Oleh : Adi Warsidi
Rumah adat Aceh kian sulit ditemui pada kampung-kampung di Bumi Serambi. Keberadaannya kian terusik. Tapi satu desa di Aceh Besar, punya kearifan lokal, menjaga adat Rumoh Aceh.
Rumah adat Aceh kian sulit ditemui pada kampung-kampung di Bumi Serambi. Keberadaannya kian terusik. Tapi satu desa di Aceh Besar, punya kearifan lokal, menjaga adat Rumoh Aceh.
Rumah
panggung itu kokoh. Ukiran kayunya menarik dengan atap daun rumbia.
Tiang-tiang sebesar batang kelapa menjadi penyangga, menyisakan ruang
setinggi dua meter di bawahnya, yang telah dimodifikasi multiguna.
Memang tak ada lagi jingki (alat penumbuk padi), sebagai bagian tak terpisahkan dari Rumoh Aceh yang kerap menghiasi bagian bawahnya, tempo dulu. Gantinya, ada dua set kursi untuk tamu dipajang di bawah dengan lantai yang telah disemen, tak lagi tanah. Rapi tertata, tanpa cela.
Halamannya luas, berhias bunga-bunga. Kontras dengan rumah yang bercat coklat. Itulah rumah almarhum Cek Mat Rahmani, tokoh desa setempat yang pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk beberapa negara di timur tengah, era 1970-an. Desa itu bernama Lubuk Sukun, terletak di pinggiran Krueng Aceh dalam Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.
Kini rumah itu dijaga dan dirawat baik oleh anak dan cucunya. Naik ke rumah panggung itu, rapi tertata perabotan. Ada serambi depan, tengah dan belakang. Pada bagian depan, foto-foto almarhum terpajang, ada juga dalam baju tentara. “Pangkat terakhirnya Letnan Kolonel sebelum menjadi duta besar,” sebut Kepala Desa setempat, Fauzi Yunus kepada saya, awal Maret lalu. Kami didampingi seorang cucu Cek Mat, keliling rumah.
Pada bagian belakang Rumoh Aceh itu, ada rumah tambahan yang berlantai rendah, seperti lazimnya rumah kini. Menempel pada bangunan utama, berfungsi sebagai dapur dan beberapa kamar tidur.
Fauzi bercerita. Cek Mat Rahmani adalah pelopor menjaga kearifan lokal di sana. Rumoh-rumoh Aceh banyak yang masih tegak di Kemukiman Lubuk yang terdiri dari lima desa; Lubuk Sukun, Lubuk Gapoy, Dham Pulo, Dham Ceukuk dan Pasi Lubuk.
Cek Mat Rahmani sendiri seperjuangan dengan Daud Beureueh, ulama besar dan mantan gubernur Aceh yang pernah memimpin pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953. Cek Mat juga pernah memimpin desa itu pada kurun 1941 – 1943, masa pendudukan Jepang.
Amanah menjaga tradisi Rumoh Aceh kental di Lubuk. Awalnya, kata Fauzi, model rumah panggung adalah sebuah pilihan, maklum wilayah itu rawan banjir. Nama daerah itu awalnya Lubok, yang artinya wilayah yang rendah. Kemudian nama itu disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia, jadilah Lubuk.
Kerap banjir, karena lokasinya bersisian dengan Krueng Aceh yang saban tahun mengirimkan bencana. ‘Kalau banjir, air mengenani sampai satu meter. Dengan rumah Aceh, semuanya aman,” ujar Fauzi.
Tapi itu cerita dulu, sebelum proyek Krueng Aceh dikerjakan pada tahun 1990, dalam masa gubernur Aceh, Ibrahim Hasan. Proyek itu melebarkan sungai dan membagi alur, satu bermuara ke Lampulo, Banda Aceh dan satunya lagi ke Alue Naga. Manfaatnya untuk meminimalkan banjir, bahkan di Kota Banda Aceh. “Setelah itu, wilayah Lubuk aman, tidak air meluap dari sungai.”
Perlahan, warga mulai berani membangun rumah rendah. Tapi umumnya tak merusak rumah lama, hanya menambah di bagian belakang atau samping. Mereka komitmen menjaga tradisi dulu, merawat Rumoh Aceh.
Semangat menjaga kearifan lokal, kata Fauzi, juga karena dorongan para tokoh besar yang berasal dari sana. Cek Mat Rahmani misalnya, semasa tinggal di Jakarta dan luar negeri, kerap meluangkan waktu menjenguk tanah lahirnya. Selalu dia berpesan, jaga rumah dan budaya.
Amanah juga disampaikan oleh A. Muzakkir Walad, Gubernur Aceh pada kurun 1967 – 1978. Pejabat itu juga berasal dari desa Lubuk Sukun. Sampai sekarang rumahnya yang khas Aceh masih dirawat anak cucunya.
Keuchik desa itu dan warga di sana masih ingat pesan Muzakkir Walad, semasa hidupnya, yang kemudian turun-temurun diceritakan ke generasi selanjutnya. “Himbauannya begini, kalau bisa dipelihara Rumoh Aceh di tempat kita,” kata Fauzi menirukan.
Bahkan, semasa menjadi gubernur Muzakkir Walad selalu saban Minggu pulang ke desa itu, memberi semangat kepada warga menjaga rumah dan kebersihan desa. Hasilnya, Desa Lubuk Sukun pernah berjuluk kampung teladan se-Provinsi Aceh pada tahun 1971 dan 1974.
Semangat menjaga rumah, juga diakui oleh Nurmala, 59 tahun, warga setempat. Menurutnya, hingga kini dia masih merawat Rumoh Aceh peninggalan orang tuanya. “Awalnya memang karena kebutuhan, karena daerah kami sering banjir, tapi kemudian sudah sayang kalau dirusak dan kami memeliharanya.”
Nurmala mengatakan, menjaga Rumoh Aceh juga menjaga budaya sekaligus warisan orang tua. Karena itu pula, saat dia membangun rumah permanen untuk keluarganya, Rumoh Aceh peninggalan ayahnya tak dirusak. Rumah rendah gaya sekarang, dibangunnya di sisi rumah panggung itu.
Ada juga warga yang membangun baru Rumoh Aceh, seperti yang dilakukan oleh tokoh desa setempat, Syamaun, 58 tahun. Dia membangun kembali Rumoh Aceh dengan membeli perangkat rumah itu dari tempat lain. Jadilah rumah baru layaknya rumah masa lalu. Bagian belakang ditambah dengan rumah rendah.
Syamaun mengatakan, warga di desanya punya kekerabatan sosial yang tetap terjaga. Banyak orang hebat dari sana. Ibaratnya, yang belum ada adalah presiden yang berasal dari sana, lainnya sudah, dari pengawai negeri biasa sampai gubernur dan duta besar. “Mereka tetap memperhatikan desa, kendati tidak tinggal di desa,” ujarnya.
Tak Rumoh Aceh saja, kearifan lokal yang berlaku di sana. Desa itu masih kental dengan kegiatan adatnya yang lain, semisal pengajian, dalail khairat, khanduri blang, khanduri babah jurong, khanduri maulid, musyawarah desa sampai kepada gotong-royong saban minggu. “Ibaratnya, di sini kami besar dalam gotong-royong,” ujar Syamaun bertamsil.
Karenanya, desa selalu bersih terjaga. Bahkan tak ada kotoron ternak yang terlihat di jalan. Ada aturan yang tak terlulis soal ini. Bila ditemukan kotoron lembu, kata Syamuan, maka binatang peliharaan itu akan ditangkap warga dan dipajang di balai desa. Sampai kemudian, pemiliknya mengambil dengan perjanjian akan menjaga, tak lagi melepasnya sembarangan.
Dari data desa, total luas Lubuk Sukun 98 hektar. Sebesar 12,8 hektar di antaranya dipakai sebagai pemukiman warga. Lebihnya adalah area pinggir Krueng Aceh, lahan pertanian, perkebunan dan tanah kosong.
Jumlah penduduk di sana sekitar 778 jiwa dengan 194 kepala keluarga. Setengah dari angkatan kerja di sana berprofesi sebagai pegawai negeri, selebihnya pedagang dan petani.
Wilayah Lubuk masih khas dengan nuansa ke-Acehan, menjenguknya adalah melihat Aceh dalam bingkai silam. Syamaun ingin kondisi tersebut tetap terjaga sepanjang zaman. Dia berharap pemerintah Aceh memperhatikan keberadaan tersebut. Katanya, akan sangat bagus jika ada program menjadikan Kemukiman Lubuk sebagai cagar budaya. “Kalau ada wisatawan yang ingin berkunjung ke Aceh dan ingin melihat rumoh-rumoh Aceh, Lubuk bisa menjadi referensi,” ujarnya.
Menurutnya tanpa perhatian serius dari masyarakat Aceh umumnya, suatu saat nanti para generasi akan semakin lupa bagaimana sebenarnya Rumah Adat Aceh. Sehingga dikhawatirkan Aceh akan kehilangan budayanya, rumahnya yang telah diwariskan para indatu sejak lama.
Saat ini, warga Lubuk Sukun masih menjadi penjaga tradisi Rumoh Aceh bersama kearifan lokal lainnya. Masih ada ruang luas di bawah rumah tempat anak-anak bermain, masih ada serambi depan, tengah dan belakang. Paling penting, masih ada warisan budaya dan cerita nyata bagi anak cucu. ***
Memang tak ada lagi jingki (alat penumbuk padi), sebagai bagian tak terpisahkan dari Rumoh Aceh yang kerap menghiasi bagian bawahnya, tempo dulu. Gantinya, ada dua set kursi untuk tamu dipajang di bawah dengan lantai yang telah disemen, tak lagi tanah. Rapi tertata, tanpa cela.
Halamannya luas, berhias bunga-bunga. Kontras dengan rumah yang bercat coklat. Itulah rumah almarhum Cek Mat Rahmani, tokoh desa setempat yang pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk beberapa negara di timur tengah, era 1970-an. Desa itu bernama Lubuk Sukun, terletak di pinggiran Krueng Aceh dalam Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.
Kini rumah itu dijaga dan dirawat baik oleh anak dan cucunya. Naik ke rumah panggung itu, rapi tertata perabotan. Ada serambi depan, tengah dan belakang. Pada bagian depan, foto-foto almarhum terpajang, ada juga dalam baju tentara. “Pangkat terakhirnya Letnan Kolonel sebelum menjadi duta besar,” sebut Kepala Desa setempat, Fauzi Yunus kepada saya, awal Maret lalu. Kami didampingi seorang cucu Cek Mat, keliling rumah.
Pada bagian belakang Rumoh Aceh itu, ada rumah tambahan yang berlantai rendah, seperti lazimnya rumah kini. Menempel pada bangunan utama, berfungsi sebagai dapur dan beberapa kamar tidur.
Fauzi bercerita. Cek Mat Rahmani adalah pelopor menjaga kearifan lokal di sana. Rumoh-rumoh Aceh banyak yang masih tegak di Kemukiman Lubuk yang terdiri dari lima desa; Lubuk Sukun, Lubuk Gapoy, Dham Pulo, Dham Ceukuk dan Pasi Lubuk.
Cek Mat Rahmani sendiri seperjuangan dengan Daud Beureueh, ulama besar dan mantan gubernur Aceh yang pernah memimpin pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953. Cek Mat juga pernah memimpin desa itu pada kurun 1941 – 1943, masa pendudukan Jepang.
Amanah menjaga tradisi Rumoh Aceh kental di Lubuk. Awalnya, kata Fauzi, model rumah panggung adalah sebuah pilihan, maklum wilayah itu rawan banjir. Nama daerah itu awalnya Lubok, yang artinya wilayah yang rendah. Kemudian nama itu disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia, jadilah Lubuk.
Kerap banjir, karena lokasinya bersisian dengan Krueng Aceh yang saban tahun mengirimkan bencana. ‘Kalau banjir, air mengenani sampai satu meter. Dengan rumah Aceh, semuanya aman,” ujar Fauzi.
Tapi itu cerita dulu, sebelum proyek Krueng Aceh dikerjakan pada tahun 1990, dalam masa gubernur Aceh, Ibrahim Hasan. Proyek itu melebarkan sungai dan membagi alur, satu bermuara ke Lampulo, Banda Aceh dan satunya lagi ke Alue Naga. Manfaatnya untuk meminimalkan banjir, bahkan di Kota Banda Aceh. “Setelah itu, wilayah Lubuk aman, tidak air meluap dari sungai.”
Perlahan, warga mulai berani membangun rumah rendah. Tapi umumnya tak merusak rumah lama, hanya menambah di bagian belakang atau samping. Mereka komitmen menjaga tradisi dulu, merawat Rumoh Aceh.
Semangat menjaga kearifan lokal, kata Fauzi, juga karena dorongan para tokoh besar yang berasal dari sana. Cek Mat Rahmani misalnya, semasa tinggal di Jakarta dan luar negeri, kerap meluangkan waktu menjenguk tanah lahirnya. Selalu dia berpesan, jaga rumah dan budaya.
Amanah juga disampaikan oleh A. Muzakkir Walad, Gubernur Aceh pada kurun 1967 – 1978. Pejabat itu juga berasal dari desa Lubuk Sukun. Sampai sekarang rumahnya yang khas Aceh masih dirawat anak cucunya.
Keuchik desa itu dan warga di sana masih ingat pesan Muzakkir Walad, semasa hidupnya, yang kemudian turun-temurun diceritakan ke generasi selanjutnya. “Himbauannya begini, kalau bisa dipelihara Rumoh Aceh di tempat kita,” kata Fauzi menirukan.
Bahkan, semasa menjadi gubernur Muzakkir Walad selalu saban Minggu pulang ke desa itu, memberi semangat kepada warga menjaga rumah dan kebersihan desa. Hasilnya, Desa Lubuk Sukun pernah berjuluk kampung teladan se-Provinsi Aceh pada tahun 1971 dan 1974.
Semangat menjaga rumah, juga diakui oleh Nurmala, 59 tahun, warga setempat. Menurutnya, hingga kini dia masih merawat Rumoh Aceh peninggalan orang tuanya. “Awalnya memang karena kebutuhan, karena daerah kami sering banjir, tapi kemudian sudah sayang kalau dirusak dan kami memeliharanya.”
Nurmala mengatakan, menjaga Rumoh Aceh juga menjaga budaya sekaligus warisan orang tua. Karena itu pula, saat dia membangun rumah permanen untuk keluarganya, Rumoh Aceh peninggalan ayahnya tak dirusak. Rumah rendah gaya sekarang, dibangunnya di sisi rumah panggung itu.
Ada juga warga yang membangun baru Rumoh Aceh, seperti yang dilakukan oleh tokoh desa setempat, Syamaun, 58 tahun. Dia membangun kembali Rumoh Aceh dengan membeli perangkat rumah itu dari tempat lain. Jadilah rumah baru layaknya rumah masa lalu. Bagian belakang ditambah dengan rumah rendah.
Syamaun mengatakan, warga di desanya punya kekerabatan sosial yang tetap terjaga. Banyak orang hebat dari sana. Ibaratnya, yang belum ada adalah presiden yang berasal dari sana, lainnya sudah, dari pengawai negeri biasa sampai gubernur dan duta besar. “Mereka tetap memperhatikan desa, kendati tidak tinggal di desa,” ujarnya.
Tak Rumoh Aceh saja, kearifan lokal yang berlaku di sana. Desa itu masih kental dengan kegiatan adatnya yang lain, semisal pengajian, dalail khairat, khanduri blang, khanduri babah jurong, khanduri maulid, musyawarah desa sampai kepada gotong-royong saban minggu. “Ibaratnya, di sini kami besar dalam gotong-royong,” ujar Syamaun bertamsil.
Karenanya, desa selalu bersih terjaga. Bahkan tak ada kotoron ternak yang terlihat di jalan. Ada aturan yang tak terlulis soal ini. Bila ditemukan kotoron lembu, kata Syamuan, maka binatang peliharaan itu akan ditangkap warga dan dipajang di balai desa. Sampai kemudian, pemiliknya mengambil dengan perjanjian akan menjaga, tak lagi melepasnya sembarangan.
Dari data desa, total luas Lubuk Sukun 98 hektar. Sebesar 12,8 hektar di antaranya dipakai sebagai pemukiman warga. Lebihnya adalah area pinggir Krueng Aceh, lahan pertanian, perkebunan dan tanah kosong.
Jumlah penduduk di sana sekitar 778 jiwa dengan 194 kepala keluarga. Setengah dari angkatan kerja di sana berprofesi sebagai pegawai negeri, selebihnya pedagang dan petani.
Wilayah Lubuk masih khas dengan nuansa ke-Acehan, menjenguknya adalah melihat Aceh dalam bingkai silam. Syamaun ingin kondisi tersebut tetap terjaga sepanjang zaman. Dia berharap pemerintah Aceh memperhatikan keberadaan tersebut. Katanya, akan sangat bagus jika ada program menjadikan Kemukiman Lubuk sebagai cagar budaya. “Kalau ada wisatawan yang ingin berkunjung ke Aceh dan ingin melihat rumoh-rumoh Aceh, Lubuk bisa menjadi referensi,” ujarnya.
Menurutnya tanpa perhatian serius dari masyarakat Aceh umumnya, suatu saat nanti para generasi akan semakin lupa bagaimana sebenarnya Rumah Adat Aceh. Sehingga dikhawatirkan Aceh akan kehilangan budayanya, rumahnya yang telah diwariskan para indatu sejak lama.
Saat ini, warga Lubuk Sukun masih menjadi penjaga tradisi Rumoh Aceh bersama kearifan lokal lainnya. Masih ada ruang luas di bawah rumah tempat anak-anak bermain, masih ada serambi depan, tengah dan belakang. Paling penting, masih ada warisan budaya dan cerita nyata bagi anak cucu. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar