Minggu, 30 Desember 2012 13:10 WIB
YAS
ACEH tampaknya pernah mengalami satu masa ketika pernikahan dini merupakan hal yang lumrah, bahkan menjadi keharusan. Setidaknya, begitulah yang digambarkan Denys Lombard dalam penelitiannya yang kemudian dibukukan dengan judul “Kerajaan Aceh Zaman Zultan Iskandar Muda (1607-1636)”.
Perihal pernikahan dini ini dibahas Dennys Lombard dalam sub bab tentang gaya hidup orang Aceh masa kerajaan Sultan Iskandar Muda. Mengenai hal ini, Lombard mengutip buku Bustanus Salatin karya Nuruddin Ar-raniry, ulama dari Gujarat yang menulis buku berdasarkan perintah Sultan Iskandar Thani yang naik tahta setelah Iskandar Muda.
Dalam buku yang terjemahan Melayu berarti Taman Raja-Raja itu disebutkan enam hal yang menjadi kewajiban orang tua terhadap anaknya.
Pertama, memandikan anak waktu lahir dan membisikkan mantera-mantera (kemungkinan yang dimaksud adalah azan) yang cocok di telinganya yang kanan lalu di telinganya yang kiri.
Kedua, sesudah tujuh hari, mencukur kepala anak dan mengadakan kenduri.
Ketiga, apabila anak mencapai umur enam tahun ia harus dikhitan dan diberi nama.
Keempat, apabila umurnya tujuh tahun, ia harus pindah kamar dan diajarkan bersembahyang.
Kelima, apabila umurnya tiga belas tahun, ia harus dibiasakan beribadah.
Keenam, apabila umurnya enam belas atau tujuh belas tahun, ia harus diberi istri. Sementara itu seyogyanya dicarikan guru-guru yang pandai mengajarkan tata karma dan taktik perang.
Sayangnya, tidak ada keterangan lebih rinci apa alasannya orang Aceh zaman itu menikahkan anak di usia 16-17 tahun. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar