Thursday, September 15, 2011
By: Adi Warsidi
Di ruang tamu rumahnya, Tarmizi Abdul Hamid, 46 tahun dan seorang rekannya, Herman sedang mempelajari beberapa naskah lama yang tergeletak di meja. Tarmizi adalah perawat naskah kuno Aceh yang berjuang sendiri menyelamatkan warisan leluhur.
Tarmizi punya hobby aneh, mengoleksi naskah-naskah lama masa kerajaan Aceh silam. Ratusan juta uang dihabiskan untuk tujuan itu. Dia sendiri bekerja sebagai pegawai di Badan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) Banda Aceh.
Saat Tempo berkunjung ke rumahnya, Jumat 5 Agustus lalu, Tarmizi mengisi waktu untuk mempelajari naskah lama, dibantu Herman yang master bidang naskah kuno. “Dia (Herman) membantu saya mengidentifikasi naskah-naskah lama yang ada di sini,” ujarnya.
Di rumahnya, Tarmizi punya 480 naskah kuno yang semuanya dikoleksi sendiri. “Naskah itu saya kumpulkan pelan-pelan dari seluruh daerah d Aceh. Saya berburunya sendiri,” ujarnya.
Bahasan kitab-kitab itu beragam; ilmu pengetahuan, soal tasawuf (sufi), agama, astronomi, psikologi, sejarah, tauhid, hukum fiqh Islam, termasuk ilmu perbintangan, ilmu falaq. Juga ilmu pengobatan dan hikayat-hikayat.
Manuskrip itu beraksara Arab-Jawi, umumnya memakai bahasa melayu, sedikit saja yang ditulis dalam bahasa Aceh. Oleh karenanya, Tarmizi punya impian mengalihaksarakan naskah itu ke bahasa Indonesia, agar bisa dibaca semua kalangan saat ini.
Niat itu pula, Tarmizi mengajak rekannya seperti Herman dan lainnya, untuk identifikasi dan alih aksara naskah lama. Baru dua kitab saja yang telah rampung dialih-aksarakan, yaitu Nazam Aceh (Syair Perempuan Tasawuf Aceh) karangan Pocut di Beutong dan Hujjah Baliqha Ala Jama Mukhashamah karya Jalaluddin bin Syekh Jamaluddin Ibnu Al Qadhi.
Sedangkan Mirat Al Thullab, Tarjuman Multafiq (keduanya karangan Syeh Abdurrauf As Singkili); Durar Li Syarhi Al Aqaid karangan Syeikh Nuruddin Al Raniry; dan Tajjul Muluk, masih dalam proses alih-aksara.
Naskah Mirat Al Thullab adalah kebanggaan Tarmizi, itu adalah kitab yang berisi masalah hukum syariat Islam masa lalu yang ditulis dalam bahasa Melayu Jandi. Kitab itu dibuat pada kisaran tahun 1641 – 1675, masa Aceh diperintah oleh Ratu Safiatuddin.
“Kitab ini bukti kalau syariat Islam di Aceh sudah diterapkan sejak dulu kala. Harusnya kitab ini bisa dipelajari oleh semua orang, untuk perbandingan pelaksaan syariat Islam sekarang,” ujarnya.
Tarmizi mengaku tertarik mengoleksi naskah kuno Aceh pada awal 1995. Saat itu dia mendapat tugas ke Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia dari kantornya. Di sana, mengisi waktu luang, Tarmizi mengunjungi museum.
Di Museum negeri tetangga itulah dia menyaksikan banyak sekali naskah kuno yang berasal dari Aceh. Dia penasaran, kenapa di Aceh sulit ditemui usaha untuk menyelamatkan naskah atau masyarakat sendiri menjual manuskrip lama itu ke luar negeri.
Sekembalinya ke Aceh, mulailah dia berburu naskah kuno. Impiannya hanya mengumpulkan naskah agar bisa tetap berada di Aceh, tak dibawa ke luar. “Ini demi pendidikan bagi generasi ke depan,” ujarnya.
Manuskrip pertama yang dia peroleh yaitu Sir al Salikin, karangan Syeikh Abdul Samad Palembani. Kitab ini diperoleh dari seorang warga di Kecamatan Jeunieb, Bireuen, pada pertengahan 1995. Ia juga berburu hingga ke Riau.
Usahanya memburu naskah seorang diri. Tak ada bantuan dari pemerintah daerah dan Tarmizi tak mengharapkannya. Alasannya, kalau pemerintah peduli, pasti sudah duluan naskah-naskah itu terkumpul. Naskah itu banyak tersebar di tengah masyarakat Aceh.
Pelbagai macam cara digunakan untuk memperoleh literatur kuno yang sarat dengan ilmu pengetahuan itu. Kadangkala, ia menukar naskah dengan Alquran cetakan masa kini. Di lain waktu, ia melakukan barter: naskah ditukar dengan beras atau padi. “Kalau diminta beli dalam harga tinggi, saya juga tak punya dana.”
Tapi tak sedikit uang yang dikeluarkan Tarmizi, dia tak tahu persis berapa jumlahnya. Beberapa petak sawah ludes. Tapi keluarnya mendukung usahanya. “Istri dan anak saya selalu member semangat, mereka mendukung. Kadang gaji istri saya juga disumbangkan untuk mencari naskah,” ujarnya.
Karena Aceh dulu pusat peradaban islam di Nusantara, Tarmizi memperkirakan banyak sekali naskah yang ada di masyarakat yang harus segera diselamatkan, kalau tidak bisa saja naskah itu dijual ke luar Aceh. Tarmizi tak kuasa dengan sekadar abakadabra, butuh dana yang besar.
“Saya berharap ada donatur yang kuat untuk membeli naskah-naskah itu. Kalau ada uang, naskah yang diluar pun bisa dibawa pulang,” ujarnya. “Saya hanya ingin museum naskah ada di Aceh,” sambungnya.
Merawat naskah itu, Tarmizi juga kewalahan. Awal tsunami sebuah lembaga swadaya masyarakat bekerja sama dengan Pemerintah Jepang, datang ke tempat Tarmizi. Dia mendapat bantuan untuk restorasi naskah yang rusak dan dimakan rayab. Kertas restorasi itu harganya mahal, sampai 23 juta per meternya.
Saat itulah, dia mendapat wejangan dari Prof Arai, ahli kertas Jepang yang mengatakan kertas-kertas naskah kuno tersebut sesuai dengan kondisi suhu di Aceh dan dapat disimpan berabad-abad. “Artinya tidak terlalu butuh sebuah ruangan yang dijaga suhunya,” kata Tarmizi.
Tarmizi hanya menyimpan naskah-naskah itu di rumahnya, di lemari dan di kamar. Kadang terongok di ruang tamu saat dia dan kawannya sedang mempelajari naskah-naskah. Tarmizi hanya merawat manuskrip itu dengan cara menaburinya dengan kapur barus, lada hitam, lada putih, dan cengkeh. Biar jauh dari rayap.
Perpustakaan Nasional pernah meminta Tarmizi menjual manuskrip itu. Namun ia menolak. Jika dijual, naskah-naskah itu akan diangkut ke Jakarta. Ia juga mendapat tawaran Museum Aceh untuk menyimpan naskah itu di sana. Tapi tak jelas bagaimana mekanisme perawatan dan penyimpanan di museum, termasuk bagaimana kalau naskah itu hilang dan terbakar. Hal-hal teknis itulah yang kemudian membuat Tarmizi mengabaikan tawaran museum.
Dia berharap, pemerintah dapat membantunya melestarikan manuskrip dengan mendukung apa yang dilakukannya sekarang, yaitu proses untuk digitalisasi dan mengkaji kembali naskah untuk diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. “Yang penting, bagaimana ilmu dalam naskah-naskah itu mampu dibaca dan dipelajari semua orang.”
“Saya akan terus berusaha mengumpulkan naskah-naskah untuk bisa diwariskan dan dipelajari oleh generasi selanjutnya. Bukan bangga soal kejayaan lama, tapi untuk ilmu pengetahuan,” kata Tarmizi pada akhirnya. *** KORAN TEMPO | 17 Agustus 2011
Di ruang tamu rumahnya, Tarmizi Abdul Hamid, 46 tahun dan seorang rekannya, Herman sedang mempelajari beberapa naskah lama yang tergeletak di meja. Tarmizi adalah perawat naskah kuno Aceh yang berjuang sendiri menyelamatkan warisan leluhur.
Tarmizi punya hobby aneh, mengoleksi naskah-naskah lama masa kerajaan Aceh silam. Ratusan juta uang dihabiskan untuk tujuan itu. Dia sendiri bekerja sebagai pegawai di Badan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) Banda Aceh.
Saat Tempo berkunjung ke rumahnya, Jumat 5 Agustus lalu, Tarmizi mengisi waktu untuk mempelajari naskah lama, dibantu Herman yang master bidang naskah kuno. “Dia (Herman) membantu saya mengidentifikasi naskah-naskah lama yang ada di sini,” ujarnya.
Di rumahnya, Tarmizi punya 480 naskah kuno yang semuanya dikoleksi sendiri. “Naskah itu saya kumpulkan pelan-pelan dari seluruh daerah d Aceh. Saya berburunya sendiri,” ujarnya.
Bahasan kitab-kitab itu beragam; ilmu pengetahuan, soal tasawuf (sufi), agama, astronomi, psikologi, sejarah, tauhid, hukum fiqh Islam, termasuk ilmu perbintangan, ilmu falaq. Juga ilmu pengobatan dan hikayat-hikayat.
Manuskrip itu beraksara Arab-Jawi, umumnya memakai bahasa melayu, sedikit saja yang ditulis dalam bahasa Aceh. Oleh karenanya, Tarmizi punya impian mengalihaksarakan naskah itu ke bahasa Indonesia, agar bisa dibaca semua kalangan saat ini.
Niat itu pula, Tarmizi mengajak rekannya seperti Herman dan lainnya, untuk identifikasi dan alih aksara naskah lama. Baru dua kitab saja yang telah rampung dialih-aksarakan, yaitu Nazam Aceh (Syair Perempuan Tasawuf Aceh) karangan Pocut di Beutong dan Hujjah Baliqha Ala Jama Mukhashamah karya Jalaluddin bin Syekh Jamaluddin Ibnu Al Qadhi.
Sedangkan Mirat Al Thullab, Tarjuman Multafiq (keduanya karangan Syeh Abdurrauf As Singkili); Durar Li Syarhi Al Aqaid karangan Syeikh Nuruddin Al Raniry; dan Tajjul Muluk, masih dalam proses alih-aksara.
Naskah Mirat Al Thullab adalah kebanggaan Tarmizi, itu adalah kitab yang berisi masalah hukum syariat Islam masa lalu yang ditulis dalam bahasa Melayu Jandi. Kitab itu dibuat pada kisaran tahun 1641 – 1675, masa Aceh diperintah oleh Ratu Safiatuddin.
“Kitab ini bukti kalau syariat Islam di Aceh sudah diterapkan sejak dulu kala. Harusnya kitab ini bisa dipelajari oleh semua orang, untuk perbandingan pelaksaan syariat Islam sekarang,” ujarnya.
Tarmizi mengaku tertarik mengoleksi naskah kuno Aceh pada awal 1995. Saat itu dia mendapat tugas ke Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia dari kantornya. Di sana, mengisi waktu luang, Tarmizi mengunjungi museum.
Di Museum negeri tetangga itulah dia menyaksikan banyak sekali naskah kuno yang berasal dari Aceh. Dia penasaran, kenapa di Aceh sulit ditemui usaha untuk menyelamatkan naskah atau masyarakat sendiri menjual manuskrip lama itu ke luar negeri.
Sekembalinya ke Aceh, mulailah dia berburu naskah kuno. Impiannya hanya mengumpulkan naskah agar bisa tetap berada di Aceh, tak dibawa ke luar. “Ini demi pendidikan bagi generasi ke depan,” ujarnya.
Manuskrip pertama yang dia peroleh yaitu Sir al Salikin, karangan Syeikh Abdul Samad Palembani. Kitab ini diperoleh dari seorang warga di Kecamatan Jeunieb, Bireuen, pada pertengahan 1995. Ia juga berburu hingga ke Riau.
Usahanya memburu naskah seorang diri. Tak ada bantuan dari pemerintah daerah dan Tarmizi tak mengharapkannya. Alasannya, kalau pemerintah peduli, pasti sudah duluan naskah-naskah itu terkumpul. Naskah itu banyak tersebar di tengah masyarakat Aceh.
Pelbagai macam cara digunakan untuk memperoleh literatur kuno yang sarat dengan ilmu pengetahuan itu. Kadangkala, ia menukar naskah dengan Alquran cetakan masa kini. Di lain waktu, ia melakukan barter: naskah ditukar dengan beras atau padi. “Kalau diminta beli dalam harga tinggi, saya juga tak punya dana.”
Tapi tak sedikit uang yang dikeluarkan Tarmizi, dia tak tahu persis berapa jumlahnya. Beberapa petak sawah ludes. Tapi keluarnya mendukung usahanya. “Istri dan anak saya selalu member semangat, mereka mendukung. Kadang gaji istri saya juga disumbangkan untuk mencari naskah,” ujarnya.
Karena Aceh dulu pusat peradaban islam di Nusantara, Tarmizi memperkirakan banyak sekali naskah yang ada di masyarakat yang harus segera diselamatkan, kalau tidak bisa saja naskah itu dijual ke luar Aceh. Tarmizi tak kuasa dengan sekadar abakadabra, butuh dana yang besar.
“Saya berharap ada donatur yang kuat untuk membeli naskah-naskah itu. Kalau ada uang, naskah yang diluar pun bisa dibawa pulang,” ujarnya. “Saya hanya ingin museum naskah ada di Aceh,” sambungnya.
Merawat naskah itu, Tarmizi juga kewalahan. Awal tsunami sebuah lembaga swadaya masyarakat bekerja sama dengan Pemerintah Jepang, datang ke tempat Tarmizi. Dia mendapat bantuan untuk restorasi naskah yang rusak dan dimakan rayab. Kertas restorasi itu harganya mahal, sampai 23 juta per meternya.
Saat itulah, dia mendapat wejangan dari Prof Arai, ahli kertas Jepang yang mengatakan kertas-kertas naskah kuno tersebut sesuai dengan kondisi suhu di Aceh dan dapat disimpan berabad-abad. “Artinya tidak terlalu butuh sebuah ruangan yang dijaga suhunya,” kata Tarmizi.
Tarmizi hanya menyimpan naskah-naskah itu di rumahnya, di lemari dan di kamar. Kadang terongok di ruang tamu saat dia dan kawannya sedang mempelajari naskah-naskah. Tarmizi hanya merawat manuskrip itu dengan cara menaburinya dengan kapur barus, lada hitam, lada putih, dan cengkeh. Biar jauh dari rayap.
Perpustakaan Nasional pernah meminta Tarmizi menjual manuskrip itu. Namun ia menolak. Jika dijual, naskah-naskah itu akan diangkut ke Jakarta. Ia juga mendapat tawaran Museum Aceh untuk menyimpan naskah itu di sana. Tapi tak jelas bagaimana mekanisme perawatan dan penyimpanan di museum, termasuk bagaimana kalau naskah itu hilang dan terbakar. Hal-hal teknis itulah yang kemudian membuat Tarmizi mengabaikan tawaran museum.
Dia berharap, pemerintah dapat membantunya melestarikan manuskrip dengan mendukung apa yang dilakukannya sekarang, yaitu proses untuk digitalisasi dan mengkaji kembali naskah untuk diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. “Yang penting, bagaimana ilmu dalam naskah-naskah itu mampu dibaca dan dipelajari semua orang.”
“Saya akan terus berusaha mengumpulkan naskah-naskah untuk bisa diwariskan dan dipelajari oleh generasi selanjutnya. Bukan bangga soal kejayaan lama, tapi untuk ilmu pengetahuan,” kata Tarmizi pada akhirnya. *** KORAN TEMPO | 17 Agustus 2011
Salamualaikum.
BalasHapusBravo pak Tarmidzi untuk usahanya dalam menyelamatkan Naskah Kuno sebagai peninggalan kebudayaan Aceh.
Saya adalah mahasiswa PascaSarjana Linguistik Fakultas Ilmu Budaya USU, saat ini sedang menulis research yang berhubungan tentang pelestarian budaya, dan karena memang saya adalah orang Aceh, maka budaya yang saya angkat adalah budaya Aceh. Saya sangat antusias untuk ikut serta dalam melestarikan kebudaayan aceh, setelah membaca postingan ini, saya bermaksud untuk mengunjungi rumah bapak Tarmidzi untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang peninggalan budaya Aceh.