Membaca surat ini sepintas lalu, maka kesan yang pertama sekali terbetik dalam benak: surat ini berisi keluhan. Apalagi di dalamnya, secara jelas, penulis surat menyatakan ia mengadukan perihal kesulitan dan kepedihan yang sedang dialami oleh diri dan bangsanya. Boleh jadi, karena itu, ada orang yang akan menganggap penulisnya adalah seorang yang berkepribadian lemah, tidak tegar, bukan pahlawan dan berbagai prasangka lain semisalnya. Namun apakah orang yang membuat penilaian demikian telah benar-benar membaca surat ini dan memahaminya? Saya menyangsikan hal itu, malah yakin ia belum benar-benar membacanya.
Sejatinya, penulis surat adalah seorang yang sangat tegar, kuat dan pahlawan dalam makna yang sesungguhnya. Bahkan lebih dari itu, ia adalah seorang yang amat setia. Setia kepada Agamanya, kepada umatnya, dan kepada rakyat bangsanya. Suatu sikap yang terus ia buktikan sampai nafas terakhirnya ia hembuskan di pembuangan. Dan tentu saja perayaan 17 Agustus akan melewatkan orang-orang semisal penulis surat ini, di samping saya yakin dia juga tidak pernah berharap dirinya dikenang dalam perayaan semacam itu. Batu pijakannya lain, arah haluannya lain, dan cita-citanya juga lain.
Bergunung kekecewaan dan ketidakberuntungan menindih perjalanan hidupnya namun harus diakui ia adalah seorang yang tegar, kuat dan setia. Lain dari itu tentang dirinya, saya tidak percaya. Sungguh tidak mudah bagi seseorang bertahan untuk melalui tahun-tahun kepedihan seperti yang ia lalui; saat tanah negerinya direbut oleh musuh Allah, saat bangsa-bangsa Islam kemudian harus kehilangan Amirul Mu'minin dan khilafahnya, dan saat ia melihat rakyatnya berangsur berpaling untuk mengikuti langkah musuhnya. Ia harus menahan perih fisik dalam pengasingan, sementara perih batinnya adalah sesuatu yang takkan terkira.
Dalam surat ini, Paduka Sri Sultan Muhammad Dawud Syah melaporkan dan mengadukan perihal yang dialami oleh diri dan bangsanya kepada Khalifatul Muslimin dan Amirul Mu'minin.
Selain kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada siapakah lain yang layak ia lapor dan adukan halnya? Kepada Belanda seperti para raja negeri-negeri lain yang tunduk kepada Pemerintah Hindia-Belanda? Tentu tidak, dan tak pernah akan. Baginya, Belanda adalah kafir mal'un 'aduwullah (kafir terkutuk, musuh Allah).
Atau ia akan memilih berlayar dengan angin nasionalisme yang sudah mulai berhembus sejak penghujung abad ke-18 dan menguat di abad ke-19? Tentu, tidak. Ia sama sekali bukan pengagum Mustafa Kamal Ataturk (1881-1938), dan tidak pernah sepertinya! Malah, saya yakin sampai dengan wafatnya pada 6 Februari 1939, ia masih memimpikan kebangkitan Islam dan umatnya sebagaimana mimpi Sultan Abdul Hamid II (1842-1918) ke mana surat ini ditujukan pada tanggal 25 Muharram 1315 (26 Juni 1897).
Dengan demikian, bukankah ia seorang yang teguh dalam pendiriannya, seorang yang memiliki kepribadian kuat, dan lebih dari itu ia adalah orang yang setia kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada umat dan rakyatnya. Ia tetap berdiri dan melangkah di garis para leluhurnya, para sultan yang besar, dan tidak pernah menyimpang. Jika kemudian kita sering mendengar tentang cerita penyerahan diri Sultan Muhammad Dawud Syah, saya malah jadi bertanya-tanya kenapa hanya peristiwa ini yang sering diceritakan sementara perjalanannya yang panjang dalam tahun-tahun kepedihan justru seolah tersaput kabut.
Lagi pula, setelah "penyerahan dirinya", ia tidak memerintah di bawah Belanda tapi justru dibuang ke Betawi, pusat pemerintahan kolonial. T. Ibrahim Alfian telah menuturkan sebab pembuangannya ke Betawi yang menjadi tanda dan bukti ia tidak pernah melepaskan kesetiaan kepada apa yang telah dijadikannya sebagai prinsip dalam hidupnya.
Hari ini, kita masih berkesempatan untuk menyimak kembali penuturan Paduka Sri Sultan Muhammad Dawud tentang tahun-tahun kepedihan yang beliau lalui, tentang penyebab langsung perang Aceh-Belanda (panjangnya dapat dibaca dalam beberapa kepustakaan yang telah tersedia), tentang asal muasal kesetiaan Sultan Aceh kepada Khalifah Muslimin di Istambul dan hubungan di antara keduanya, tentang kebiadaban dan kekejian Belanda yang sampai pada tingkat menangkap, merampas dan membunuh nelayan yang pergi mencari ikan di laut.
Dan pada saat beliau mengisahkan tentang bagaimana peluru yang ditembakkan dengan mesin menghujani beliau dan rakyat Aceh, saat beliau menuturkan itu, saya jadi seperti benar-benar menyaksikannya. Semoga rahmat Allah senantiasa terlimpahkan kepada beliau, Sultan dalam tahun-tahun kepedihan.
Berikut ini adalah surat Paduka Sri Sultan Muhammad Dawud Syah ditulis dalam Bahasa Jawi disertai cap mohor beliau:
Bahwa ini waraqah Al-Ikhlas yang dipesertakan di dalamnya dengan beberapa2 hormat dan selamat yaitu daripada hamba yang hina Sri Paduka Yang Dipertuan Raja 'Alauddin Muhammad Dawud Syah Ibnu As-Sultan Al-Marhum 'Alauddin Manshur Syah dan Sri Paduka Bangta Muda bersemayam di atas singgahsana tahta kerajaan Negeri Aceh Darussalam, yaitu Pulau Sumatera, barangdisampaikan Allah Tuhan seru sekalian alam datangkan mendapat kehadapan majlis hadrat Sri Paduka Yang Mulia Maulana Al-Khaqan Al-A'zham Al-Mu'azhzham Khadimul Haramain Asy-Syarifain Khalifatul Muslimin Amirul Mu'minin (Tuan kami Khaqan yang agung lagi dipertuan agung pelayan dua Tanah Haram yang mulia, khalifah Muslimin, Amirul Mu'mini--MZ.) Maulana Al-Mu'azhham Sultan Al-Ghaziy 'Abdul Hamid Khan Ibnu Al-Marhum Maulana Sultan Abdul Majid Khan yang ada sekarang di dalam Negeri Istambul yang memerintah Agama Allah dan Syari'at Muhammad bin 'Abdullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam--Sallamahullah fid darain (semoga Allah menyelamatkanya di dunia dan akhirat).
Wa Ba'dahu, daripada itu maka hamba merafa'kan (mengangkat/mengirim--MZ) secarik kertas ke hadapan Hadarat ke bawa cerpu (sandal kulit yang bentuknya seperti terompah--MZ) Sri Paduka Tuan hamba karana harap hamba bahwa akan tilik dan pandang dan kenangan Hadarat Sri Paduka hamba yang mahamulia di atas hamba satu raja Islam min ahli La Ilaha illal-Llah Muhammad Rasulullah (dari pemeluk La Ilaha illal-Llah Muhammad Rasulullah--MZ) yang dha'if, dan lagi vizir (wazir) hamba yang dha'if2 dan segala orang ra'yat hamba Islam yang ada mereka itu di dalam Negeri Aceh Darussalam yang telah dianiayai oleh kafir mal'un 'aduwullah (kafir terkutuk, musuh Allah--MZ.) Bangsa Belanda dengan tiada kesalahannya telah jadi peperangan dan bermusnah2an dengan beberapa2 negeri dan beberapa2 masjid dan segala zawiyah, dan sekalian makam aulia2 habis dibakarnya dan beberapa2 makam yang tinggi habis diratakannya, dan sekalian makam raja2 habis dibinasakannya diratakannya.
Demikianlah diperbinasakan di atas Agama Islam hingga sampai kepada tarikh surat ini kepada dua puluh lima tahun (25) lamanya tiada berhenti2 dengan perang. Tambah lagi sekarang ini diperanginya kita dengan peluru hujan tiada ada di dalam hadat (adat/kebiasaan) sekali kali.
Dengan sebab hal ini hamba merafa'kan sembah ke hadapan Hadarat Sri Paduka Tuan hamba yang maha mulia daripada asalnya yang telah jadi demikian ini sebab seorang Hindu yang sudah masuk Islam namanya Panglima Tibang maka mereka itu telah dipercaya oleh ayahanda hamba yang bernama Sultan Mahmud Syah maka Hindu itulah membuat sepucuk surat kepada Hulanda diperbuatnya dengan nama ayahanda hamba itu Sultan Mahmud Syah serta diambil cap dengan tiada diketahui oleh saudara ayahanda hamba Sultan Mahmud Syah maka Hindu itu pun keluarlah dari Aceh pergi ke Negeri Riau mendapatkan wakil Hulanda yang di situ lalu pergi ke Betawi kepada gubernur jendral yang besar daripada Raja Hulanda.
Maka dengan hal itu apabila Gubernur Jenderal mendapatkan surat yang ada dengan cap mohor ayahanda hamba Sultan Mahmud Syah itu percayalah Gubernur Jenderal maka disuruhilah seorang wakilnya serta dengan berapa bacik (nakhoda--MZ.) kapal perang pergi di Aceh maka apabila sampai di Aceh baciklah wakil jenderal itu ke darat berjumpalah ia dengan pegawai yang kecil2. Maka Wakil Jenderal Hulanda pun menyatakan yang Gubernur Jenderal sudah menerima surat daripada Sultan Mahmud Syah. Sekarang ini ia hendak masuk ke Negeri Aceh.
Apabila diterima oleh wazir2 yang di dalam Negeri Aceh terkejutlah dengan hal itu. Bermusyawaratlah wazir2 Aceh yang besar2 itu. Setelah putus musyawaratnya dipinta tunggu tiga tahun kepada Hulanda oleh sebab wazir2 itu tiada berani menerima Hulanda masuk ke Negeri Aceh karana saudara ayahanda hamba Sultan Mahmud Syah umurnya pada masa itu tujuh belas (17) tahun, belum lagi sempurna aqalnya.
Kedua perkara, wazir2 hendak merafa'kan sembah dahulu ke hadarat yang maha mulia Maulana Daulat Al-'Aliyyah Sultan Istambul dari karana pada zaman yaitu Daulat Al-Aliyyah Maulana Sultan Al-Ghaziy Salim Khan, Nenekda hamba pada zaman masa dahulu yang bernama Sultan Iskandar Muda telah mengaku menjadi khadam serta menerima karuniai daripada Daulat Al-'Aliyyah Maulana Sultan AL-Ghaziy Salim Khan satu meriam tembak mirah panjang dua belas (12) hasta, dan nobat (gendang besar--MZ) dan satu (?) seruas (?) nafiri daripada perak, dan empat puluh empat (44) orang yang bersama2 [?] daripada Bangsa Turuki.
Dan lagi kemudian daripada itu pada masa Nenekda hamba yang bernama Sultan Ibrahim Manshur Syah telah menyuruh seorang yang bernama Sayyid Muhammad Ghuts mengadap ke Hadarat Al-'Aliyyah Maulana Sultan Al-Ghazi Abdul Majid Khan. Maka mekaruniakan [pada?] oleh Daulat Al-'Aliyyah Maulana Sultan Al-Ghazi 'Abdul Majid Khan kepada Nenekda hamba itu Sultan Ibrahim Manshur Syah suatu bintang Majidi (bintang kehormatan Sultan 'Abdul Majid Khan--MZ) serta sebilah pedang besarung emas.
Dengan sebab itulah musyawarat wazir2 segala ada dipinta tunggu kepada Hulanda tiga (3) tahun maka permintaan itu tiada dikabulkan, kemudian lagi dipinta tunggu (tangguh) enam bulan tiada juga dikabulkan, kemudian dipinta tunggu (tangguh) tiga bulan tiada juga dikabulnya permintaan itu. Maka peranglah oleh Hulanda Negeri Aceh. Sampai tarikh surat ini, berperang bangsa Islam2 Aceh dengan bangsa kafir mal'un 'aduwullah Hulanda.
Lagi diperbuatnya macam2 di atas hamba yang tiada patut yang di dalam adat aturan di atas sekalian raja2 berperang dengan satu raja, diperbuatnya seperti seorang perempuan telah diikat dipukulnya, di atas hamba, satu raja Islam min Ahli La Ilaha Illal-Llah Muhammad Rasulullah, yang tiada kuasa usahakan diwushul (dicapai) diperiksanya apa2 yang kurang yang tiada cukupnya pekakas itu peperangan, dan sekalian kuala2 jajahan hamba ditutup daripada awalnya dan sekalian saudagar2 yang ulang pergi datang berniaga barang makanan pun tiada boleh, habis ditangkap dibuangnya.
Maka dengan sebab itulah tiada boleh lepas bicara hamba mengadukan untungan hamba yang di dalam aniaya kafir Hulanda kepada Maulana Daulat Al-'Aliyyah Sultan Istambul dan kepada segala raja-raja Islam yang lain.
Dan ini tambahan lagi di dalam ini tahun makin berganda2 keras hukumnya hatta sekalian orang2 miskin mencari ikan di tepi laut pun habis ditangkap rampas dan bunuhnya. Demikianlah diperbuat zhalim di atas hamba, satu raja Islam min Ahli La Ilaha Illal-Llah Muhammad Rasulullah.
Dan bertambah lagi ini tahun dia ujani hamba dan rakyat2 hamba dengan ujan peluru dengan "engine" (mesin) hamba yang tiada kuasa.
Maka sekarang ini berserahlah untung nasib sendiri kepada Allah dan Rasul Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan kepada Maulana Khalifatul Muslimin Amirul Mu'minin Maulana Sultan Al-Ghazi 'Abdul Hamid Khan di Istambul adanya.
Maka hamba haraplah diterima perserahan hamba ini oleh Tuan hamba yang maha mulia supaya terpeliharalah Agama Allah dan Syariat Al-Muhammadiyyah dan untungan hamba dan sekalian Islam min Ahli La Ilaha Illal-Llah Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang di dalam aniaya mal'un 'aduwullah kafir Hulanda ini.
Hendaklah dengan pertolongan Tuan hamba yang maha mulia di atas hamba yang dha'if, satu raja Islam dengan sekalian wazir2 Islam dan sekalian rakya2 Islam yang di dalam Negeri Aceh ini, yang telah haraplah hamba seperti langit dan bumi akan pertolongan Tuan hamba yang maha mulia Khalifatullah fil Ardh Amirul Mu'minin Maulana Sultan Al-Ghaziy 'Abdul Hamid Khan di atas hamba sekalian yang dha'if yang di dalam 'azaban syadidan ("siksa yang pedih") adanya. Wassalam, khitam. Tammatil Kalam bil khairi Ajma'in. Amin Allahumma Amin.
Tersurat di dalam Negeri Aceh Darussalam kepada 25 bulan Muharram kepada sanah 1315 (H). Sumber foto arsip: Koleksi Museum Negeri Aceh, Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar