Kamis, 28 Februari 2013
PERTEMUAN RAJA-RAJA ACEH
BANDA ACEH, 26/2 - . Keturunan Raja Nagan Raya, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, Zulkarnain (dua kiri) didampingi keturunan Raja Meureuhom Daya, Lamno, Kabupaten Aceh Jaya, T Syaiful (dua kanan) memberikan penjelasan dalam forum yang dihadiri keturunan raja-raja Aceh di Banda Aceh, Selasa (26/2).
Sembilan keturunan raja Aceh (pewaris raja) mengadakan pertemuan untuk membentuk forum bersama guna melestarikan nilai-nilai adat yang pernah berjaya pada masa kerajaan tempo dulu dan kenekagaraman budaya Aceh. FOTO ANTARA/Ampelsa/ed/NZ/13
Wali Naggroe sudah berakhir sejak tahun 1939. ini sejarahnya
Oleh : Drs Nabahani M,Ba
Menurut catatan sejarah Aceh istilah Wali muncul pada saat Aceh dipimpin oleh Sultanah Syafiatuddin (1641-1675), Sultanah Naqiatuddinsyah (1675-1678), Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688) dan Kamalatsyah (1688-1699). Saat itu Wali Nanggroe Aceh di jabat oleh Syekh Abdurrauf As-Singkili, yang diangkat sebagai Waliul Mulki sekaligus Qadhi Malikul Adil Kerajaan Aceh. Penyebutan ini mengindikasikan bahwa gelar Wali Nanggroe ditambalkan untuk Ulama yang dianggap memiliki otoritas keagamaan yang paling tinggi.
Namun, setelah Tgk. Syekh Abdurrauf As- Singkili meninggal, istilah Wali Nanggroe tidak terdengar lagi. Istilah Wali muncul kembali pada tahun 1870 ketika Tuwanku Hasyim Banta Muda ditetapkan sebagai Waliul Mulki, karena saat itu Sultan Mahmud Syah (1870-1874) masih belia, sehingga belum layak dianggkat menggantikan Sultan Alaidin Ibrahim Syah yang meninggal dunia
Tak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyerang Aceh, Tuanku Hasyim berupaya menyelamatkan Wibawa Kesultanan Aceh dengan memindahkan Sultan Mahmudsyah yang masih kecil ke Lueng Bata Kuta Raja sekarang dan akhirnya meninggal pada tanggal 25 Januari 1874.
Kemudian diganti oleh Sultan Teungku Daud Syah (1878-1939) yang waktu itu baru berumur ± 7 tahun, setelah Sultan dewasa memimpin Kerajaan Aceh Darussalam Wali Naggroe tidak diperlukan lagi. Peluang ini dimanfaatkan Penjajah Belanda guna menguasai dan merebut seluruh wilayah Kerajaan Islam Aceh Darussalam.
Kemudian Raja Aceh tersebut ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Batavia yang akhirnya meninggal dunia di Jakarta tepatnya di Utan Kayu (Jatinegara) pada 04 Ferbruari 1939. Sultan Daud Syah berdasarkan fakta sejarah tidak pernah menyerahkan kekuasaan Kerajaan Aceh kepada siapapun sebelum beliau meninggal dunia, berarti Wali Naggroe sudah berakhir sejak tahun 1939.
Wali Nanggroe masa Aceh dalam NKRI (1945-sekarang)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, baru dimunculkan dan dimuat lembaga Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe pada BAB VII Pasal 10 yang diberi arti sebagai berikut :
Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah lembaga yang merupakan simbol bagi pelestarian, penyelenggaraan kehidupan adat, agama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(1) Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan pemerintah dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(2) Hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
MoU Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 pada Butir 1.7.1 halaman 9 menegaskan; bahwa lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya (berarti lembaga ini lebih mengarah kepada lembaga adat daripada kepada lembaga Pemerintahan dan Politik).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pembentukan lembaga Wali Nanggroe tetap dilanjutkan pada BAB XII Pasal 96 dengan pengertian sebagai berikut :
(1) Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independent, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar / derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
(2) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ahyat (1) bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan Aceh.
(3) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independent.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan protokoler, keuangan, dan ketentuan lain yang menyangkut Wali Nanggroe diatur dengan Qanun Aceh.
Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe.
1. Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe menurut Versi DPRA Tahun 2008
(1) Wali Nanggroe adalah pemimpin Lembaga Adat Nanggroe yang independent sebagai pemersatu masyarakat, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, pemberian gelar kehormatan dan derajat serta upacara-upacara adat Aceh.
(2) Tuha Nanggroe adalah Wakil Wali Nanggroe yang komposisinya mewakili representasi wilayah Nanggroe Aceh yang bertugas membantu Wali Nanggroe berdasarkan bidang tugas tertentu.
(3) Wali Nanggroe adalah lembaga adat, bukan lembaga pemerintahan dan lembaga politik sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.
(4) Tugas dan Wewenang Wali Nanggroe adalah :
a. Wali Nanggroe bertugas memimpin lembaga Wali Nanggroe;
b. Wali Nanggroe bertugas membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan budaya, adat dan adat-istiadat;
c. Wali Nanggroe berwenang memberikan gelar kehormatan dan derajat adat serta berwenang melaksanakan upacara-upacara adat.
2. Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe menurut Versi DPRA Tahun 2010.
(1) Wali Nanggroe adalah Penguasa Pemerintahan Aceh (dalam adat) yang berkedudukan lebih tinggi dalam tatanan pemerintahan Aceh, lebih tinggi dari Kepala Pemerintah dan Parlemen Aceh dan menjadi figure pemersatu rakyat Aceh.
(2) Lembaga Wali Nanggroe adalah institusi resmi dalam Pemerintahan Aceh yang independent dan berwibawa; memiliki kantor secretariat sendiri.
(3) Lembaga Wali Nanggroe adalah institusi resmi dalam Pemerintahan Aceh yang tertinggi dan independent.
(4) Kewenangan Lembaga Wali Nanggroe yang diatur dalam Pasal 5 Draf Qanun tersebut mulai dari ayat (2) huruf (a) sampai dengan huruf (p), telah mencampuri Kewenangan Lembaga Pemerintahan dan bertentangan dengan UUD 1945.
(5) Tugas dan fungsi Lembaga Wali Nanggroe dalam pasal 6 Draf Qanun tersebut juga telah merubah fungsi lembaga tersebut dari Lembaga Adat menjadi Lembaga Pemerintahan dan Politik.
3. Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe menurut Versi DPRA Tahun 2012.
1) Isi Rancangan Qanun Wali Nanggroe Aceh sesuai dengan BAB XII Pasal 96 UUPA Nomor 11 Tahun 2006 yaitu :
(1) Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya (Tidak ada tugas politik).
(2) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan Aceh.
2) Dalam Rancangan Qanun ini dimasukkan hal politik, tanpa lebih dulu Amandemen UU Nomor 11Tahun 2006, memang prinsipnya hanya sebatas pengawasan kelembagaan bukan mencampuri Internal Lembaga Partai Politik, tapi cuma sebagai pembiaan semata. Prinsip tersebut adalah sebagai pemersatu yang independen, dan berwibawa serta bermartabat, Keagungan Dinul Islam, Kemakmuran Rakyat, Keadilan dan Kedamaian, Pembinaan Kehormatan, Kewibawaan Politik, Adat dan Tradisi Sejarah serta Tamadun Aceh.
3) Lembaga Wali Nanggroe memiliki hak Imunitas bukan berarti hak kebal terhadap hukum dan tidak biasa dipanggil oleh penyidik untuk di minta keterangan. Tapi, hak untuk tidak dapat dituntut didepan pengadilan, karena pernyataan atau pertanyaan dan atau pendapat yang dikemukan secara lisan maupun tertulis yang berkaitan dengan tugas, fungsi dan kewenangannya sebelum mendapat izin Pimpinan DPRA.
4. Pengesahan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe
Qanun Aceh Tentang Wali Naggroe telah disahkan oleh Gubernur Aceh menjadi Qanun Aceh No. 8 Tahun 2012, tanpa Klarifikasi lebih dulu oleh Menteri Dalam Negeri RI dan sampai saat Qanun ini disahkan belum dipublikasikan dan beredar diseluruh Aceh. Katanya hanya untuk dasar hukum guna mengajukan Anggaran Operasional Wali Nanggoe dalam APBA Tahun 2013 sebesar Rp. 50 Milyar.
Tanggapan Pemerintah Daerah Aceh, Qanun Wali Nanggroe sudah diundangkan dalam Lembaran Daerah Aceh, sekarang dalam proses pengiriman ke Mendagri, anehnya belum diklarifikasi sudah diundangkan. Jika tidak sesuai dan bertentang dengan Undang-Undang yang lebih tinggi, maka Qanun Aceh tersebut harus dibatalkan oleh Pemerintah. Tentu sungguh memalukan Rakyat Aceh dan telah menghabiskan biaya begitu banyak dalam membahas Qanun Wali Nanggroe mulai Tahun 2001-2012, hasilnya sampai saat ini belum ada kepastian hukum yang positif.
Mengapa terjadi demikian karena Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe telah bertentangan dengan :
Setelah dicermati qanun tersebut baik secara formil, bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan maupun secara materiil, qanun tersebut telah bertentangan dengan berbagai aturan perundangan yang lebih tinggi dan memposisikan Lembaga Wali Nanggroe menyimpang dari pasal 96 UUPA No. 11 Tahun 2006.
Dalam ketentuan pasal 145 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa : Perda/Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundangan – undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
Keputusan pembatalan Perda/Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak diterima Perda/Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berdasarkan pada ketentuan ayat (3), ditetapkan bahwa keputusan pembatalan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas maka Pemerintah jangan melakukan politik pembiyaran terhadap Regulasi Qanun Aceh tersebut, kalau tidak bertentangan dengan Undang-undang yang lebih tinggi hendaknya segera diklarifikasi dan disetujui untuk menjadi Qanun Aceh. Kalau bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi segera dibatalkan oleh Pemerintah agar Eksekutif dan Legislatif Aceh tidak acak-acak dan coba – coba dalam membuat Qanun Aceh yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat Aceh dari Sabang sampai ke Singkil dan dari Tamiang sampai ke Seumeulu.
Penulis adalah Dosen, Pengamat Pemerintahan dan Politik
http:// www.acehnationalpost.com/ opini/ 4000-wali-naggroe-sudah-ber akhir-sejak-tahun-1939-ini -sejarahnya.html
Menurut catatan sejarah Aceh istilah Wali muncul pada saat Aceh dipimpin oleh Sultanah Syafiatuddin (1641-1675), Sultanah Naqiatuddinsyah (1675-1678), Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688) dan Kamalatsyah (1688-1699). Saat itu Wali Nanggroe Aceh di jabat oleh Syekh Abdurrauf As-Singkili, yang diangkat sebagai Waliul Mulki sekaligus Qadhi Malikul Adil Kerajaan Aceh. Penyebutan ini mengindikasikan bahwa gelar Wali Nanggroe ditambalkan untuk Ulama yang dianggap memiliki otoritas keagamaan yang paling tinggi.
Namun, setelah Tgk. Syekh Abdurrauf As- Singkili meninggal, istilah Wali Nanggroe tidak terdengar lagi. Istilah Wali muncul kembali pada tahun 1870 ketika Tuwanku Hasyim Banta Muda ditetapkan sebagai Waliul Mulki, karena saat itu Sultan Mahmud Syah (1870-1874) masih belia, sehingga belum layak dianggkat menggantikan Sultan Alaidin Ibrahim Syah yang meninggal dunia
Tak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyerang Aceh, Tuanku Hasyim berupaya menyelamatkan Wibawa Kesultanan Aceh dengan memindahkan Sultan Mahmudsyah yang masih kecil ke Lueng Bata Kuta Raja sekarang dan akhirnya meninggal pada tanggal 25 Januari 1874.
Kemudian diganti oleh Sultan Teungku Daud Syah (1878-1939) yang waktu itu baru berumur ± 7 tahun, setelah Sultan dewasa memimpin Kerajaan Aceh Darussalam Wali Naggroe tidak diperlukan lagi. Peluang ini dimanfaatkan Penjajah Belanda guna menguasai dan merebut seluruh wilayah Kerajaan Islam Aceh Darussalam.
Kemudian Raja Aceh tersebut ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Batavia yang akhirnya meninggal dunia di Jakarta tepatnya di Utan Kayu (Jatinegara) pada 04 Ferbruari 1939. Sultan Daud Syah berdasarkan fakta sejarah tidak pernah menyerahkan kekuasaan Kerajaan Aceh kepada siapapun sebelum beliau meninggal dunia, berarti Wali Naggroe sudah berakhir sejak tahun 1939.
Wali Nanggroe masa Aceh dalam NKRI (1945-sekarang)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, baru dimunculkan dan dimuat lembaga Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe pada BAB VII Pasal 10 yang diberi arti sebagai berikut :
Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah lembaga yang merupakan simbol bagi pelestarian, penyelenggaraan kehidupan adat, agama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(1) Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan pemerintah dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(2) Hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
MoU Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 pada Butir 1.7.1 halaman 9 menegaskan; bahwa lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya (berarti lembaga ini lebih mengarah kepada lembaga adat daripada kepada lembaga Pemerintahan dan Politik).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pembentukan lembaga Wali Nanggroe tetap dilanjutkan pada BAB XII Pasal 96 dengan pengertian sebagai berikut :
(1) Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independent, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar / derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
(2) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ahyat (1) bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan Aceh.
(3) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independent.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan protokoler, keuangan, dan ketentuan lain yang menyangkut Wali Nanggroe diatur dengan Qanun Aceh.
Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe.
1. Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe menurut Versi DPRA Tahun 2008
(1) Wali Nanggroe adalah pemimpin Lembaga Adat Nanggroe yang independent sebagai pemersatu masyarakat, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, pemberian gelar kehormatan dan derajat serta upacara-upacara adat Aceh.
(2) Tuha Nanggroe adalah Wakil Wali Nanggroe yang komposisinya mewakili representasi wilayah Nanggroe Aceh yang bertugas membantu Wali Nanggroe berdasarkan bidang tugas tertentu.
(3) Wali Nanggroe adalah lembaga adat, bukan lembaga pemerintahan dan lembaga politik sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.
(4) Tugas dan Wewenang Wali Nanggroe adalah :
a. Wali Nanggroe bertugas memimpin lembaga Wali Nanggroe;
b. Wali Nanggroe bertugas membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan budaya, adat dan adat-istiadat;
c. Wali Nanggroe berwenang memberikan gelar kehormatan dan derajat adat serta berwenang melaksanakan upacara-upacara adat.
2. Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe menurut Versi DPRA Tahun 2010.
(1) Wali Nanggroe adalah Penguasa Pemerintahan Aceh (dalam adat) yang berkedudukan lebih tinggi dalam tatanan pemerintahan Aceh, lebih tinggi dari Kepala Pemerintah dan Parlemen Aceh dan menjadi figure pemersatu rakyat Aceh.
(2) Lembaga Wali Nanggroe adalah institusi resmi dalam Pemerintahan Aceh yang independent dan berwibawa; memiliki kantor secretariat sendiri.
(3) Lembaga Wali Nanggroe adalah institusi resmi dalam Pemerintahan Aceh yang tertinggi dan independent.
(4) Kewenangan Lembaga Wali Nanggroe yang diatur dalam Pasal 5 Draf Qanun tersebut mulai dari ayat (2) huruf (a) sampai dengan huruf (p), telah mencampuri Kewenangan Lembaga Pemerintahan dan bertentangan dengan UUD 1945.
(5) Tugas dan fungsi Lembaga Wali Nanggroe dalam pasal 6 Draf Qanun tersebut juga telah merubah fungsi lembaga tersebut dari Lembaga Adat menjadi Lembaga Pemerintahan dan Politik.
3. Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe menurut Versi DPRA Tahun 2012.
1) Isi Rancangan Qanun Wali Nanggroe Aceh sesuai dengan BAB XII Pasal 96 UUPA Nomor 11 Tahun 2006 yaitu :
(1) Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya (Tidak ada tugas politik).
(2) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan Aceh.
2) Dalam Rancangan Qanun ini dimasukkan hal politik, tanpa lebih dulu Amandemen UU Nomor 11Tahun 2006, memang prinsipnya hanya sebatas pengawasan kelembagaan bukan mencampuri Internal Lembaga Partai Politik, tapi cuma sebagai pembiaan semata. Prinsip tersebut adalah sebagai pemersatu yang independen, dan berwibawa serta bermartabat, Keagungan Dinul Islam, Kemakmuran Rakyat, Keadilan dan Kedamaian, Pembinaan Kehormatan, Kewibawaan Politik, Adat dan Tradisi Sejarah serta Tamadun Aceh.
3) Lembaga Wali Nanggroe memiliki hak Imunitas bukan berarti hak kebal terhadap hukum dan tidak biasa dipanggil oleh penyidik untuk di minta keterangan. Tapi, hak untuk tidak dapat dituntut didepan pengadilan, karena pernyataan atau pertanyaan dan atau pendapat yang dikemukan secara lisan maupun tertulis yang berkaitan dengan tugas, fungsi dan kewenangannya sebelum mendapat izin Pimpinan DPRA.
4. Pengesahan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe
Qanun Aceh Tentang Wali Naggroe telah disahkan oleh Gubernur Aceh menjadi Qanun Aceh No. 8 Tahun 2012, tanpa Klarifikasi lebih dulu oleh Menteri Dalam Negeri RI dan sampai saat Qanun ini disahkan belum dipublikasikan dan beredar diseluruh Aceh. Katanya hanya untuk dasar hukum guna mengajukan Anggaran Operasional Wali Nanggoe dalam APBA Tahun 2013 sebesar Rp. 50 Milyar.
Tanggapan Pemerintah Daerah Aceh, Qanun Wali Nanggroe sudah diundangkan dalam Lembaran Daerah Aceh, sekarang dalam proses pengiriman ke Mendagri, anehnya belum diklarifikasi sudah diundangkan. Jika tidak sesuai dan bertentang dengan Undang-Undang yang lebih tinggi, maka Qanun Aceh tersebut harus dibatalkan oleh Pemerintah. Tentu sungguh memalukan Rakyat Aceh dan telah menghabiskan biaya begitu banyak dalam membahas Qanun Wali Nanggroe mulai Tahun 2001-2012, hasilnya sampai saat ini belum ada kepastian hukum yang positif.
Mengapa terjadi demikian karena Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe telah bertentangan dengan :
Setelah dicermati qanun tersebut baik secara formil, bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan maupun secara materiil, qanun tersebut telah bertentangan dengan berbagai aturan perundangan yang lebih tinggi dan memposisikan Lembaga Wali Nanggroe menyimpang dari pasal 96 UUPA No. 11 Tahun 2006.
Dalam ketentuan pasal 145 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa : Perda/Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundangan – undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
Keputusan pembatalan Perda/Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak diterima Perda/Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berdasarkan pada ketentuan ayat (3), ditetapkan bahwa keputusan pembatalan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas maka Pemerintah jangan melakukan politik pembiyaran terhadap Regulasi Qanun Aceh tersebut, kalau tidak bertentangan dengan Undang-undang yang lebih tinggi hendaknya segera diklarifikasi dan disetujui untuk menjadi Qanun Aceh. Kalau bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi segera dibatalkan oleh Pemerintah agar Eksekutif dan Legislatif Aceh tidak acak-acak dan coba – coba dalam membuat Qanun Aceh yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat Aceh dari Sabang sampai ke Singkil dan dari Tamiang sampai ke Seumeulu.
Penulis adalah Dosen, Pengamat Pemerintahan dan Politik
http://
Rabu, 27 Februari 2013
nisan seorang Sulthan di Kompleks makam Kesulthanan Kerajaan Samudra Pasai
nisan seorang Sulthan di Kompleks makam Kesulthanan Kerajaan Samudra Pasai periode ke-III. nyan ban menurut lon yang bangainyoe, leumah bak kaligrafi tertuleh Sulthan 'Abdullah bin Sulthan Mahmud
Makam berinskripsi tertua di komplek Pemakaman Kesulthanan Kerajaan Samudra Pasai Periode ketiga
Makam berinskripsi tertua di komplek Pemakaman Kesulthanan Kerajaan Samudra Pasai Periode ketiga yang berhasil di ungkap oleh peneliti dari Central Information for Samudra Pasai Heritage Tgk. Taqiyuddin Muhammad, Lc.
Nisan indah yang dipenuhi oleh kaligrafi yang menawan menyebutkan bahwa, pemilik makam ini bergelar "Shahibul Hijab Al-Kabir" (penggawa para pembesar), atau setara dengan "Perdana Menteri".
Mari saksikan sejarah peradaban bangsa dari dekat.
Samudra, Aceh Utara (30/12/2012)
Nisan Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai
Tepat
sekali bahwa, para 'Alim 'Ulama, Sulthan serta cendikiawan dulu telah
memikirkan apa yang seharusnya mereka perbuat untuk negeri ini dan
mereka wariskan untuk generasi selanjutnya.
Kerajaan Samudra Pasai merupakan pusat pengembangan Islam tertua di Asia Tenggara yang berpusat di Aceh Utara, masih meninggalkan beragam bukti-bukti kemegahannya di masa lalu. Salah satunya Monumen Nisan, pada nisan-nisan tersebut meninggalkan jejak para pembesar ataupun tokoh-tokoh masa lalu. juga mementaskan kebudayaan dan taraf kehidupan pada masa itu , melalui petikan-petikan ayat suci Al-Qur'an, Hadist serta syair-syair indah para pemahat mencoba menggambarkan sosok pemilik makam, bagaimana kondisi negeri pada masa itu melalui kaligrafi indah serta ukiran ornamen-ornamen yang beragam dan penuh makna.
tepat sekali, benar sangat tepat melalui batu keras mereka menjadikan media dakwah untuk generasi selanjutnya.
Bukankah batu-batu tersebut mampu bertahan hingga beberapa abad lamanya.
Maka aku mengutuk bagi mereka yang mengatakan bid'ah bahkan syirik menziarahi Kubur. bukankan Rasul kita menyuruh ummatnya berziarah untuk mengambil i'tibar.
Mari saksikan Sejarah Peradaban Bangsa dari dekat
Kerajaan Samudra Pasai merupakan pusat pengembangan Islam tertua di Asia Tenggara yang berpusat di Aceh Utara, masih meninggalkan beragam bukti-bukti kemegahannya di masa lalu. Salah satunya Monumen Nisan, pada nisan-nisan tersebut meninggalkan jejak para pembesar ataupun tokoh-tokoh masa lalu. juga mementaskan kebudayaan dan taraf kehidupan pada masa itu , melalui petikan-petikan ayat suci Al-Qur'an, Hadist serta syair-syair indah para pemahat mencoba menggambarkan sosok pemilik makam, bagaimana kondisi negeri pada masa itu melalui kaligrafi indah serta ukiran ornamen-ornamen yang beragam dan penuh makna.
tepat sekali, benar sangat tepat melalui batu keras mereka menjadikan media dakwah untuk generasi selanjutnya.
Bukankah batu-batu tersebut mampu bertahan hingga beberapa abad lamanya.
Maka aku mengutuk bagi mereka yang mengatakan bid'ah bahkan syirik menziarahi Kubur. bukankan Rasul kita menyuruh ummatnya berziarah untuk mengambil i'tibar.
Mari saksikan Sejarah Peradaban Bangsa dari dekat
Makam Shadr Al-Akabir (pemuka para pembesar di Samudra Pasai) 'Abdullah bin Muhammad Al-Mustanshiriy Al-'Abbasiy
Makam
Shadr Al-Akabir (pemuka para pembesar di Samudra Pasai) 'Abdullah bin
Muhammad Al-Mustanshiriy Al-'Abbasiy
oleh : Ustadz Taqiyuddin Muhammad, Lc.
Sayyidi 'Abdullah adalah seorang bergaris keturunan dari Dinasti 'Abbasiyyah di Baghdad. Pada makamnya didapati inkripsi menyebutkan bahwa ia bernama 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdul Qadir bin Yusuf bin 'Abdul 'Aziz bin Al-Manshur Abi Ja'far Al-Mustanshir bilLlah.
oleh : Ustadz Taqiyuddin Muhammad, Lc.
Sayyidi 'Abdullah adalah seorang bergaris keturunan dari Dinasti 'Abbasiyyah di Baghdad. Pada makamnya didapati inkripsi menyebutkan bahwa ia bernama 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdul Qadir bin Yusuf bin 'Abdul 'Aziz bin Al-Manshur Abi Ja'far Al-Mustanshir bilLlah.
Pada saat Mongol menyerang Baghdad, kakeknya 'Abdul 'Aziz putera dari Al-Manshur dan saudara dari Khalifah Al-Musta'shim biLlah (khalifah terakhir Dinasti 'Abbasiyyah di Baghdad) berhasil menyelamatkan diri. Lama kemudian, Muhammad, ayah 'Abdullah telah diterima sebagai tamu agung di Kesultanan Delhi pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Thughlaq yang sangat mencintai Al 'Abbas (keluarga 'Abbas, paman Nabi saw.)
'Abdullah yang menurut inskripsi pada makamnya digelar dengan "Shadr Al-Akabir" (pemuka para pembesar--barangkali setara dengan perdana menteri) hidup pada zaman pemerintahan Sultan Zainal 'Abidin dan Malikah Mu'azhzhamah (Ratu yang dipertuan agung) Nahrasyiah Ra-Baghsya Khadiyu.
'Abdullah wafat pada 816 H/1414 M, dan menjadi suatu kehormatan besar bagi Samudra Pasai yang telah menjadi negeri di mana cucu khalifah 'Abbasiyyah dan paman Nabi saw. ini bermukim serta mengabdi dirinya untuk Islam. Ia wafat dan dikebumikan di Gampong Kuta Krueng (Kuta Karang), Samudera hari ini. Dan ini juga menandakan kepentingan dan kedudukan Samudera Pasai sebagai jantung Dunia Islam di kawasan Asia Tenggara.
Mari ziarah, berdoa dan mengambil i'tibar!
taken picture : 13 Januari 2013
Gampoeng Kuta Krueng Kec. Samudra Aceh Utara
Adat Istiadat Masyarakat Aceh
Hukom ngon adat han jeut cre, lagee zat ngon sipheuet (hukum dengan adat tidak boleh pisah, layaknya zat dengan sifat).
Sebagaimana yang kita ketahui, adat istiadat merupakan kebiasaan atau
tradisi-tradisi yang dijalankan dalam kebiasaan hidup sehari-hari oleh
masyarakat di mana pun. Nah, kebiasaan tersebut menjadi landasan untuk
berpijak bagi masyarakat setempat dalam melakukan sesuatu. Adat, menjadi
kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke
generasi dan juga menjadi landasan hukum bagi masyarakat itu sendiri.
Begitu pula bagi masyarakat Aceh, adat istiadat telah membudaya sebagai
hasil dari proses lahirnya sistim masyarakat yang berperadaban dan mampu
bertahan sampai saat ini.
Dalam masyarakat Aceh, adat
merupakan sesuatu yang tertulis ataupun tak tertulis yang menjadi
pedoman di dalam bermasyarakat Aceh. Nah, adat yang dipahami ini
merupakan titah dari para pemimpin dan para pengambil kebijakan guna
jalannya sistim dalam masyarakat. Dalam masyarakat Aceh, adat atau hukum
adat TIDAK boleh bertentangan dengan ajaran agama islam. Sesuatu yang
telah diputuskan oleh para pemimipin dan ahli tersebut haruslah seirama
dengan ketentuan syariat. Jika bertentangan, maka hukum adat itu akan
dihapuskan. Inilah bukti bahwa masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi
kedudukan agama dalam kehidupan sehari-harinya. :)
Menurut
Mustafa Ahmad, yang dimaksud dengan adat di Aceh adalah aturan hidup.
Aturan yang mengatur kehidupan rakyat, yang diciptakanoleh para cerdik
dan pandai Aceh bersama Putoe Meureuhom/Sultan Aceh. Aturan hidup ini
mengikat seluruh rakyat Aceh tanpa kecuali. Dan bagi siapa saja yang
melanggarnya, akan mendapat sanksi. Kalau sekarang, aturan hidup ini
dikenal dengan istilah Hukum Adat.
Syukuran Membangun Rumah
Nah, dengan kata lain adat dalam masyarakat Aceh merupakan aturan hidup
yang lahir dari proses kesepakatan antara kaum cendikiawan dan aparat
penguasa yang disebut dengan Putoe Meureuhom. Dan aturan itu mencakup
berbagai aspek kehidupan seperti yang berhubungan dengan tatakrama
pergaulan (contoh : Batasan pergaulan antara lelaki dan perempuan),
sopan santun (contoh : etika berjalan di hadapan orang yang lebih tua),
aturan-aturan yang berkaitan dengan pertanian, aturan kelautan dan
kehutanan.
Akan tetapi, adat juga tidak terlepas dengan
kebiasaan-kebiasaan lainnya seperti reusam. Antara adat dan reusam tidak
bertentangan dan berjalan seirama sesuai dengan syariat. Di Aceh, kita
bisa menemukan upacara-upacara adat seperti upacara perkawinan, acara
penyambutan pembesar, acara kenduri Maulid, tatacara turun sawah dan
juga permainan rakyat. Upacara adat tersebut dalam Bahasa Acehnya yang
berlaku dalam masyarakat Aceh itu sendiri disebut dengan reusam.
Dalam Hadih Maja dijelaskan lebih lanjut :
Adat Bak Putoe Meureuhom ; Adat adalah urusan Sultan (ada pada
sultan). Hukom bak syiah Kuala ( hukum islam ada pada Ulama), Qanun bak
putroe Phang (Qanun disusun oleh ratu), Reusam Bak Lakseumana (Reusam
dibuat oleh Laksamana).
Sedangkan bagi masyarakat Indonesia
pada umumnya, adat yang dimaksudkan selama ini merupakan suatu "upacara
adat" atau kebiasaan yang dipraktikkan turun temurun dalam sebuah
masyarakat, berbeda dengan adat Aceh. Meskipun demikian, upacara adat
sekarang secara umum sudah dapat dipahami oleh masyarakat Aceh dan tidak
terjadi kesalahpahaman. Dibalik itu, saat ini di tengah-tengah
perkembangan zaman nilai-nilai adat dalam masyarakat Aceh telah terjadi
pergeseran nilai-nilai adat, sehingga keharmonisan dan hubungan sosial
kian memudar. Terlebih lagi bagi masyarakat di perkotaan.
Upacara Aqiqah
Hingga saat ini, dalam perkembangan kebudayaan Aceh adat-adat yang
masih sangat kental berlaku misalnya, upacara perkawinan, upacara
kelahiran bayi, dan juga upacara peusijuk. Tata cara upacara perkawinan
masih dilakukan sesuai dengan adat istiadat Aceh walaupun sekarang
disesuaikan dengan kondisi perubahan zaman. Begitu juga dengan upacara
peusijuk, saat ini masih berlaku di Aceh, terutama pada hari-hari
tertentu. Kegiatan peusijuk ini masih kental berlaku di desa-desa juga
pada tokoh-tokoh atau pejabat. Walaupun tak sama seperti dulu, sesuai
dengan perkembangan zaman adat istiadat Aceh saat ini tetap menjadi
landasan bagi masyarakat Aceh. Dan menjadi kewajiban bagi masyarakat
Acehlah untuk melestarikannya.
http:// aneukabumamak.blogspot.com/
Sebagaimana yang kita ketahui, adat istiadat merupakan kebiasaan atau tradisi-tradisi yang dijalankan dalam kebiasaan hidup sehari-hari oleh masyarakat di mana pun. Nah, kebiasaan tersebut menjadi landasan untuk berpijak bagi masyarakat setempat dalam melakukan sesuatu. Adat, menjadi kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi dan juga menjadi landasan hukum bagi masyarakat itu sendiri. Begitu pula bagi masyarakat Aceh, adat istiadat telah membudaya sebagai hasil dari proses lahirnya sistim masyarakat yang berperadaban dan mampu bertahan sampai saat ini.
Dalam masyarakat Aceh, adat merupakan sesuatu yang tertulis ataupun tak tertulis yang menjadi pedoman di dalam bermasyarakat Aceh. Nah, adat yang dipahami ini merupakan titah dari para pemimpin dan para pengambil kebijakan guna jalannya sistim dalam masyarakat. Dalam masyarakat Aceh, adat atau hukum adat TIDAK boleh bertentangan dengan ajaran agama islam. Sesuatu yang telah diputuskan oleh para pemimipin dan ahli tersebut haruslah seirama dengan ketentuan syariat. Jika bertentangan, maka hukum adat itu akan dihapuskan. Inilah bukti bahwa masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi kedudukan agama dalam kehidupan sehari-harinya. :)
Menurut Mustafa Ahmad, yang dimaksud dengan adat di Aceh adalah aturan hidup. Aturan yang mengatur kehidupan rakyat, yang diciptakanoleh para cerdik dan pandai Aceh bersama Putoe Meureuhom/Sultan Aceh. Aturan hidup ini mengikat seluruh rakyat Aceh tanpa kecuali. Dan bagi siapa saja yang melanggarnya, akan mendapat sanksi. Kalau sekarang, aturan hidup ini dikenal dengan istilah Hukum Adat.
Syukuran Membangun Rumah
Nah, dengan kata lain adat dalam masyarakat Aceh merupakan aturan hidup yang lahir dari proses kesepakatan antara kaum cendikiawan dan aparat penguasa yang disebut dengan Putoe Meureuhom. Dan aturan itu mencakup berbagai aspek kehidupan seperti yang berhubungan dengan tatakrama pergaulan (contoh : Batasan pergaulan antara lelaki dan perempuan), sopan santun (contoh : etika berjalan di hadapan orang yang lebih tua), aturan-aturan yang berkaitan dengan pertanian, aturan kelautan dan kehutanan.
Akan tetapi, adat juga tidak terlepas dengan kebiasaan-kebiasaan lainnya seperti reusam. Antara adat dan reusam tidak bertentangan dan berjalan seirama sesuai dengan syariat. Di Aceh, kita bisa menemukan upacara-upacara adat seperti upacara perkawinan, acara penyambutan pembesar, acara kenduri Maulid, tatacara turun sawah dan juga permainan rakyat. Upacara adat tersebut dalam Bahasa Acehnya yang berlaku dalam masyarakat Aceh itu sendiri disebut dengan reusam.
Dalam Hadih Maja dijelaskan lebih lanjut :
Adat Bak Putoe Meureuhom ; Adat adalah urusan Sultan (ada pada sultan). Hukom bak syiah Kuala ( hukum islam ada pada Ulama), Qanun bak putroe Phang (Qanun disusun oleh ratu), Reusam Bak Lakseumana (Reusam dibuat oleh Laksamana).
Sedangkan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, adat yang dimaksudkan selama ini merupakan suatu "upacara adat" atau kebiasaan yang dipraktikkan turun temurun dalam sebuah masyarakat, berbeda dengan adat Aceh. Meskipun demikian, upacara adat sekarang secara umum sudah dapat dipahami oleh masyarakat Aceh dan tidak terjadi kesalahpahaman. Dibalik itu, saat ini di tengah-tengah perkembangan zaman nilai-nilai adat dalam masyarakat Aceh telah terjadi pergeseran nilai-nilai adat, sehingga keharmonisan dan hubungan sosial kian memudar. Terlebih lagi bagi masyarakat di perkotaan.
Upacara Aqiqah
Hingga saat ini, dalam perkembangan kebudayaan Aceh adat-adat yang masih sangat kental berlaku misalnya, upacara perkawinan, upacara kelahiran bayi, dan juga upacara peusijuk. Tata cara upacara perkawinan masih dilakukan sesuai dengan adat istiadat Aceh walaupun sekarang disesuaikan dengan kondisi perubahan zaman. Begitu juga dengan upacara peusijuk, saat ini masih berlaku di Aceh, terutama pada hari-hari tertentu. Kegiatan peusijuk ini masih kental berlaku di desa-desa juga pada tokoh-tokoh atau pejabat. Walaupun tak sama seperti dulu, sesuai dengan perkembangan zaman adat istiadat Aceh saat ini tetap menjadi landasan bagi masyarakat Aceh. Dan menjadi kewajiban bagi masyarakat Acehlah untuk melestarikannya.
http:// aneukabumamak.blogspot.com/
Selasa, 19 Februari 2013
Wah, Museum Sejarah di Pase Bakal Selesai
Chairul Sya'ban | The Globe Journal
Sabtu, 16 Februari 2013 12:40 WIB
Dok : google.comIlustrasi
Katanya, museum yang dimaksud telah rampung proses pengerjaannya untuk tahap pertama, dan menghabiskan anggaran 9 Milyar dari APBN Perubahan 2012. “Ya museum itu akan kita manfaatkan bersama, agar situs-situs peninggalan sejarah kerajaan di Aceh tidak terlupakan,” jelas Nurliana, Sabtu (16/02/2013).
Katanya lagi, untuk tahap kedua akan dilanjutkan tahun ini juga. Menyusul ke tahun 2014 dan 2015 sambil menunggu anggaran yang sedang diusulkan. “Kita sedang usulkan anggaran untuk pembangunan tahap selanjutnya, dan akan menghabiskan anggaran sekitar 45 Milyar. Disitu nantinya akan kita adakan juga pendidikan sejarah bagi siapa yang mau,” pungkasnya lagi.
Sementara itu, Direktur PT Perdana, T. Maimun, selaku rekanan proyek pembangunan museum mengatakan, proyek yang dilakukannya merupakan bangunan dua lantai dengan tugu sepanjang tiga meter di tengah-tengah museum. “Alhamdulilah untuk tahap pertama sudah selesai kita kerjakan pembangunannya, dan akan kita lanjutkan kembali setelah ada anggaran lagi,” kata Maimun. [005]
Diperkirakan Makam Serdadu Belanda, BPCB Ekskavasi Panton Labu
Chairul Sya'ban | The Globe Journal
Senin, 11 Februari 2013 13:41 WIB
Chairul Sya'ban | The Globe JournalProsesi ekskavasi di Panton Labu
Kabid Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Perhubungan Aceh Utara, Ir
Nurliana NA kepada The Globe Journal Senin (11/2/2013) menyebutkan,
prosesi ekskavasi tersebut akan dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar
dan Budaya (BPCB) Provinsi Aceh sejak hari ini. Upaya pendeteksian situs
sejarah itu dilakukan dengan mengambil beberapa sampel lahan yang
berada di kawasan Kota Panton Labu.
"Diperkirakan, makam serdadu Belanda ini kerap dijadikan sebagai lapak pedagang kaki lima,” jelasnya.
Proses ekskavasi tersebut lanjutnya dimulai dengan pengeboran secara manual di beberapa titik lahan yang diperkirakan makam serdadu Belanda. "Setelah itu, BPCB juga mengumpulkan sampel berbentuk tanah liat yang diambil dari hasil pengeboran tadi. Dilokasi itu, hanya terlihat sebuah monument Belanda dengan ketinggian dua meter serta bertuliskan bahasa Belanda," katanya.
"Namun kita belum memastikan bahwa dari monument yang berdiri tegak itu merupakan makam serdadu Belanda," tambahnya lagi.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya, Nurliana mengisyaratkan akan melakukan relokasi pedagang kaki lima, bilamana di lokasi ekskavasi dinyatakan terdapat peninggalan sejarah. Dia berharap bila hal itu terjadi, masyarakat di lokasi tersebut tidak mempersoalkan kebijakan tersebut. [005]
"Diperkirakan, makam serdadu Belanda ini kerap dijadikan sebagai lapak pedagang kaki lima,” jelasnya.
Proses ekskavasi tersebut lanjutnya dimulai dengan pengeboran secara manual di beberapa titik lahan yang diperkirakan makam serdadu Belanda. "Setelah itu, BPCB juga mengumpulkan sampel berbentuk tanah liat yang diambil dari hasil pengeboran tadi. Dilokasi itu, hanya terlihat sebuah monument Belanda dengan ketinggian dua meter serta bertuliskan bahasa Belanda," katanya.
"Namun kita belum memastikan bahwa dari monument yang berdiri tegak itu merupakan makam serdadu Belanda," tambahnya lagi.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya, Nurliana mengisyaratkan akan melakukan relokasi pedagang kaki lima, bilamana di lokasi ekskavasi dinyatakan terdapat peninggalan sejarah. Dia berharap bila hal itu terjadi, masyarakat di lokasi tersebut tidak mempersoalkan kebijakan tersebut. [005]
Selasa, 05 Februari 2013
Benteng Kuta Batee Sultan Iskandar Muda Nyaris Ditelan Krueng Meureudu
Selasa, 22 Januari 2013 06:45 WIB
BNA | Foto : IST
MEUREUDU - Benteng Kuta Batee yang didirikan pada tahun 1620 di Blang Mideun, Gampong Manyang Lancok, Meureudu Kabupaten Pidie Jaya sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, situs sejarah warisan Sultan Iskandar Muda tersebut nyaris tenggelam ke Sungai (Krueng) Meureudu.
"Ada hal yang membuat kita miris. Benteng yang didirikan oleh raja Aceh tersebut hampir jatuh ke sungai, bahkan ada bagian-bagian benteng yang sudah jatuh ke sungai," ujar Manager Program Pusat Kajian Khasanah Aceh(PK2A), Mujiburrahman kepada ATJEHPOSTcom Selasa 22 Januari 2013.
Dia mengatakan, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh (BPSNT) yang merawat situs sejarah tersebut belum bekerja secara maksimal.
"Padahal, masyarakat Gampong Manyang juga berharap supaya Benteng Iskandar Muda Kuta Batee menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya," kata dia.
Selain Benteng Kuta Batee, situs sejarah lainnya yang ada disana juga tidak terawat dengan baik. Situs tersebut yaitu Masjid Kuta Batee yang didirikan dalam waktu bersamaan dengan benteng tersebut.
Menurut Mujibburahman, Masjid Kuta Batee tersebut memang sudah tidak ada lagi wujut aslinya.
"Hanya meninggalkan beberapa bekas masjid saja seperti bambu serta tiang masjid yang nampak tua dan lusuh termakan oleh waktu.[bna]
T Muda Husin, Bupati Aceh Utara pertama
Rabu, 06 Februari 2013 13:35 WIB
IRMAN I.P | Foto : REPRO | IRMAN I.P
SEJAK Indonesia merdeka tahun 1945, Kabupaten Aceh Utara telah dipimpin oleh 19 bupati, beberapa di antaranya berstatus penjabat (pj) bupati. Siapakah bupati Aceh Utara yang pertama?
Data dilansir situs resmi Pemerintah Aceh Utara, bupati Aceh Utara pertama ialah T. Muda Husin (1945-1946). Dalam buku “Aceh Utara: Dari Kerajaan Samudera Pasai ke Era Industrialisasi” terbitan tahun 2002, nama bupati Aceh Utara pertama tertulis, “T. Husein Simpang Ulim”.
Dilihat dari namanya, boleh jadi T Husein ialah putra Simpang Ulim. Soal penulisan nama yang benar, apakah “T. Muda Husin” atau “T. Husein Simpang Ulim”, yang jelas pada gambar dipajang di Pendopo Bupati Aceh Utara, tertulis “T. Muda Husin”.
Namun pada situs resmi Pemerintah Aceh Utara maupun dalam buku “Aceh Utara: Dari Kerajaan Samudera Pasai ke Era Industrialisasi”, tidak ada penjelasan tentang profil atau riwayat hidup bupati Aceh Utara pertama itu.
Biodata T. Muda Husin juga tidak ada di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Aceh Utara. “Di sini tidak ada data profil sosok bupati Aceh Utara masa lalu, mungkin ada di Bagian (Depo) Arsip atau Bagian Pemerintahan Kantor Bupati,” kata Zulaikha, staf Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Aceh Utara ditemui ATJEHPOSTcom, Selasa, 5 Februari 2013.
Di Depo Arsip Aceh Utara pun tidak ada biodata bupati Aceh Utara periode awal. “Tidak ada dokumen itu pada kami. Seharusnya ada, tapi tidak diberikan kepada kami oleh instansi terkait lainnya,” kata seorang staf Depo Arsip Aceh Utara diamini dua staf lainnya.
Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Aceh Utara A. Murthala mengatakan tidak memiliki dokumen profil bupati. “Seharusnya ada di Bagian Humas,” kata Murthala.“Ya, seharusnya dokumen seperti itu ada di Bagian Humas, karena sejarah bupati penting. Kalau tidak ada di Bagian Humas, sulit kita cari di tempat lain, arsipnya tidak ada lagi, keluarga bupati periode awal juga tidak ada lagi,” kata Asisten I (bidang pemerintahan) Setda Aceh Utara T Mustafa ditemui di ruangan Bagian Pemerintahan, Selasa kemarin.
Kepala Sub Bagian Dokumentasi Bagian Humas Setda Aceh Utara Hasballah, Rabu, 6 Februari 2013, mengatakan telah berusaha mencari data arsip tentang riwayat hidup bupati Aceh Utara periode awal. “Sudah saya buka-buka file, belum ketemu, tidak ada,” katanya.
Berdasarkan data di situs resmi Pemerintah Aceh Utara, sesudah Indonesia diproklamirkan sebagai Negara Merdeka, Kabupaten Aceh Utara mulanya disebut Luhak yang dikepalai oleh seorang Kepala Luhak sampai tahun 1949. (baca: Mengenal Aceh Utara yang Dulu Disebut Luhak).
Ini berarti bupati Aceh Utara kedua, Tgk. Sulaiman Daud (1946-1949) ialah Kepala Luhak setelah T. Muda Husin.[]
Adat bak Poteu MeureuhĂ´m
Selasa, 05 Februari 2013 10:50 WIB
SAFRIANDI
Adat bak Poteu MeureuhĂ´m
HukĂ´m bak Syiah Kuala
Kanun bak Putroe Phang
Reusam bak Laksamana
Hadih maja di atas kini sangat populer. Hampir dalam setiap diskusi, orang mengutip nasihat indatu itu sebagai pembuka. Apa sebenarnya maksud yang terkandung dalam setiap baris hadih maja di atas?
Pada edisi kali ini mari sama-sama kita lihat maksud baris pertama hadih maja di atas, Adat bak Poteu MeureuhĂ´m. Penggalan hadih maja ini dapat dipahami dengan melihat kata adat dan Poteu MeureuhĂ´m.
Sekadar mengingatkan kembali, pada edisi 35 telah disebutkan, adat adalah kebiasaan, kelaziman, peraturan, dan ketentuan. Pengertian ini merupakan pengertian dasar dari adat. Namun, untuk pengertian luasnya, jika dikaitkan dengan baris pertama hadih maja tersebut, Mohd. Harun dalam bukunya Memahami Orang Aceh menyebutkan bahwa adat berarti kekuasaan.
Lalu, apa yang dimaksud dengan Poteu MeureuhĂ´m? Masih merujuk pada buku yang sama, disebutkan bahwa Poteu MeureuhĂ´m berarti Paduka Almarhum. Paduka Almarhum itu sendiri bermakna raja yang sudah meninggal dunia. Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam bahasa Aceh, Poteu identik dengan our king dalam bahasa Inggris.
Berkaitan dengan Poteu MeureuhĂ´m ini, Mohd. Harun (2009) menyatakan bahwa istilah tersebut tidak berarti bahwa yang memegang kekuasaan itu adalah raja yang sudah almarhum. Menurutnya, maksud istilah itu ialah siapa pun raja yang sedang berkuasa, dialah yang memegang jabatan eksekutif tertinggi.
Berkaitan dengan Poteu MeureuhĂ´m ini, Mohd. Harun (2009) menyatakan, istilah tersebut tidak berarti bahwa yang memegang kekuasaan itu adalah raja yang sudah almarhum. Menurutnya, maksud istilah itu ialah siapa pun raja yang sedang berkuasa, dialah yang memegang jabatan eksekutif tertinggi.
Istilah Poteu MeureuhĂ´m itu dinisbatkan kepada Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam selama tiga puluh tahun (1607-1636). Di bawah sultan termasyhur inilah disusun sistem pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam yang lebih teratur.
Ini sekaligus merupakan bukti bahwa hadih maja ini muncul setelah Iskandar Muda meninggal dunia yang antara lain ditandai oleh adanya penggunaan kata MeureuhĂ´m ‘Almarhum’.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa adat dan Poteu MeureuhĂ´m pada Adat bak Poteu MeureuhĂ´m, masing-masing bermakna kekuasaan dan paduka almarhum.[]
Jejak India kleng di Meureudu
Selasa, 05 Februari 2013 18:55 WIB
EDI MISWAR MUSTAFA | Foto : kuil Palani Andawer di Keudah, Banda Aceh
BAGI orang-orang sekitar Meureudu, Pidie Jaya, salah satu keunikan kota
ini adanya komunitas kleng. Ini dapat dibuktikan dengan banyaknya
orang-orang berwajah India, aneka makanan, dan kampung bernama Dayah
Kleng.
Letak kampung ini, bila sekali waktu Anda ke Kota Meureudu, arah utara Kota Meureudu. ”Sekarang sudah bercampur, tapi masih banyak kuturunan Kleng ini. Saya kira ada 75 persen di kampung ini warga India. Lainnya orang-orang yang datang dari Ie Leubeu dan Laweueng, Pidie,” kata Zakaria Husen (76), Selasa, 5 Februari 2013.
Menurut Zakaria, orang-orang Kleng yang menetap di Meureudu sama dengan orang-orang Kleng yang menetap di Idi, Aceh Timur. Mereka masuk menjelang Belanda masuk ke Aceh.
”Dulu bukan di sini Kota Meureudu, tapi di sana, di TPI (Tempat Penjualan Ikan),” ujar lelaki ini di teras rumahnya. TPI yang dia tunjuk dekat dengan kuala sungai Meureudu. ”Saat Belanda Masuk kemari, kota perlahan-lahan berpindah agak ke selatan,” jelas Zakaria.
Meuligoe (tempat kediaman bupati Pidie Jaya), tempat tinggal kontroleur Belanda (di depan meuligoe terdapat lapangan sepak bola kota Meureudu. Arah timur lapangan sepak bola ini terdapat kediaman Ampon Chik Meureudu).
Namun, menurut Zakaria, orang-orang keturunan India ini tidak peduli masalah politik. Orang-orang Aceh berusaha mengusir Belanda dari Meureudu, orang India berdagang. ”Mereka tidak peduli mengenai perang. Mereka Cuma datang dari tanah kelahirannya untuk berdagang, ya berdagang. Di lepas pantai Meureudu, tongkang-tongkang besar yang dapat diawaki puluhan orang siap berlabuh selama berbulan-bulan,” ujarnya.[] (ihn)
Letak kampung ini, bila sekali waktu Anda ke Kota Meureudu, arah utara Kota Meureudu. ”Sekarang sudah bercampur, tapi masih banyak kuturunan Kleng ini. Saya kira ada 75 persen di kampung ini warga India. Lainnya orang-orang yang datang dari Ie Leubeu dan Laweueng, Pidie,” kata Zakaria Husen (76), Selasa, 5 Februari 2013.
Menurut Zakaria, orang-orang Kleng yang menetap di Meureudu sama dengan orang-orang Kleng yang menetap di Idi, Aceh Timur. Mereka masuk menjelang Belanda masuk ke Aceh.
”Dulu bukan di sini Kota Meureudu, tapi di sana, di TPI (Tempat Penjualan Ikan),” ujar lelaki ini di teras rumahnya. TPI yang dia tunjuk dekat dengan kuala sungai Meureudu. ”Saat Belanda Masuk kemari, kota perlahan-lahan berpindah agak ke selatan,” jelas Zakaria.
Meuligoe (tempat kediaman bupati Pidie Jaya), tempat tinggal kontroleur Belanda (di depan meuligoe terdapat lapangan sepak bola kota Meureudu. Arah timur lapangan sepak bola ini terdapat kediaman Ampon Chik Meureudu).
Namun, menurut Zakaria, orang-orang keturunan India ini tidak peduli masalah politik. Orang-orang Aceh berusaha mengusir Belanda dari Meureudu, orang India berdagang. ”Mereka tidak peduli mengenai perang. Mereka Cuma datang dari tanah kelahirannya untuk berdagang, ya berdagang. Di lepas pantai Meureudu, tongkang-tongkang besar yang dapat diawaki puluhan orang siap berlabuh selama berbulan-bulan,” ujarnya.[] (ihn)
Cap Sikureung
Cap
Sikureung Sultanah Shafiyyatuddin: "Innahu min Sulaiman wa innahu
bismilLahirrahmanirrahim. Paduka Sri Sultanah Tajul 'Alam Shafiyyatuddin
Syah Berdaulat Zhillullah fil 'Alam ibnatu (puteri) Sultan Raja
Iskandar Muda (tanpa kata 'ibnu' [?]) Johan berdaulat ibnu Sultan
Ri'ayah Syah ibnu Sultan 'Alaiddin Ri'ayah Syah ibnu Sultan Firman Syah
ibnu Sultan Muzhaffar Syah ibnu Sultan 'Inayah Syah ibnu 'Abdillah
Al-Malik Al-Mubin."
MOHON APAPUN INFORMASI MENGENAI CAP INI
BERIKUT TENTANG SULTAN-SULTAN YANG DISEBUTKAN (SILSILAH KETURUNAN,
RIWAYAT HIDUP, LETAK MAKAM, SUMBER SEJARAH DLL). — bersama Jufry Aneuk Tuloet.
MOHON APAPUN INFORMASI MENGENAI CAP INI BERIKUT TENTANG SULTAN-SULTAN YANG DISEBUTKAN (SILSILAH KETURUNAN, RIWAYAT HIDUP, LETAK MAKAM, SUMBER SEJARAH DLL). — bersama Jufry Aneuk Tuloet.
catatan berserakan : Jejak diplomasi Sulthan Muhammad Daud Syah
Oleh Al Asyi di MAPESA "MASYARAKAT PEDULI SEJARAH ACEH"
catatan berserakan : Jejak diplomasi Sulthan Muhammad Daud Syah
1. Pada abad ke-XIX Belanda menghadapai perlawanan gigih dari rakyat Kesultanan Aceh (Sumatera Utara). Dalam usahanya memecahkan konflik Aceh dengan Belanda, Sultan Aceh mencari dukungan dari negara lainnya termasuk dari Rusia juga.
Pada tahun 1879 selagi kapal layar Rusia “Vsadnik” melabuh di Penang, delegasi yang terdiri dari wakil-wakil pemberontak Aceh menghubungi kapten kapal tersebut dengan “permohonan kepada Yang Mulia Sang Pemimpin Imperator agar negara mereka memperoleh kewarganegaraan Rusia”. Kementrian Kelautan melapor kepada Tzar mengenai permohonan tersebut yang memerintahkan mengalihkannya kepada Kementrian Luar Negeri.
Jawaban Kementrian Luar Negeri kepada Kementrian Kelautan menyatakan bahwa pada saat ini Menteri Luar Negeri berpendapat bahwa tidak mungkin “membahas masalah mengenai masuknya rakyat Aceh menjadi warganegara Rusia berhubung di kemudian hari hal tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman diantara Pemerintahan Imperator dengan Belanda”.
Pada tanggal 15 Pebruari 1904, yang mengemban tugas Konsul Rusia di Singapura, Rudanovskiy memberitahukan bahwa Sultan Aceh menyampaikan kepada Konsulat surat permohonan yang dialamatkan kepada Nikolay II tentang permohonan untuk menerima daerah kekuasaannya dibawah perlindungan Rusia.
http://www.indonesia.mid.ru/
relat_ind_04.html
2. Pada tahun 1873-1904 dalam upaya mencegah direbutnya Aceh oleh Belanda, Sultan Aceh mencari dukungan dari negara lain, termasuk Rusia. Pada tahun 1879 perjuang-pejuang Aceh menghubungi kapten kapal Rusia “Vsadnik” yang sedang berlabuh di Penang dan memohon untuk disampaikan kepada Imperator Rusia agar diberikan perlindungan.
Pada tanggal 15 Februari 1904 melalui Konsul Rusia di Singapura, Rudanovsky, Sultan Aceh memohon kepada Nikolay II untuk menerima Aceh sebagai wilayah di bawah perlindungan Rusia. Setelah pembahasan di tingkat pemerintah Rusia, diputuskan bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan mengingat akan mengganggu hubungan antara pemerintahan Imperator Rusia dengan Kerajaan Belanda.
http://www.kemlu.go.id/moscow/Pages/
CountryProfile.aspx?IDP=5&l=id
3. Pada waktu Jepang menjajah Indonesia pada 1942-1945, Kaisar Jepang memerintahkan melalui kementerian Luar Negeri Jepang dan mengutus jenderal Shaburo I I no dengan stafnya mencari keturunan Sultan Aceh Muhammad Daudsyah. Dia bertemu dan diterima secara resmi dengan Tuanku Raja Ibrahim di Lameulo, Pidie pada 1943.
Atas dasar Kaisar Jepang teringat atas surat ayahnya yang dikirim pada Kaisar Jepang. Segera setelah Jepang menang perang melawan Rusia pada tahun 1905, di Selat Tsushima. Surat ini menjadi salah satu sebab Sultan Muhammad Daudsyah dibuang dari Aceh pada tahun 1907 dan tidak kembali sampai akhir hayatnya.
http://kuartil.wordpress.com/2011/06/27/nasib-putra-mahkota-keturunan-s
ultan-acheh-terakhir/
4. Sultan Alaidin Muhammad Daud syah Memerintah tanpa Istana III
Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah, Berkubur di Rantau Orang
[ penulis: Dr Hasballah Saad | topik: Budaya ]
SETELAH Sultan berdamai dengan Belanda (1903), beberapa saat menetap di Koetaraja, namun tidak di Meuligoe Kerajaan. Karena saat itu telah dirampas dan diduduki Belanda sejak 1874. Selama memerintah, Sultan tak pernah memiliki istana sebagai Pusat Pemerintahan dan Kedudukan Resmi Sultan.
Harta pusaka pun telah berserakan dimana mana, hingga sejumlah benda benda penting yang berharga pun kini telah menghiasi ruang muzium di seluruh dunia, seperti di Negeri Belanda, di Portugal, di Perancis, di Malaysia, dan dimana mana. Kota Jogjakarta pun, konon kini menyimpan meriam buatan pertama pasukan Turki di Aceh dengan motif Pucok Reubong.
Meriam Pucok Reubong ini adalah produk domestik Aceh pertama dibawah asistensi ahli meriam dari Turki. Ada juga Meriam Lada Sicupak hadiah Sultan Selim II, melalui Panglima Nak Dum, utusan Aceh ke Turki waktu itu, pada abad ke 16 lalu, kini juga tidak diketahui keberadaannya.
Sebagai tawanan Belanda, Sultan menyatakan kepada kawan seperjuangan dan para pemimpin gerilya yang masih aktif, kalau dia tak pernah menyerahkan kedaulatan negara kepada Belanda. Sultan menyerah dan berdamai dalam status sebagai rakyat biasa––istilah saat itu, menyerah sebagai anak negeri, Sementara Cap Sikureueng telah diserahkan kepada Tgk Syik di Tiro Mahyeddin (Teungku Syik Mayed, suami Pucut Mirah Gambang putri Cut Nyak Dhien) yang berkedudukan memimpin prang meneruskan perjuangan almarhun ayahnya Tgk Syech Saman di Tiro, di Gunong Alimon, pedalaman Tangse di Pidie.
Sultan terus melakukan korespondensi rahasia dengan beberapa perwakilan negara asing di Singapura, antara lain kedutaan Inggris, Kedutaan Amerika, Kedutaan Turki, India, dan lainnya. Namun kemudian diketahui Belanda, maka Sultan dipisahkan dengan rakyat pengikutnya yang setia. Awak tahun 1904, beliau dibuang ke Ambon.
http://www.acehforum.or.id/archive/index.php/t-16547.html
Note :Sebagian catatan kecil
1. Pada abad ke-XIX Belanda menghadapai perlawanan gigih dari rakyat Kesultanan Aceh (Sumatera Utara). Dalam usahanya memecahkan konflik Aceh dengan Belanda, Sultan Aceh mencari dukungan dari negara lainnya termasuk dari Rusia juga.
Pada tahun 1879 selagi kapal layar Rusia “Vsadnik” melabuh di Penang, delegasi yang terdiri dari wakil-wakil pemberontak Aceh menghubungi kapten kapal tersebut dengan “permohonan kepada Yang Mulia Sang Pemimpin Imperator agar negara mereka memperoleh kewarganegaraan Rusia”. Kementrian Kelautan melapor kepada Tzar mengenai permohonan tersebut yang memerintahkan mengalihkannya kepada Kementrian Luar Negeri.
Jawaban Kementrian Luar Negeri kepada Kementrian Kelautan menyatakan bahwa pada saat ini Menteri Luar Negeri berpendapat bahwa tidak mungkin “membahas masalah mengenai masuknya rakyat Aceh menjadi warganegara Rusia berhubung di kemudian hari hal tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman diantara Pemerintahan Imperator dengan Belanda”.
Pada tanggal 15 Pebruari 1904, yang mengemban tugas Konsul Rusia di Singapura, Rudanovskiy memberitahukan bahwa Sultan Aceh menyampaikan kepada Konsulat surat permohonan yang dialamatkan kepada Nikolay II tentang permohonan untuk menerima daerah kekuasaannya dibawah perlindungan Rusia.
http://www.indonesia.mid.ru/
relat_ind_04.html
2. Pada tahun 1873-1904 dalam upaya mencegah direbutnya Aceh oleh Belanda, Sultan Aceh mencari dukungan dari negara lain, termasuk Rusia. Pada tahun 1879 perjuang-pejuang Aceh menghubungi kapten kapal Rusia “Vsadnik” yang sedang berlabuh di Penang dan memohon untuk disampaikan kepada Imperator Rusia agar diberikan perlindungan.
Pada tanggal 15 Februari 1904 melalui Konsul Rusia di Singapura, Rudanovsky, Sultan Aceh memohon kepada Nikolay II untuk menerima Aceh sebagai wilayah di bawah perlindungan Rusia. Setelah pembahasan di tingkat pemerintah Rusia, diputuskan bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan mengingat akan mengganggu hubungan antara pemerintahan Imperator Rusia dengan Kerajaan Belanda.
http://www.kemlu.go.id/moscow/Pages/
CountryProfile.aspx?IDP=5&l=id
3. Pada waktu Jepang menjajah Indonesia pada 1942-1945, Kaisar Jepang memerintahkan melalui kementerian Luar Negeri Jepang dan mengutus jenderal Shaburo I I no dengan stafnya mencari keturunan Sultan Aceh Muhammad Daudsyah. Dia bertemu dan diterima secara resmi dengan Tuanku Raja Ibrahim di Lameulo, Pidie pada 1943.
Atas dasar Kaisar Jepang teringat atas surat ayahnya yang dikirim pada Kaisar Jepang. Segera setelah Jepang menang perang melawan Rusia pada tahun 1905, di Selat Tsushima. Surat ini menjadi salah satu sebab Sultan Muhammad Daudsyah dibuang dari Aceh pada tahun 1907 dan tidak kembali sampai akhir hayatnya.
http://kuartil.wordpress.com/2011/06/27/nasib-putra-mahkota-keturunan-s
ultan-acheh-terakhir/
4. Sultan Alaidin Muhammad Daud syah Memerintah tanpa Istana III
Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah, Berkubur di Rantau Orang
[ penulis: Dr Hasballah Saad | topik: Budaya ]
SETELAH Sultan berdamai dengan Belanda (1903), beberapa saat menetap di Koetaraja, namun tidak di Meuligoe Kerajaan. Karena saat itu telah dirampas dan diduduki Belanda sejak 1874. Selama memerintah, Sultan tak pernah memiliki istana sebagai Pusat Pemerintahan dan Kedudukan Resmi Sultan.
Harta pusaka pun telah berserakan dimana mana, hingga sejumlah benda benda penting yang berharga pun kini telah menghiasi ruang muzium di seluruh dunia, seperti di Negeri Belanda, di Portugal, di Perancis, di Malaysia, dan dimana mana. Kota Jogjakarta pun, konon kini menyimpan meriam buatan pertama pasukan Turki di Aceh dengan motif Pucok Reubong.
Meriam Pucok Reubong ini adalah produk domestik Aceh pertama dibawah asistensi ahli meriam dari Turki. Ada juga Meriam Lada Sicupak hadiah Sultan Selim II, melalui Panglima Nak Dum, utusan Aceh ke Turki waktu itu, pada abad ke 16 lalu, kini juga tidak diketahui keberadaannya.
Sebagai tawanan Belanda, Sultan menyatakan kepada kawan seperjuangan dan para pemimpin gerilya yang masih aktif, kalau dia tak pernah menyerahkan kedaulatan negara kepada Belanda. Sultan menyerah dan berdamai dalam status sebagai rakyat biasa––istilah saat itu, menyerah sebagai anak negeri, Sementara Cap Sikureueng telah diserahkan kepada Tgk Syik di Tiro Mahyeddin (Teungku Syik Mayed, suami Pucut Mirah Gambang putri Cut Nyak Dhien) yang berkedudukan memimpin prang meneruskan perjuangan almarhun ayahnya Tgk Syech Saman di Tiro, di Gunong Alimon, pedalaman Tangse di Pidie.
Sultan terus melakukan korespondensi rahasia dengan beberapa perwakilan negara asing di Singapura, antara lain kedutaan Inggris, Kedutaan Amerika, Kedutaan Turki, India, dan lainnya. Namun kemudian diketahui Belanda, maka Sultan dipisahkan dengan rakyat pengikutnya yang setia. Awak tahun 1904, beliau dibuang ke Ambon.
http://www.acehforum.or.id/archive/index.php/t-16547.html
Note :Sebagian catatan kecil
*74 Tahun mangkatnya Sultan Alaidin M. Daud Syah (1939 - 2013)
Tahun 1902, putera Mahkota dan Permaisurimu ditawan.
awal 1903 engkau pun melunak hingga ditawan oleh Belanda bahkan dibuang
jauh hingga engkau menghembus nafas terakhir di negeri Jayakarta.
sikap melunakmu kala itu menimbul polemik yang besar.
Namun ku yakini engkau bukanlah jiwa yang lemah hingga menyerah terhadap keadaan.
pasti ada sesuatu rencana yang engkau rencana walaupun akhirnya membuat engkau berpusara jauh di negeri orang.
Senin, 04 Februari 2013
Taqiyuddin, Menyelamatkan Jejak Pasai
Penulis: |
Kamis, 7 Mei 2009 | 02:01 WIB
Oleh Andy Riza Hidayat
Puluhan tahun, terutama pada masa konflik, ribuan makam tua di Aceh Utara tak terurus. Tak banyak studi tentang batu bersurat peninggalan Kerajaan Samudra Pasai. Padahal, bebatuan ini menyimpan jejak kejayaan peradaban pesisir timur Aceh. Bagi Taqiyuddin Muhammad, epigrafi dalam prasasti itu adalah bagian dari Kerajaan Pasai yang perlu diselamatkan.
Sebagian prasasti penting itu kondisinya mengenaskan. Ada makam berukir yang patah tertimpa pohon, tersembunyi di balik semak belukar, dan sebagian melapuk diselimuti lumut.
Kenyataan ini menggugah Taqiyuddin, terutama setelah ia mempelajari sejarah kebudayaan Islam di Mesir dan menguasai bahasa Arab. Keinginan itu semakin kuat setibanya dia di Aceh pada 2005. Bekal ilmu selama 14 tahun belajar di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah dan Filsafat, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, cukup baginya untuk mulai ”membongkar” prasasti Pasai.
Ia sendiri tak tahu banyak jejak sejarah ”kampungnya”. Pria kelahiran Peusangan, Biereun, Aceh, ini justru akrab dengan sejarah Mesir kuno.
Pascaperdamaian di Aceh, Agustus 2005, dia memulai perjuangannya. Pada 2007 ia mengajak sejumlah pemuda yang mempunyai gagasan dan keinginan sama untuk bergabung. Upaya ini bukan pekerjaan ringan. Selain harus berjuang dengan terbatasnya dana, ia mesti menahan diri dari cibiran sejumlah kerabat dan tetangga.
”Mereka sempat mengatakan, ’Ah itu hanya proyek tengku, paling nanti juga bawa proposal ke kantor bupati.’ Membawa proposal ke kantor pemerintah berarti meminta dana. Ini stigma negatif yang perlu diluruskan,” tutur Taqiyuddin.
Sebutan tengku di Aceh biasa ditujukan kepada pemuka agama atau orang dengan kedalaman ilmu agama. Tanpa diminta, Taqiyuddin menyandang gelar ini. Ia ingin muruah seorang tengku terjaga sebagaimana lazimnya panutan masyarakat. Tengku tak pantas bekerja untuk mendapatkan pamrih, apalagi mencari uang dengan kedok kegiatan sosial. Kalau tengku tak dipercaya masyarakat, siapa lagi yang menjadi panutan hidup?
Pemahaman ini terbenam kuat dalam benaknya. Keterbatasan sarana dan cibiran negatif tak menghalangi keinginannya mengumpulkan jejak Pasai. Dua tahun bekerja dengan dana swadaya, ratusan epigrafi nisan tua Pasai berhasil dia terjemahkan bersama para pemuda. Sejumlah fakta sejarah baru tentang Pasai, terutama sebelum abad ke-16, mulai terkuak.
Menerjemahkan kaligrafi berhuruf Arab dalam batu nisan bukan pekerjaan mudah. Dalam kaligrafi nisan, pemahat memasang ”jebakan” yang terselip dalam penggunaan bahasa dan simbol huruf. Sering kali simbol ini menceritakan data penting, misalnya gambar kandil (lampu gantung di dalam masjid). Gambar seperti itu ditemui di sejumlah makam tua yang berarti pemilik makam adalah penyebar Islam.
Untuk membaca utuh epigrafi sebuah batu nisan, Taqiyuddin perlu waktu seminggu. Kesulitan membaca epigrafi makam Islam di Nusantara ini pernah disampaikan peneliti Perancis, Claude Guillot dan Ludvik Kalkus, dalam bukunya Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, 2008.
Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam di Nusantara yang berjaya pada abad ke-13 sampai ke-16. Guillot dan Kalkus menyebut prasasti Pasai penting untuk mengetahui jejak masuknya Islam ke Nusantara, selain prasasti Barus (Sumatera Utara) dan Gresik (Jawa Timur).
Keterbatasan
Taqiyuddin tak perlu menunggu semua sarana tersedia untuk memulai pekerjaan. Kerabatnya kerap menganggap dia seperti lilin yang menerangi orang sekitar, tetapi dirinya meleleh. Ia tak merasa seperti lilin. Dia memang ingin memberikan waktu dan dirinya untuk Aceh.
Lantaran itu, ia tak meratapi keterbatasan sarana. Pada awal penyusuran ke sejumlah lokasi prasasti, dia memakai becak motor (betor) milik sahabatnya, Abu. Selain pengetahuan bahasa Arab, bekal yang tak ada habisnya adalah semangat kerja sama tim. Taqiyuddin beruntung mempunyai rekan kerja yang tak pernah mengeluh walau mesti mengakrabi nisan-nisan tua. Rekannya, Fauzan (29) dan Ramlan Yunus (30), adalah pemuda Aceh Utara, lulusan SMA.
Mereka mengunjungi makam-makam tak terkenal lalu mengabadikannya. Melalui dokumentasi foto, perlahan-lahan tim Taqiyuddin memecahkan rahasia kaligrafi sebuah prasasti. Selanjutnya mereka simpan hasil terjemahan kaligrafi berupa syair, riwayat hidup pemilik makam, atau nukilan ayat Al Quran dalam komputer.
Secara tak sengaja, mereka menemukan aneka gerabah kuno, koin berhuruf Arab, dan sebuah benda yang diduga kuat sebagai stempel Kerajaan Pasai di sekitar lokasi pemakaman.
Suatu hari Taqiyuddin membutuhkan sarana yang lebih memadai karena beban kerjanya makin menantang. Dari pakcik-nya (paman), ia bisa menempati sebuah rumah sebagai sekretariat penelitian. Dia juga memanfaatkan uang simpanan untuk membayar uang muka membeli sepeda motor.
Hasil penerjemahan epigrafi nisan itu sudah banyak yang ditulisnya. Sebagian artikel dan temuannya dimuat di koran terbitan Aceh seperti Harian Aceh dan Serambi Indonesia. Tantangan berikutnya adalah membukukan semua hasil kegiatan itu untuk melengkapi kekayaan sejarah Pasai. Belakangan, pekerjaannya mendapat dukungan dari Balai Pelestari Peninggalan Purbakala (BP3) Aceh.
Cita-cita
Ketika Taqiyuddin berusia sembilan tahun, ayahnya, Muhammad A Djali, meninggal dunia. Sejak itu, sang ibu, Nafsiah Yusuf, yang bekerja sebagai pegawai di Departemen Agama, Aceh Utara, menghidupi empat anaknya sendirian. Namun, keterbatasan ini tak membatasi cita-cita Taqiyuddin. Setamat belajar di pesantren di Langsa, ia berkeras hanya mau melanjutkan ke Universitas Al Azhar di Kairo.
Membantu mewujudkan keinginan anaknya, Nafsiah mengusahakan uang kuliah dari hasil penjualan tanah warisan dan perhiasan keluarga. Selama di Mesir, Taqiyuddin sering kekurangan dana karena kiriman tak mencukupi. Beruntung, sebagian teman mengizinkan dia menumpang tinggal.
Kekurangan dana itu mendorong dia mencari pendapatan selama di Mesir. Berbagai pekerjaan dia lakukan, mulai dari sebagai tenaga musiman haji di Jeddah, Arab Saudi, penerjemah buku-buku Islam, sampai pemandu wisata di Mesir. Bersamaan dengan itu, secara otodidak dia menekuni sejarah kebudayaan Islam.
Istrinya, Siti Suryani Syarifuddin, yang juga dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri Lhok Seumawe, mendukung keinginan sang suami. ”Kami bertemu saat belajar di Kairo,” kata Taqiyuddin yang menikahi Suryani pada 1998.
Puluhan tahun, terutama pada masa konflik, ribuan makam tua di Aceh Utara tak terurus. Tak banyak studi tentang batu bersurat peninggalan Kerajaan Samudra Pasai. Padahal, bebatuan ini menyimpan jejak kejayaan peradaban pesisir timur Aceh. Bagi Taqiyuddin Muhammad, epigrafi dalam prasasti itu adalah bagian dari Kerajaan Pasai yang perlu diselamatkan.
Sebagian prasasti penting itu kondisinya mengenaskan. Ada makam berukir yang patah tertimpa pohon, tersembunyi di balik semak belukar, dan sebagian melapuk diselimuti lumut.
Kenyataan ini menggugah Taqiyuddin, terutama setelah ia mempelajari sejarah kebudayaan Islam di Mesir dan menguasai bahasa Arab. Keinginan itu semakin kuat setibanya dia di Aceh pada 2005. Bekal ilmu selama 14 tahun belajar di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah dan Filsafat, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, cukup baginya untuk mulai ”membongkar” prasasti Pasai.
Ia sendiri tak tahu banyak jejak sejarah ”kampungnya”. Pria kelahiran Peusangan, Biereun, Aceh, ini justru akrab dengan sejarah Mesir kuno.
Pascaperdamaian di Aceh, Agustus 2005, dia memulai perjuangannya. Pada 2007 ia mengajak sejumlah pemuda yang mempunyai gagasan dan keinginan sama untuk bergabung. Upaya ini bukan pekerjaan ringan. Selain harus berjuang dengan terbatasnya dana, ia mesti menahan diri dari cibiran sejumlah kerabat dan tetangga.
”Mereka sempat mengatakan, ’Ah itu hanya proyek tengku, paling nanti juga bawa proposal ke kantor bupati.’ Membawa proposal ke kantor pemerintah berarti meminta dana. Ini stigma negatif yang perlu diluruskan,” tutur Taqiyuddin.
Sebutan tengku di Aceh biasa ditujukan kepada pemuka agama atau orang dengan kedalaman ilmu agama. Tanpa diminta, Taqiyuddin menyandang gelar ini. Ia ingin muruah seorang tengku terjaga sebagaimana lazimnya panutan masyarakat. Tengku tak pantas bekerja untuk mendapatkan pamrih, apalagi mencari uang dengan kedok kegiatan sosial. Kalau tengku tak dipercaya masyarakat, siapa lagi yang menjadi panutan hidup?
Pemahaman ini terbenam kuat dalam benaknya. Keterbatasan sarana dan cibiran negatif tak menghalangi keinginannya mengumpulkan jejak Pasai. Dua tahun bekerja dengan dana swadaya, ratusan epigrafi nisan tua Pasai berhasil dia terjemahkan bersama para pemuda. Sejumlah fakta sejarah baru tentang Pasai, terutama sebelum abad ke-16, mulai terkuak.
Menerjemahkan kaligrafi berhuruf Arab dalam batu nisan bukan pekerjaan mudah. Dalam kaligrafi nisan, pemahat memasang ”jebakan” yang terselip dalam penggunaan bahasa dan simbol huruf. Sering kali simbol ini menceritakan data penting, misalnya gambar kandil (lampu gantung di dalam masjid). Gambar seperti itu ditemui di sejumlah makam tua yang berarti pemilik makam adalah penyebar Islam.
Untuk membaca utuh epigrafi sebuah batu nisan, Taqiyuddin perlu waktu seminggu. Kesulitan membaca epigrafi makam Islam di Nusantara ini pernah disampaikan peneliti Perancis, Claude Guillot dan Ludvik Kalkus, dalam bukunya Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, 2008.
Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam di Nusantara yang berjaya pada abad ke-13 sampai ke-16. Guillot dan Kalkus menyebut prasasti Pasai penting untuk mengetahui jejak masuknya Islam ke Nusantara, selain prasasti Barus (Sumatera Utara) dan Gresik (Jawa Timur).
Keterbatasan
Taqiyuddin tak perlu menunggu semua sarana tersedia untuk memulai pekerjaan. Kerabatnya kerap menganggap dia seperti lilin yang menerangi orang sekitar, tetapi dirinya meleleh. Ia tak merasa seperti lilin. Dia memang ingin memberikan waktu dan dirinya untuk Aceh.
Lantaran itu, ia tak meratapi keterbatasan sarana. Pada awal penyusuran ke sejumlah lokasi prasasti, dia memakai becak motor (betor) milik sahabatnya, Abu. Selain pengetahuan bahasa Arab, bekal yang tak ada habisnya adalah semangat kerja sama tim. Taqiyuddin beruntung mempunyai rekan kerja yang tak pernah mengeluh walau mesti mengakrabi nisan-nisan tua. Rekannya, Fauzan (29) dan Ramlan Yunus (30), adalah pemuda Aceh Utara, lulusan SMA.
Mereka mengunjungi makam-makam tak terkenal lalu mengabadikannya. Melalui dokumentasi foto, perlahan-lahan tim Taqiyuddin memecahkan rahasia kaligrafi sebuah prasasti. Selanjutnya mereka simpan hasil terjemahan kaligrafi berupa syair, riwayat hidup pemilik makam, atau nukilan ayat Al Quran dalam komputer.
Secara tak sengaja, mereka menemukan aneka gerabah kuno, koin berhuruf Arab, dan sebuah benda yang diduga kuat sebagai stempel Kerajaan Pasai di sekitar lokasi pemakaman.
Suatu hari Taqiyuddin membutuhkan sarana yang lebih memadai karena beban kerjanya makin menantang. Dari pakcik-nya (paman), ia bisa menempati sebuah rumah sebagai sekretariat penelitian. Dia juga memanfaatkan uang simpanan untuk membayar uang muka membeli sepeda motor.
Hasil penerjemahan epigrafi nisan itu sudah banyak yang ditulisnya. Sebagian artikel dan temuannya dimuat di koran terbitan Aceh seperti Harian Aceh dan Serambi Indonesia. Tantangan berikutnya adalah membukukan semua hasil kegiatan itu untuk melengkapi kekayaan sejarah Pasai. Belakangan, pekerjaannya mendapat dukungan dari Balai Pelestari Peninggalan Purbakala (BP3) Aceh.
Cita-cita
Ketika Taqiyuddin berusia sembilan tahun, ayahnya, Muhammad A Djali, meninggal dunia. Sejak itu, sang ibu, Nafsiah Yusuf, yang bekerja sebagai pegawai di Departemen Agama, Aceh Utara, menghidupi empat anaknya sendirian. Namun, keterbatasan ini tak membatasi cita-cita Taqiyuddin. Setamat belajar di pesantren di Langsa, ia berkeras hanya mau melanjutkan ke Universitas Al Azhar di Kairo.
Membantu mewujudkan keinginan anaknya, Nafsiah mengusahakan uang kuliah dari hasil penjualan tanah warisan dan perhiasan keluarga. Selama di Mesir, Taqiyuddin sering kekurangan dana karena kiriman tak mencukupi. Beruntung, sebagian teman mengizinkan dia menumpang tinggal.
Kekurangan dana itu mendorong dia mencari pendapatan selama di Mesir. Berbagai pekerjaan dia lakukan, mulai dari sebagai tenaga musiman haji di Jeddah, Arab Saudi, penerjemah buku-buku Islam, sampai pemandu wisata di Mesir. Bersamaan dengan itu, secara otodidak dia menekuni sejarah kebudayaan Islam.
Istrinya, Siti Suryani Syarifuddin, yang juga dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri Lhok Seumawe, mendukung keinginan sang suami. ”Kami bertemu saat belajar di Kairo,” kata Taqiyuddin yang menikahi Suryani pada 1998.
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
bersama Teuku Imeum Lueng Bata dan Teuku Kadhi Malikul Adil
Utusan
Kesultanan Aceh ke Negeri Singapura untuk meminta bala bantuan
menghadapi Belanda. Duduk disebelah kiri, Teuku Kadhi Malikul Adil dan
kanannya Teuku Imeum Lueng Bata. Tahun 1870/1871 di Singapura. — bersama Teuku Imeum Lueng Bata dan Teuku Kadhi Malikul Adil di Singapura.
LEGENDA TAPAK TUAN
Rabu, 23 Januari 2013
Tapaktuan sangat terkenal dengan sebuah Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga. Cerita tersebut sangat hidup didalam masyarakat disana yang sangat mudah untuk dapat kita dengar dari A sampai Z. Adapun Legenda tersebut dibarengi dengan ornamen ornamen yang memiliki bentuk dan rupa seperti yang tersebut di dalam cerita tersebut. Ada baiknya saya ceritakan sedikit tentang Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga itu.
” Alkisah, dizaman dahulu kala, ribuan tahun lalu, di Aceh Selatan hidup dua ekor naga yang sangat perkasa dan memiliki ilmu sakti mandraguna. Sepasang naga ini, memiliki anak yang bernama Putri Naga. Putri ini cantik jelita. Putri nan rupawan ini, katanya didapat dari perebutan sepasang Naga (Jantan dan Betina) dengan orangtua sang putri.
Konon ceritanya, suatu ketika – tidak ada masyarakat yang mengetahui tahun pasti, sepasang naga tengah berjalan-jalan menyusuri lautan yang bergelombang. Si Naga jantan tiba-tiba berhenti, tertegun memperhatikan sebuah titik hitam di tengah laut. Titik hitam itu menarik perhatiannya. Lamat-lamat titik hitam itu mendekat ke arah sang naga. Gelombang laut yang membawanya mendekat. Si Naga Jantan dan Betina terus memperhatikan titik hitam itu. Ketika titik hitam itu semakin mendekat, Sang Naga terjun alang kepalang. Titik hitam itu adalah tiga sosok manusia, berada lam perahu kecil yang diombang-ambingkan gelombang laut Aceh Selatan.
Ketiga manusia itu adalah sepasang suami-istri bersama bayinya. Bayi
mungil ini berada dalam pangkuan ibunya. Mereka sengaja datang ke daerah
itu bermaksud mencari rempah-rempah yang keberadaannya sudah cukup
dikenal. Aceh Selatan sejak zaman Belanda menjajah daerah itu memang
dikenal kaya akan hasil alam. Nilam, Cengkeh dan Pala merupakan tumbuhan
yang dominan disana. Bahkan tumbuhan itu hingga kini menjadi komuditi
unggulan daerah itu.
setelah melihat ketiga anak manusia itu, Sepasang Naga sakti yang bisa melakukan terhentak. Lalu, dia meniup perahu yang sudah sangat dekat itu. Sekali tiup saja, perahu kecil itu terombang-ambing dan tenggelam ditelan ombak deras. Kemudian Naga Betina, menjulurkan lidahnya menangkap putri kecil yang terhempas dari perahu itu.
Pasangan Naga ini sangat senang mendapatkan putri berbentuk manusia. Konon naga itu memang sudah lama mengidam-idamkan seorang putri. ”Setelah selamat dan menepi kedarat orangtua si Putri begitu sedih kehilangan buah hatinya dan tidak tahu ke mana putrinya menghilang. Mereka berpikir bahwa anak perempuan kesayangannya sudah hilang tenggelam dalam lautan dan badai atau hilang entah ke mana, Akhirnya sepasang naga membawa putri mungil hasil rampasan mereka ke sebuah pulau, pulau ini terletak di Batu Hitam, Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan.
Kedua Naga itu sangat menyanyangi putri pungut mereka. Bahkan, Naga betina selalu memeluk putri kecil dalam cengkeramnya agar tidak hilang. Sang Putri kecil, setelah sadar dari pingsannya, menangis sejadi-jadinya begitu melihat sosok Naga aneh dan menyeramkan. Si Putri kecil Ia takut. Diapun terus menangis sekuat-kuatnya. Naga betina pusing memikirkan tangisan putri itu. Terpaksa dia menggunakan kesaktiannya untuk menenangkan si Putri agar tak mengeluarkan air mata lagi.
Putri ini diberi nama Putri Bungsu. Mereka sangat mengasihi putri ini. Bahkan Naga Jantan menciptakan tempat bermain nan indah di gunung itu. Semua buah-buahan dan minuman tersedia disana. Semua itu dilakukan agar Putri Bungsu betah tinggal bersama mereka. ”Putri inilah yang kemudian disebut Putri Naga,”.
telapak kaki tuan tapa dibatuWaktu terus bergulir. Putri Bungsu merangkak remaja. Dia menetap bersama naga disebuah gua yang dalam. Suatu hari, sang Putri Bungsu secara tak sengaja mendengar obrolan sepasang Naga. Dari luar gua dia terus menyimak percakapan itu. Dia tersentak. Sadar, bahwa dirinya bukan keturunan naga. Dia memiliki orang tua yang juga berasal dari bangsa manusia. Niat untuk melarikan diripun muncul dalam benaknya. Putri Bungsu tidak gegabah. Dia bersabar untuk menemukan waktu yang tepat melarikan diri dari gunung itu. Dia takut akan kesaktian kedua naga tersebut.
Waktu yang dinantikanpun tiba. Dari atas gunung, Putri Bungsu melihat sebuah kapal berlayar dibawah kaki gunung itu. Gunung ini memang tepat berada di depan laut. Naga Jantan kala itu sedang tertidur dipinggir laut. Perlahan dia mengangkat kaki, sedikit menjinjing agar langkahnya tidak didengar Naga Jantan.
Perahu layar semakin dekat. Dia bimbang. Teringat akan kesaktian naga tersebut. Jarak Naga Jantan beristirahat dengan laut sangat dekat. Khawatir ketahuan, diapun mengurungkan niat untuk kabur dari gunung itu.
Siang-malam Putri nan cantik jelita itu mencari akal. Ide cemerlangpun muncul dikepalanya. Satu dia mengajak pasangan Naga berjalan-jalan menyusuri pantai di pulau itu. Naga kelelahan dan tertidur pulas. Putri Bungsu tak menyianyiakan kesempatan emas itu. Kakinya diseret ke atas sebuah bukit kecil yang dekat dengan laut. Agar dia bisa melihat perahu yang melintas. Jarang sekali perahu yang mahu mendekat ke pulau itu. Namun hari itu keberuntungan Putri Naga. Sebuah perahu kecil merapat. Dia melambaikan tangan. Awak perahu ada yang menyapanya.
Putri bungsu naik ke atas kapal dan ikut bersama awak kapal itu. Naga yang baru terbangun dari tidur, terkejut setengah mati. Putri kesanyangannya telah pergi. Dalam benaknya, Naga berujar, pasti perahu itu yang melarikan putriku. Dia mengejar perahu yang berjalan sangat pelan itu.
Lalu apa hubungan Putri Bungsu, Naga dan Tuan Tapa? sabar…. saya akan lanjutkan ya.. :)
Sepasang Naga itu mengejar perahu tersebut. Sementara itu, di Gua Kalam, tidak jauh dari bukit itu, seorang manusia sedang bertapa. Dia tersentak dari pertapaanya. Seakan dia sadar akan ada bencana besar dibumi. Inilah Tuan Tapa. Dia keluar dari gua tersebut. Lalu menatap ke laut lepas. Terlihat sepasang Naga dengan kemarahan puncak sedang mengejar sebuah perahu nelayan. Tuan Tapa terkenal dengan tongkat saktinya.
Dihadangnya Naga yang sedang mengejar perahu. Perkelahian hebatpun tak dapat dihindarkan. Dari mulut kedua Naga menyemburkan api. Tuan Tapa menghela tongkatnya hingga mengeluarkan air deras dan memadamkan api Naga. Tak mau kalah, sang Naga jantan pun mengeluarkan ribuan anak panah berapi yang diarahkan ke Tuan Tapa. Tuan Tapa bisa menghindari serangan itu. Tak ketinggalan, Naga betina juga mengeluarkan pisau-pisau beracun yang juga berhasil dielakkan Tuan Tapa.
Karena terus-menerus mengeluarkan kekuatannya, kesaktian kedua Naga mulai berkurang. Kesempatan itu dimanfaatkan Tuan Tapa untuk menyerang lebih dahsyat. Dengan tongkat sakti miliknya, Tuan Tapa mengayunkan benda panjang itu ke arah dua Naga. Naga betina, mencoba menghindar dengan cara melarikan diri menjauhi Tuan Tapa. Saat lari kencang tak tahu arah itulah sang Naga betina menabrak sebuah pulau hingga terbelah pulau. Pulau terbelah ini kemudian oleh masyarakat Aceh Selatan disebut sebagai Pulau Dua, di Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan
Sementara Tuan Tapa mengejar sang Naga jantan yang sudah terluka akibat serangan ‘tongkat sakti’. Tuan Tapa memukul tongkat saktinya bertubi-tubi ke tubuh Naga jantan hingga hancur berkeping-keping dan jatuh terjerembab ke tanah. Tubuh Naga jantan hancur berserakan dan darah berceceran yang menyebar memerahkan tanah, bebatuan dan lautan.
Saat ini bekas tempat ceceran darah Naga itu kini masih terlihat berupa tanah dan batu yang memerah. Kini disebut dengan Tanah Merah ( Batu Mirah ). Sedangkan hati sang Naga, yang pecah dan terlempar menjadi beberapa bagian akibat pukulan tongkat sakti Tuan Tapa, peninggalannya hingga sekarang masih terlihat berupa batu-batu berwarna hitam berbentuk hati. Daerah ini kemudian diberi nama Desa Batu Hitam, masih dikecamatan yang sama.
Sementara di tempat pertempuran Naga dan Tuan Tapa, masih meninggalkan jejak berupa tongkat. Tongkat mirip baru itu, dipercayai sebagai tongkat Tuan Tapa.
Bagaimana nasib sang Putri? Sang Putri akhirnya kembali hidup normal layaknya manusia dan hidup bahagia bersama kedua orangtuanya. Putri Bungsu kemudian mendapat julukan sebagai ‘Putri Naga’.”
Dan Lagenda ini telah diperkuat dengan subuah bukti yang telah ditinggalkan oleh Si Tuan Tapa berupa Tongkat dan Topinya yang berapa di tengah laut Tapaktuan dan hanya bisa di lihat dari sebuah gunung yang bernama Gunung Lampu menjelang senja hari saja. Kemudian sebuah Tapak kaki dan makam Tuan Tapa yang ukurannya wowww,,, that is so big,,, .
Begitulah sedikit cerita tentang Legenda Kota Tapaktuan. Karena kisah ini pula, orang menyebutkan Aceh Selatan sebagai Kota Naga. Bahkan, jika memasuki kota Tapaktuan pemerintah Daerah Aceh Selatan mengukir gambar naga tepat di dinding pinggir jalan. Sekitar seratus meter dari arah timur kantor Bupati Aceh Selatan.
OLEH: Ade Rizki Noval
Langganan:
Postingan (Atom)