Selasa, 05 Februari 2013

catatan berserakan : Jejak diplomasi Sulthan Muhammad Daud Syah

Oleh Al Asyi di MAPESA "MASYARAKAT PEDULI SEJARAH ACEH"

catatan berserakan : Jejak diplomasi Sulthan Muhammad Daud Syah


1. Pada abad ke-XIX Belanda menghadapai perlawanan gigih dari rakyat Kesultanan Aceh (Sumatera Utara). Dalam usahanya memecahkan konflik Aceh dengan Belanda, Sultan Aceh mencari dukungan dari negara lainnya termasuk dari Rusia juga.

Pada tahun 1879 selagi kapal layar Rusia “Vsadnik” melabuh di Penang, delegasi yang terdiri dari wakil-wakil pemberontak Aceh menghubungi kapten kapal tersebut dengan “permohonan kepada Yang Mulia Sang Pemimpin Imperator agar negara mereka memperoleh kewarganegaraan Rusia”. Kementrian Kelautan melapor kepada Tzar mengenai permohonan tersebut yang memerintahkan mengalihkannya kepada Kementrian Luar Negeri.

Jawaban Kementrian Luar Negeri kepada Kementrian Kelautan menyatakan bahwa pada saat ini Menteri Luar Negeri berpendapat bahwa tidak mungkin “membahas masalah mengenai masuknya rakyat Aceh menjadi warganegara Rusia berhubung di kemudian hari hal tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman diantara Pemerintahan Imperator dengan Belanda”.

Pada tanggal 15 Pebruari 1904, yang mengemban tugas Konsul Rusia di Singapura, Rudanovskiy memberitahukan bahwa Sultan Aceh menyampaikan kepada Konsulat surat permohonan yang dialamatkan kepada Nikolay II tentang permohonan untuk menerima daerah kekuasaannya dibawah perlindungan Rusia.

http://www.indonesia.mid.ru/
relat_ind_04.html

2. Pada tahun 1873-1904 dalam upaya mencegah direbutnya Aceh oleh Belanda, Sultan Aceh mencari dukungan dari negara lain, termasuk Rusia. Pada tahun 1879 perjuang-pejuang Aceh menghubungi kapten kapal Rusia “Vsadnik” yang sedang berlabuh di Penang dan memohon untuk disampaikan kepada Imperator Rusia agar diberikan perlindungan.

Pada tanggal 15 Februari 1904 melalui Konsul Rusia di Singapura, Rudanovsky, Sultan Aceh memohon kepada Nikolay II untuk menerima Aceh sebagai wilayah di bawah perlindungan Rusia. Setelah pembahasan di tingkat pemerintah Rusia, diputuskan bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan mengingat akan mengganggu hubungan antara pemerintahan Imperator Rusia dengan Kerajaan Belanda.

http://www.kemlu.go.id/moscow/Pages/
CountryProfile.aspx?IDP=5&l=id

3. Pada waktu Jepang menjajah Indonesia pada 1942-1945, Kaisar Jepang memerintahkan melalui kementerian Luar Negeri Jepang dan mengutus jenderal Shaburo I I no dengan stafnya mencari keturunan Sultan Aceh Muhammad Daudsyah. Dia bertemu dan diterima secara resmi dengan Tuanku Raja Ibrahim di Lameulo, Pidie pada 1943.

Atas dasar Kaisar Jepang teringat atas surat ayahnya yang dikirim pada Kaisar Jepang. Segera setelah Jepang menang perang melawan Rusia pada tahun 1905, di Selat Tsushima. Surat ini menjadi salah satu sebab Sultan Muhammad Daudsyah dibuang dari Aceh pada tahun 1907 dan tidak kembali sampai akhir hayatnya.

http://kuartil.wordpress.com/2011/06/27/nasib-putra-mahkota-keturunan-s
ultan-acheh-terakhir/

4. Sultan Alaidin Muhammad Daud syah Memerintah tanpa Istana III

Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah, Berkubur di Rantau Orang

[ penulis: Dr Hasballah Saad | topik: Budaya ]

SETELAH Sultan berdamai dengan Belanda (1903), beberapa saat menetap di Koetaraja, namun tidak di Meuligoe Kerajaan. Karena saat itu telah dirampas dan diduduki Belanda sejak 1874. Selama memerintah, Sultan tak pernah memiliki istana sebagai Pusat Pemerintahan dan Kedudukan Resmi Sultan.

Harta pusaka pun telah berserakan dimana mana, hingga sejumlah benda benda penting yang berharga pun kini telah menghiasi ruang muzium di seluruh dunia, seperti di Negeri Belanda, di Portugal, di Perancis, di Malaysia, dan dimana mana. Kota Jogjakarta pun, konon kini menyimpan meriam buatan pertama pasukan Turki di Aceh dengan motif Pucok Reubong.

Meriam Pucok Reubong ini adalah produk domestik Aceh pertama dibawah asistensi ahli meriam dari Turki. Ada juga Meriam Lada Sicupak hadiah Sultan Selim II, melalui Panglima Nak Dum, utusan Aceh ke Turki waktu itu, pada abad ke 16 lalu, kini juga tidak diketahui keberadaannya.

Sebagai tawanan Belanda, Sultan menyatakan kepada kawan seperjuangan dan para pemimpin gerilya yang masih aktif, kalau dia tak pernah menyerahkan kedaulatan negara kepada Belanda. Sultan menyerah dan berdamai dalam status sebagai rakyat biasa––istilah saat itu, menyerah sebagai anak negeri, Sementara Cap Sikureueng telah diserahkan kepada Tgk Syik di Tiro Mahyeddin (Teungku Syik Mayed, suami Pucut Mirah Gambang putri Cut Nyak Dhien) yang berkedudukan memimpin prang meneruskan perjuangan almarhun ayahnya Tgk Syech Saman di Tiro, di Gunong Alimon, pedalaman Tangse di Pidie.

Sultan terus melakukan korespondensi rahasia dengan beberapa perwakilan negara asing di Singapura, antara lain kedutaan Inggris, Kedutaan Amerika, Kedutaan Turki, India, dan lainnya. Namun kemudian diketahui Belanda, maka Sultan dipisahkan dengan rakyat pengikutnya yang setia. Awak tahun 1904, beliau dibuang ke Ambon.

http://www.acehforum.or.id/archive/index.php/t-16547.html

Note :Sebagian catatan kecil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar