Jumat, 28 Agustus 2015

Sejarah Aceh, Fondasi Hubungan Luar Negeri Ri-Turki?

Penulis : Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif global future Institute



30 Juli hingga 1 Agustus 2015, Presiden Turki Tayyip Erdogan berkunjung ke Indonesia. Secara geografis jarak Indonesia dan Turki memang berjauhan. Tapi kalau menengok ke belakang, di era abad ke-16 dan abad ke-19, Aceh pernah menjadi "Sahabat terjauh Turki" (Secara geografis) dalam konstalasi global saat itu.


Hubungan Indonesia-Turki, kalau mau ditelisik ke abad ke-16, dirintis melalui hubungan antara Aceh dan Turki di era Raja Sulaeman yang Agung, yang kemudian diteruskan oleh Raja Selim II. Inilah jejak-jejak hubungan Turki dan Nusantara.

Bersamaan dengan kunjungan Presiden Erdogan ke Indonesia, kebetulan saya membaca buku suntingan R Michael Feener dan Anthony Reid bertajuk "Memetakan Masa Lalu Aceh". Dalam salah satu bab dari buku ini, Ismail Hakki Goksoy, meneliti Hubungan Turki Usmani -Aceh berdasarkan riset-riset arsip yang bersumber dari Turki di abad ke-16.

Melalui dokumentasi tersebut terungkap kedatangan utusan Aceh ke Istambul dan permintaan bantuan militer dari Turki, juga persiapan kunjungan angkatan laut Turki ke Sumatra untuk mendukung Aceh pada 1567 dalam rangka melawan pasukan Portugis.

Kala itu Aceh, khususya daerah Pasai dan Pidie di Sumatra Utara merupakan pusat produksi dan ekspor lada. Sehingga Portugis yang kala itu mulai mendominasi Samudra Hindia, menetapkan Aceh sebagai sasaran untuk ditaklukkan.

Di era Raja Sulaeman berkuasa di Turki (1520-1566), yang kemudian diteruskan oleh Raja Selim II (1566-1574), memandang Turki sebagai pelindung seluruh dunia Islam, dan berketetapan hati untuk menjaga jalur haji dan perdagangan timur tetap terbuka. Sehingga Turki berkewajiban untuk melindungi negeri-ngeri Islam kecil dari serangan Portugis.

Dengan demikian, Turki merasa perlu memberi bantuan militer kepada Aceh dan juga Sumatra dan Malaka untuk melindungi daerah tersebut sebagai pusat perdagangan merica dan rempah-rempah.

Maka pada sekitar 1540-an, Sultan Aceh Alauddin menandatangani perjanjjian dengan Gubernur Turki Usmani di Mesir atas nama Raja Sulaeman untuk menghadapi Portugis. Berdasarkan arsip-arsip dan dokumen sejarah yang berhasil dihimpun oleh Ismalil Hakki Goksoy, terungkap bahwa pada 1540 dan 1547, tentara turki merupakan bagian dari pasukan Aceh. Bahkan diduga sejak 1530-an Aceh telah mempekerjakan pasukan dan ahlli militer Turki meskipun secara perorangan.

Agaknya, Turki dan Aceh dipesatukan oleh sikap yang sama untuk menghadapi ancaman Portugis yang mencoba menguasai jalur laut penting di daerah Pasai dan Sumatra. Dalam surat Sultan Aceh Alauddin kepada Raja Turki, disebutkan bahwa Portugis telah menyerang kapal Aceh yang penuh dengan muatan lada, kain tenun sutra, kayu manis, cengkih, kamper dan beberapa barang berharga lainnya yang sedang dikirim ke Mekah pada 1564-1565. Akhirnya kapal Aceh tenggelam akibat tembaran Meriam jarak jauh angkatan laut Portugis. 500 awak Muslim tewas di lautan dan yang masih hidup diambil sebagai budak.

Di era Raja Selim II, Turki menyanggupi permintaan Sultan Alauddin untuk mengirim ke Aceh angkatan laut yang terdiri dari 15 kapal dayung dan dua perahu layar. Sekadar informasi, Turki sejak masa kekuasaan Raja Sulaeman yang agung, praktis menguasai seluruh negeri-negeri Islam di kawasan Timur Tengah. Sehingga pada perkembangannya kemudian, mulai mempertimbangkan perluasan pengaruh di kawasan Asia Barat dan Asia Tenggara.

Sayangnya, di tengah-tengah persiapan untuk memberangkatkan armada yang berada di bawah komando Turki ke Aceh, tiba-tiba meletus pemberontakan di Yaman yang waktu itu merupakan negara satelit di Timur Tengah. Sehingga Angkatan Laut yang seharusnya berangkat ke Aceh akhirnya diarahkan ke Yaman untuk memerangi pemberontak. Dan pengriman pasukan ditunda setelah pemberontakan berhasil dipadamkan.

Meski bantuan militer Turki akhirnya tidak jadi kenyataan akibat situasi politik pada waktu itu, namun ikatan erat antara Aceh dan Turki telah terjalin, dan tetap dikenang sebagai persahabatan langgeng antara rakyat Aceh dan Turki.

Hubungan Aceh-Turki berkembang terus pada abad ke-19, di era Sultan Aceh Daud Shah dan Turki di era Raja Abdul Hamid II. Juga di bidang kerjasama militer. Hanya kali ini, bantuan militer ditujukan untuk membantu Aceh melawan Belanda. Meski hanya berskala kecil.

Pada abad ke-16 hingga abad ke-18, Aceh memang punya nilai strategis secara geopolitik, mengingat posisinya di lini depan dunia perdagangan dan maritim, sehingga memainkan peran penting dalam kegiatan ekonomi sekaligus sebagai pusat jaringan kegiatan budaya dan politk sepanjang Samudra Hindia pada periode tersebut.

Sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis, nampaknya membuka pintu bagi beberapa wilayah yang sekarang masuk Aceh dan Sumatra Utara, sebagai alternatif pusat perdagangan dan ekspor lada dan rempah-rempah. Karena dengan direbutnya Malaka dan Goa, jalan lada yang dulunya lewat Laut Merah, Kairo dan Laut Tengah sampai ke dunia barat, berangsur-angsur telah bergeser melalui Tanjung Harapan. Yang tentunya menguntungkan Portugis.

Alhasil, para pedagan rempah-rempah dan lada lebih suka berlayar ke pelabuhan-pelabuhan dagang di Sumutra. Perlu diketahui, Aceh punya satu keuntungan. Yaitu sebagai tempat persinggahan pertama di tanah Sumatra bagi kapal-kapal yang datang dari barat, karena jauh lebih dari pelabuhan manapun di sebelah timur.

Dan Aceh, saat itu, merupakan negeri pertama di pantai Pulau Sumatra yang menghadap ke selat. Maka atas prakarsa dari seorang raja Aceh, kemudian mencoba menggabungkan beberapa pelabuhan dagang yang berada di bawah kekuasaannya. Itulah sebabnya Pasai dan Pidie, yang kala itu merupakan pusat perdagangan dan ekspor lada dan rempah-rempah, takluk di bawah kekuasaan Aceh pada abad ke-16. Dan bahkan menjadi daerah basis perlawanan terhadap dominasi Portugis di Malaka.

Singkat cerita, merujuk pada buku karya Denny Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), aktivitas perdagangan Aceh di paruh pertama abad ke 17 cukup besar dan mendunia, karena menjalin hubungan dengan Cina, dunia Melayu, India, Timur Tengah, dan Eropa.

Inilah era antara Malaka dan kekuasaan Portugis menuju era kolonialisme Belanda di Batavia (Jakarta), ketika Aceh memainkan peran penting dalam sejarah politik internasional.

Semoga menginspirasi para penyusun kebijakan strategis politik luar negeri RI sehingga Indonesia bisa kembali berjaya di percaturan politik internasional. Ironis ketika para diplomat dan pimpinan nasional saat ini kalah imajinatif dibandingkan dengan Sultan Ali Mughayat Syah, Sultan Aliuddin Ri'ayat Syah al Kahhar, dan Sultan Iskandar Muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar