Oleh
Andy Riza Hidayat
Puluhan tahun, terutama
pada masa konflik, ribuan makam tua di Aceh Utara tak terurus. Tak
banyak studi tentang batu bersurat peninggalan Kerajaan Samudra Pasai.
Padahal, bebatuan ini menyimpan jejak kejayaan peradaban pesisir timur
Aceh. Bagi Taqiyuddin Muhammad, epigrafi dalam prasasti itu adalah
bagian dari Kerajaan Pasai yang perlu diselamatkan.
Sebagian
prasasti penting itu kondisinya mengenaskan. Ada makam berukir yang
patah tertimpa pohon, tersembunyi di balik semak belukar, dan sebagian
melapuk diselimuti lumut.
Kenyataan ini menggugah Taqiyuddin,
terutama setelah ia mempelajari sejarah kebudayaan Islam di Mesir dan
menguasai bahasa Arab. Keinginan itu semakin kuat setibanya dia di Aceh
pada 2005. Bekal ilmu selama 14 tahun belajar di Fakultas Ushuluddin,
Jurusan Aqidah dan Filsafat, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, cukup
baginya untuk mulai ”membongkar” prasasti Pasai.
Ia sendiri tak
tahu banyak jejak sejarah ”kampungnya”. Pria kelahiran Peusangan,
Biereun, Aceh, ini justru akrab dengan sejarah Mesir kuno.
Pascaperdamaian
di Aceh, Agustus 2005, dia memulai perjuangannya. Pada 2007 ia mengajak
sejumlah pemuda yang mempunyai gagasan dan keinginan sama untuk
bergabung. Upaya ini bukan pekerjaan ringan. Selain harus berjuang
dengan terbatasnya dana, ia mesti menahan diri dari cibiran sejumlah
kerabat dan tetangga.
”Mereka sempat mengatakan, ’Ah itu hanya
proyek tengku, paling nanti juga bawa proposal ke kantor bupati.’
Membawa proposal ke kantor pemerintah berarti meminta dana. Ini stigma
negatif yang perlu diluruskan,” tutur Taqiyuddin.
Sebutan tengku
di Aceh biasa ditujukan kepada pemuka agama atau orang dengan kedalaman
ilmu agama. Tanpa diminta, Taqiyuddin menyandang gelar ini. Ia ingin
muruah seorang tengku terjaga sebagaimana lazimnya panutan masyarakat.
Tengku tak pantas bekerja untuk mendapatkan pamrih, apalagi mencari uang
dengan kedok kegiatan sosial. Kalau tengku tak dipercaya masyarakat,
siapa lagi yang menjadi panutan hidup?
Pemahaman ini terbenam kuat
dalam benaknya. Keterbatasan sarana dan cibiran negatif tak menghalangi
keinginannya mengumpulkan jejak Pasai. Dua tahun bekerja dengan dana
swadaya, ratusan epigrafi nisan tua Pasai berhasil dia terjemahkan
bersama para pemuda. Sejumlah fakta sejarah baru tentang Pasai, terutama
sebelum abad ke-16, mulai terkuak.
Menerjemahkan kaligrafi
berhuruf Arab dalam batu nisan bukan pekerjaan mudah. Dalam kaligrafi
nisan, pemahat memasang ”jebakan” yang terselip dalam penggunaan bahasa
dan simbol huruf. Sering kali simbol ini menceritakan data penting,
misalnya gambar kandil (lampu gantung di dalam masjid). Gambar seperti
itu ditemui di sejumlah makam tua yang berarti pemilik makam adalah
penyebar Islam.
Untuk membaca utuh epigrafi sebuah batu nisan,
Taqiyuddin perlu waktu seminggu. Kesulitan membaca epigrafi makam Islam
di Nusantara ini pernah disampaikan peneliti Perancis, Claude Guillot
dan Ludvik Kalkus, dalam bukunya Inskripsi Islam Tertua di Indonesia,
2008.
Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam di Nusantara yang
berjaya pada abad ke-13 sampai ke-16. Guillot dan Kalkus menyebut
prasasti Pasai penting untuk mengetahui jejak masuknya Islam ke
Nusantara, selain prasasti Barus (Sumatera Utara) dan Gresik (Jawa
Timur).
Keterbatasan
Taqiyuddin tak perlu
menunggu semua sarana tersedia untuk memulai pekerjaan. Kerabatnya kerap
menganggap dia seperti lilin yang menerangi orang sekitar, tetapi
dirinya meleleh. Ia tak merasa seperti lilin. Dia memang ingin
memberikan waktu dan dirinya untuk Aceh.
Lantaran itu, ia tak
meratapi keterbatasan sarana. Pada awal penyusuran ke sejumlah lokasi
prasasti, dia memakai becak motor (betor) milik sahabatnya, Abu. Selain
pengetahuan bahasa Arab, bekal yang tak ada habisnya adalah semangat
kerja sama tim. Taqiyuddin beruntung mempunyai rekan kerja yang tak
pernah mengeluh walau mesti mengakrabi nisan-nisan tua. Rekannya, Fauzan
(29) dan Ramlan Yunus (30), adalah pemuda Aceh Utara, lulusan SMA.
Mereka
mengunjungi makam-makam tak terkenal lalu mengabadikannya. Melalui
dokumentasi foto, perlahan-lahan tim Taqiyuddin memecahkan rahasia
kaligrafi sebuah prasasti. Selanjutnya mereka simpan hasil terjemahan
kaligrafi berupa syair, riwayat hidup pemilik makam, atau nukilan ayat
Al Quran dalam komputer.
Secara tak sengaja, mereka menemukan
aneka gerabah kuno, koin berhuruf Arab, dan sebuah benda yang diduga
kuat sebagai stempel Kerajaan Pasai di sekitar lokasi pemakaman.
Suatu
hari Taqiyuddin membutuhkan sarana yang lebih memadai karena beban
kerjanya makin menantang. Dari pakcik-nya (paman), ia bisa menempati
sebuah rumah sebagai sekretariat penelitian. Dia juga memanfaatkan uang
simpanan untuk membayar uang muka membeli sepeda motor.
Hasil
penerjemahan epigrafi nisan itu sudah banyak yang ditulisnya. Sebagian
artikel dan temuannya dimuat di koran terbitan Aceh seperti Harian Aceh
dan Serambi Indonesia. Tantangan berikutnya adalah membukukan semua
hasil kegiatan itu untuk melengkapi kekayaan sejarah Pasai. Belakangan,
pekerjaannya mendapat dukungan dari Balai Pelestari Peninggalan
Purbakala (BP3) Aceh.
Cita-cita
Ketika
Taqiyuddin berusia sembilan tahun, ayahnya, Muhammad A Djali, meninggal
dunia. Sejak itu, sang ibu, Nafsiah Yusuf, yang bekerja sebagai pegawai
di Departemen Agama, Aceh Utara, menghidupi empat anaknya sendirian.
Namun, keterbatasan ini tak membatasi cita-cita Taqiyuddin. Setamat
belajar di pesantren di Langsa, ia berkeras hanya mau melanjutkan ke
Universitas Al Azhar di Kairo.
Membantu mewujudkan keinginan
anaknya, Nafsiah mengusahakan uang kuliah dari hasil penjualan tanah
warisan dan perhiasan keluarga. Selama di Mesir, Taqiyuddin sering
kekurangan dana karena kiriman tak mencukupi. Beruntung, sebagian teman
mengizinkan dia menumpang tinggal.
Kekurangan dana itu mendorong
dia mencari pendapatan selama di Mesir. Berbagai pekerjaan dia lakukan,
mulai dari sebagai tenaga musiman haji di Jeddah, Arab Saudi, penerjemah
buku-buku Islam, sampai pemandu wisata di Mesir. Bersamaan dengan itu,
secara otodidak dia menekuni sejarah kebudayaan Islam.
Istrinya,
Siti Suryani Syarifuddin, yang juga dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Agama
Islam Negeri Lhok Seumawe, mendukung keinginan sang suami. ”Kami bertemu
saat belajar di Kairo,” kata Taqiyuddin yang menikahi Suryani pada
1998.