggalan Aceh secara baik dan
menakjubkan
Sayang, ITA luput menyinggung sejarah kenduri dan penganan yang menjadi ikon penanggalan Aceh. Khalayak nusantara pun hanya bisa mencatat dengan cacat kearifan lokal Aceh di momen paling bersejarah tersebut. Ini kita sesalkan karena jelas seolah kajian yang dilakukan ITA terhadap konsep sejarah dan budaya penanggalan lokal di ranah lingkungan masyarakat Aceh sangat minim dan terbatas.
Nama-nama kenduri penganan Aceh memiliki arti penting bagi masyarakat masa lalu untuk menandai waktu pergantian bulan sebelum mereka mengenal lembaran kelender masehi.
Sementara penanggalan hijriah yang ada saat itu masih terasa asing. Lagi pula yang mengendalikan pergantian bulan tersebut hanya ulama tertentu hingga kemudian atas kebijakan bersama, para ulama saat itu mengakulturasi penanggalan hijriah menjadi nama-nama momen terpenting dalam kebudayaan Aceh.
Bertahun-tahun kemudian lidah orang Aceh begitu fasih mengeja nama-nama bulan dalam penanggalan Aceh ketimbang hijriah. Misalnya bulan Jumadil Akhir dalam kalender hijriah identik dengan nama bulan kanuri bungong kayee dalam penanggalan Aceh, bulan Rajab menjadi bulan kanuri apam (kue serabi), bulan Syakban menjadi bulan kanuri bu, bulan Safar menjadi bulan kanuri tolak bala dan sebagainya.
Nama-nama penganan tersebut tak hanya menjadi label belaka, tetapi juga diadakan ritual untuk meramaikan momen yang menjadi simbol bulan yang bersangkutan. Kecuali pada tradisi kanuri bungong kaye yang jarang diadakan pada bulan Jumadil Akhir.
Hal ini karena momen di bulan tersebut dianggap kurang penting, mengingat pada bulan-bulan sebelumnya masyarakat disibukkan dengan keramaian perayaan maulid hingga tiga bulan, yakni pada bulan meulod awai (rabiulawal), meulod teungoh (rabiul akhir), dan meulod teulot (jumadil awal).
Bungong kayee adalah sejenis kue tradisional berwarna putih kekuning-kuningan yang terbuat dari tepung beras dengan ukiran tertentu menyerupai daun dan batang tanaman. Biasanya kue ini dibuat pada saat momen tertentu, misalnya pada saat kenduri dan perayaan.
Sementara kanuri apam biasanya diadakan pada bulan Rakjab tepatnya pada malam perayaan Isra Mi’raj. Semasa saya kecil, ketika bulan Rakjab diambang raib, masyarakat bersuka cita menyumbangkan penganan apam berkuah (serabi berkuah) hingga meunasah-meunasah pada malam Mi’raj kebanjiran penganan kue bundar tersebut.
Biasanya masyarakat menikmati kelezatan kue apam sehabis teungku berceramah. Walau kenduri tanpa nasi dan aneka lauk mewah, namun masyarakat menikmati dengan bersuka cita.
Apam atau kue serabi yang dikenal di ranah kuliner nusantara merupakan kue yang berbentuk bundar dan terbuat dari adonan tepung beras.
Adonan tersebut dipanaskan di dalam belanga sampai mengeras dan bagian bawahnya berwarna cokelat tua. Penyajiannya pun beragam. Ada yang dihidangkan kering begitu saja dan ditemani dengan gula, adapula yang penyajiannya dilengkapi dengan kuah yang terbuat dari racikan santan dan manisan. Seperti penganan bungong kayee, kue apam juga mendapat tempat dalam momen ritual kebudayaan Aceh misalnya pada saat kenduri blang sebagai bentuk syukuran atas panen yang melimpah.
Kanuri Bu pada bulan Syakban yang dilaksanakan di penghujung bulan menjadi ritual yang tak asing lagi dalam kultur masyarakat Aceh dalam menyambut bulan suci Ramadhan yang disebut tradisi meugang. Meugang identik dengan aroma nasi dan aneka masakan daging yang menyembur dari tiap dapur rumah orang Aceh-bahkan orang yang melarat sekalipun tak melewatkan momen penting ini.
Ada guyonan Aceh seperti ini, “Seugasin ureung Aceh jiteumee pajoh sie dua goe nyan keuh oh meugang ngon uroe raya (semiskin-miskin orang Aceh sempat menyantap daging dua kali yakni saat meugang dan hari raya).Oleh sebab itu, bulan Syakban dinobatkan sebagai bulan kanuri bu meugang dalam penanggalan Aceh.
Selanjutnya adalah bulan Safar yang disesuaikan menjadi bulan tolak bala. Di bulan tersebut, masyarakat Aceh mengadakan kanuri untuk menolak segala mara bahaya pada hari rabu terakhir di Bulan Safar (rabu abeeh).
Walau prosesi tolak bala adalah suatu kegiatan syukuran yang mengalami proses akulturasi dari kebudayaan Hindu, namun para teungku dan santri yang berkonsentrasi di dayah juga ikut ambil bagian dalam agenda syukuran tersebut. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat umum yang merayakannya di siang hari dengan hura-hura dan melepas sesajen, para penghuni dayah justru mengadakannya di malam rabu abeeh dengan membaca yasin yang diakhiri dengan merajah air minum.
Sementara bulan Syawal dinobatkan sebagai bulan uroe raya atau kanuri jeurat. Memang di bulan fitrah, umat Islam dianjurkan untuk menziarahi pusara. Namun dalam budaya Aceh, mengadakan kenduri di tanah pekuburan merupakan suatu hal yang sakral.
Ada beberapa nama bulan hijriah lagi yang mengalami proses akulturasi. Namun, nama-nama bulan tersebut memang tak terlalu mencolok dalam penanggalan Aceh karena mengadopsi langsung momentum Islam yang menjadi simbol bulan hijriah tersebut, misalnya bulan Muharam menjadi bulan Hasan-Husen, bulan Rabiul Awal menjadi bulan meulod awai, bulan Rabiul Akhir menjadi bulan meulod teungoh, bulan Ramadhan menjadi bulan puasa, bulan Dulhijah menjadi bulan haji.
Sejak kelender masehi menghiasi dinding rumah orang Aceh, dengung nama-nama bulan unik tersebut yang fasih dilafal anak-anak dibalai mengaji selepas magrib perlahan-lahan memudar. Orang menganggap bahwa penanggalan tersebut tak penting lagi karena sudah ada kelender modern yang bisa memberi informasi tentang momen tertentu dengan mudah.
Hanya beberapa dayah salafi sekarang yang masih menganggap penanggalan Aceh tersebut sebagai hafalan wajib bagi santri-santrinya. Mirisnya, kalender tersebut hanya menjadi hafalan bergilir saja tanpa dijelaskan sejarah dan aplikasinya sehingga rasa kebanggaan terhadap budaya sendiri tidak melekat dalam jiwa santri tersebut.
Santri hanya menganggap bahwa hal itu sebagai latihan yang wajib dipenuhi agar bisa naik ke kelas berikutnya. Sementara generasi kita di sekolah memang tak pernah mengenal penanggalan lokal tersebut. Jarang ada sekolah yang memasukkan sejarah kebudayaan daerah sebagai pelajaran muatan lokal.
Kalaupun ada pelajaran tersebut lebih banyak berkutat tentang sistem adat dan kesenian dan jarang memasukkan perihal penanggalan sebagai bagian materi.
* Hendra Kasmi, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMAIT Al Fityan School Aceh. Berasal dari Nagan Raya.
Sayang, ITA luput menyinggung sejarah kenduri dan penganan yang menjadi ikon penanggalan Aceh. Khalayak nusantara pun hanya bisa mencatat dengan cacat kearifan lokal Aceh di momen paling bersejarah tersebut. Ini kita sesalkan karena jelas seolah kajian yang dilakukan ITA terhadap konsep sejarah dan budaya penanggalan lokal di ranah lingkungan masyarakat Aceh sangat minim dan terbatas.
Nama-nama kenduri penganan Aceh memiliki arti penting bagi masyarakat masa lalu untuk menandai waktu pergantian bulan sebelum mereka mengenal lembaran kelender masehi.
Sementara penanggalan hijriah yang ada saat itu masih terasa asing. Lagi pula yang mengendalikan pergantian bulan tersebut hanya ulama tertentu hingga kemudian atas kebijakan bersama, para ulama saat itu mengakulturasi penanggalan hijriah menjadi nama-nama momen terpenting dalam kebudayaan Aceh.
Bertahun-tahun kemudian lidah orang Aceh begitu fasih mengeja nama-nama bulan dalam penanggalan Aceh ketimbang hijriah. Misalnya bulan Jumadil Akhir dalam kalender hijriah identik dengan nama bulan kanuri bungong kayee dalam penanggalan Aceh, bulan Rajab menjadi bulan kanuri apam (kue serabi), bulan Syakban menjadi bulan kanuri bu, bulan Safar menjadi bulan kanuri tolak bala dan sebagainya.
Nama-nama penganan tersebut tak hanya menjadi label belaka, tetapi juga diadakan ritual untuk meramaikan momen yang menjadi simbol bulan yang bersangkutan. Kecuali pada tradisi kanuri bungong kaye yang jarang diadakan pada bulan Jumadil Akhir.
Hal ini karena momen di bulan tersebut dianggap kurang penting, mengingat pada bulan-bulan sebelumnya masyarakat disibukkan dengan keramaian perayaan maulid hingga tiga bulan, yakni pada bulan meulod awai (rabiulawal), meulod teungoh (rabiul akhir), dan meulod teulot (jumadil awal).
Bungong kayee adalah sejenis kue tradisional berwarna putih kekuning-kuningan yang terbuat dari tepung beras dengan ukiran tertentu menyerupai daun dan batang tanaman. Biasanya kue ini dibuat pada saat momen tertentu, misalnya pada saat kenduri dan perayaan.
Sementara kanuri apam biasanya diadakan pada bulan Rakjab tepatnya pada malam perayaan Isra Mi’raj. Semasa saya kecil, ketika bulan Rakjab diambang raib, masyarakat bersuka cita menyumbangkan penganan apam berkuah (serabi berkuah) hingga meunasah-meunasah pada malam Mi’raj kebanjiran penganan kue bundar tersebut.
Biasanya masyarakat menikmati kelezatan kue apam sehabis teungku berceramah. Walau kenduri tanpa nasi dan aneka lauk mewah, namun masyarakat menikmati dengan bersuka cita.
Apam atau kue serabi yang dikenal di ranah kuliner nusantara merupakan kue yang berbentuk bundar dan terbuat dari adonan tepung beras.
Adonan tersebut dipanaskan di dalam belanga sampai mengeras dan bagian bawahnya berwarna cokelat tua. Penyajiannya pun beragam. Ada yang dihidangkan kering begitu saja dan ditemani dengan gula, adapula yang penyajiannya dilengkapi dengan kuah yang terbuat dari racikan santan dan manisan. Seperti penganan bungong kayee, kue apam juga mendapat tempat dalam momen ritual kebudayaan Aceh misalnya pada saat kenduri blang sebagai bentuk syukuran atas panen yang melimpah.
Kanuri Bu pada bulan Syakban yang dilaksanakan di penghujung bulan menjadi ritual yang tak asing lagi dalam kultur masyarakat Aceh dalam menyambut bulan suci Ramadhan yang disebut tradisi meugang. Meugang identik dengan aroma nasi dan aneka masakan daging yang menyembur dari tiap dapur rumah orang Aceh-bahkan orang yang melarat sekalipun tak melewatkan momen penting ini.
Ada guyonan Aceh seperti ini, “Seugasin ureung Aceh jiteumee pajoh sie dua goe nyan keuh oh meugang ngon uroe raya (semiskin-miskin orang Aceh sempat menyantap daging dua kali yakni saat meugang dan hari raya).Oleh sebab itu, bulan Syakban dinobatkan sebagai bulan kanuri bu meugang dalam penanggalan Aceh.
Selanjutnya adalah bulan Safar yang disesuaikan menjadi bulan tolak bala. Di bulan tersebut, masyarakat Aceh mengadakan kanuri untuk menolak segala mara bahaya pada hari rabu terakhir di Bulan Safar (rabu abeeh).
Walau prosesi tolak bala adalah suatu kegiatan syukuran yang mengalami proses akulturasi dari kebudayaan Hindu, namun para teungku dan santri yang berkonsentrasi di dayah juga ikut ambil bagian dalam agenda syukuran tersebut. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat umum yang merayakannya di siang hari dengan hura-hura dan melepas sesajen, para penghuni dayah justru mengadakannya di malam rabu abeeh dengan membaca yasin yang diakhiri dengan merajah air minum.
Sementara bulan Syawal dinobatkan sebagai bulan uroe raya atau kanuri jeurat. Memang di bulan fitrah, umat Islam dianjurkan untuk menziarahi pusara. Namun dalam budaya Aceh, mengadakan kenduri di tanah pekuburan merupakan suatu hal yang sakral.
Ada beberapa nama bulan hijriah lagi yang mengalami proses akulturasi. Namun, nama-nama bulan tersebut memang tak terlalu mencolok dalam penanggalan Aceh karena mengadopsi langsung momentum Islam yang menjadi simbol bulan hijriah tersebut, misalnya bulan Muharam menjadi bulan Hasan-Husen, bulan Rabiul Awal menjadi bulan meulod awai, bulan Rabiul Akhir menjadi bulan meulod teungoh, bulan Ramadhan menjadi bulan puasa, bulan Dulhijah menjadi bulan haji.
Sejak kelender masehi menghiasi dinding rumah orang Aceh, dengung nama-nama bulan unik tersebut yang fasih dilafal anak-anak dibalai mengaji selepas magrib perlahan-lahan memudar. Orang menganggap bahwa penanggalan tersebut tak penting lagi karena sudah ada kelender modern yang bisa memberi informasi tentang momen tertentu dengan mudah.
Hanya beberapa dayah salafi sekarang yang masih menganggap penanggalan Aceh tersebut sebagai hafalan wajib bagi santri-santrinya. Mirisnya, kalender tersebut hanya menjadi hafalan bergilir saja tanpa dijelaskan sejarah dan aplikasinya sehingga rasa kebanggaan terhadap budaya sendiri tidak melekat dalam jiwa santri tersebut.
Santri hanya menganggap bahwa hal itu sebagai latihan yang wajib dipenuhi agar bisa naik ke kelas berikutnya. Sementara generasi kita di sekolah memang tak pernah mengenal penanggalan lokal tersebut. Jarang ada sekolah yang memasukkan sejarah kebudayaan daerah sebagai pelajaran muatan lokal.
Kalaupun ada pelajaran tersebut lebih banyak berkutat tentang sistem adat dan kesenian dan jarang memasukkan perihal penanggalan sebagai bagian materi.
* Hendra Kasmi, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMAIT Al Fityan School Aceh. Berasal dari Nagan Raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar