On
07:43
Di samping Sayid Maulana Ali Al-Muktabar yang datang ke Perlak dan Arab, terdapat juga orang Arab dan Bani Hasyim dan keturunan Rasulullah lainnya yang datang ke Aceh dan wilayah nusantara lainnya dalam rangka melakukan perdagangan sekaligus menyiarkan agama Islam dan mereka kemudian berbaur dan menikah dengan penduduk setempat terutama dengan keluarga Meurah seperti Syarifah Azizah yang menikah dengan Sultan Perlak ke-115.
Sepenti diketahul dalam sejarah Islam, setelah masa Khalifaturrasyidin berakhir yang diperintah berturut—turut oleh sahabat Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali, secara politik muncullah dua dinasti besar yakni Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Berangkat dan perbedan politik ini, pada waktu yang sama, muncul pula banyak aliran pemahaman dan pengamalan Islam seperti aliran Sunni, Syi’ah dan Khawarij dan lain sebagainnya.
Dinasti Umayyah dan Abbasiyah sangat menentang aliran Syi’ah yang dipimpin oleh keturunan Ali bin Abu Thalib yang juga menantu Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tidak mengherankan aliran Syi’ah pada era dua dinasti ini tidak mendapatkan tempat yang aman. Karena jumlahnya minoritas, banyak penganut Syi’ah terpaksa harus menyingkir dan wilayah yang dikuasai oleh dua dinasti tersebut.
Pada masa Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (167-219 H / 813-833M), salah satu keturunan Ali bin Abi Thalib di Mekkah yang bernama Muhammad bin Jakfar al-Shadiq menentang pemerintahan yang dikuasai oleh Khalifah Makmun yang berpusat di Baghdad. Muhamad bin Jakfar al-Shadiq adalah Imam Syi’ah ke-6 yang juga masih keturunan Rasulullah SAW. Adapun silsilahnya sampaI ke Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:
‘Muhammad bin Jakfar al-Shadiq bin Muhammad al Baqir- bin Ali Muhammad Zain al-Abidin bin Sayidina Husain al-Syahid bin Fatimah binti Muhammad Rasulullah SAW”.
Khalifah Makmun akhirnya mengirim pasukan ke Mekkah untuk meredakan pemberontakan kaum Syi’ah. Kaum pemberontak dapat ditumpas namun Muhamad bin Jakfar al-Shadiq dan para penganutnya tidak dibunuh sebaliknya disarankan oleh Khalifah Makmun untuk berhijrah dan menyebarkan Islam ke Hindi, Asia Tenggara dan daerah sekitarnya.
Sebagai tindak lanjut, maka berangkatlah satu kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah yang di kemudian hari dikenal di Aceh dengan Nahkoda Khalifah dengan misi menyebarkan Islam. Salah satu anggota dan Nahkoda Khalifah itu adalah Sayid Ali al- Muktabar bin Muhammad Dibai bin Imam Jakfar al-Shadiq.
Menurut kitab Idharul Haq Fi Mamlakat al-Perlak yang ditulis oleh Syekh Ishak Makarani al-Pasi, pada tahun 173 H (800 M) Bandar Perlak disinggahi oleh satu kapal yang membawa kurang lebih 100 orang da’i yang terdiri dan orang-orang Arab dan suku Quraish. Palestina. Persia, dan India di bawah pimpinan Nahkoda Khalifah sambil berdagang sekaligus berdakwah. Setiap orang mempunyai keterampilan khusus terutama di bidang pertanian, kesehatan. pemerintahan, strategi, dan taktik perang serta keahlian-keahlian lainnya.
Ketika sampai di Perlak, rombongan Nahkoda Khalifah disambut dengan damai oleh penduduk dan penguasa Perlak yang berkuasa saat itu yakni Meurah Syahir Nuwi. Dengan cara dakwah yang sangat menarik, akhirnya Meurah Syahir Nuwi memeluk agama Islam sehingga menjadi raja pertama yang menganut Islam di Perlak.
Disisi lain, sambil berdakwah mereka menularkan keahlian itu kepada penduduk lokal secara perlahan-lahan untuk diterapkan dalam kehidupan mereka. Kegiatan-kegiatan ini rupanya menarik penduduk lokal sehingga dalam waktu yang relatif singkat mereka tertarik masuk Islam dengan suka rela.
Sebagian dan anggota rombongan itu menikah dengan penduduk lokal termasuk Sayid Ali al-Muktabar kemudian menikah dengan adik Syahir Nuwi yang bernama Puteri Tansyir Dewi. Pernikahan Sayid Ali Al-Muktabar ini dianugerahi seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Sayid Maulana Abdul Aziz Syah ini setelah dewasa dinobatkan menjadi Sultan Pertama Kerajaan Islam Perlak bertepatan pada tanggal 1 Muharram 225 H.
Berikut Silsilah Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah yang dikutip dan Silsilah Raja-raja Islam di Aceh dan Hubungannya dengan Raja-raja Islam di Nusantara yang ditulis oleh T. Syahbuddin Razi.
“Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Ali Al Muktabar bin Sayid Muhammad Diba’i bin Imam Ja ‘far Asshadiq bin Imam Muhammad Al Baqir bin Saiyidina Ali Muhammad Zainal Abidin bin Saidina Hussin Assysyahid bin Saidina Ali bin Abi Thalib.Islam menyebar dengan cepat di kawasan Timur Tengah pada zaman khalifaturasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) dan pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah Islam (didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sofyan 661-680 M), Islam mulai disebarkan hingga kawasan Melayu.
Walaupun pada awalnya dimotivasi kegiatan perdagangan terutama lada hitam yang diproduksi oleh kerajaan Melayujambi, para pedagang Arab berusaha mengajak rakyat dan Raja Lokitawarman yang beragama Budha untuk masuk Islam. Atas inisiatif Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) “dakwah Islam mulai menunjukkan keberhasilannya ketika Raja Lokitawarman diganti Raja Srindrawarman yang kemudian memeluk agama Islam.
Sejak peristiwa itu, kawasan Melayu dikenal oleh orang Arab sebagai Sribuza Islam. Dalam catatan I-Tsing, saat itu Melayu dibawah kekuasaan Sriwijaya yang beribu kota di Palembang (Shi Li Fo Shih) dengan Budha sebagai agama resminya. Kerajaan Islam yang dipimpin Raja Srindrawarman tidak dibiarkan lama berkuasa oleh Sriwijaya. Dengan bantuan Kerajaan Tang (Cina) yang merasa perdagangan lada hitamnya terancam oleh pengislaman Jambi, Sriwijaya menundukan Jambi (± 730 M) setelah menawaskan Indrawarman, raja kedua dan terakhir kerajaan Islam Jambi.
Di masa dinasti Abbasiyah, sekitar awal abad ke-9, Islam mulai tersebar di Perlak (Aceh) dibawa para ulama Syi’ah yang dipimpmn oleh Nahkoda Khalifah. Mereka merapat di pelabuhan Perlak, Aceh sekitar tahun 820 M sebagai akibat dan kekalahan golongan Syi’ah oleh dinasti Abbasiyah. Dinasi Abbasiyah yang pada saat itu dipimpin Khalifah Al-Makmun (813-833) meredam pemberontakan kaum Syi’ah Alawiyah yang dipimpim Muhammad bin Ja’far As-Sadiq di Mekkah. Walaupun menang, Khalifah Al-Makmun melepas dan bahkan menganjurkan mereka untuk berdakwah ke luar kawasan Arab dan satu di antara rombongan kaum Syi’ah itu adalah rombongan Nahkoda Khalifah.
Pemerintahan Perlak sendiri pada saat itu masih berupa pelabuhan yang dikelilingi pemukiman dan dibawah kontrol penguasa Syahr Nuwi keturunan Persia dan Cina. Salah seorang di antara anggota Nahkoda Khalifah adalah Ali bin Muhammad bin Ja’far As-Sadiq yang menikah dengan adik/anak Meurah Syahr Nuwi yang bernama Puteri Makhdum Tansyuri (Tansyir Dewi).
Dari darah Puteri Makhdum Tansyuri (Tansyir Dewi) inilah lahir anak cucu yang dikemudian hari menjadi pejuang dan penyebar Islam ke berbagai wilayah di nusantara.
Perkawinan Puteri Makhdum Tansyuri dan keturunan Rasulullah SAW, Ali bin Muhammad bin Ja’far As-Sadiq dikarunia seorang putera yang diberi nama Sayid Abdul Aziz, yang setelah dewasa diangkat menjadi Sultan Perlak Pertama pada tahun 840 M dengan gelar Sultan Sayid Maulana Abdul Aziz Syah sekaligus sebagai momen berdirinya kerjaaan Islam pertama di nusantara.
Para penguasa yang beraliran Syi’ah mulai dan sultan pertama sampai sultan kelima (terakhir) kemudian dikenal sebagai Dinasti Aziziyah dan berakhir setelah diganti oleh para sultan dan Dinasti Makhdum yang beraliran Ahlu Sunnah Waljamaah.
Dalam usaha regenerasi syiar Islam, Dinasti Aziziyah mendirikan beberapa zawiyah atau dayah (sekolah dan pondok pesantren) sebagai pusat pengajaran dan pendalaman Islam. Sebagai contoh, Sultan Sayid Maulana Abdul Rahim Syah mendirikan Dayah Bukit Tjek Brek dan Sultan Sayid Maulana Abbas Syah mendirikan Dayah Cot Kala. Dari lembaga-lembaga pendidikan ini, Islam Syi’ah berkembang di Perlak dan daerah sekitarnya.
Dengan berdirinya kerajaan Islam Perlak, semakin banyak orang Arab yang datang untuk berdagang baik dan kalangan Syi’ah maupun Sunni. Mereka tidak hanya berdagang tetapi juga menyebarkan aliran Islam yang mereka yakini. Kalangan Sunni mempengaruhi elite lokal yang juga masih kerabat istana Perlak. Kedua aliran ini terus menyebarkan pengaruhnya hingga sampai pada perebutan kekuasaan dan perlawanan terbuka terjadi pada masa sultan Perlak keempat yakni, Sultan Sayid Maulana Ali Mughayat Syah (915-918 M).
Perebutan kekuasaan akhirnya dimenangkan pihak Sunni sekaligus menandai keruntuhan Dinasti Sayid atau Aziziyah dan lahirnya Dinasti Makhdum. Sultan kelima Perlak sekaligus sultan pertama dan kalangan Sunni adalah Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat (918-922 M).
Untuk menstabilkan Perlak, golongan Syi’ah diangkat menjadi Perdana Menteri. Wakil Syi’ah Maulana Abdullah diangkat menjadi Perdana Menteri oleh sultan Perlak keenam, yakni Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (922-946 M). Sultan Muhammad Amin Syah sendiri adalah seorang ulama besar sekaligus pengasuh pondok pesantren Cot Kala.
Pengangkatan Maulana Abdullah sebagai perdana menteri belum mampu meredam perlawanan kaum Syi’ah sampai akhirnya terjadi perang saudara pada masa sultan ketujuh. yakni Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat (946-973 M). Perang ini berlangsung sampai empat tahun dan baru berakhir setelah dibuat perjanjian damai yang dikenal dengan Perjanjian Alue Meuh pada tanggal 10 Muharram 353 H.
Perjanjian tersebut mengatur pembagian Perlak menjadi dua: Perlak Baroh (berpusat di Bandar Khalifah) dengan wilayah di pesisir pantai diserahkan kepada Dinasti Aziziyah dan Perlak Tunong dengan wilayah di pedalaman diserahkan kepada Dinasti Makhdum. Sejak itu tercapailah perdamaian antara kedua aliran tersebut dan Islam semakin menyebar di Sumatera bagian utara.
Namun Islam Syi’ah tidak berkembang karena Perlak Baroh dihancurkan Sriwijaya dalam suatu serangan tahun 986. Pada saat itu Perlak Baroh dipimpin Sultan Sayid Maulana Mahmud Syah (976-988). Sultan Sayid Maulana Mahmud Syah juga mangkat dalam usaha mempertahankan kerajaannya.
Kerajaan Perlak Tunong yang dikuasai kaum Sunni selamat karena Sriwijaya terpaksa harus menarik mundur pasukkannya dan Perlak sebab mendapat ancaman dan Dharma Bangsa dan Jawa.
Islam Sunni terus berkembang bahkan pada zaman Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (1012-1059 M) menyatukan kedua wilayah Perlak tersebut dalam satu bendera Perlak dan bahkan mengislamkan Raja Lingga, Adi Genali melalui utusannya yang bernama Syekh Sirajuddin.
Sumber: http://www.modusaceh-news.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar