Di pertengahan bulan November, kisah-kisah kepahlawanan menyeruak di banyak tempat. Cerita-cerita ikhwal perjuangan pun terdengar di berbagai sudut negeri. Di penghujung November seperti saat ini, kisah-kisah tersebut tanpa terasa menghilang secara perlahan. Seolah tenggelam dalam ingatan semua orang dan akhirnya hanya berakhir sebagai peringatan seremonial tahunan. Begitulah.
Meski tanggal 10 November sudah berlalu, namun “aura” perjuangan itu tampaknya tak bisa hilang begitu saja. Setidaknya itulah yang selalu dirasakan oleh Atjeh Neuksom, putri bungsu dari Teuku Budjang Salim, salah seorang pahlawan asal Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara.
Melalui Atjeh Neuksom, saya mencoba menggali informasi seputar sejarah Teuku Budjang Salim. Sosok perempuan yang ramah dan bersahaja itu antusias menceritakan sejarah seputar sang ayah tercinta. Sore itu, 15 November 2013, sambil ia duduk di kursi goyang di depan teras rumahnya yang bercat orange muda, dengan santai ia berbagi cerita.
Konon di salah satu Kecamatan di Kabupaten Aceh Utara, tepatnya di Kecamatan Dewantara, lahir seorang putra yang diberi nama Teuku Budjang. Buah cinta dari pasangan Teuku Rieh Mahmud dan Cut Baren ini lahir pada tahun 1891 di desa Meunasah Rayeuk, Nisam. Sang Ayah yang merupakan seorang keturunan Ulee Balangcukup terkenal kala itu.
Kemasyhuran sang ayah diketahui oleh Belanda. Budjang sendiri bahkan sempat di sekolahkan oleh kolonial Belanda di Kweekschool (setingkat SMA) dan Sekolah pemerintahan (hari ini sederajat IPDN). Ketika ia dewasa, Teuku Budjang menikah dengan seorang perempuan asal Desa Tambon Tunong. Tak lama setelah itu, dari pernikahan pertamanya ini ia dikaruniai seorang anak bernama Cut Babuyung.
Teuku Budjang berdakwah ke banyak tempat. Dengan bekal ilmu agama yang diajarkan oleh orang tuanya, ia mengajak masyarakat untuk menerapkan nilai—nilai ajaran agama islam dalam kehidupan sehari-harinya. Pada masa itu, pergolakan memang sedang terjadi dimana-mana. Belanda sangat menguasai dan menduduki banyak wilayah.
Tak perlu waktu yang lama, dakwah sembunyi-sembunyi yang disebarkan oleh Teuku Budjang pun terdengar hingga ke telinga para kompeni Belanda. Budjang akhirnya dibuang oleh Belanda ke berbagai daerah di Nusantara seperti ke Purwokerto, Jogja, Semarang, Padang, Medan, Jakarta, hingga Merauke.
Ketika di Padang, Budjang banyak menuntut ilmu agama kepada Syekh Jambek. Sementara ketika di Meurauke, ia bertemu dan dijodohkan dengan wanita asal Betawi yang bernama Jawiyah. Di Merauke lah, untuk kedua kalinya Budjang menikah. Dari pernikahannya dengan Jawiyah, Budjang dikaruniai 7 orang anak.
Selama di Meurauke, Budjang masih terus menyiarkan ajaran-ajaran islam. Ia mendirikan balai-balai pengajian. Mengetahui pergerakan Budjang yang semakin gencar, kolonial Belanda panik dan takut jikalau Budjang akan semakin memiliki banyak pengikut. Tak lama setelah itu, Budjang pun diasingkan oleh Belanda ke Boven Digul, Papua, yakni salah satu tempat pengasingan yang cukup terkenal, terutama karena dijadikan pengasingan sejumlah tokoh nasional, seperti Muhammad Hatta.
Meski terus diintimidasi Belanda, tetapi semangat Budjang berdakwah tidak surut. Ia tidak mau tunduk begitu saja pada Belanda. Ia tetap menyiarkan dakwahnya. Setelah di Boven Digul, Budjang berpindah ke Australia. Selama di perantauan, Budjang terus dikaruniai beberapa orang buah hati. Mereka adalah Budjang Jaya, Djangjakedi, Djang Jahyadi, Babudjangja, Gulyiang Kedi, dan Mackaustrali. Gulyiang Kedi adalah anaknya yang dilahirkan sewaktu ia berada di Boven Digul. Sedangkan Makaustrali adalah anaknya yang lahir di kota Mackay, Australia. Itu sebabnya sengaja diberi nama Makaustrali.
Nama keluarga besar Budjang Salim memang unik. Ada yang mengambil nama –nama benda, dan ada yang mengambil nama pristiwa-pristiwa tertentu. Di antara nama-nama itu seperti Mapilindo (Pristiwa Malaya Philipina Indonesia), Koko Chili, (Cabai, Kelapa), Homo cosmic (Suka baca komik), Antabeta (saya dan kamu). Menurut Atjeh Neksom, gelar Cut atau Teuku sengaja tidak disematkan untuk menghindari terjadinya perbedaan-perbedaan kelas dalam masyarakat.
Setelah beberapa tahun kemerdekaan tepatnya tahun 1952, Budjang memutuskan pulang kembali ke Aceh. Ia pun membangun kota Krueng Geukuh. Tak lama setelah kepulangannya, ia langsung ditunjuk oleh warga Nisam untuk memimpin Krueng Geukuh. Saat itu ia menjabat sebagai Camat. Kota Krueng Geukuh sendiri sengaja dibuat di pinggir laut dengan alasan supaya memudahkan transportasi, sehingga roda perekonomian masyarakat menjadi mudah berkembang.
Di tahun tersebut, 1952, lahirlah Atjeh Neuksom. Beliau adalah satu-satunya putri Budjang Salim yang dilahirkan di Aceh. Itu sebabnya namanya sendiri, Atjeh Neksom, memiliki arti “Nanggroe Atjeh Daerah Nisam.”
Pada tahun 1923, sebuah mesjid yang diberi nama dengan mesjid Budjang Salim berdiri di kota Krueng Geukuh. Kata “Salim” itu sendiri merupakan pemberian dari masyarakat Dewantara. Salim berarti “selamat”. Pemberian nama tersebut merupakan wujud syukur masyarakat Nisam karena Budjang telah selamat pulang ke Aceh setelah perjuangan panjangnya menyebarkan dakwah di berbagai pelosok di Indonesia. Ada pula yang memanggilnya dengan Budjang Selamat.
Budjang sangat dicintai oleh orang-orang Nisam. Sosoknya yang dermawan, religius, disiplin, teratur, suka menyantuni anak yatim dan peduli terhadap pendidikan khususnya pendidikan agama membuatnya dielu-elukan oleh seantero masyarakat Nisam dan Krueng Geukuh. Namanya juga cukup tenar di Kabupaten Aceh Utara.
Selain mendirikan Mesjid, Budjang juga membangun pasar, kantor, jalan raya,hingga stasiun. Namanya memang tidak terlalu familiar di Aceh. Tetapi pengaruh Budjang Salim cukup besar, dan ia sangat ditakuti oleh Belanda. Bahkan saat ini, menurut penuturan Atjeh Neuksom, konon foto Budjang Salim dipajangkan di salah satu Meuseum di Belanda.
Setelah berkelana ke banyak pelosok nusantara, dan pulang ke Aceh untuk membangun Kota Krueng Geukuh, di tahun 1961 Budjang Salim pun menghadap yang maha kuasa. Kepergian Budjang Salim mendatangkan kesedihan mendalam bagi masyarakat. Itu sebabnya ia begitu dikenang oleh masyarakat. Dulu sekitar tahun 1970-an hingga 80-an, bila tiba hari 17 agustus sejumlah orang selalu datang beramai-ramai berziarah ke makamnya. Memperingati 17 Agustus, keluarga Budjang juga selalu mendapat undangan khusus untuk menghadiri upacara17-an.
Pada masa itu Pemerintah Kabupaten juga rutin memberikan penghargaan dan bantuan bagi keluarga Budjang. Sesekali juga diadakan acara temu ramah antara keluarga pahlawan dengan Bupati. Namun saat ini, itu semua sudah tidak ada lagi. Budjang Salim kian terlupakan oleh zaman. Di hari 10 november pun bahkan makam Budjang Salim terlihat sepi tanpa penziarah.
“Orang sekarang tidak mengerti lagi tentang pentingnya menghargai jasa pahlawan. Mereka sudah tidak tahu-menahu tentang sejarah.” Ungkap Atjeh Neksom dengan nada kecewa.
Atjeh selalu berharap makam ayahnya ada pengunjung. Ia juga berharap agar makam ayahnya tidak hanya menjadi milik keluarga besar Budjang salim semata,atau milik orang Krueng Geukuh saja, tetapi juga milik Aceh Utara, dan Aceh pada umumnya.
“Setidaknya, anak-anak SD sekarang dibawa kemari oleh guru-gurunya. Supaya mereka tidak buta sejarah dan mau menghargai jasa-jasa pahlawan. Saya hanya bisa berharap semoga saja makam ini akan ada terus orang yang menjaga dan merawatnya, meski nanti saya sudah tak ada.” Ujarnya.
Demikian pesan Atjeh Neuksom. Ia memandang bahwa di luar sana ada banyak pahlawan “tanpa sepuluh November” lainnya yang namanya tidak begitu terdengar. Mereka bisa saja ulama, atau veteran. Mereka memang tidak tercatat sebagai pahlawan, namun apa yang telah diperjuangkan layak diberikan penghargaan.
Langit petang mulai menghitam. Suara Azan magrib yang berasal dari mesjid Budjang Salim terdengar jelas. Sambil bangun dari duduknya, perempuan berkacamata itu pamit masuk ke dalam rumah nya. Dia menggambil mukenanya dan bergegas menuju mesjid untuk melaksanakan shalat magrib. Suara Azan magrib dari mesjid Budjang Salim itupun semakin merdu. Semakin syahdu, memecah kebisingan Kota Krueng Geukuh. []