Oleh: Adi Warsidi
TEMPO.CO, Banda Aceh – Pantai Kuala Daya benderang pagi itu. Langit biru memantulkan cahaya ke lautnya yang indah dengan satu pulau kecil jelas terlihat, tanpa penghuni. Air laut berjingkrak mengempas pantai kuala, di sisi lain ombaknya dipecahkan tanggul-tanggul batu. Di atas pantai, bukit yang hampir tandus menebarkan magis penarik orang-orang segenap penjuru.
Bukan pantainya yang membuat daya tarik, hingga seribuan warga tumpah ke kasawan Kuala Daya, Lammo, Aceh Jaya. Tapi bukitnya, yang menyimpan jasad para Raja Daya, yang pernah berdaulat di kawasan itu, ratusan tahun lalu. Ahad 28 Oktober 2012 lalu, Tempo menelusurinya, tepat saat tradisi Seumuleng (menyuapi) Raja Daya diperingati. Sebuah upacara adat yang dijaga turun-temurun oleh anak-anak Negeri Daya.
Satu persatu warga turun naik 99 anak tangga yang dibuat melingkar menghindari sudut tanjakan. Di bawah tangga, sebuah pamplet beton menyapa dengan tulisan “Komplek Makam Sulthan Alaidin Riayat Syah” ditulis dengan dua huruf, arab dan latin.
Di atas bukit, komplek makam dipagari. Di dalamnya ada bangunan utama yang berisi 10 makam raja dan keluarganya yang pernah memerintah Kerajaan Daya pada kurun abad ke 15 Masehi. Di sisinya, sebuah bangunan kecil tempat guci peninggalan raja dan dua balai peristirahatan.
Ritual ziarah makam dimulai dengan membasuh kepala memakai air yang dianggap suci. Warga antre mendapatkan air itu, dua petugas silih berganti menuangkan dengan gayung dari tempurung kelapa yang telah diberikan pegangan. Air itu berasal dari sebuah guci peninggalan Negeri Daya, yang dialirkan memakai pompa dari sumber air di sela-sela batu bukit.
Penjaga Makam, Abidin (60 tahun) mengisahkan, dulunya guci itu berada di sebelah kanan makam para raja. Konon dulu, airnya terisi sendiri ke dalam guci pada sumber seperti air terjun kecil di bagian atas bukit, tak pernah kering. Pada saat pemugaran tempat keramat itu, guci dipindahkan ke sebelah kiri makam, dalam bangunan kecil yang diberi atap. Bagian bawah guci berwarna hitam ditanam pada lantai semen.
“Air yang diambil dalam guci dipercaya dapat menenteramkan hati dan mengobati berbagai penyakit,” kata Abidin. Dia masih percaya, guci itu dulunya didoakan oleh Sultan Salatin Riayat Syah, pendiri Negeri Daya.
Tugas menjaga makam bagi Abidin adalah amanah dari moyangnya. Makam dijaga turun temurun oleh keturunan mereka sejak dulu. Dia mulai menjaga makam setelah Ibrahim, abangnya meninggal pada tahun 2004. “Sebelumnya orang tua kami, Teungku Ahmad yang menjaga makam ini.”
Usai mencuci muka, sebagian pengunjung mengambil wudhu dan melanjutkan ritual di dalam bangunan makam. Ada yang shalat sunat dan sebagian berdoa dan melafalkan ayat-ayat suci. Tak lupa sebagian melapas nazar, bersedekah untuk kemakmuran makam.
Seorang ibu tiba-tiba menghampiri Abidin dan memberikan sejumlah uang. “Ini sedekah dari saya dan anak saya, semoga doa saya dan anak saya diterima Allah,” ujarnya.
Tanpa ditanya, si Ibu bercerita tentang doa dan harapannya agar menantunya kembali ke rumah, setelah pergi sekian hari akibat cek-cok keluarga. “Adik dengar sendiri kan? Warga masih sangat percaya tempat ini keramat dan suci,” kata Abdidin.
Tak hanya saat tradisi Seumuleng Raja Daya, makam itu ramai dikunjungi. Penuturan penjaga makam, pada akhir pekan, ratusan pengunjung juga kerap ke sana. Menjalankan ritual yang dipercaya turun-temurun.
Jamal misalnya, datang khusus dari Banda Aceh membawa istri dan anaknya menjalani ritual makam. “Kami sering ke kemari bang, tempat ini masih kami anggap suci dan keramat,” ujarnya.
Ramai dikunjungi, makam itu terjaga bersih diurus oleh para warga sana. Biaya mengurus dari sumbangan pengunjung. “Menjaga dan mengurus makam adalah menjalankan amanah dan kebanggaan bagi kami,” kata Teuku Zaini, salah satu keturunan Raja Daya.
Terletak di atas bukit, makam itu tak terjangkau lidah tsunami saat menghumbalang Aceh 26 Desember 2004 silam. Padahal, tsunami sempat menenggelamkan Kemukiman Kuala Daya yang terdiri dari dua desa, meninggalkan ribuan korban.
Dari Banda Aceh, makam Raja-raja Negeri Daya berjarak sekitar 81 kilometer, persisnya di Pantai Kuala Daya, Lamno, Aceh Jaya. Lokasi makam terpisah dari pemukiman, dan belum teraliri listrik negara. Kebutuhan arus, penjaga makam menggunakan mesin genset.
Dengan segala keterbatasan, tradisi adat Kerajaan Daya dan ritual makam masih hidup dan terjaga dengan baik. ”Kami menjaga amanah para leluhur dan selanjutkan menurunkan kepada penerus kami,” tutur Abidin.
*** [1
November 2012 | tempo.co/travel]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar