Jumat, 28 Agustus 2015

MEURAH SANG PEMBELA SYARI,AT ISLAM

Tuesday, 11 September 2012 06:03

Komplek Makam Kerkhoff (yang berarti halaman depan gereja) berukuran 150 x 200 M. berlokasi di Jalan Teuku Umar, Kampung Sukaramai, Blower (samping Blang Padang), berbatasan dengan museum tsunami dan SMA Budi Darma Katolik. Banda Aceh tampak lenggang saat saya dan beberapa teman-teman dari Adab Sejarah Kebudayaan IAIN Ar-raniry dan mahasiswa sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala. Memasuki arena pemakaman yang di sebut juga perkuburan pjocut tepat pada jam 2 siang pada tanggal 17 Mei 2012.

Diantara makam kuburan serdadu belanda yang tewas dalam perang aceh kawasan kerkhoff ini jika kita sedikit jeli ternyata terdapat tiga makam dari kerajaan Aceh tepatnya pada masa pemerintahan sultan iskandar muda dan salah satu dari kuburan ini merupakan saksi bisu bahwa Iskandar Muda adalah seorang Raja yang benar-benar adil dalam memerintah serta tidak pandang bulu dalam memberi hukuman, serta seorang raja yang benar-benar kaffah dalam menengakkan syariat islam Jauh sebelum berlakunya landasan yuridis UU Nomor 11 Tahun 2006 yang memberi ruang cukup luas bagi penerapan Syari’at Islam di Serambi Makkah makam tersebut tenyata adalah makam anaknya bernama Meurah pupok.

Meski sangat di sayangkan makam peninggalan sejarah tentang syariat islam pernah di terapkan sedemikian ketatnya di Aceh pada masa iskandar muda ( yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636 dan berhasil mengantarkan Aceh pada masa kejayaannya, serta mampu menempatkan kerajaan Islam Aceh di peringkat kelima di antara kerajaan terbesar Islam di dunia) kurang terawat di bandingkan makam-makam di sekitarnya yang berdiri megah dan bagus perawatannya.
Kisah sang meurah pupok.

Meurah adalah gelar raja-raja di Aceh sebelum datangnya agama Islam. Dalam bahasa Gayo, Meurah disebut Marah, Meurah Pupok adalah putra kesayangan Sultan Iskandar Muda yang hidupnya harus berakhir tragis. Menurut sebuah riwayat Sultan Iskandar Muda memiliki dua anak, yang pertama adalah Meurah Pupok yang berasal dari istrinya seorang Putri Gayo(jadi bukan hal aneh jika di Gayo ada pemakaman yang di beri nama ‘meurah pupok’). Yang kedua adalah wanita yang bernama Safiatuddin yang berasaal dari istrinya Putri Pedir/Pidie. Meurah Pupok dikenal sebagai seorang Pangeran yang terampil menunggang kuda. Meurah Pupok menjadi harapan Sultan Iskandar Muda untuk menggantikannya.

Dalam banyak kisah di ceritakan bahwa Sang Putra Mahkota, Meurah Pupok, harus mengakhiri hidupnya di ujung pedang Sultan Iskandar Muda. Meurah Pupok dituduh telah berbuat zina maka berdasarkan hukum yang di tegakkan si pelaku sekalipun dia anak raja, harus dihukum sebagai ganjaran atas perbuatannya. Peristiwa penghukuman oleh Sultan terhadap Putra Mahkota merupakan latar lahirnya ungkapan filosofis “Mate aneuk meupat jeurat, gadoh adat hana pat tamita”.

Adat harus ditegakkan meski anak harus dikorbankan karena pada masa itu syariat islam benar-benar di jalankan tanpa pandang bulu. Dan adat harus bersumber pada syariat islam yang sumber utamanya adalah Al-qur’an dan Hadist sehingga menegakkan adat dapat identik juga dengan menegakkan hukum Islam seperti yang tertuang dalam filosofi “ Hukom ngen adat lage zat ngen sifheut”.

Namun dalam kisah lain di sebutkan bahwa tragedi Meurah Pupok ini sebetulnya memang telah dirancang sedemikian rupa oleh kelompok politisi istana yang berkhianat. Mereka dengan licik memanfaatkan Meurah Pupok yang tengah terjerat cinta. Konon ini merupakan permainan kelas tinggi. Meurah yang menjadi target, masih teramat lugu dengan kemudaannya sehingga tidak menyadari jebakan tersebut. Maka akhirnya pengkondisian itu berjalan sukses. Pupok terbukti berzina. Memang ia merupakan anak raja, tapi hukum syariah tidak boleh dinodai.

Dugaan ini muncul di sebabkan oleh hipotesa Meurah Pupok adalah putra mahkota yang akan menggantikan posisi ayahandanya sebagai Sultan di kemudian hari, sehingga ada dari politisi istana yang tidak mengiginkan hal ini.
Sultan dirundung kesedihan mendalam yang terus menerus ini membuat Sultan jatuh sakit. Sakitnya berlangsung terus dan semakin parah. Dalam beberapa waktu kemudian Sultan Iskandar Muda yang perkasa ini akhirnya mangkat tepatnya pada tanggal 27 Desember 1636. Dan di gantikan oleh Sultan Iskandar Tsani.

Setelah Sultan Iskandar Tsani mangkat ditunjuklah istrinya yang juga anak Sultan Iskandar Muda dan adik Meurah Pupok yaitu Ratu Tajul Alam Syafiatuddin menjadi Ratu Penguasa Kesultanan Aceh. Dalam masa kepemimpinan Ratu Tajul Alam Syafiatuddin ia mencoba memulihkan kembali nama baik abangnya Meurah Pupok, karena sesungguhnya abangnya tersebut tidak sepenuhnya salah. Abangnya dijebak oleh politisi yang jahat.

Ratu kemudian membangun makam untuk abangnya Meurah Pupok yaitu suatu bangunan yang indah yang menjadi kenang-kenangan bagi peristiwa masa lalu untuk dijadikan pelajaran agar para penguasa dan keluarganya harus lebih berhati-hati dalam bersikap dan bertindak. Bangunan makam ini disebut dengan Kandang Poteu Cut.

Kandang ini terletak pada lokasi strategis yaitu disisi barat Kandang Perak dan Taman Sari pada tepi jalan masuk ke Medan Khayali(sekarang di antara SMA Budi Darma katolik dan Museum Tsunami). Namun, makam Meurah Pupok yang disebut Peucut ini sempat dihancurkan Belanda(Peucut berasal dari Pocut yang berarti putra kesayangan).
Meurah pupok dan Penegakan Syariat saat ini

Demi menegakan hukum Sultan Iskandar Muda rela menghukum mati anaknya sendiri yang di ketahui merupakan putra kesayangannya sekaligus penerus kekuasaannya. Meskipun kemudian diketahui kesalahan anaknya tersebut akibat fitnah tetap saja Sejarah telah memberikan pelajaran yang luar biasa buat kita, hukum memang harus ditegakan, namun kekuasaan itu pun sarat dengan penuh tipu daya sehingga kita harus berhati-hati dalam mengambil keputusan saat menjadi seorang penguasa.

Makam meurah pupok memang telah memberikan pelajaran secara tidak langsung dalam penerapan sariat islam di Aceh, namun alangkah di sayangkan kisah ini tidak terlalu popular dan banyak di antara rakyat Aceh tidak tau menahu tentang peristiwa penegakan syariat pada masa iskandar muda serta peniggalan purbakala ini tidak di rawat seperti makam-makam yang ada di sekitarnya.

Semoga sedikit ulasan sejarah, akan mampu mengajari kita menata hari esok yang lebih baik serta meraih peradaban yang lebih tinggi, sebab sejarah adalah pengalaman beharga untuk masa yang akan datang. Salam Jas Merah ( dari berbagai sumber ).
penulis adalah Nita Juniarti Mahasiswa Fakultas Adab Jurusan Ask.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar