Kamis, 11 April 2013

MUHAMMAD YAHYA PEMANDU SITUS TAMAN SARI GUNONGAN ( TAMAN GAIRAH )

BANGUNAN bersejarah di Aceh dan Sumatera Utara berada di bawah Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) yang berkantor di Jalan Teuku Umar, di pusat kota Banda Aceh. Di kompleks kantor itu juga terdapat peninggalan bersejarah.

Pinto Khop

Taman Sari Gunongan atau Taman Gairah namanya. Taman ini dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) berkuasa. Bangunan berbentuk replika gunung di tengah taman konon terbuat dari putih telur. Sultan mempersembahkan seisi taman tersebut untuk permaisurinya yang berasal dari Pahang.
Gunongan

Di situ saya menemui Muhammad Yahya yang juga salah seorang juru kunci dan pemandu situs Taman Sari Gunongan atau Taman Gairah. Tapi lagi-lagi, nasib Yahya tak berbeda jauh dengan juru kunci di bangunan bersejarah lainnya. Honor ekstra minim.

“Kalau saya masih muda, mana mau saya kerja di sini,” ujar Yahya pada saya. Usianya sudah lebih dari 60 tahun. Rambut keperakan. Dia pensiunan tentara. Pangkat terakhirnya sersan kepala. “Tapi karena tak ada pekerjaan lain, ya terpaksa dijalani.”

Insa Anshari, kepala BP3, tak bisa berbuat banyak.

“Dana kita memang minim.” Insa berterus terang.

Menurut dia, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tiap tahun hanya memberi anggaran Rp 130 juta kepada kantornya. Pengeluaran terbesar digunakan untuk membayar honor para juru kunci situs yang berada di Aceh dan Sumatera Utara. Total jumlah mereka 168 orang. Sedangkan jumlah anak buah Insa sebanyak 29 orang.

Jika dihitung, dalam setahun total pengeluaran untuk honor para juru kunci mencapai Rp 300 juta! Itu belum termasuk dana rekonstruksi dan rehabilitasi situs-situs bersejarah yang rusak akibat gempa dan tsunami.

Lantas apa upaya Insa menutupi sisa kebutuhan anggaran?

“Kita sudah minta ke pusat, tapi sepertinya wakil rakyat di Jakarta kurang memahami apa arti sejarah. Untuk rekonstruksi kita sudah minta bantuan BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias), tapi belum ada respon. Kita menyadari, mungkin sementara ini prioritas rekonstruksi dan rehabilitasi lebih kepada penduduk yang jadi korban tsunami. Saya dan beberapa pegawai di sini juga menjadi korban tsunami, tapi belum dapat bantuan perbaikan rumah.”


RUPANYA nasib juru kunci dengan situs sejarah yang mereka rawat setali tiga uang: kerap dilupakan. Saya teringat ucapan salah seorang tokoh dalam karya Karl May yang berjudul Dan Damai di Bumi. May pernah mengunjungi Pelabuhan Ulee Lheue dan Kutaraja di akhir abad ke-19. “Mereka yang tidak menghargai masa lalu, juga tidak berharga untuk masa depan,” kata penulis serial Old Shatterhand ini.

Tapi Machmud, penjaga makan Syiah Kuala, tidak akan melupakan sejarah yang pernah membuat Aceh berjaya. Dia tak gentar jika bencana kembali berulang, apalagi sekedar minimnya dana. Dia berupaya menjaga, memelihara serta merawat warisan yang dipercayakan padanya.

“Kita berupaya sejauh kita bisa,” tegas Machmud.


Penulis & Sumber : Samiaji Bintang adalah kontributor Aceh Feature 14 Juni 2006 di Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar