IBRAHIM DAN MARIANI PENGURUS RUMOH CUT NYAK DHIEN
DARI
makam Syiah Kuala yang terletak di utara kota Banda Aceh, saya pergi ke
barat. Saya menuju peninggalan sejarah yang terletak di ruas jalan
utama Banda Aceh-Meulaboh atau tepatnya, jalan menuju pantai Lhok Nga.
Saya
menjumpai Ibrahim Yusuf dan Mariani. Mereka punya kewajiban tak kalah
besar bagi bangsa Aceh. Secara bergantian mereka menjaga dan merawat
satu-satunya rumah peninggalan Cut Nyak Dhien, pejuang Aceh. Kendati
penjajah Belanda membuang Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat, hingga
akhir hayatnya, orang Aceh tak pernah melupakan dia.
Di rumah
itu pula Cut Nyak Dhien pernah hidup bersama suami tercinta Teungku
Umar, yang kemudian gugur mendahuluinya. Teungku Umar memimpin rakyat
Aceh melawan kolonialisme Belanda.
Rumah panggung bercat hitam,
memanjang dan menghadap ke utara. Tinggi tiang-tiang penyangga mencapai
dua meter. Atap terbuat dari daun nipah kering. Lantai dan dinding dari
kayu ulin atau kayu besi. Pokok-pokok nangka jadi tiang penyangga.
Usianya sekitar 200 tahun. Pada 1896, rumah ini dibakar Belanda dan pada
1981 direnovasi pemerintah Indonesia.
Ruang dalam cukup luas. Di
serambi muka, pengunjung dapat melihat potret-potret bersejarah ketika
pasukan marsose atau tentara Belanda menyerbu kampung dan gagal
menangkap Teungku Umar. Potret pasukan Teungku Umar yang merusakkan rel
kereta api milik Belanda juga dipajang di dinding. Potret terakhir di
dinding kanan adalah potret Cut Nyak Dhien. Rahangnya kukuh. Garis
wajahnya tegas.
Potret-potret itu merupakan reproduksi dari dokumentasi asli yang disimpan di Leiden, Belanda.
Antara
serambi muka dan belakang terdapat dua kamar dayang-dayang. Kamar Cut
Nyak Dhien berada di sebelah timur, diapit ruang tamu utama dan ruang
rapat. Lapisan kain kelabu di ranjang Cut Nyak Dhien sebagian masih
asli.
Ruang makan bersebelahan dengan kamar pembantu. Di
sekeliling ruang makan terdapat lemari kaca yang menyimpan
senjata-senjata tajam, seperti pedang, tombak, maupun rencong.
Senjata-senjata ini ditemukan dalam tanah, tepat di bawah rumah, ketika
renovasi berlangsung.
Ketika tsunami datang, rumah Cut Nyak Dhien
jadi tempat berlindung sekitar 800 warga, orang dewasa dan anak-anak.
Air tak sampai membenam lantai. “Sedikit lagi air masuk. Batas air cuma
beberapa senti di bawah lantai,” kisah Ibrahim Yusuf pada saya.
Konstruksi bangunan cukup kokoh. Tak ada kayu yang patah atau retak.
“Hanya
atap saja yang dirapikan dan ditambah yang baru, karena waktu tsunami
ada yang naik sampai ke atas sana dan asap jadi bergeser,” katanya,
lagi.
Namun, gedung pustaka yang berada di sebelah barat rumah
ini rusak berat. Ratusan buku sejarah Cut Nyak Dhien, Teungku Umar,
Panglima Polem, Teungku Chik Di Tiro, dan pejuang-pejuang kerajaan Aceh
hanyut dibawa air. Kini bangunan tersebut kosong-melompong.
Ibrahim
dan Mariani bekerja keras membersihkan sampah dan lumpur bekas tsunami
di sekeliling rumah. Keduanya sama-sama keturunan penjaga rumah. Mereka
tinggal bertetangga. Ibrahim bersama istri dan seorang anak, sedangkan
Mariani sudah hampir lima tahun menjanda.
Sayang sekali,
perjuangan Ibrahim dan Mariani menjadi penjaga, pengelola sekaligus
pemandu bagi pengunjung yang datang tak sebanding dengan honor maupun
perhatian pemerintah untuk mereka.
Ketika diangkat jadi penjaga
rumah pada 1991, mereka diupah Rp 15 ribu. Kini, setelah 15 tahun
merawat rumah pasangan pahlawan kebanggaan bangsa Aceh, upah mereka
hanya naik sepuluh kali lipat. Ya, tiap bulan mereka hanya mendapatkan
Rp 150 ribu. Itu pun tersendat-sendat.
“Sudah empat bulan honor
kami belum dibayar. Saya sudah bolak-balik menanyakan, tapi jawabannya
selalu masih menunggu dana dari pusat,” ungkap Ibrahim.
“Sebenarnya
sangat tidak cukup, walau untuk kebutuhan sendiri. Apalagi setelah
tsunami barang-barang di sini sudah mahal. Tapi, mau tidak mau harus
dicukupkan,” Mariani menimpali.
Mereka berdua tak jarang harus
menanggung beban biaya listrik. Menurut Ibrahim, tiap bulan rekening
listrik untuk penerangan rumah dan taman nyaris menyamai upah gabungan
dia dan Mariani, “Antara Rp 200 ribu sampai 250 ribu.”
“Dananya kami kumpulkan dari sumbangan tamu-tamu yang datang. Itu pun kami tidak meminta,” ujar Ibrahim.
Penulis & Sumber : Samiaji Bintang adalah kontributor Aceh Feature 14 Juni 2006 di Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar