Menjelang akhir tahun 2012 ini, isu yang
masih menjadi pembicaraan khalayak ramai di Aceh adalah persoalan
identitas Aceh. Persoalan ini menjadi sangat penting ketika muncul
berbagai polemik di tengah masyarakat yang berkaitan dengan sejarah,
asal usul dan juga tentu konspirasi yang selama ini menjadi pertanyaan
di benak masyarakat Aceh.
Syahdan, kejayaan Aceh dimulai pada
sekitar Abad 16 di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda Meukuta
Perkasa Alam, yang ketika itu memiliki kekuasaan hingga pesisir barat
Minangkabau hingga ke Perak (Malaysia saat ini). Hubungan dagang yang
ditopang dengan pelabuhan-pelabuhan berkelas internasional saat itu
menjadikan Aceh negeri yang makmur dan sejahtera.
Hubungan internasional
Aceh pertama dibangun dengan kerajaan Inggris dimana Ratu Elizabeth I “the Virgin”
mengirimkan utusannya ke Aceh yaitu Sir James Lancaster untuk menghadap
Sultan Aceh guna meminta izin agar kapal-kapal Kerajaan inggris dapat
berlabuh untuk berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Terbukanya hubungan
internasional pertama Aceh inilah yang menjadikan Aceh mulai terkenal
sebagai salah satu pelabuhan terbaik pada masa itu hingga mulai
berdatangan tamu-tamu asing lainnya seperti Belanda, Perancis, Turki dan
negara-negara di Eropa lainnya.
Ketika Kesultanan Aceh berdiri saat itu,
masyarakat Aceh telah lama hidup berdampingan dalam damai dengan 13
suku-suku yang ada di Aceh, seperti Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Pak Pak, Haloban, Lekon dan Nias. Pemimpin
Aceh menjadikan keberagaman suku -suku di Aceh sebagai kekuatan dan
warna-warna yang menjadi daya tarik Aceh kala itu.
Namun sayang,
perjalanan kejayaan Aceh terputus sepeninggal Sultan Islandar Muda
diikuti dengan kedatangan Belanda pada tahun 1873 yang membangkitkan
perlawanan rakyat. Rakyat Aceh tetap tegar kala itu meskipun Sultan M
Dawud terpaksa menyerah kepada Belanda karena anak dan istrinya telah
ditangkap terlebih dahulu. Perlawanan terus berlanjut hingga akhirnya
kolonialisme Belanda berhasil diusir dari Republik.
Perjalanan singkat sejarah Aceh di atas
menggambarkan betapa tegarnya masyarakat Aceh yang memiliki keterikatan
sejarah dan asal usul yang sama yaitu sebagai “orang Aceh”.
Semuanya berjuang dan berusaha mewujudkan damai dalam keberagaman.
Tidak satupun catatan sejarah yang menyebutkan adanya gesekan antar
suku-suku di Aceh, karena semuanya berfikir dan berbuat untuk kebaikan
bersama.
Hal ini berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi saat
ini. Identitas Aceh masa lalu “dijungkirbalikkan” dengan isu-isu yang
bertujuan polarisasi kekuatan pada kelompok mayoritas. Sejarah pun
diputus hingga “seolah-olah” Aceh baru mulai ada sejak adanya Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) kreasi Hasan Tiro. Penandatanganan MoU Helsinki
seolah menjadi “kemenangan” kelompok mayoritas terhadap
kelompok-kelompok minoritas dengan “mendisain ulang” sejarah Aceh yang
dimulai sejak tahun 1976.
Pengaburan Sejarah Aceh ini terus
terjadi hingga identitas Aceh yang dimulai sejak abad ke-16 secara
pelahan mulai dilupakan. Perjuangan sejak Sultan Iskandar Muda hingga
Cut Nyak Dhien tidak lagi dikenal masyarakat, namun hanyalah perjuangan
Hasan Tiro dengan GAM-nya. Semuanya sedang dan tengah terjadi di Aceh.
DPRA
mengesahkan qanun Wali Nanggroe yang terlampau diskriminatif dengan
syarat harus dapat berbahasa Aceh. Artinya tidak seorangpun dari
suku-suku Aceh yang tidak berbahasa Aceh dapat menjadi Wali Nanggroe.
Sebaliknya, Wali Nanggroe yang merupakan wali di negeri syariah ini
tidak memiliki kewajiban untuk dapat membaca Alquran.
Lebih jauh, pemilihan bendera dan
lambang Aceh yang digagas DPRA sama sekali tidak mencerminkan
keberagaman suku dan semangan perdamaian serta mencerminkan cita-cita
perjuangan Aceh yang hakiki yaitu hidup berdampaingan dalam damai dan
sejahtera. Semua lambang dan identitas dipalsukan dengan lambang dan
bendera yang merupakan simbol-simbol perjuangan GAM.
Sampai disini, dimana sejarah Aceh? apa tujuan dan makna dari upaya yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat Aceh itu?
Merangkai Kembali Identitas Aceh
Keadaan ini tentu sangat jauh dari
gambaran harapan damai semua masyarakat Aceh. Identitas suatu bangsa
hendaknya merupakan kesepakatan dan komitmen bersama seluruh warganya
yang tetap berpedoman pada sejarah dan asal usulnya. Sejarah perjalanan
Aceh yang panjang perlu menjadi tonggak kebangkitan dan sekaligus pemicu
semangat untuk kembali mencapai masa-masa gemilang dalam sejarahnya.
Semangat dan keinginan bersama untuk tetap berada pada satu wilayah,
perlu keyakinan dan kepercayaan. Keyakinan dan kepercayaan kepada
identitas keacehan yang pernah dimiliki oleh rakyat Aceh di masa lampau
yang selalu berfikir dan berbuat untuk kebaikan bersama, bukan hanya
kebaikan kelompok mayoritas. (Atjehgroup)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar