BANGUNAN
bersejarah di Aceh dan Sumatera Utara berada di bawah Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) yang berkantor di Jalan Teuku Umar, di
pusat kota Banda Aceh. Di kompleks kantor itu juga terdapat peninggalan
bersejarah.
Taman
Sari Gunongan atau Taman Gairah namanya. Taman ini dibangun pada masa
Sultan Iskandar Muda (1607-1636) berkuasa. Bangunan berbentuk replika
gunung di tengah taman konon terbuat dari putih telur. Sultan
mempersembahkan seisi taman tersebut untuk permaisurinya yang berasal
dari Pahang.
Di
situ saya menemui Muhammad Yahya yang juga salah seorang juru kunci dan
pemandu situs Taman Sari Gunongan atau Taman Gairah. Tapi lagi-lagi,
nasib Yahya tak berbeda jauh dengan juru kunci di bangunan bersejarah
lainnya. Honor ekstra minim.
“Kalau saya masih muda, mana mau
saya kerja di sini,” ujar Yahya pada saya. Usianya sudah lebih dari 60
tahun. Rambut keperakan. Dia pensiunan tentara. Pangkat terakhirnya
sersan kepala. “Tapi karena tak ada pekerjaan lain, ya terpaksa
dijalani.”
Insa Anshari, kepala BP3, tak bisa berbuat banyak.
“Dana kita memang minim.” Insa berterus terang.
Menurut
dia, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tiap tahun hanya memberi
anggaran Rp 130 juta kepada kantornya. Pengeluaran terbesar digunakan
untuk membayar honor para juru kunci situs yang berada di Aceh dan
Sumatera Utara. Total jumlah mereka 168 orang. Sedangkan jumlah anak
buah Insa sebanyak 29 orang.
Jika dihitung, dalam setahun total
pengeluaran untuk honor para juru kunci mencapai Rp 300 juta! Itu belum
termasuk dana rekonstruksi dan rehabilitasi situs-situs bersejarah yang
rusak akibat gempa dan tsunami.
Lantas apa upaya Insa menutupi sisa kebutuhan anggaran?
“Kita
sudah minta ke pusat, tapi sepertinya wakil rakyat di Jakarta kurang
memahami apa arti sejarah. Untuk rekonstruksi kita sudah minta bantuan
BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias), tapi belum ada
respon. Kita menyadari, mungkin sementara ini prioritas rekonstruksi dan
rehabilitasi lebih kepada penduduk yang jadi korban tsunami. Saya dan
beberapa pegawai di sini juga menjadi korban tsunami, tapi belum dapat
bantuan perbaikan rumah.”
RUPANYA nasib juru kunci dengan
situs sejarah yang mereka rawat setali tiga uang: kerap dilupakan. Saya
teringat ucapan salah seorang tokoh dalam karya Karl May yang berjudul
Dan Damai di Bumi. May pernah mengunjungi Pelabuhan Ulee Lheue dan
Kutaraja di akhir abad ke-19. “Mereka yang tidak menghargai masa lalu,
juga tidak berharga untuk masa depan,” kata penulis serial Old
Shatterhand ini.
Tapi Machmud, penjaga makan Syiah Kuala, tidak
akan melupakan sejarah yang pernah membuat Aceh berjaya. Dia tak gentar
jika bencana kembali berulang, apalagi sekedar minimnya dana. Dia
berupaya menjaga, memelihara serta merawat warisan yang dipercayakan
padanya.
“Kita berupaya sejauh kita bisa,” tegas Machmud.
Penulis & Sumber : Samiaji Bintang adalah kontributor Aceh Feature 14 Juni 2006 di Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar