Published By niadilova under Sejarah
Sejarah mencatat bahwa banyak faktor yang menyebabkan orang Minang pergi merantau. Di zaman kolonial, orang Minang terpaksa meninggalkan kampung halamannan dicinto karena dibuang oleh Belanda. Sedikit di antara mereka yang kembali, dan lebih banyak yang berkubur di rantau pembuangan selamanya. Betul kiranya gambaran sebuah pantun Minang:Bukik Putuih Rimbo Kaluang / Dirandang jaguang diaguihsi / Di kida jalan ka kabalai / Tampak galanggang pacu kudo // Ukun putuih badan tabuang / Dipandang kampuang ditangisi / Sadang bansaik badan marasai / Duya dikisai rang nan kayo (Bukit Putus Rimba Kalong / Direndang Jagung dihangusi / Di kiri jalan menuju pasar / Tampak gelanggang pacu kuda // Hukum putus badan terbuang / Dipandang kampung ditangisi / Sedang miskin badan sengsara / Dunia diaduk orang kaya).
Salah seorang Minangkabau yang dibuang Belanda di akhir abad ke-19 adalah seorang laki-laki dari Tilatang Kamang, bernama Abdullah Pakih Nagari. Tapi, berbeda dengan nasib kebanyakan perantau Minang lainnya, yang pergi merantau memburu tuah kepeang (menjadi pedagang atau pegawai pemerintah), kisah Abdullah Pakih Nagari cukup aneh. Justru karena keanehan itu kita kini dapat mengetahui kisah petualangannya di rantau Aceh. Kisahnya mirip cerita Robinhood saja, tentu dengan karakteristik Minangkabaunya: cerdik dan agak ciluah. Kisahnya dimuat dalam Insulinde no.6 (Sept. 1901: 224-226), berjudul SAORANG ORANG RANTAI DI TANAH ATJEH, JANG TERPANDANG SEPERTI WALI DAN SEPERTI ANAK RADJA (PRINS). Bulanan Insulinde didirikan oleh Dja Endar Moeda, pemimpin redaksi C.H. van Ophuijsen, pertama kalinya terbit di Padang pada bulan April 1901. Kisahnya sebagai berikut:
Pada tahun 1901 seorang panglima perang Aceh bernama Tengku Tapa tewas dalam pertempuran di Kerti [Aceh]. Mayatnya diselimuti dengan bendera bertuliskan huruf Arab, dan diberi pakaian sutra, layaknya seorang hulubalang gagah perkasa yang tewas dalam peperangan.
Kebanyakan orang Aceh percaya bahwa almarhum adalah Sultan Malim Dewa: seorang anak raja yang sangat termasyhur di zaman purbakala karena kegagahberanian dan kesaktiannya, sebagaimana dikisahkan dalam cerita rakyat Aceh. Akan tetapi sesungguhnya Tengku Tapa adalah seorang tahanan Belanda (orang rantai) yang telah bertahun-tahun melarikan diri. Akhirnya ia menjadi terkenal dan mendapat kemuliaan dan dipuja-puji oleh orang Aceh.
Tengku Tapa sebenarnya adalah orang Minangkabau keturunanbiasa, yang hidup sebagai seorang petani; namanya Abdullah Pakih Nagari [ditulis Negeri] yang berasal dari Tilatang dekat Bukittinggi. Pada tahun 1885 ia ditangkap Belanda karena terlibat dalam kerusuhan di kampungnya. Lalu Ia dibuang ke Aceh sebagai orang rantai dengan hukuman 20 tahun. Tapi ia berhasil melarikan diri, kemudian bergabung dengan orang Aceh yang memberontak melawan penjajah Belanda.
Abdullah Pakih adalah seorang Muslim dan pandai membuat azimat bertulisan Arab. Karena itulah ia menjadi terkenal di kalangan orang Aceh dan menjadi terpandang disana sebagai seorang dukun yang pandai. Ia kemudian diangkat menjadi dukun di Istana Keumala. Tidak lama kemudian ia diberi kepercayaan oleh Sultan untuk memungut uang belanja perang dari kepala-kepala negeri di wilayah pantai utara dan timur Aceh.
Tak lama kemudian Abdullah Pakih lenyap dari Istana itu, karena ia bertengkar dengan salah seorang famili Sultan, yang kemudian dibunuhnya. Ia melarikan diri dan bersembunyi di Gayo yang tidak takluk ke bawah perintah Sultan itu. Lalu ia pindah ke Bulu Blang [Buluhblang, di Lhokseumawe] untuk menghindari balas dendam Sultan. Di sana ia bersembunyi dan bertapa. Karena itu ia jadi termasyhur dan dihormati orang banyak. Masyarakat setempat memberinya gelar Tengku Tapa [dari kata bertapa].
Pada masa itu penduduk yang hidup di pedalaman Aceh masih biadab [belum banyak bersentuhan dengan dunia luar]. Para pemimpin merekasering terlibat perang dengan para pemimpin Islam, seperti dari Gayo dan Jalak Kecil. Salah seorang pemimpin Islam itu bernama Tengku Husin, yang sangat benci kepada orang-orang biadab itu. Ia telah sering melucuti kekuasaan pemimpin mereka yang kurang kuat. Lalu ada orang yang mengabarkan kepada mereka bahwa Tengku Tapa dapat menolong mereka melawan Tengku Husin dan pengikutnya. Sejak itulah nama Tengku Tapa menjadi termasyhur, apalagi dalam waktu singkat ia dapat membunuh Tengku Husin yang ditakuti itu.
Di Aceh dikenal suatu hikayat tentang tokoh Malim Dewa yang sangat gagah perkasa dan sakti. Ia diyakini sebagaiseorang anak raja dari Pasai, yang berkuasa sampai ke tanah Jawa dan negeri Cina. Malim Dewa mampu melakukan pekerjaan yang sulit-sulit, di bumi dan di langit. Ia diyakini punya kendaraan seekor naga yang dapat membawanya terbang ke langit, menyelam ke dalam laut dan masuk ke perut ikan besar.
Pada suatu ketika Malim Dewa menghilang dari dunia tanpa diketahui orang kemana perginya. Ada yang percaya bahwa ia masih berada di dunia, tinggal sendirian di hutan di gunung-gunung di Aceh Timur. Orang Aceh percaya bahwa Malim Dewa dapat dilihat apabila ia berkelahi dengan Belanda, dimana ia dengan gagahnya menebas batang leher serdadu Kompeni, dan memberi kemenangan kepada orang Islam. Mereka percaya bahwa Malim Dewa sudah kembali ke dunia untuk menolong mereka melawan Belanda. Maka yang mereka percayai sebagai Malim Dewa adalah Tengku Tapa itu. Tak lama kemudian muncul pula Putri Andam Dewi, istri Malim Dewa, tanpa seorang pun tahu dari mana datangnya.Maka Malim Dewa Putri Andam Dewi duduk dengan segala kebesarannya di istana mereka di Plada.
Pada suatu hari, ketika Malim Dewa sedang duduk di istananya, di hadapan orang banyak, ada seseorang di antara mereka yang menuduhnya sebagai Malim Dewa palsu dan telah mendustai orang banyak. Orang itu pun lalu dipukuli orang banyak sampai mati. Sejak kejadian itu tidak ada orang yang tak percaya kepada Malim Dewa, dan namanya pun makin masyhurlah; yang tak mempercayainya tidak berani mengatakannya di depan umum karena takut dibunuh.
Pada suatu hari seorang kepala kampung dari Simpang Ulim bernama Teuku Makam datang mengunjungi Malim Dewa. Setelah bertemu dengan pangeran itu ia tak dapat menahan tawa,karena ia tahu betul bahwa orang yang mengaku Malim Dewa itu adalah anak raja palsu. Apalagi ketika melihat Putri Andam Dewi, yang tiada lain adalah mantan babunya. Akan tetapi Teuku Makam tidak berani mengatakannya kepada orang banyak.
Dalam waktu singkat, jumlah pengikut Malim Dewa sudah menjadi 10.000 orang. Penduduk Aceh di gunung-gunung di sebelahselatan, utara, dan timur, Gayo, Edi Cut, Edi Besar, Simpang Ulim, Pasai, Perlak, dan Sungai Jalak, semuanya tunduk kepadanya.
Malim Dewa makin masyhur namanya karena pada suatu hari ia menunjukkan kesaktiannya di hadapan orang ramai: mereka berkumpul di sebuah tanah lapang. Malim Dewa mengimami mereka sembahyang. Orang banyak diam seperti tertidur mendengarkan suaranya yang nyaring mengimami mereka. Selesai shalat, maka terdengarlah suara menggema yang mengatakan bahwa imam mereka itu betul-betul Malim Dewa asli. Ia didatangkan kembali oleh Allah S.w.t. ke dunia ini, lengkap dengan segala kesaktiannya seperti dahulu kala, untuk menghancurkan kaum kafir (Belanda) di Aceh.
Mendengar suara itu, orang ramai itupun terperanjat dan heran, karena mereka tidak tahu darimana datangnya suara itu. Mereka percaya bahwa itulah suara Allah untuk memberitahukan kepada massa bahwa memang imam mereka itu adalah Malim Dewa asli.
Akan tetapi bagi orang yang tahu, hal itu tidak mengherankan, karena batang pohon besar itu berlubang, dan di dalamnya ada seseorang bersembunyi, orang suruhan Malim Dewa. Orang itulah yang mengeluarkan suara itu.
Semenjak itu uang pun mendatangi Malim Dewa: waktu ia tetirah empat hari lamanya di Tepian Batu, ia mendapat sedekah sebanyak 10.000 dollar. Malim Dewa memberikan sebagian besar uang itu kepada kepala-kepala kampung untuk membeli senjata guna melawan Kompeni. Banyak juga kepala kampung itu yang melarikan uang itu ke Panama [sebuah daerah di Aceh] dan hidup senang disana.
Waktu Kompeni melakukan ekspedisi di Pedir tahun 1898, Tengku Tapa mencoba menyerang Kompeni, tetapigagal. Sebanyak 10.000 pengikutnya berkumpul dekat Tangsi Edi, siap menyerang pasukan Kompeni. Belanda segera minta bantuan pasukan ke Kutaraja. Juli 1898 sampailah di Edi 2 kompi serdadu Kompeni dari Batalyon 7. Malim Dewa mulai merasa takut; banyak pengikutnya diam-diam pergi meninggalkannya. Namun Tengku Tapa tidak mau mundur karena masih ada lagi ribuan pengikutnya.
Pada 4 Juli 1898 serdadu Kompeni, yang tidak begitu besar jumlahnya, menyerang pengikut Tengku Tapa, tapi mereka dapat dipukul mundur. Kompeni minta bantuan pasukan lagi kepada Jenderal Van Heutz di Kutaraja. Pada 9 Juli terjadi lagi kontak senjata antara pengikut Tengku Tapa dengan serdadu Kompeni, yang menewaskan 27 orang pengikut Tengku itu.
Pada 11 Juli Kompeni menyerang pengikut Tengku Tapa secara besar-besaran. Serangan itu sangat membahayakan keselamatan Tengku Tapa, karena sudah 80 pengikutnya tewas. Tengku Tapa dan pengikutnya menyingkir ke Tepian Batu. Komepeni mengejar mereka kesana. Tengku Tapa dan pengikutnya terus lari ke Gayo. Di sana mereka selamat karena daerah itu belum dikenal oleh Kompeni. Akan tetapi setelah sampai di Gayo barulah pengikut Tengku Tapa mengetahui siapa sebenarnya pemimpin mereka itu, yang tidak lain adalah seorang orang biasa. Mereka merasa ditipu dan satu per satu pergi meninggalkan Tengku Tapa. Sedangkan Putri Andam Dewi palsu melarikan diri pula dan kembali menjadi babu di Simpang Ulim.
Kemudian ada lagi beberapa orang yang mengangkatnya jadi pemimpin, tapi orang ramai tiada lagi percaya kepadanya. Untuk ketiga kalinja Tengku Tapa masih dapat mengumpulkan beberapa orang pengikut untuk melawan Kompeni. Akhirnya ia tewas dalam satu pertempuran melawan pasukan Kompeni. [Berdasarkan informasi dalam Voksalmanak Melajoe (Serie No. 561, 1922:204) deketahui bahwa pasukan Kompeni yang menewaskan Tuanku Tapa itu dipimpin oleh Colijn dengan bantuan pasukan marsose yang dipimpin oleh Sersan Weirata asal Ambon]. Kali ini Malim Dewa betul-betul hilang dari dunia.
Demikianlah riwayat Tengku Tapa. Insulinde menutupnya denga kalimat: Tuan-tuan pembaca di Bukittinggi adakah yang kenal dengan Abdullah Pakih itu?
***
Kisah Abdullah Pakih Nagari dari Tilatang ini adalah pernik-pernik sejarah yang sering dilupakan orang. Melalui kisah ini kita mendapat gambaran bahwa Perang Aceh tidak melulu berarti perseteruan antara orang Aceh versus Belanda. Mungkin banyak orang dari suku bangsa lain yang terlibat dalam perang itu, yang telah membantu orang Aceh melawan Kompeni, seperti Abdullah Pakih Nagari dari Minangkabau ini.
Terdapat kesan bahwa Abdullah Pakih Nagari sangat membenci Belanda. Mungkin karena dia dibuang oleh Belanda, tapi mungkin juga karena didorong oleh keyakinan agamanya. Karena agama inilah terjadi pertalian yang cukup erat antara orang Aceh dan perantau Minang selama abad ke-19. Banyak perantau Minang berjuang bahu membahu dengan orang Aceh dalam memerangi Belanda. Sebaliknya, orang Aceh, terutama yang tinggal di pantai barat, seperti Singkil, Trumon, dll. banyak membantu orang Minang selama Perang Paderi: mereka menyelundupkan senjata kepada pasukan Paderi di Bonjol lewat pelabuhan-pelabuhan seperti Air Bangis,Tiku, dan Katiagan.
Kisah perantauan Abdullah Pakih Nagari ini juga menunjukkan karakteristik perantau Minang secara umum: panjang akal dan sedikit ciluah: memanfaatkan celah apa saja untuk bisa survive di rantau dan, kalau bisa, menjadi tasabuik. Dengan kepandaian membuat azimat dan memanipulasi mitos Malim Dewa, Abdullah Pakih mendapat kepercayaan orang Aceh dan menjadi terkenal. Ini mengingatkan kita pada kisah seorang perantau Minang lainnya: Raja Kecil, perayau dari Pagaruyung itu yang, seperti diceritakan dalam Hikayat Siak danTuhfat al-Nafis, telah menyerang Istana Johor di Semananjung Malaya pada tahun 1718.
Raja Kecil (ada yang mengatakan ia hanya seorang perantau Minangkabau pedagang telur ikan terubuk di Siak) mengaku bahwa ia adalah anak Encik Pong, gundik Sultan Mahmud (Mangkat Dijulang) yang mati dibunuh oleh menterinya, Orang Kaya (Megat Seri Rama). Raja Kecil mengaku bahwa ibunya telah menelan mani Sultan Mahmud sebelum baginda mati ditikam oleh Orang Kaya pada tahun 1699 karena dendam kepada sang raja yang telah membunuh istrinya.
Encik Pong yang telah menelan mani Sultan Mahmud pun hamil dalam pelariannya, yang kemudian melahirkan Raja Kecil, pewaris sah istana Johor. Dan kini, sebagai keturunan Sultan Mahmud satu-satunya, ia datang (entah dari mana, tetapi jelas dari Siak) untuk mengambil haknya atas tahta Kerajaan Johor. Ia, yang dibantu oleh Orang Laut yang setia kepada almarhum ayahnya, berhasil menduduki Istana Johor. Seperti telah ditunjukkan Leonard Andaya (1975) dan Timothy P. Barnard (1994), penaklukan Johor oleh Raja Kecil, perantau Minang yang cerdik itu, telah menentukan sejarah Kerajaan Johor dibelakang hari.
Cerita yang menarik ini pun menunjukkan akal ciluah perantau Minang pada masa yang lebih awal (abad ke-18): sekali lagi dapat dikesan di sini bagaimana seorang perantau Minang dengan cerdik memanfaatkan mitos pembenihan (menelan mani) untuk mencapai maksudnya. Ceritanya mungkin dapat saya suguhkan untuk pembaca Singgalang pada kesempatan lain.
Suryadi, Dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesi Universiteit Leiden, Belanda (email: s.suryadi at hum.leidenuniv.nl)
Catatan: Artikel ini perah dimuat diharianSinggalang(Minggu 17 Mei 2006).
Sumber : Suryadi Opleiding Talen en Culturen van Zuid-en Zuidoost-Aziƫ, Universiteit Leiden
Kamis, 21 Mei 2015
Rabu, 20 Mei 2015
Membaca Filosofi Songket Aceh
atjehpost.com
Pesona songket Aceh telah dikenal sejak berabad-abad silam. Ragam hiasnya yang mengutamakan keindahan flora disebut-sebut sebagai representasi Taman Firdaus.
GAMPĆNG Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar petang itu sangat lengang. Mendung mulai menggantung saat saya memasuki sebuah gang kecil bertuliskan “Songket Aceh Nyak Mu”. Jika tidak diperhatikan, plang yang terbuat dari kayu ini hampir tak kelihatan karena aus oleh usia.
Kedatangan saya untuk bertemu Dahlia, generasi penerus Nyak Mu alias Maryamu, si penjaga warisan tenun Aceh yang melegenda. Nyak Mu sendiri telah meninggal dunia sejak 2009 lalu.
Tak sulit mencari rumah perempuan paruh baya itu. Sebagai anak Nyak Mu, Dahlia sangat dikenal di GampĆ“ng Siem. “O, Kak Dah, nyan rumoh gopnyan, neujak laju. Na gopnyan i rumoh (O, Kak Dah, itu rumahnya, pergi saja. Ada dia di rumah),” ujar seorang warga.
Saya pun segera menuju ke rumah Dahlia yang tak jauh dari tempat tadi. Setelah menguluk salam, seorang perempuan paruh baya muncul dari dalam. Ia mengenakan daster batik dan kepalanya ditutupi kerudung besar. Senyumnya mengembang ramah. “Nye lĆ“n Dahlia,” katanya memperkenalkan diri seraya mempersilakan masuk.
Dahlia, 53 tahun, merupakan satu-satunya anak perempuan Nyak Mu. Ia satu dari lima warga Siem yang sampai kini masih mempertahankan tradisi menenun. Diakui Dahlia, warga Siem umumnya generasi muda, tidak lagi berminat menekuni tenun Aceh.
Proses menenun memang membutuhkan ketelatenan tingkat tinggi, sabar, dan harus benar-benar sepenuh hati.
“Dari lima itu hanya saya sendiri yang bisa membuat motif, yang lainnya cuma bisa menenun saja. Kalau mereka mau menenun, saya datang untuk memasangkan motif,” kata Dahlia saat berbincang dengan The Atjeh Post akhir Desember 2014 lalu.
Kerajinan tenun Aceh di GampĆ“ng Siem mulai tumbuh sejak awal 1970-an. Dahlia berkisah, ketika itu ada pegawai dari Dinas Perindustrian yang datang ke kampungnya untuk mencari orang yang mampu menenun. Orang tersebut adalah Nyak Mu, yang mendapatkan keahlian menenun dari ibunya. Nyak Mu kemudian menjadi guru dalam setiap pelatihan menenun yang dibuat oleh dinas. Dinas juga sering membawa Nyak Mu ke luar daerah untuk mempelajari seni tenun daerah lain. “Saya ini juga murid Nyak Mu,” kata Dahlia lagi.
Murid Nyak Mu tak hanya berasal dari Siem atau Aceh Besar saja, tapi juga berasal dari daerah lain, seperti Calang dan Aceh Timur. Merekalah yang membawa kerajinan tenun Aceh tersebut ke daerah lain. Namun, perkembangan tenun Aceh di luar Siem tidak begitu masif, gaungnya pun hampir tak pernah terdengar.
Berkat kerja keras dan kegigihan Nyak Mu, Siem kemudian dikenal sebagai sentra dan tempat asal mula tenun Aceh berkembang. Melalui tangan dinginnya, songket Aceh mencapai puncak kejayaannya.
Meski tak dapat menulis dan membaca, Dahlia mengatakan, ibunya adalah perempuan yang cerdas dan ingatannya sangat tajam. Hal ini dibuktikan dengan kreativitasnya dalam mengembangkan motif songket Aceh. Tercatat ada 50 motif songket Aceh yang pernah dibuat Nyak Mu, di antaranya motif Pucok Aron, Pucok Reubong, Mata Manok, Bu Kulah, Lidah Tiyong dan motif Laa Ila Haillallah. Dinas Perindustrian Aceh pernah membukukan karya-karyanya pada 1992 silam.
Nyak Mu ibarat lentera yang telah membuat tenun Aceh begitu termasyhur. Namun, seiring dengan padamnya lentera itu, kejayaan tenun Aceh pun seolah ikut redup. Dahlia mengakui, sejak ibunya meninggal dunia, aktivitas menenun di Siem menurun drastis. Menenun menjadi pekerjaan sampingan.
Bahkan, Rumoh Teupeuen atau Rumah Tenun yang didirikan Dinas Perindustrian Aceh di kampung itu tidak lagi aktif. Dahlia sendiri kini tidak lagi menenun secara rutin. Ia hanya menyediakan bahan baku bagi sejumlah warga yang masih menenun. Keterbatasan bahan baku, seperti sutera dan benang emas yang didatangkan dari luar memang menjadi kendala. Selain itu, Dahlia juga merasakan stamina fisiknya tidak lagi seperti dulu. Ia sempat berpikir untuk tidak lagi menggeluti dunia tenun.
“Tapi abang saya bilang kita lanjutkan saja karena ini ciri khas kita (Siem), nanti soal pengadaan bahan baku biar abang saya yang urus,” katanya.
+++
SONGKET merupakan kain yang ditenun atau dihias dengan benang emas dan perak. Jauh sebelum Nyak Mu kembali memopulerkan songket Aceh, berabad-abad silam songket Aceh menjadi komoditas perdagangan yang bernilai tinggi.
Tenaga pengajar Universitas Syiah Kuala, Erni S.Pd., M.Pd. T. dalam disertasinya berjudul “Songket Aceh” menjelaskan, songket Aceh merupakan salah satu seni karya yang menggabungkan berbagai unsur budaya.
Lulusan Magister Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Universitas Negeri Padang ini banyak mengulas perjalanan songket Aceh. Hal itu merupakan pengetahuan yang jarang diketahui banyak orang, termasuk Dahlia dan salah seorang murid Nyak Mu lainnya Jasmani. Dahlia mengakui jika pengetahuannya tentang songket sangat terbatas. Ia memang bisa menenun, tetapi seluk beluk tentang filosofi motif songket sedikit sekali yang ia ketahui.
Dalam disertasinya, Erni berhasil menyajikan temuannya tentang asal-usul songket Aceh, seperti catatan paling tua tentang tenun sutera di Aceh yang dijabarkan dalam kitab Sung (abad ke-10 dan ke-11) yang menjelaskan tentang produksi tenun di Pidie.
Pada permulaan abad ke-16, Pidie tetap merupakan daerah penghasil sutera yang penting. Bahkan sampai dikirim ke India karena jumlah produksinya yang melimpah. Hingga satu abad kemudian popularitasnya masih belum meredup. Orang-orang dari Prancis dan Belanda membicarakan kualitas sutera Pidie yang terkenal di seluruh Sumatera.
Selain itu Erni juga berhasil menelusuri catatan pada abad ke-17 tentang sutera yang dihasilkan di ibu kota. Dijelaskan bahwa sutera dari Aceh memiliki mutu yang sangat tinggi sehingga harganya lebih mahal dari sutera yang diimpor dari India.
Memasuki abad ke-19, produksi sutera menyebar ke pesisir barat. Aceh Besar dan Pidie tetap menjadi mercusuar untuk songket Aceh.
Dari segi penggunaan bahan baku, sutera Aceh yang bermotif benang emas merupakan pengaruh dari Persia. Pada awal abad ke-20, seorang ahli Etnologi asal Belanda, Kreemer, menghimpun koleksi desain songket Aceh yang sangat bagus. Bahkan sampel tekstil sutera Aceh ada yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda.
Saat berbincang-bincang dengan The Atjeh Post pada awal Januari 2015, Erni juga menjelaskan, ragam hias atau motif songket Aceh hampir tidak pernah ditemui corak binatang atau manusia, tetapi motif-motif dari benda, awan, dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini berbeda dengan motif-motif kain yang lazimnya kita temukan di Jawa atau Indonesia timur. “Islam sebagai landasan yang dipegang teguh oleh orang Aceh mengambil inspirasi motif dalam membuat songket dari unsur alam yang tidak bernyawa seperti flora dan awan,” katanya.
Dalam buku Hands of Time yang ditulis oleh Leigh (1989) dijelaskan, kekayaan motif flora ini juga dikait-kaitkan dengan taman dan alam tumbuh-tumbuhan dengan Taman Firdaus di surga.
Setiap motif memiliki makna berbeda-beda, tapi tidak semuanya dapat diungkapkan. Motif Pucok Reubong dan Awan Berarak misalnya, memiliki makna sebagai simbol kesuburan, kebersamaan, dan gotong royong. “Motif Pucuk Rebung ini juga terdapat di daerah lain seperti Palembang, tapi maknanya rebung sebagai salah satu tanaman yang bisa dikonsumsi,” katanya.
Adapun motif Bungong Jeumpa diambil dari keindahan bunga jeumpa (cempaka) yang menjadi flora identitas Provinsi Aceh. Bunga ini begitu tersohor dan keindahannya juga terdapat dalam syair lagu “Bungong Jeumpa”.
Erni menaruh perhatian tinggi pada songket Aceh karena keberadaannya yang kian langka. Akibat pergeseran zaman dan pengaruh modernisasi, banyak masyarakat Aceh yang kurang mengetahui keberadaan songket Aceh.
“Padahal dulu begitu megahnya, sayang sekali kalau ini sampai terabaikan. Malah banyak yang nggak tahu di Siem ada tenun songket, jadi saya berinisiatif untuk membuat penelitiannya sebagai pertinggal. Barangkali nanti ada anak-anak sekolah yang mau belajar, mereka sudah ada modulnya,” ujarnya.
+++
DAHLIA mengajak saya ke rumah almarhum Nyak Mu yang tak begitu jauh dari rumahnya. Sebuah rumoh Aceh berdiri tegak, tetapi kondisinya tampak tak terawat. Halamannya dipenuhi rumput liar. Di samping rumah ada sebuah bangunan permanen beratapkan seng. Kondisinya sama, juga tak terawat. “Ini Rumoh Teupeuen atau Rumah Tenun,” kata Dahlia.
Rumah tersebut dibangun oleh Dinas Perindustrian Aceh pada 1981. Di Rumoh Teupeuen inilah Nyak Mu menghabiskan masa hidupnya untuk mengajar tenun songket Aceh. Di dalam rumah terdapat tujuh teupeun atau tijak (alat tenun). Namun hanya satu yang terlihat sedang digunakan. Rumoh Teupeun ini sudah tidak aktif lagi sejak Nyak Mu meninggal dunia. Dahlia menyayangkan kondisi tersebut, tetapi mengaku tak sanggup mengelolanya seperti yang dilakoni Nyak Mu semasa hidupnya.
Dahlia mengajak ke bagian lain, mungkin lebih tepat disebut dapur. Kondisinya sangat berantakan dan berdebu. Di sini terdapat tungku yang dulu digunakan Nyak Mu untuk merebus air untuk mewarnai benang sutera. Di dekat tungku ada sebuah bak yang sebelumnya berfungsi sebagai tempat untuk merendam sutera. Selain menggunakan pewarna pabrikan, Nyak Mu juga lihai meracik bahan-bahan alam untuk mewarnai sutera sebelum ditenun.
Di ruangan ini juga terlihat gulungan-gulungan sutera yang berserakan di atas dipan. Sutera itu merupakan bantuan dari pemerintah, tetapi tidak dapat digunakan karena seratnya sangat halus. Tidak cocok untuk bahan tenun yang dilakukan secara manual karena mudah putus. Selama ini bahan baku yang digunakan untuk membuat tenun Aceh didatangkan dari Bandung. Awal menjalankan usahanya Nyak Mu memasok sutera dari Lamtamot, Aceh Besar. Belakangan peternakan sutera tersebut tutup karena konflik. “Pekerjanya kembali ke Jawa,” katanya.
Usai melihat-lihat BalĆØe Teupeuen, Dahlia mengajak saya kembali ke rumahnya. Ibu lima anak itu kemudian mengeluarkan sejumlah koleksi kain tenun miliknya. Dahlia sendiri, meski bisa menenun dan membuat motif, tidak dapat menggambar motif seperti keahlian yang dimiliki Nyak Mu. Kata murid Nyak Mu di GampĆ“ng Miruek Taman, Jasmani, inilah yang membuat Nyak Mu sangat istimewa. “Dia itu profesor bagi kami,” kata Jasmani kepada The Atjeh Post.
Setelah menunjukkan beberapa koleksi songketnya, Dahlia kemudian memperlihatkan selembar kain berukuran 50 x 50 sentimeter. Kain warna cokelat tanah yang pinggirnya sudah sobek itu berisi aneka motif Aceh yang selama ini dijadikan patron oleh Nyak Mu dalam mengembangkan songket Aceh. Usianya sudah dua ratusan tahun, kain tersebut merupakan pusaka yang diwariskan secara turun-temurun. “Ini sudah ada yang menawar jutaan rupiah, tapi saya tidak mau jual karena ini kain pusaka,” kata Dahlia.
Dari sekian banyak motif yang dikreasikan Nyak Mu, ada satu motif yang sangat menarik, yaitu motif kaligrafi Laailahaillallah. Meski tidak mengetahui makna yang tersembunyi di balik motif ini, Dahlia mengatakan, songket dengan motif kalimat Laailahaillallah tidak dapat diaplikasikan di sembarang kain.
Hal ini juga dibenarkan Jasmani, perempuan berusia 49 tahun yang kini telah menjadikan tenun sebagai sumber mata pencarian utamanya. “Semasa hidup Nyak Mu dulu, motif itu hanya digunakan untuk membuat peci,” katanya. Sebagai murid Nyak Mu, Jasmani bertekad untuk terus melestarikan tenun Aceh. “Kiban ikhlas Nyak Mu uroe jĆ©h geupeurunoe lĆ“n, lagĆØe nyan lĆ“n peurunoe gop jinoe (Nyak Mu dulu mengajar saya dengan ikhlas, begitu pula saya mengajar saat ini),” katanya.[]
Pesona songket Aceh telah dikenal sejak berabad-abad silam. Ragam hiasnya yang mengutamakan keindahan flora disebut-sebut sebagai representasi Taman Firdaus.
GAMPĆNG Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar petang itu sangat lengang. Mendung mulai menggantung saat saya memasuki sebuah gang kecil bertuliskan “Songket Aceh Nyak Mu”. Jika tidak diperhatikan, plang yang terbuat dari kayu ini hampir tak kelihatan karena aus oleh usia.
Kedatangan saya untuk bertemu Dahlia, generasi penerus Nyak Mu alias Maryamu, si penjaga warisan tenun Aceh yang melegenda. Nyak Mu sendiri telah meninggal dunia sejak 2009 lalu.
Tak sulit mencari rumah perempuan paruh baya itu. Sebagai anak Nyak Mu, Dahlia sangat dikenal di GampĆ“ng Siem. “O, Kak Dah, nyan rumoh gopnyan, neujak laju. Na gopnyan i rumoh (O, Kak Dah, itu rumahnya, pergi saja. Ada dia di rumah),” ujar seorang warga.
Saya pun segera menuju ke rumah Dahlia yang tak jauh dari tempat tadi. Setelah menguluk salam, seorang perempuan paruh baya muncul dari dalam. Ia mengenakan daster batik dan kepalanya ditutupi kerudung besar. Senyumnya mengembang ramah. “Nye lĆ“n Dahlia,” katanya memperkenalkan diri seraya mempersilakan masuk.
Dahlia, 53 tahun, merupakan satu-satunya anak perempuan Nyak Mu. Ia satu dari lima warga Siem yang sampai kini masih mempertahankan tradisi menenun. Diakui Dahlia, warga Siem umumnya generasi muda, tidak lagi berminat menekuni tenun Aceh.
Proses menenun memang membutuhkan ketelatenan tingkat tinggi, sabar, dan harus benar-benar sepenuh hati.
“Dari lima itu hanya saya sendiri yang bisa membuat motif, yang lainnya cuma bisa menenun saja. Kalau mereka mau menenun, saya datang untuk memasangkan motif,” kata Dahlia saat berbincang dengan The Atjeh Post akhir Desember 2014 lalu.
Kerajinan tenun Aceh di GampĆ“ng Siem mulai tumbuh sejak awal 1970-an. Dahlia berkisah, ketika itu ada pegawai dari Dinas Perindustrian yang datang ke kampungnya untuk mencari orang yang mampu menenun. Orang tersebut adalah Nyak Mu, yang mendapatkan keahlian menenun dari ibunya. Nyak Mu kemudian menjadi guru dalam setiap pelatihan menenun yang dibuat oleh dinas. Dinas juga sering membawa Nyak Mu ke luar daerah untuk mempelajari seni tenun daerah lain. “Saya ini juga murid Nyak Mu,” kata Dahlia lagi.
Murid Nyak Mu tak hanya berasal dari Siem atau Aceh Besar saja, tapi juga berasal dari daerah lain, seperti Calang dan Aceh Timur. Merekalah yang membawa kerajinan tenun Aceh tersebut ke daerah lain. Namun, perkembangan tenun Aceh di luar Siem tidak begitu masif, gaungnya pun hampir tak pernah terdengar.
Berkat kerja keras dan kegigihan Nyak Mu, Siem kemudian dikenal sebagai sentra dan tempat asal mula tenun Aceh berkembang. Melalui tangan dinginnya, songket Aceh mencapai puncak kejayaannya.
Meski tak dapat menulis dan membaca, Dahlia mengatakan, ibunya adalah perempuan yang cerdas dan ingatannya sangat tajam. Hal ini dibuktikan dengan kreativitasnya dalam mengembangkan motif songket Aceh. Tercatat ada 50 motif songket Aceh yang pernah dibuat Nyak Mu, di antaranya motif Pucok Aron, Pucok Reubong, Mata Manok, Bu Kulah, Lidah Tiyong dan motif Laa Ila Haillallah. Dinas Perindustrian Aceh pernah membukukan karya-karyanya pada 1992 silam.
Nyak Mu ibarat lentera yang telah membuat tenun Aceh begitu termasyhur. Namun, seiring dengan padamnya lentera itu, kejayaan tenun Aceh pun seolah ikut redup. Dahlia mengakui, sejak ibunya meninggal dunia, aktivitas menenun di Siem menurun drastis. Menenun menjadi pekerjaan sampingan.
Bahkan, Rumoh Teupeuen atau Rumah Tenun yang didirikan Dinas Perindustrian Aceh di kampung itu tidak lagi aktif. Dahlia sendiri kini tidak lagi menenun secara rutin. Ia hanya menyediakan bahan baku bagi sejumlah warga yang masih menenun. Keterbatasan bahan baku, seperti sutera dan benang emas yang didatangkan dari luar memang menjadi kendala. Selain itu, Dahlia juga merasakan stamina fisiknya tidak lagi seperti dulu. Ia sempat berpikir untuk tidak lagi menggeluti dunia tenun.
“Tapi abang saya bilang kita lanjutkan saja karena ini ciri khas kita (Siem), nanti soal pengadaan bahan baku biar abang saya yang urus,” katanya.
+++
SONGKET merupakan kain yang ditenun atau dihias dengan benang emas dan perak. Jauh sebelum Nyak Mu kembali memopulerkan songket Aceh, berabad-abad silam songket Aceh menjadi komoditas perdagangan yang bernilai tinggi.
Tenaga pengajar Universitas Syiah Kuala, Erni S.Pd., M.Pd. T. dalam disertasinya berjudul “Songket Aceh” menjelaskan, songket Aceh merupakan salah satu seni karya yang menggabungkan berbagai unsur budaya.
Lulusan Magister Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Universitas Negeri Padang ini banyak mengulas perjalanan songket Aceh. Hal itu merupakan pengetahuan yang jarang diketahui banyak orang, termasuk Dahlia dan salah seorang murid Nyak Mu lainnya Jasmani. Dahlia mengakui jika pengetahuannya tentang songket sangat terbatas. Ia memang bisa menenun, tetapi seluk beluk tentang filosofi motif songket sedikit sekali yang ia ketahui.
Dalam disertasinya, Erni berhasil menyajikan temuannya tentang asal-usul songket Aceh, seperti catatan paling tua tentang tenun sutera di Aceh yang dijabarkan dalam kitab Sung (abad ke-10 dan ke-11) yang menjelaskan tentang produksi tenun di Pidie.
Pada permulaan abad ke-16, Pidie tetap merupakan daerah penghasil sutera yang penting. Bahkan sampai dikirim ke India karena jumlah produksinya yang melimpah. Hingga satu abad kemudian popularitasnya masih belum meredup. Orang-orang dari Prancis dan Belanda membicarakan kualitas sutera Pidie yang terkenal di seluruh Sumatera.
Selain itu Erni juga berhasil menelusuri catatan pada abad ke-17 tentang sutera yang dihasilkan di ibu kota. Dijelaskan bahwa sutera dari Aceh memiliki mutu yang sangat tinggi sehingga harganya lebih mahal dari sutera yang diimpor dari India.
Memasuki abad ke-19, produksi sutera menyebar ke pesisir barat. Aceh Besar dan Pidie tetap menjadi mercusuar untuk songket Aceh.
Dari segi penggunaan bahan baku, sutera Aceh yang bermotif benang emas merupakan pengaruh dari Persia. Pada awal abad ke-20, seorang ahli Etnologi asal Belanda, Kreemer, menghimpun koleksi desain songket Aceh yang sangat bagus. Bahkan sampel tekstil sutera Aceh ada yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda.
Saat berbincang-bincang dengan The Atjeh Post pada awal Januari 2015, Erni juga menjelaskan, ragam hias atau motif songket Aceh hampir tidak pernah ditemui corak binatang atau manusia, tetapi motif-motif dari benda, awan, dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini berbeda dengan motif-motif kain yang lazimnya kita temukan di Jawa atau Indonesia timur. “Islam sebagai landasan yang dipegang teguh oleh orang Aceh mengambil inspirasi motif dalam membuat songket dari unsur alam yang tidak bernyawa seperti flora dan awan,” katanya.
Dalam buku Hands of Time yang ditulis oleh Leigh (1989) dijelaskan, kekayaan motif flora ini juga dikait-kaitkan dengan taman dan alam tumbuh-tumbuhan dengan Taman Firdaus di surga.
Setiap motif memiliki makna berbeda-beda, tapi tidak semuanya dapat diungkapkan. Motif Pucok Reubong dan Awan Berarak misalnya, memiliki makna sebagai simbol kesuburan, kebersamaan, dan gotong royong. “Motif Pucuk Rebung ini juga terdapat di daerah lain seperti Palembang, tapi maknanya rebung sebagai salah satu tanaman yang bisa dikonsumsi,” katanya.
Adapun motif Bungong Jeumpa diambil dari keindahan bunga jeumpa (cempaka) yang menjadi flora identitas Provinsi Aceh. Bunga ini begitu tersohor dan keindahannya juga terdapat dalam syair lagu “Bungong Jeumpa”.
Erni menaruh perhatian tinggi pada songket Aceh karena keberadaannya yang kian langka. Akibat pergeseran zaman dan pengaruh modernisasi, banyak masyarakat Aceh yang kurang mengetahui keberadaan songket Aceh.
“Padahal dulu begitu megahnya, sayang sekali kalau ini sampai terabaikan. Malah banyak yang nggak tahu di Siem ada tenun songket, jadi saya berinisiatif untuk membuat penelitiannya sebagai pertinggal. Barangkali nanti ada anak-anak sekolah yang mau belajar, mereka sudah ada modulnya,” ujarnya.
+++
DAHLIA mengajak saya ke rumah almarhum Nyak Mu yang tak begitu jauh dari rumahnya. Sebuah rumoh Aceh berdiri tegak, tetapi kondisinya tampak tak terawat. Halamannya dipenuhi rumput liar. Di samping rumah ada sebuah bangunan permanen beratapkan seng. Kondisinya sama, juga tak terawat. “Ini Rumoh Teupeuen atau Rumah Tenun,” kata Dahlia.
Rumah tersebut dibangun oleh Dinas Perindustrian Aceh pada 1981. Di Rumoh Teupeuen inilah Nyak Mu menghabiskan masa hidupnya untuk mengajar tenun songket Aceh. Di dalam rumah terdapat tujuh teupeun atau tijak (alat tenun). Namun hanya satu yang terlihat sedang digunakan. Rumoh Teupeun ini sudah tidak aktif lagi sejak Nyak Mu meninggal dunia. Dahlia menyayangkan kondisi tersebut, tetapi mengaku tak sanggup mengelolanya seperti yang dilakoni Nyak Mu semasa hidupnya.
Dahlia mengajak ke bagian lain, mungkin lebih tepat disebut dapur. Kondisinya sangat berantakan dan berdebu. Di sini terdapat tungku yang dulu digunakan Nyak Mu untuk merebus air untuk mewarnai benang sutera. Di dekat tungku ada sebuah bak yang sebelumnya berfungsi sebagai tempat untuk merendam sutera. Selain menggunakan pewarna pabrikan, Nyak Mu juga lihai meracik bahan-bahan alam untuk mewarnai sutera sebelum ditenun.
Di ruangan ini juga terlihat gulungan-gulungan sutera yang berserakan di atas dipan. Sutera itu merupakan bantuan dari pemerintah, tetapi tidak dapat digunakan karena seratnya sangat halus. Tidak cocok untuk bahan tenun yang dilakukan secara manual karena mudah putus. Selama ini bahan baku yang digunakan untuk membuat tenun Aceh didatangkan dari Bandung. Awal menjalankan usahanya Nyak Mu memasok sutera dari Lamtamot, Aceh Besar. Belakangan peternakan sutera tersebut tutup karena konflik. “Pekerjanya kembali ke Jawa,” katanya.
Usai melihat-lihat BalĆØe Teupeuen, Dahlia mengajak saya kembali ke rumahnya. Ibu lima anak itu kemudian mengeluarkan sejumlah koleksi kain tenun miliknya. Dahlia sendiri, meski bisa menenun dan membuat motif, tidak dapat menggambar motif seperti keahlian yang dimiliki Nyak Mu. Kata murid Nyak Mu di GampĆ“ng Miruek Taman, Jasmani, inilah yang membuat Nyak Mu sangat istimewa. “Dia itu profesor bagi kami,” kata Jasmani kepada The Atjeh Post.
Setelah menunjukkan beberapa koleksi songketnya, Dahlia kemudian memperlihatkan selembar kain berukuran 50 x 50 sentimeter. Kain warna cokelat tanah yang pinggirnya sudah sobek itu berisi aneka motif Aceh yang selama ini dijadikan patron oleh Nyak Mu dalam mengembangkan songket Aceh. Usianya sudah dua ratusan tahun, kain tersebut merupakan pusaka yang diwariskan secara turun-temurun. “Ini sudah ada yang menawar jutaan rupiah, tapi saya tidak mau jual karena ini kain pusaka,” kata Dahlia.
Dari sekian banyak motif yang dikreasikan Nyak Mu, ada satu motif yang sangat menarik, yaitu motif kaligrafi Laailahaillallah. Meski tidak mengetahui makna yang tersembunyi di balik motif ini, Dahlia mengatakan, songket dengan motif kalimat Laailahaillallah tidak dapat diaplikasikan di sembarang kain.
Hal ini juga dibenarkan Jasmani, perempuan berusia 49 tahun yang kini telah menjadikan tenun sebagai sumber mata pencarian utamanya. “Semasa hidup Nyak Mu dulu, motif itu hanya digunakan untuk membuat peci,” katanya. Sebagai murid Nyak Mu, Jasmani bertekad untuk terus melestarikan tenun Aceh. “Kiban ikhlas Nyak Mu uroe jĆ©h geupeurunoe lĆ“n, lagĆØe nyan lĆ“n peurunoe gop jinoe (Nyak Mu dulu mengajar saya dengan ikhlas, begitu pula saya mengajar saat ini),” katanya.[]
Sejarah Unik Nama Gampong di Aceh
The Atjeh Post
Aceh memiliki budaya penyebutan nama daerah sesuai dengan kejadian atau peristiwa-peristiwa besar dan ketokohan seseorang.
MASYARAKAT Aceh memiliki budaya penyebutan nama daerah sesuai dengan kejadian atau peristiwa-peristiwa besar dan ketokohan seseorang. Nama daerah tersebut kemudian ditabalkan untuk gampong yang baru saja didiami dan tidak jarang masih dipakai hingga sekarang.
Nama-nama daerah atau gampong di Aceh tersebut terkadang terdengar unik, baik bagi pendatang maupun warga setempat. Lantas seperti apa nama-nama gampong tersebut?
Samahani
Samahani merupakan daerah kelahiran Bupati Aceh Besar Mukhlis A Basyah alias Adun Mukhlis. Samahani merupakan salah satu kemukiman yang ada di Aceh Besar dan terkenal dengan roti selai rasa srikaya. Pertanyaannya, kenapa daerah tersebut dinamakan Samahani?
"Dulunya di daerah ini ada pedagang keturunan India bernama Ghani. Dia sering berjualan di daerah tersebut dengan mengusung barang dagangan di atas kepalanya," ujar dosen Sejarah FKIP Unsyiah, Teuku Abdullah Sakti saat dihubungi ATJEHPOSTcom, Senin, 26 Mei 2014.
Menurutnya, berdasarkan cerita rakyat, Ghani yang kerap melewati daerah ini sering dikerubungi elang yang ingin memakan barang dagangannya.
"Jadi elang sama-sama (terbang berkeliling) di atas kepala si Ghani ini. Lama kelamaan, masyarakat setempat kemudian menyebut daerah ini dengan Sama si Ghani yang kemudian menjadi Samahani," ujar pecinta hikayat Aceh ini.
Tokoh budaya Aceh ini mengaku banyak sekali nama-nama gampong yang memiliki latar belakang sejarah unik di Aceh. Dia pun merasa terpanggil untuk membukukan nama-nama unik gampong di seputar daerah Aceh tersebut meski hingga saat ini belum memiliki dana.
"Sudah pernah saya susun dan ringkas. Termasuk ringkasan dari sejumlah paper mahasiswa yang mengikuti kuliah sejarah Daerah Aceh yang saya asuh di FKIP Unsyiah. Tapi banyak pihak yang tidak berminat untuk menjadikannya buku," kata Teuku Abdullah.
Alue Leuhob
Selain Samahani, nama gampong unik lainnya seperti Alue Leuhob, Aceh Utara. Teuku Abdullah mengatakan daerah ini merupakan sebuah desa di kawasan transmigrasi Buket Hagu Cot Girek, Aceh Utara.
Sejak tahun 1984, desa Alue Leuhob sudah termasuk desa mandiri atau lepas dari pengelolaan Departemen Transmigrasi. Dengan demikian Alue Leuhob merupakan Desa ke -100 di Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara.
"Nama Alue Leuhob berasal dari dua kata, yaitu Alue dan Leuhob. Alue, artinya sungai kecil, sedangkan Leuhob berarti lumpur. Secara sederhana Alue Leuhob berarti: Sungai Kecil yang berlumpur," katanya.
Dari pengertian nama gampong tersebut, tentunya kita dapat membayangkan bahwa daerah ini merupakan salah satu daerah berawa dan dipenuhi lumpur. Sementara realita yang bisa ditemui di lapangan, desa ini “amat bersih” dari jebakan lumpur.
Lama Inong
Contoh unik nama gampong lainnya seperti Gampong Lama Inong di Aceh Barat Daya. Berdasarkan sejarah gampong tersebut diketahui pada zaman dulu, tiga orang dari Pidie merantau ke daerah ini. Salah satu di antaranya adalah Teuku Karim dari Desa Ujong Rimba, Pidie.
"Pada mulanya mereka menetap di daerah Nagan (Jeuram) dan mulai membuka seuneubok lada atau tempat bercocok tanam lada keumeukok (lada berekor)," kata Teuku Abdullah.
Ketiga anak muda itu memiliki bakat pergaulan yang baik. Di siang hari mereka bekerja di kebun lada, sedang pada malam hari mengajar anak-anak mengaji Alquran dan mengajar kitab-kitab kepada orang dewasa. Pengaruhnya semakin besar di kalangan rakyat daerah Seunagan
Melihat gelagat yang kurang menguntungkan dirinya, raja Jeuram mulai gelisah. Dicarilah cara-cara agar ketiga anak muda itu mau pindah ke tempat lain. Akhirnya, raja berhasil membujuk mereka berangkat ke Aceh Selatan karena di sanalah yang paling cocok untuk membuka seuneubok lada.
“Setelah diberi perbekalan oleh raja, berangkatlah Teuku Karim bersama dua kawannya ke Aceh Barat Daya (yang waktu itu masih disebut Aceh Barat Leupah),” katanya.
Ketika berada di Aceh Selatan, mereka menumpang tinggal di rumah seorang perempuan di suatu desa yang belum punya nama. Dengan diantar perempuan tua itu sebagai penunjuk jalan, barangkatlah mereka menjumpai raja Teuku Sarullah ke daerah Kuala Batee.
Kedatangan ketiga pemuda asal Pidie ini disambut baik oleh raja Teuku Sarullah. Kemudian, ketiganya menjadi tokoh-tokoh penggerak kemajuan rakyat di kerajaan Kuala Batee. Teuku Karim, sesudah jadi tokoh masyarakat bergelar Teuku Syik Karim.
Peristiwa menumpangnya tiga pemuda perantau di rumah seorang perempuan tua itu, akhirnya menjadi sejarah yang dikenang oleh rakyat kerajaan Kuala Batee. Penyebabnya, ketiga anak muda tersebut telah mengukir sejarah yang indah bagi masyarakat di daerah itu.
“Mungkin untuk mengenang peristiwa itu, maka daerah tempat menginap atau menumpang beberapa hari pemuda perantau itu, diberi nama Lama lnong, artinya perempuan lama atau perempuan tua,” ujar Teuku Abdullah.
Jeurat Manyang
Di Pidie, juga terdapat nama gampong yang unik: Jeurat Manyang. Gampong ini terletak di Kecamatan Mutiara, Pidie. “Dalam bahasa Indonesia arti harfiah dari Jeurat Manyang, yaitu kuburan tinggi,” katanya.
Teuku Abdullah berkisah, pada zaman periode awal kedatangan Islam di Aceh telah datang ke desa (yang sekarang bernama Jeurat Manyang) seorang ulama dari negeri Pasai (Kerajaan Samudra Pasai). Ulama tersebut mengendarai seekor gajah.
“Menurut sumber cerita orang-orang tua, ulama itu berasal dari suatu daerah bernama Jeurat Manyang (Rhang Manyang) di Kerajaan Samudra Pasai, Aceh Utara. Masyarakat menyebut ulama itu dengan gelar Teungku Jeurat Manyang,” katanya.
Setelah tinggal menetap di situ, Teungku Jeurat Manyang lalu mendirikan dayah (pesantren). Banyak sekali santri yang belajar ke dayah tersebut sehingga dikenal oleh masyarakat luas. Saat Teungku Jeurat Manyang meninggal, dayahnya terus dikembangkan oleh murid-muridnya.
“Akhirnya untuk mengenang dan menghormati ulama ini, maka tempat daerah lokasi dayah didirikan sekaligus tempat beliau dikuburkan dinamakan Kampung Jeurat Manyang. Jeurat Manyang, berarti di situ pernah berjasa Teungku Jeurat Manyang asal Pasai, Aceh Utara,” kata Teuku Abdullah.
Selain itu, kata dia, ada juga yang berpendapat penyebutan Gampong Jeurat Manyang disebabkan adanya makam tinggi (jeurat manyang) di daerah tersebut. “Kalau diperhatikan, letak kuburan itu memang pada tanah yang agak tinggi kalau dalam bahasa Aceh disebut Manyang. Sementara jeurat artinya kuburan. Jeurat Manyang makna harfiahnya Kubur yang tinggi,” katanya.
Kandang Cut
Kampung Kandang Cut termasuk dalam Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Menurut cerita seorang sesepuh desa, zaman dulu di desa ini berdiri sebuah kerajaan yang besar dan megah. Kerajaan itu memiliki sebuah benteng terletak di Cot Kuta. Setelah berdiri sekian lama, kerajaan itu pun runtuh.
Sesudah kerajaan lebur, maka yang tinggal hanya kuburan raja-raja dan keturunannya. Sebagai penghormatan kepada para raja yang dikebumikan di situ, kuburan inilah dinamakan Kandang.
“Mungkin karena ada Kandang Rayeuk besar di tempat lain, maka makam raja ini dinamakan Kandang Cut artinya Perkuburan kecil. Seterusnya, nama desa itupun digelar orang Kampung Kandang Cut; artinya Cut atau Pocut (orang bangsawan) dikuburkan,” kata Teuku Abdullah Sakti.
Dia turut merujuk catatan sejarah Aceh yang menyebutkan perkuburan “Kandang Cut” adalah makam-makam keturunan raja dari Kerajaan Aceh Darussalam. “Jadi bukan kuburan keturunan raja kerajaan yang berdiri di desa itu sendiri, sebagaimana dijelaskan sesepuh Desa Kandang Cut tersebut,” katanya.
Alue Peudeueng
Desa Alue Peudeueng terletak di Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat. Menurut kisah, dulu nama kampung ini adalah Kuntirek yang kemudian diubah setelah terjadinya perang antar daerah.
Wilayah ini diperintah oleh seorang pemimpin yang bergelar datuk. Pemimpin pertama bernama Datuk Raja Bujang. Wilayah kekuasaannya sangat luas, mulai Alue Gantung sampai ke Pasi Megat.
Merujuk catatan Teuku Abdullah Sakti, secara berurutan datuk-datuk yang pernah memerintah di daerah ini adalah Datuk Raja Bujang, Datuk Teungku Meuko Cumeh, Datuk Keucik Padang, Datuk Keucik Kuta Baro, Datuk Genta Ali, Datuk Gadong, Datuk Jali, Datuk Bali, Datuk Sampe, dan Datuk Kaoy yang merupakan pemimpin yang bergelar datuk paling akhir.
Setelah terjadi pembagian wilayah pada masa berkuasa datuk-datuk, maka desa itu dinamakan Alue Peudeueng. Berdasarkan arti kata, Alue berarti alur atau aliran sungai kecil. Sedangkan Peudeueng berarti pedang atau senjata tajam.
“Jadi Alue Peudeung artinya aliran sungai yang ada pedangnya. Menurut cerita, pada suatu peristiwa perebutan kekuasaan zaman dulu, jatuhlah ke sungai sebilah pedang dari salah satu pihak. Karena air sungai sangat curam deras, maka pedang itu tak dapat diambil lagi,” kata Teuku Abdullah.
Blang Panjo
Di Bireuen juga terdapat gampong bernama Blang Panjo. Jika merujuk kata-kata Blang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sawah, sementara Panjo berarti batang kapuk. “Dulunya di gampong tersebut hanya ada persawahan dan bak panjo. Makanya dinamakan Blang Panjo,” ujar salah satu warga Blang Panjo, Iqbal Redha.
Saat ini, kata dia, gampong tersebut dihuni oleh 100 kepala keluarga dan telah dihuni sejak Belanda masuk ke Aceh.
Asan Bideuen
Gampong Asan Bideun merupakan salah satu desa yang ada di Bireuen. Penamaan gampong ini sangat menarik karena terkait erat dengan cerita gaib penduduk setempat.
Menurut sejarah penduduk setempat, penamaan gampong ini berasal dari cerita adanya kuntilanak yang sering bernyanyi di batang angsana atau sonokembang. Pohon ini adalah sejenis pohon penghasil kayu berkualitas tinggi dari suku Fabaceae. Kayunya keras, kemerah-merahan, dan cukup berat, yang dalam perdagangan dikelompokkan sebagai narra atau rosewood.
“Pohon asan (angsana) itu besar dan berhantu. Sering terdengar hantu perempuan bernyanyi (biduan) di pohon tersebut. Kemudian daerah ini disebut sebagai Gampog Asan Bideun,” ujar Iqbal.
“Kini pohon tersebut sudah ditebang meski gampong itu masih disebut sebagai Asan Bideuen,” katanya.
Meureudu
Meureudu merupakan ibukota Pidie Jaya usai pemekaran dari Pidie. Kota ini terletak di pesisir timur Kabupaten Pidie Jaya. Daerah ini terkenal dengan aneka masakan khas India yang lezat, seperti martabak kari dan nasi briani yang tidak berbeda jauh dengan negara asalnya, karena mayoritas penduduk Meureudu merupakan keturunan Hindi (India).
Penamaan nama Meurudu terkait dengan sejarah meluasnya wilayah Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di Banda Aceh. Berdasarkan cerita turun temurun penduduk Pidie Jaya, Meureudu berasal dari kata Meurah Du yang artinya gajah duduk.
Konon dikisahkan pada saat Sultan Aceh melakukan perjalanan ke daerah-daerah dia menumpang seekor gajah. Namun saat tiba di Meureudu, gajah tersebut kelelahan dan beristirahat. Akibatnya, lokasi armada gajah milik kerajaan Aceh beristirahat ini kemudian disebut sebagai Meurah Du yang kemudian menjadi Meureudu. Lokasi gajah duduk milik Sultan Aceh tersebut berada di Gampong Meunasah Raya, Meureudu. Di sana terdapat sebuah monumen yang menceritakan asal mula penamaan Meureudu, yang bisa ditemui hingga sekarang.
Di catatan sejarah lainnya yang ditulis Ali Hasjmy mengungkapkan bahwa penamaan Meureudu berasal dari nama salah satu putera Makdum Malik Mansur dari kerajaan Peureulak. Ia terkenal dengan gelar Meurah Meria atau Tue Mersa.
Makdum Malik Mansur memiliki tujuh orang anak laki-laki, yaitu Meurah Jernang, Meurah Bacang, Meurah Itam, Meurah Puteh, Meurah Silu dan Meurah Mege. Ketujuh anaknya tersebut ditugaskan menyebarkan dakwah ke daerah-daerah lainnya di luar Peureulak seperti ke Seunagan, Barus, Beuracan, Kiran, Jeumpa Syahir Tanwi, dan Daya.
Nama Meureudu sendiri berasal dari Meurah dua, yakni Meurah Itam dan Meurah Puteh yang kemudian diberi nama oleh Sultan Malik Saleh (Meurah Silu) menjadi Meurdu.[]
Aceh memiliki budaya penyebutan nama daerah sesuai dengan kejadian atau peristiwa-peristiwa besar dan ketokohan seseorang.
MASYARAKAT Aceh memiliki budaya penyebutan nama daerah sesuai dengan kejadian atau peristiwa-peristiwa besar dan ketokohan seseorang. Nama daerah tersebut kemudian ditabalkan untuk gampong yang baru saja didiami dan tidak jarang masih dipakai hingga sekarang.
Nama-nama daerah atau gampong di Aceh tersebut terkadang terdengar unik, baik bagi pendatang maupun warga setempat. Lantas seperti apa nama-nama gampong tersebut?
Samahani
Samahani merupakan daerah kelahiran Bupati Aceh Besar Mukhlis A Basyah alias Adun Mukhlis. Samahani merupakan salah satu kemukiman yang ada di Aceh Besar dan terkenal dengan roti selai rasa srikaya. Pertanyaannya, kenapa daerah tersebut dinamakan Samahani?
"Dulunya di daerah ini ada pedagang keturunan India bernama Ghani. Dia sering berjualan di daerah tersebut dengan mengusung barang dagangan di atas kepalanya," ujar dosen Sejarah FKIP Unsyiah, Teuku Abdullah Sakti saat dihubungi ATJEHPOSTcom, Senin, 26 Mei 2014.
Menurutnya, berdasarkan cerita rakyat, Ghani yang kerap melewati daerah ini sering dikerubungi elang yang ingin memakan barang dagangannya.
"Jadi elang sama-sama (terbang berkeliling) di atas kepala si Ghani ini. Lama kelamaan, masyarakat setempat kemudian menyebut daerah ini dengan Sama si Ghani yang kemudian menjadi Samahani," ujar pecinta hikayat Aceh ini.
Tokoh budaya Aceh ini mengaku banyak sekali nama-nama gampong yang memiliki latar belakang sejarah unik di Aceh. Dia pun merasa terpanggil untuk membukukan nama-nama unik gampong di seputar daerah Aceh tersebut meski hingga saat ini belum memiliki dana.
"Sudah pernah saya susun dan ringkas. Termasuk ringkasan dari sejumlah paper mahasiswa yang mengikuti kuliah sejarah Daerah Aceh yang saya asuh di FKIP Unsyiah. Tapi banyak pihak yang tidak berminat untuk menjadikannya buku," kata Teuku Abdullah.
Alue Leuhob
Selain Samahani, nama gampong unik lainnya seperti Alue Leuhob, Aceh Utara. Teuku Abdullah mengatakan daerah ini merupakan sebuah desa di kawasan transmigrasi Buket Hagu Cot Girek, Aceh Utara.
Sejak tahun 1984, desa Alue Leuhob sudah termasuk desa mandiri atau lepas dari pengelolaan Departemen Transmigrasi. Dengan demikian Alue Leuhob merupakan Desa ke -100 di Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara.
"Nama Alue Leuhob berasal dari dua kata, yaitu Alue dan Leuhob. Alue, artinya sungai kecil, sedangkan Leuhob berarti lumpur. Secara sederhana Alue Leuhob berarti: Sungai Kecil yang berlumpur," katanya.
Dari pengertian nama gampong tersebut, tentunya kita dapat membayangkan bahwa daerah ini merupakan salah satu daerah berawa dan dipenuhi lumpur. Sementara realita yang bisa ditemui di lapangan, desa ini “amat bersih” dari jebakan lumpur.
Lama Inong
Contoh unik nama gampong lainnya seperti Gampong Lama Inong di Aceh Barat Daya. Berdasarkan sejarah gampong tersebut diketahui pada zaman dulu, tiga orang dari Pidie merantau ke daerah ini. Salah satu di antaranya adalah Teuku Karim dari Desa Ujong Rimba, Pidie.
"Pada mulanya mereka menetap di daerah Nagan (Jeuram) dan mulai membuka seuneubok lada atau tempat bercocok tanam lada keumeukok (lada berekor)," kata Teuku Abdullah.
Ketiga anak muda itu memiliki bakat pergaulan yang baik. Di siang hari mereka bekerja di kebun lada, sedang pada malam hari mengajar anak-anak mengaji Alquran dan mengajar kitab-kitab kepada orang dewasa. Pengaruhnya semakin besar di kalangan rakyat daerah Seunagan
Melihat gelagat yang kurang menguntungkan dirinya, raja Jeuram mulai gelisah. Dicarilah cara-cara agar ketiga anak muda itu mau pindah ke tempat lain. Akhirnya, raja berhasil membujuk mereka berangkat ke Aceh Selatan karena di sanalah yang paling cocok untuk membuka seuneubok lada.
“Setelah diberi perbekalan oleh raja, berangkatlah Teuku Karim bersama dua kawannya ke Aceh Barat Daya (yang waktu itu masih disebut Aceh Barat Leupah),” katanya.
Ketika berada di Aceh Selatan, mereka menumpang tinggal di rumah seorang perempuan di suatu desa yang belum punya nama. Dengan diantar perempuan tua itu sebagai penunjuk jalan, barangkatlah mereka menjumpai raja Teuku Sarullah ke daerah Kuala Batee.
Kedatangan ketiga pemuda asal Pidie ini disambut baik oleh raja Teuku Sarullah. Kemudian, ketiganya menjadi tokoh-tokoh penggerak kemajuan rakyat di kerajaan Kuala Batee. Teuku Karim, sesudah jadi tokoh masyarakat bergelar Teuku Syik Karim.
Peristiwa menumpangnya tiga pemuda perantau di rumah seorang perempuan tua itu, akhirnya menjadi sejarah yang dikenang oleh rakyat kerajaan Kuala Batee. Penyebabnya, ketiga anak muda tersebut telah mengukir sejarah yang indah bagi masyarakat di daerah itu.
“Mungkin untuk mengenang peristiwa itu, maka daerah tempat menginap atau menumpang beberapa hari pemuda perantau itu, diberi nama Lama lnong, artinya perempuan lama atau perempuan tua,” ujar Teuku Abdullah.
Jeurat Manyang
Di Pidie, juga terdapat nama gampong yang unik: Jeurat Manyang. Gampong ini terletak di Kecamatan Mutiara, Pidie. “Dalam bahasa Indonesia arti harfiah dari Jeurat Manyang, yaitu kuburan tinggi,” katanya.
Teuku Abdullah berkisah, pada zaman periode awal kedatangan Islam di Aceh telah datang ke desa (yang sekarang bernama Jeurat Manyang) seorang ulama dari negeri Pasai (Kerajaan Samudra Pasai). Ulama tersebut mengendarai seekor gajah.
“Menurut sumber cerita orang-orang tua, ulama itu berasal dari suatu daerah bernama Jeurat Manyang (Rhang Manyang) di Kerajaan Samudra Pasai, Aceh Utara. Masyarakat menyebut ulama itu dengan gelar Teungku Jeurat Manyang,” katanya.
Setelah tinggal menetap di situ, Teungku Jeurat Manyang lalu mendirikan dayah (pesantren). Banyak sekali santri yang belajar ke dayah tersebut sehingga dikenal oleh masyarakat luas. Saat Teungku Jeurat Manyang meninggal, dayahnya terus dikembangkan oleh murid-muridnya.
“Akhirnya untuk mengenang dan menghormati ulama ini, maka tempat daerah lokasi dayah didirikan sekaligus tempat beliau dikuburkan dinamakan Kampung Jeurat Manyang. Jeurat Manyang, berarti di situ pernah berjasa Teungku Jeurat Manyang asal Pasai, Aceh Utara,” kata Teuku Abdullah.
Selain itu, kata dia, ada juga yang berpendapat penyebutan Gampong Jeurat Manyang disebabkan adanya makam tinggi (jeurat manyang) di daerah tersebut. “Kalau diperhatikan, letak kuburan itu memang pada tanah yang agak tinggi kalau dalam bahasa Aceh disebut Manyang. Sementara jeurat artinya kuburan. Jeurat Manyang makna harfiahnya Kubur yang tinggi,” katanya.
Kandang Cut
Kampung Kandang Cut termasuk dalam Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Menurut cerita seorang sesepuh desa, zaman dulu di desa ini berdiri sebuah kerajaan yang besar dan megah. Kerajaan itu memiliki sebuah benteng terletak di Cot Kuta. Setelah berdiri sekian lama, kerajaan itu pun runtuh.
Sesudah kerajaan lebur, maka yang tinggal hanya kuburan raja-raja dan keturunannya. Sebagai penghormatan kepada para raja yang dikebumikan di situ, kuburan inilah dinamakan Kandang.
“Mungkin karena ada Kandang Rayeuk besar di tempat lain, maka makam raja ini dinamakan Kandang Cut artinya Perkuburan kecil. Seterusnya, nama desa itupun digelar orang Kampung Kandang Cut; artinya Cut atau Pocut (orang bangsawan) dikuburkan,” kata Teuku Abdullah Sakti.
Dia turut merujuk catatan sejarah Aceh yang menyebutkan perkuburan “Kandang Cut” adalah makam-makam keturunan raja dari Kerajaan Aceh Darussalam. “Jadi bukan kuburan keturunan raja kerajaan yang berdiri di desa itu sendiri, sebagaimana dijelaskan sesepuh Desa Kandang Cut tersebut,” katanya.
Alue Peudeueng
Desa Alue Peudeueng terletak di Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat. Menurut kisah, dulu nama kampung ini adalah Kuntirek yang kemudian diubah setelah terjadinya perang antar daerah.
Wilayah ini diperintah oleh seorang pemimpin yang bergelar datuk. Pemimpin pertama bernama Datuk Raja Bujang. Wilayah kekuasaannya sangat luas, mulai Alue Gantung sampai ke Pasi Megat.
Merujuk catatan Teuku Abdullah Sakti, secara berurutan datuk-datuk yang pernah memerintah di daerah ini adalah Datuk Raja Bujang, Datuk Teungku Meuko Cumeh, Datuk Keucik Padang, Datuk Keucik Kuta Baro, Datuk Genta Ali, Datuk Gadong, Datuk Jali, Datuk Bali, Datuk Sampe, dan Datuk Kaoy yang merupakan pemimpin yang bergelar datuk paling akhir.
Setelah terjadi pembagian wilayah pada masa berkuasa datuk-datuk, maka desa itu dinamakan Alue Peudeueng. Berdasarkan arti kata, Alue berarti alur atau aliran sungai kecil. Sedangkan Peudeueng berarti pedang atau senjata tajam.
“Jadi Alue Peudeung artinya aliran sungai yang ada pedangnya. Menurut cerita, pada suatu peristiwa perebutan kekuasaan zaman dulu, jatuhlah ke sungai sebilah pedang dari salah satu pihak. Karena air sungai sangat curam deras, maka pedang itu tak dapat diambil lagi,” kata Teuku Abdullah.
Blang Panjo
Di Bireuen juga terdapat gampong bernama Blang Panjo. Jika merujuk kata-kata Blang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sawah, sementara Panjo berarti batang kapuk. “Dulunya di gampong tersebut hanya ada persawahan dan bak panjo. Makanya dinamakan Blang Panjo,” ujar salah satu warga Blang Panjo, Iqbal Redha.
Saat ini, kata dia, gampong tersebut dihuni oleh 100 kepala keluarga dan telah dihuni sejak Belanda masuk ke Aceh.
Asan Bideuen
Gampong Asan Bideun merupakan salah satu desa yang ada di Bireuen. Penamaan gampong ini sangat menarik karena terkait erat dengan cerita gaib penduduk setempat.
Menurut sejarah penduduk setempat, penamaan gampong ini berasal dari cerita adanya kuntilanak yang sering bernyanyi di batang angsana atau sonokembang. Pohon ini adalah sejenis pohon penghasil kayu berkualitas tinggi dari suku Fabaceae. Kayunya keras, kemerah-merahan, dan cukup berat, yang dalam perdagangan dikelompokkan sebagai narra atau rosewood.
“Pohon asan (angsana) itu besar dan berhantu. Sering terdengar hantu perempuan bernyanyi (biduan) di pohon tersebut. Kemudian daerah ini disebut sebagai Gampog Asan Bideun,” ujar Iqbal.
“Kini pohon tersebut sudah ditebang meski gampong itu masih disebut sebagai Asan Bideuen,” katanya.
Meureudu
Meureudu merupakan ibukota Pidie Jaya usai pemekaran dari Pidie. Kota ini terletak di pesisir timur Kabupaten Pidie Jaya. Daerah ini terkenal dengan aneka masakan khas India yang lezat, seperti martabak kari dan nasi briani yang tidak berbeda jauh dengan negara asalnya, karena mayoritas penduduk Meureudu merupakan keturunan Hindi (India).
Penamaan nama Meurudu terkait dengan sejarah meluasnya wilayah Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di Banda Aceh. Berdasarkan cerita turun temurun penduduk Pidie Jaya, Meureudu berasal dari kata Meurah Du yang artinya gajah duduk.
Konon dikisahkan pada saat Sultan Aceh melakukan perjalanan ke daerah-daerah dia menumpang seekor gajah. Namun saat tiba di Meureudu, gajah tersebut kelelahan dan beristirahat. Akibatnya, lokasi armada gajah milik kerajaan Aceh beristirahat ini kemudian disebut sebagai Meurah Du yang kemudian menjadi Meureudu. Lokasi gajah duduk milik Sultan Aceh tersebut berada di Gampong Meunasah Raya, Meureudu. Di sana terdapat sebuah monumen yang menceritakan asal mula penamaan Meureudu, yang bisa ditemui hingga sekarang.
Di catatan sejarah lainnya yang ditulis Ali Hasjmy mengungkapkan bahwa penamaan Meureudu berasal dari nama salah satu putera Makdum Malik Mansur dari kerajaan Peureulak. Ia terkenal dengan gelar Meurah Meria atau Tue Mersa.
Makdum Malik Mansur memiliki tujuh orang anak laki-laki, yaitu Meurah Jernang, Meurah Bacang, Meurah Itam, Meurah Puteh, Meurah Silu dan Meurah Mege. Ketujuh anaknya tersebut ditugaskan menyebarkan dakwah ke daerah-daerah lainnya di luar Peureulak seperti ke Seunagan, Barus, Beuracan, Kiran, Jeumpa Syahir Tanwi, dan Daya.
Nama Meureudu sendiri berasal dari Meurah dua, yakni Meurah Itam dan Meurah Puteh yang kemudian diberi nama oleh Sultan Malik Saleh (Meurah Silu) menjadi Meurdu.[]
Kisah Putroe Neng Dengan 100 Suami
Nian Nio Lian Khie begitulah nama aslinya, Seorang komandan perang wanita berpangkat Jenderal dari china budha, Seorang perempuan yang dikalahkan oleh pasukan meurah johan seorang ulama yang berasal dari kerajaan pereulak yang pada saat itu mereka berada di indra purba yang bercocok tanam di daerah maprai (sibreh sekarang) dan mereka membuka kebun lada dan merica pada saat itu setelah dikalahkan, jenderal Nian Nio Lian Khie memeluk islam dan namanya diberi gelar yaitu sebagai PUTROE NENG.
Kekalahan dalam peperangan di Kuta Lingke telah mengubah sejarah hidup Putroe Neng, perempuan cantik dari Negeri Tiongkok. Dari seorang maharani yang ingin menyatukan sejumlah kerajaan di Pulau Ruja (Sumatera), ia malah menjadi permaisuri dalam sebuah pernikahan politis. Pendiri Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam, Sultan Meurah Johan, menjadi suami pertama Putroe Neng yang kemudian juga menjadi lelaki pertama yang meninggal di malam pertama. Tubuh Sultan Meurah Johan ditemukan membiru setelah melewati percintaan malam pertama yang selesai dalam waktu begitu cepat.
Sebagian masyarakat Aceh mendengar kisah Putroe Neng dari penuturan orang tua. Konon Putroe Neng memiliki 100 suami dari kalangan bangsawan Aceh. Setiap suami meninggal pada malam pertama ketika mereka bercinta, karena alat kewanitaan Putroe Neng mengandung racun. Kematian demi kematian tidak menyurutkan niat para lelaki untuk memperistri perempuan itu. Padahal, tidak mudah bagi Putroe Neng untuk menerima pinangan setiap lelaki. Ia memberikan syarat berat seperti mahar yang tinggi atau pembagian wilayah kekuasaan (Ali Akbar, 1990).
Suami terakhir Putroe Neng adalah Syekh Syiah Hudam yang selamat melewati malam pertama dan malam-malam berikutnya. Ia adalah suami ke-100 dari perempuan cantik bermata sipit tersebut. Sebelum bercinta dengan Putroe Neng, Syiah Hudam berhasil mengeluarkan bisa dari alat genital Putroe Neng. Racun tersebut dimasukkan ke dalam bambu dan dipotong menjadi dua bagian. "Satu bagian dibuang ke laut, dan bagian lainnya dibuang ke gunung," tutur penjaga makam Putroe Neng, Cut Hasan.
Konon, Syiah Hudam memiliki mantra penawar racun sehingga ia bisa selamat. Setelah racun tersebut keluar, cahaya kecantikan Putroe Neng meredup. Sampai kematiannya, dia tidak mempunyai keturunan. Sulit mencari referensi tentang Putroe Neng. Sejumlah buku menyebutkan dia bernama asli Nian Nio Liang Khie, seorang laksamana dari China yang datang ke Sumatera untuk menguasai sejumlah kerajaan. Bersama pasukannya, ia berhasil menguasai tiga kerajaan kecil; Indra Patra, Indra Jaya, dan Indra Puri yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar. Beberapa benteng bekas ketiga kerajaan tersebut masih ada di Aceh Besar sampai sekarang.
Namun, Laksamana Nian Nio kalah ketika hendak menaklukkan Kerajaan Indra Purba yang meminta bantuan kepada Kerajaan Peureulak. Bantuan yang diberikan Kerajaan Peureulak adalah pengiriman tentara yang tergabung dalam Laskar Syiah Hudam pimpinan Syekh Abdullah Kana'an. Jadi, Syiah Hudam sesungguhnya adalah nama angkatan perang yang menjadi nama populer Abdullah Kana'an. Merujuk sejarah, pengiriman bala bantuan itu terjadi pada 1180 Masehi. Bisa disimpulkan pada masa itulah Putroe Neng hidup, tetapi tak diketahui pasti kapan meninggal dan bagaimana sejarahnya sampai makamnya terdapat di Desa Blang Pulo, Lhokseumawe.
Meski tak bisa menunjukkan makamnya, di mata Cut Hasan kematian 99 suami Putroe Neng bukanlah mitos. Ia mengaku mengalami beberapa hal gaib selama menjadi penjaga makam. Ia bermimpi berjumpa dengan Putroe Neng dan dalam mimpi itu diberikan dua keping emas. Paginya, Cut Hasan benar-benar menemukan dua keping emas berbentuk jajaran genjang dengan ukiran di setiap sisinya. Satu keping dipinjam seorang peneliti dan belum dikembalikan. Sementara satu keping lagi masih disimpannya sampai sekarang.
Menurut budayawan Aceh, Syamsuddin Djalil alias Ayah Panton, kisah kematian 99 suami hanya legenda meski nama Putroe Neng memang ada. Menurutnya, kematian itu adalah tamsilan bahwa Putroe Neng sudah membunuh 99 lelaki dalam peperangan di Aceh."Sulit ditelusuri dari mana muncul kisah tentang kemaluan Putroe Neng mengandung racun," ujar Syamsuddin Jalil saat ditemui di rumahnya di Kota Pantonlabu, Aceh Utara, Selasa (26/4). Ali Akbar yang banyak menulis buku sejarah Aceh, juga mengakui kisah kematian 99 lelaki itu hanyalah legenda.
Makam Putroe Neng yang terletak di pinggir Jalan Medan-Banda Aceh (trans-Sumatera), memang sarat dengan kisah gaib. Misalnya, ada kisah seorang guru SMA yang meninggal setelah mengambil foto di makam tersebut. Ada juga yang mengaku melihat siluet putih dalam foto tersebut atau foto yang diambil tidak memperlihatkan gambar apa pun. Sayangnya, berbagai kisah gaib itu, plus legenda kematian 99 suami Putroe Neng pada malam pertama, tidak menjadikan makam tersebut menjadi lokasi wisata religi sebagaimana makam Sultan Malikussaleh di Desa Beuringen Kecamata Samudera, Aceh Utara.
Pemerintah Kota Lhokseumawe belum menjadikan makam Putroe Neng sebagai lokasi kunjungan wisata. Suvenir tentang Putroe Neng tidak ada sama sekali. Para pengunjung yang datang ke makamnya hanya sebatas peneliti dan segelintir masyarakat yang pernah mendengar kisah Putroe Neng. Rendahnya kepedulian terhadap makam Putroe Neng, bisa terlihat dari kondisi makam tersebut yang nyaris tak terawat. Di dalam komplek berukuran sekitar 20 x 20 meter tersebut, terdapat 11 makam, termasuk milik Putroe Neng tetapi selebihnya tidak diketahui milik siapa.
Menurut Teungku Taqiyuddin, seorang peneliti yang getol menggali sejarah Kerajaan Samudera Pasai, dari tulisan yang terdapat di batu nisan, diyakini makam-makam tersebut milik ulama syiah. Lantas, benarkah makam yang selama ini diyakini milik Putroe Neng sahih adanya?
Teungku Taqiyuddin mengaku belum mendapatkan jawaban sehingga keyakinan masyarakat tentang kebenaran makam tersebut belum bisa dipatahkan. "Siapa tahu dengan banyaknya penelitian nanti akan terjawab," kata Teungku Taqiyuddin. Menurutnya, bisa jadi karena ada makam Putroe Neng di sana, kemudian berkermbang cerita tentang kematian 99 suami atau bisa saja kisah itu sudah melegenda sejak lama. Sekitar 200 meter arah selatan makam Putroe Neng, terdapat makam suami ke-100, Syiah Hudam yang terletak di atas bukit perbukitan. Jalan menuju Makam Syiah Hudam sangat tersembunyi, sehingga pengunjung harus bertanya kepada masyarakat setempat karena tidak ada penunjuk jalan. Program Visit Aceh 2011 yang digaungkan Pemerintah Aceh ternyata tidak didukung dengan perbaikan infrastruktur.
Sumber : AnehDidunia.com
Putri Hijau
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Abad 15 dan 16 adalah periode paling berdarah di zona dataran rendah Aceh, Sumatera Timur, dan semenanjung Malaysia. Empat kerajaan saling bantai, berkonspirasi, dan saling menaklukkan untuk memperebutkan kekuasaan pada zona perdagangan internasional yang kini dikenal dengan Selat Malaka. Di tengah kecamuk perebutan kue ekonomi itu, pada tepian sungai Deli–tepatnya sekitar 9 km dari Labuhan Deli–lahirlah sebuah legenda klasik bernama Puteri Hijau.
Legenda Sang Puteri yang selalu digambarkan dengan segala kosa kata kecantikan, bertahan hingga kini dalam dua versi. Versi pertama berasal dari catatan sejarah yang mirip cerita lisan yang berkembang di masyarakat Melayu Deli. Versi kedua adalah hikayat dari masyarakat Karo. Keduanya bertentangan dan kelihatan sekali saling berlomba menonjolkan identitas dan ego suku masing-masing.
Dari versi lisan Melayu, konon pernah lahir seorang puteri yang sangat cantik jelita di desa Siberaya, dekat hulu sungai Petani (sungai Deli). Kecantikannya memancarkan warna kehijauan yang berkilau dan menjadi kesohor ke berbagai pelosok negeri, mulai dari Aceh, Malaka, hingga bagian utara pulau Jawa. Ia kemudian dinamai Puteri Hijau. Dalam hikayatnya, Sang Puteri memiliki dua saudara kembar yang dipercaya adalah seekor naga bernama Ular Simangombus dan sebuah meriam bernama Meriam Puntung.
Alkisah, Ular Simangombus memiliki selera makan yang luar biasa. Ia digambarkan seakan tidak pernah kenyang. Rakyat Siberaya akhirnya tidak sanggup lagi menyediakan makanan untuk naga ini, sehingga Sang Puteri bersama kedua saudaranya memutuskan pindah ke hilir sungai dan menetap di sebuah perkampungan baru yang sekarang dikenal dengan nama Deli Tua. Di sini, para pengikutnya membangun benteng yang kuat. Dengan demikian, negeri itu cepat makmur.
Kecantikan Sang Puteri yang menyebar seperti kabar burung ke segala penjuru, suatu ketika mendarat di telinga Raja Aceh. Ia lantas kepincut dan mengirim bala tentara untuk meminang Puteri Hijau. Utusan langsung dikirim. Pantun bersahut-sahutan. Tapi pinangan ini ditolak dan membuat Raja Aceh betul-betul dilanda murka. Ia merasa diri dan kerajaannya dihina sehingga jatuhlah perintah untuk segera menyerang benteng Puteri Hijau. Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya.
Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut setelah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang. Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas dan meninggalkan posnya. Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang logam, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah menguasai benteng.
Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam adalah salah seorang saudara Puteri Hijau, yaitu Meriam Puntung. Tapi karena ditembakkan terus-menerus, meriam ini menjadi panas, meledak, terlontar, dan terputus dua. Bagian moncongnya tercampak ke Desa Sukanalu Simbelang, Kecamatan Barusjahe. Sedangkan bagian sisanya terlontar ke Labuhan Deli, dan kini ada di halaman Istana Maimoon Medan.
Melihat situasi yang tak menguntungkan, Ular Simangombus, saudara Sang Puteri lainnya, menaikkan Puteri Hijau ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan (Jalan Puteri Hijau), memasuki sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka. Dan hingga sekarang kedua kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau Berhala.
Namun sebuah anak legenda menyebutkan bahwa Puteri Hijau sebenarnya sempat tertangkap. Ia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau memohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, ia diberikan berkarung-karung beras dan beribu-ribu telur.
Tetapi baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat, disusul gelombang yang tinggi dan ganas. Dari perut laut muncul jelmaan saudaranya, Ular Simangombus, yang dengan rahangnya mengambil peti tempat adiknya dikurung. Lalu Puteri Hijau dilarikan ke dalam laut dan mereka bersemayam di perairan pulau Berhala. Menurut cerita ini, saudara-saudara Puteri Hijau adalah manusia-manusia sakti yang masing-masing bisa menjelma menjadi meriam dan naga. Memang, cerita lisan selalu mewariskan banyak versi sesuai selera masing-masing penceritanya.
Kabarnya, setelah di bawa pergi oleh Saudaranya, Ulat Simangombus. Sang raja Aceh membawa sebagian hartanya dan orang orang kepercayaannya. Namun, saat sang Raja pulang. Sang Raja Aceh tidak membawa harta dan para prajurit pilihannya.
Abad 15 dan 16 adalah periode paling berdarah di zona dataran rendah Aceh, Sumatera Timur, dan semenanjung Malaysia. Empat kerajaan saling bantai, berkonspirasi, dan saling menaklukkan untuk memperebutkan kekuasaan pada zona perdagangan internasional yang kini dikenal dengan Selat Malaka. Di tengah kecamuk perebutan kue ekonomi itu, pada tepian sungai Deli–tepatnya sekitar 9 km dari Labuhan Deli–lahirlah sebuah legenda klasik bernama Puteri Hijau.
Legenda Sang Puteri yang selalu digambarkan dengan segala kosa kata kecantikan, bertahan hingga kini dalam dua versi. Versi pertama berasal dari catatan sejarah yang mirip cerita lisan yang berkembang di masyarakat Melayu Deli. Versi kedua adalah hikayat dari masyarakat Karo. Keduanya bertentangan dan kelihatan sekali saling berlomba menonjolkan identitas dan ego suku masing-masing.
Dari versi lisan Melayu, konon pernah lahir seorang puteri yang sangat cantik jelita di desa Siberaya, dekat hulu sungai Petani (sungai Deli). Kecantikannya memancarkan warna kehijauan yang berkilau dan menjadi kesohor ke berbagai pelosok negeri, mulai dari Aceh, Malaka, hingga bagian utara pulau Jawa. Ia kemudian dinamai Puteri Hijau. Dalam hikayatnya, Sang Puteri memiliki dua saudara kembar yang dipercaya adalah seekor naga bernama Ular Simangombus dan sebuah meriam bernama Meriam Puntung.
Alkisah, Ular Simangombus memiliki selera makan yang luar biasa. Ia digambarkan seakan tidak pernah kenyang. Rakyat Siberaya akhirnya tidak sanggup lagi menyediakan makanan untuk naga ini, sehingga Sang Puteri bersama kedua saudaranya memutuskan pindah ke hilir sungai dan menetap di sebuah perkampungan baru yang sekarang dikenal dengan nama Deli Tua. Di sini, para pengikutnya membangun benteng yang kuat. Dengan demikian, negeri itu cepat makmur.
Kecantikan Sang Puteri yang menyebar seperti kabar burung ke segala penjuru, suatu ketika mendarat di telinga Raja Aceh. Ia lantas kepincut dan mengirim bala tentara untuk meminang Puteri Hijau. Utusan langsung dikirim. Pantun bersahut-sahutan. Tapi pinangan ini ditolak dan membuat Raja Aceh betul-betul dilanda murka. Ia merasa diri dan kerajaannya dihina sehingga jatuhlah perintah untuk segera menyerang benteng Puteri Hijau. Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya.
Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut setelah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang. Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas dan meninggalkan posnya. Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang logam, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah menguasai benteng.
Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam adalah salah seorang saudara Puteri Hijau, yaitu Meriam Puntung. Tapi karena ditembakkan terus-menerus, meriam ini menjadi panas, meledak, terlontar, dan terputus dua. Bagian moncongnya tercampak ke Desa Sukanalu Simbelang, Kecamatan Barusjahe. Sedangkan bagian sisanya terlontar ke Labuhan Deli, dan kini ada di halaman Istana Maimoon Medan.
Melihat situasi yang tak menguntungkan, Ular Simangombus, saudara Sang Puteri lainnya, menaikkan Puteri Hijau ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan (Jalan Puteri Hijau), memasuki sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka. Dan hingga sekarang kedua kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau Berhala.
Namun sebuah anak legenda menyebutkan bahwa Puteri Hijau sebenarnya sempat tertangkap. Ia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau memohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, ia diberikan berkarung-karung beras dan beribu-ribu telur.
Tetapi baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat, disusul gelombang yang tinggi dan ganas. Dari perut laut muncul jelmaan saudaranya, Ular Simangombus, yang dengan rahangnya mengambil peti tempat adiknya dikurung. Lalu Puteri Hijau dilarikan ke dalam laut dan mereka bersemayam di perairan pulau Berhala. Menurut cerita ini, saudara-saudara Puteri Hijau adalah manusia-manusia sakti yang masing-masing bisa menjelma menjadi meriam dan naga. Memang, cerita lisan selalu mewariskan banyak versi sesuai selera masing-masing penceritanya.
Kabarnya, setelah di bawa pergi oleh Saudaranya, Ulat Simangombus. Sang raja Aceh membawa sebagian hartanya dan orang orang kepercayaannya. Namun, saat sang Raja pulang. Sang Raja Aceh tidak membawa harta dan para prajurit pilihannya.
Legenda Aceh di Gunung Berbentuk Gadis Tidur Telentang
By Nafiysul Qodar on 22 Mar 2015 at 09:00 WIB
Liputan6.com, Aceh Selatan - Tapaktuan, sebuah kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh ini penuh sejarah, cerita, dan legenda rakyat. Tapaktuan dikenal juga dengan sebutan Kota Naga. Nama Tapaktuan tidak lepas dari cerita dan legenda Tuan Tapa dan 2 ekor naga raksasa.
Di ibukota Aceh Selatan ini, terdapat sejumlah tempat wisata yang memiliki banyak cerita. Ada pantai Tapak Tuan Tapa, air terjun 7 tingkat, Pulau Dua, Batu Berlayar, dan makam Tuan Tapa.
Di bibir pantai Tapak Tuan Tapa, terdapat jejak telapak kaki raksasa berukuran sekitar 4 x 3 meter. Tapak kaki manusia ini berada di atas bebatuan karang pantai.
Menurut juru kunci wisata Tapak Tuan Tapa, Chaidir Karim, Tuan Tapa sejatinya adalah seorang manusia biasa. Dia juga memiliki ukuran tubuh seperti manusia pada umumnya, bukan seorang raksasa. Hanya saja, dia diberikan kelebihan oleh Allah karena ketaatannya, ketakwaannya, dan keimanannya terhadap Sang Maha Penguasa Jagat Raya.
"Banyak orang yang menganggap Tuan Tapa itu manusia raksasa. Tapi sebetulnya menurut cerita dari orang-orang terdahulu Tuan Tapa itu seperti kita. Hanya saja dia diberi kelebihan oleh Allah saat membantu manusia yang bertarung melawan 2 ekor naga," cerita Chaidir kepada Liputan6.com saat berkunjung ke wisata Tapak Tuan Tapa, Aceh Selatan, Sabtu 21 Maret 2015.
Di lokasi tersebut, konon hidup seekor gurita raksasa yang diyakini sebagai penjaga Tapak Tuan Tapa. Gurita tersebut tidak mengganggu masyarakat yang berkunjung asalkan tidak melakukan kemaksiatan maupun hal yang melanggar norma-norma.
Percaya atau tidak, hal mistis di luar nalar kerap terjadi di lokasi Tapak Tuan Tapa ini. Agustus 2014 lalu, 2 pengunjung terseret gelombang besar. 1 Orang berhasil diselamatkan dan 1 lainnya tewas. Jasadnya baru ditemukan 3 hari setelah kejadian. Pengunjung tersebut sebenarnya sudah diperingatkan oleh juru kunci. Namun mereka mengabaikannya.
"Ya, namanya kuasa Allah. Tidak ada yang tahu. Yang penting pengunjung di sini tidak melanggar aturan, tidak maksiat, tidak takabur. Sebelumnya 2 anak itu sudah saya peringatkan, hati-hati karena cuacanya kurang bagus meski saat itu gelombang terlihat tenang," ucap Chaidir.
Bukti kekuasaan Allah lainnya terlihat saat bencana tsunami 2004 lalu. Kota dengan luas 92,68 kilometer persegi ini terlindungi oleh Pulau Simeulue. Gelombang tsunami terpecah saat membentur pulau tersebut sehingga intensitasnya berkurang saat sampai di bibir pantai Kota Tapaktuan.
Namun kisah lain menyebutkan, seorang saksi mata melihat ada sosok berjubah putih besar tinggi di lokasi tongkat Tuan Tapa yang berada sekitar 1 kilometer di dasar laut dari tempat wisata Tapak Tuan Tapa. Sosok tersebut terlihat tengah menengadahkan tangan berdoa kepada Allah saat tsunami, sehingga Tapaktuan terhindar dari bencana maha dahsyat itu.
Lokasi wisata Tapak Tuan Tapa ini masih sangat alami. Pepohonan tumbuh rindang di sekitar lokasi di bukit yang berada di atas tapak. Untuk bisa mencapai ke tapak, pengunjung harus melintasi bebatuan besar dan batu-batu karang, tapi sebagian rute dari pintu masuk sudah dibangun jalan setapak dengan cor semen.
"Dulu sebelum saya ke sini, tempat ini tidak terawat. Ini dulu dijadikan tempat pembuangan sampah. Alhamdulillah renovasi dan pembangunan jalan ini dapat dari bikin proposal ke pemerintah provinsi," ujar juru kunci itu.
Jarak lokasi tapak raksasa dari pintu masuk wisata Tapak Tuan Tapa sekitar 1 kilometer dan ditempuh dengan berjalan kaki. Kendaraan bisa diparkir di halaman samping pos juru kunci. Pengunjung diimbau mematuhi aturan dan peringatan yang terpasang di pintu masuk. Juga diminta berpakaian sopan dan tidak berbuat maksiat di lokasi.
Legenda di Gunung Gadis Tidur Telentang
Bicara Kota Tapaktuan tidak lepas dari legenda putri naga dan seorang petapa sakti. Kisah ini sudah menjadi sejarah lisan masyarakat pesisir Aceh Selatan secara turun temurun.
Konon menurut cerita, hiduplah seorang petapa sakti. Ia bertapa di sebuah gunung yang kini dikenal dengan Gunung Tuan. Jika dilihat secara cermat, gunung tersebut mirip seorang gadis yang tidur telentang dengan rambut panjang terurai.
"Kalau dilihat dari Gunung Lampu, Gunung Tuan itu kelihatan seperti putri yang sedang tidur. Ini kalau nggak ketutup kabut puncaknya, bentuknya bisa kelihatan seperti gambar ini," kata Chaidir sambil menunjukkan gambar di buku legenda Tuan Tapa dan Putri Naga yang ia tulis.
Menurut cerita, banyak orang yang ingin mendatangi puncak Gunung Tuan namun tak ada yang berhasil. Hanya orang yang tersesat atau tak sengaja yang bisa mencapai puncaknya. Di atas gunung terdapat buah-buahan yang jika dimakan orang tersebut bisa kembali pulang. Namun jika buah itu hendak dibawa pulang, maka ia akan kembali tersesat.
Legenda Naga mengisahkan tentang sepasang naga jantan dan betina yang mendiami teluk Tapaktuan. Keduanya diusir dari China karena tidak memiliki keturunan. Suatu ketika kedua naga ini mendapati sesosok bayi perempuan terapung di lautan kemudian dipelihara dengan penuh kasih sayang hingga menjadi seorang gadis cantik.
Suatu ketika sebuah kapal datang dari Kerajaan Asralanoka di India Selatan di mana sekitar 17 tahun sebelumnya sang raja kehilangan bayi yang hanyut ke laut. Sang raja mengenali gadis yang dirawat naga sebagai anaknya yang hilang dari tanda lahir di telapak kakinya.
Raja Asralanoka bermaksud meminta kembali gadis yang diyakini sebagai anaknya. Namun sepasang naga itu menolak karena sudah menganggap sebagai anaknya sendiri. Sang raja kemudian berusaha membawa lari gadis itu ke kapalnya. Ini membuat kedua naga tersebut marah dan terjadilah pertarungan hebat hingga mengusik ketenangan seorang petapa di Gunung Tuan.
Tuan Tapa melihat peperangan hebat antara penumpang kapal dan sepasang naga. Ia kemudian berusaha melerai dan melompat ke sebuah gunung -kini disebut Gunung Lampu- dengan membawa tongkat dan pecinya. Ia membujuk naga mengembalikan gadis ke orangtuanya. Namun naga justru menantang Tuan Tapa. Pertarungan sengit pun tak terhindarkan.
Dalam pertarungan itu, naga jantan berhasil dikalahkan. Naga jantan mati terbunuh akibat pukulan tongkat Tuan Tapa. Tubuhnya hancur berserakan dan darah berceceran menyebar memerahkan tanah, bebatuan, bukit, dan juga air laut. Hati dan tubuh naga hancur berkeping-keping yang kini telah menjadi bebatuan dan bisa dijumpai di pesisir Desa Batu Itam dan Batu Merah sekitar 3 kilometer dari pusat Kota Tapaktuan.
Begitu pula sisa pijakan kaki Tuan Tapa hingga kini masih terlihat di wisata Tapak Tuan Tapa. Tongkat dan pecinya yang kini menjadi batu berada sekitar 1 kilometer dari lokasi tapak.
Sementara itu, sang naga betina yang melihat pasangannya tewas segera melarikan diri kembali ke negeri Tiongkok. Saat melarikan diri, ia mengamuk dan membelah sebuah pulau menjadi 2 yang kini disebut Pulau Dua. Ia juga memporak-porandakan pulau besar hingga menjadi 99 pulau kecil. Kini gugusan pulau tersebut disebut masyarakat sebagai Pulau Banyak di Kabupaten Aceh Singkil.
Sekitar seminggu setelah kejadian tersebut Tuan Tapa menghilang di sekitar Gunung Lampu. Sebagian besar masyarakat meyakini Tuan Tapa sakit dan dimakamkan di dekat Gunung Lampu tepatnya di depan Mesjid Tuo, Gampong Padang, Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan. Makam dengan ukuran sekitar 14 x 4 meter itu hingga kini masih sering didatangi peziarah baik lokal maupun mancanegara.
"Sebetulnya itu bukan makam tapi lokasi terakhir Tuan Tapa menghilang. Tapi banyak orang menganggap itu sebagai kuburan Tuan Tapa," kata Chaidir.
Makam Tuan Tapa pernah mengalami beberapa kali pemugaran semasa Pemerintahan Hindia Belanda. Pada 2003 lalu mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono alias SBY pernah berziarah ke makam keramat itu.
Setelah pertempuran itu, sang gadis yang kini dikenal sebagai Putri Bungsu atau Putri Naga dikembalikan kepada orangtuanya, Raja Asranaloka. Namun mereka tidak kembali ke kerajaan, melainkan memilih tinggal di pesisirnya. Keberadaan mereka diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan. Sementara kapal sang raja kini telah menjadi batu yang terletak di Desa Damar Tutung sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Tapaktuan. (Riz)
Liputan6.com, Aceh Selatan - Tapaktuan, sebuah kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh ini penuh sejarah, cerita, dan legenda rakyat. Tapaktuan dikenal juga dengan sebutan Kota Naga. Nama Tapaktuan tidak lepas dari cerita dan legenda Tuan Tapa dan 2 ekor naga raksasa.
Di ibukota Aceh Selatan ini, terdapat sejumlah tempat wisata yang memiliki banyak cerita. Ada pantai Tapak Tuan Tapa, air terjun 7 tingkat, Pulau Dua, Batu Berlayar, dan makam Tuan Tapa.
Di bibir pantai Tapak Tuan Tapa, terdapat jejak telapak kaki raksasa berukuran sekitar 4 x 3 meter. Tapak kaki manusia ini berada di atas bebatuan karang pantai.
Menurut juru kunci wisata Tapak Tuan Tapa, Chaidir Karim, Tuan Tapa sejatinya adalah seorang manusia biasa. Dia juga memiliki ukuran tubuh seperti manusia pada umumnya, bukan seorang raksasa. Hanya saja, dia diberikan kelebihan oleh Allah karena ketaatannya, ketakwaannya, dan keimanannya terhadap Sang Maha Penguasa Jagat Raya.
"Banyak orang yang menganggap Tuan Tapa itu manusia raksasa. Tapi sebetulnya menurut cerita dari orang-orang terdahulu Tuan Tapa itu seperti kita. Hanya saja dia diberi kelebihan oleh Allah saat membantu manusia yang bertarung melawan 2 ekor naga," cerita Chaidir kepada Liputan6.com saat berkunjung ke wisata Tapak Tuan Tapa, Aceh Selatan, Sabtu 21 Maret 2015.
Di lokasi tersebut, konon hidup seekor gurita raksasa yang diyakini sebagai penjaga Tapak Tuan Tapa. Gurita tersebut tidak mengganggu masyarakat yang berkunjung asalkan tidak melakukan kemaksiatan maupun hal yang melanggar norma-norma.
Percaya atau tidak, hal mistis di luar nalar kerap terjadi di lokasi Tapak Tuan Tapa ini. Agustus 2014 lalu, 2 pengunjung terseret gelombang besar. 1 Orang berhasil diselamatkan dan 1 lainnya tewas. Jasadnya baru ditemukan 3 hari setelah kejadian. Pengunjung tersebut sebenarnya sudah diperingatkan oleh juru kunci. Namun mereka mengabaikannya.
"Ya, namanya kuasa Allah. Tidak ada yang tahu. Yang penting pengunjung di sini tidak melanggar aturan, tidak maksiat, tidak takabur. Sebelumnya 2 anak itu sudah saya peringatkan, hati-hati karena cuacanya kurang bagus meski saat itu gelombang terlihat tenang," ucap Chaidir.
Bukti kekuasaan Allah lainnya terlihat saat bencana tsunami 2004 lalu. Kota dengan luas 92,68 kilometer persegi ini terlindungi oleh Pulau Simeulue. Gelombang tsunami terpecah saat membentur pulau tersebut sehingga intensitasnya berkurang saat sampai di bibir pantai Kota Tapaktuan.
Namun kisah lain menyebutkan, seorang saksi mata melihat ada sosok berjubah putih besar tinggi di lokasi tongkat Tuan Tapa yang berada sekitar 1 kilometer di dasar laut dari tempat wisata Tapak Tuan Tapa. Sosok tersebut terlihat tengah menengadahkan tangan berdoa kepada Allah saat tsunami, sehingga Tapaktuan terhindar dari bencana maha dahsyat itu.
Lokasi wisata Tapak Tuan Tapa ini masih sangat alami. Pepohonan tumbuh rindang di sekitar lokasi di bukit yang berada di atas tapak. Untuk bisa mencapai ke tapak, pengunjung harus melintasi bebatuan besar dan batu-batu karang, tapi sebagian rute dari pintu masuk sudah dibangun jalan setapak dengan cor semen.
"Dulu sebelum saya ke sini, tempat ini tidak terawat. Ini dulu dijadikan tempat pembuangan sampah. Alhamdulillah renovasi dan pembangunan jalan ini dapat dari bikin proposal ke pemerintah provinsi," ujar juru kunci itu.
Jarak lokasi tapak raksasa dari pintu masuk wisata Tapak Tuan Tapa sekitar 1 kilometer dan ditempuh dengan berjalan kaki. Kendaraan bisa diparkir di halaman samping pos juru kunci. Pengunjung diimbau mematuhi aturan dan peringatan yang terpasang di pintu masuk. Juga diminta berpakaian sopan dan tidak berbuat maksiat di lokasi.
Legenda di Gunung Gadis Tidur Telentang
Bicara Kota Tapaktuan tidak lepas dari legenda putri naga dan seorang petapa sakti. Kisah ini sudah menjadi sejarah lisan masyarakat pesisir Aceh Selatan secara turun temurun.
Konon menurut cerita, hiduplah seorang petapa sakti. Ia bertapa di sebuah gunung yang kini dikenal dengan Gunung Tuan. Jika dilihat secara cermat, gunung tersebut mirip seorang gadis yang tidur telentang dengan rambut panjang terurai.
"Kalau dilihat dari Gunung Lampu, Gunung Tuan itu kelihatan seperti putri yang sedang tidur. Ini kalau nggak ketutup kabut puncaknya, bentuknya bisa kelihatan seperti gambar ini," kata Chaidir sambil menunjukkan gambar di buku legenda Tuan Tapa dan Putri Naga yang ia tulis.
Menurut cerita, banyak orang yang ingin mendatangi puncak Gunung Tuan namun tak ada yang berhasil. Hanya orang yang tersesat atau tak sengaja yang bisa mencapai puncaknya. Di atas gunung terdapat buah-buahan yang jika dimakan orang tersebut bisa kembali pulang. Namun jika buah itu hendak dibawa pulang, maka ia akan kembali tersesat.
Legenda Naga mengisahkan tentang sepasang naga jantan dan betina yang mendiami teluk Tapaktuan. Keduanya diusir dari China karena tidak memiliki keturunan. Suatu ketika kedua naga ini mendapati sesosok bayi perempuan terapung di lautan kemudian dipelihara dengan penuh kasih sayang hingga menjadi seorang gadis cantik.
Suatu ketika sebuah kapal datang dari Kerajaan Asralanoka di India Selatan di mana sekitar 17 tahun sebelumnya sang raja kehilangan bayi yang hanyut ke laut. Sang raja mengenali gadis yang dirawat naga sebagai anaknya yang hilang dari tanda lahir di telapak kakinya.
Raja Asralanoka bermaksud meminta kembali gadis yang diyakini sebagai anaknya. Namun sepasang naga itu menolak karena sudah menganggap sebagai anaknya sendiri. Sang raja kemudian berusaha membawa lari gadis itu ke kapalnya. Ini membuat kedua naga tersebut marah dan terjadilah pertarungan hebat hingga mengusik ketenangan seorang petapa di Gunung Tuan.
Tuan Tapa melihat peperangan hebat antara penumpang kapal dan sepasang naga. Ia kemudian berusaha melerai dan melompat ke sebuah gunung -kini disebut Gunung Lampu- dengan membawa tongkat dan pecinya. Ia membujuk naga mengembalikan gadis ke orangtuanya. Namun naga justru menantang Tuan Tapa. Pertarungan sengit pun tak terhindarkan.
Dalam pertarungan itu, naga jantan berhasil dikalahkan. Naga jantan mati terbunuh akibat pukulan tongkat Tuan Tapa. Tubuhnya hancur berserakan dan darah berceceran menyebar memerahkan tanah, bebatuan, bukit, dan juga air laut. Hati dan tubuh naga hancur berkeping-keping yang kini telah menjadi bebatuan dan bisa dijumpai di pesisir Desa Batu Itam dan Batu Merah sekitar 3 kilometer dari pusat Kota Tapaktuan.
Begitu pula sisa pijakan kaki Tuan Tapa hingga kini masih terlihat di wisata Tapak Tuan Tapa. Tongkat dan pecinya yang kini menjadi batu berada sekitar 1 kilometer dari lokasi tapak.
Sementara itu, sang naga betina yang melihat pasangannya tewas segera melarikan diri kembali ke negeri Tiongkok. Saat melarikan diri, ia mengamuk dan membelah sebuah pulau menjadi 2 yang kini disebut Pulau Dua. Ia juga memporak-porandakan pulau besar hingga menjadi 99 pulau kecil. Kini gugusan pulau tersebut disebut masyarakat sebagai Pulau Banyak di Kabupaten Aceh Singkil.
Sekitar seminggu setelah kejadian tersebut Tuan Tapa menghilang di sekitar Gunung Lampu. Sebagian besar masyarakat meyakini Tuan Tapa sakit dan dimakamkan di dekat Gunung Lampu tepatnya di depan Mesjid Tuo, Gampong Padang, Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan. Makam dengan ukuran sekitar 14 x 4 meter itu hingga kini masih sering didatangi peziarah baik lokal maupun mancanegara.
"Sebetulnya itu bukan makam tapi lokasi terakhir Tuan Tapa menghilang. Tapi banyak orang menganggap itu sebagai kuburan Tuan Tapa," kata Chaidir.
Makam Tuan Tapa pernah mengalami beberapa kali pemugaran semasa Pemerintahan Hindia Belanda. Pada 2003 lalu mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono alias SBY pernah berziarah ke makam keramat itu.
Setelah pertempuran itu, sang gadis yang kini dikenal sebagai Putri Bungsu atau Putri Naga dikembalikan kepada orangtuanya, Raja Asranaloka. Namun mereka tidak kembali ke kerajaan, melainkan memilih tinggal di pesisirnya. Keberadaan mereka diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan. Sementara kapal sang raja kini telah menjadi batu yang terletak di Desa Damar Tutung sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Tapaktuan. (Riz)
Asal Mula Nama Aceh
Aceh adalah nama sebuah Bangsa yang mendiami ujung paling utara pulau sumatera yang terletak di antara samudera hindia dan selat malaka.
Aceh merupakan sebuah nama dengan berbagai legenda dan mitos , sebuah bangsa yang sudah dikenal dunia internasional sejak berdirinya kerajaan poli di Aceh Pidie dan mencapai puncak kejayaan dan masa keemasan pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam di masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda hingga berakhirnya kesulthanan Aceh pada tahun 1903 di masa Sulthan Muhammad Daud Syah.
Dan walau dalam masa 42 tahun sejak 1903 s/d 1945 Aceh tanpa pemimpin, Aceh tetap berdiri dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari tangan Belanda dan Jepang yang dipimpin oleh para bangsawan, hulubalang dan para pahlawan Aceh seperti Tgk Umar, Cut Nyak Dhien dan lain-lain dan juga Aceh mempunyai andil yang sangat besar dalam mempertahankan Nusantara ini dengan pengorbanan rakyat dan harta benda yang sudah tak terhitung nilainya hingga Aceh bergabung dengan Indonesia karena kedunguan dan kegoblokan Daud Beureueh yang termakan oleh janji manis dan air mata buaya Soekarno.
Banyak sekali tentang mitos tentang nama Aceh, Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh :
1. Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk. Sepeti dikutip oleh H.M. Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba.Orang-orang Arab Saba mengangkut rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.
2. Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.
3. HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho danTangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya.
Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri. Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.
4. Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.
5. Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ;
orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.
6. Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh).
Para anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah. Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung Pande (dahulu),Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.
7. Dalam versi lain diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.
8. Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “Berikan ia padaku karena kamu sudah mengandung dan aku belum.
”Permintaan itu pun dikabulkan oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam diri di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44 hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang mume, a nyang ceh (Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang melahirkan).
9. Mitos lainnya menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk setempat dinamaipohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi nama Aceh.
10. Talson menceritakan, pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari negerinya, tetapi abangnya kemudian menemukannya kembali di Aceh. Ia mengatakan kepada penduduk di sana bahwa puteri itu aji, yang artinya ”adik”. Sejak itulah putri itu diangkat menjadi pemimpin mereka, dan nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.
11. Mitos lainnya yang hidup di kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian, yaitu istri raja yang sedang hamil, lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh yang artinya telah lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.
12. Kisah lainnya menceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata aceh bermakna tidak pecah.
13. Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Acehadalah dari suku Mantir (Mantee, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.
—Okie 07:57, 7 Mei 2011 (UTC)Syauqie
Sumber : GALERI ABIEE
Dari Beberapa Referensi di atas mana yang kira-kira mendekati.. atau kalau memang ada rekomendasi yang lain lebih baik dan benar mohon di share ya
Aceh merupakan sebuah nama dengan berbagai legenda dan mitos , sebuah bangsa yang sudah dikenal dunia internasional sejak berdirinya kerajaan poli di Aceh Pidie dan mencapai puncak kejayaan dan masa keemasan pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam di masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda hingga berakhirnya kesulthanan Aceh pada tahun 1903 di masa Sulthan Muhammad Daud Syah.
Dan walau dalam masa 42 tahun sejak 1903 s/d 1945 Aceh tanpa pemimpin, Aceh tetap berdiri dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari tangan Belanda dan Jepang yang dipimpin oleh para bangsawan, hulubalang dan para pahlawan Aceh seperti Tgk Umar, Cut Nyak Dhien dan lain-lain dan juga Aceh mempunyai andil yang sangat besar dalam mempertahankan Nusantara ini dengan pengorbanan rakyat dan harta benda yang sudah tak terhitung nilainya hingga Aceh bergabung dengan Indonesia karena kedunguan dan kegoblokan Daud Beureueh yang termakan oleh janji manis dan air mata buaya Soekarno.
Banyak sekali tentang mitos tentang nama Aceh, Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh :
1. Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk. Sepeti dikutip oleh H.M. Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba.Orang-orang Arab Saba mengangkut rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.
2. Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.
3. HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho danTangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya.
Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri. Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.
4. Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.
5. Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ;
orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.
6. Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh).
Para anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah. Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung Pande (dahulu),Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.
7. Dalam versi lain diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.
8. Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “Berikan ia padaku karena kamu sudah mengandung dan aku belum.
”Permintaan itu pun dikabulkan oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam diri di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44 hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang mume, a nyang ceh (Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang melahirkan).
9. Mitos lainnya menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk setempat dinamaipohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi nama Aceh.
10. Talson menceritakan, pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari negerinya, tetapi abangnya kemudian menemukannya kembali di Aceh. Ia mengatakan kepada penduduk di sana bahwa puteri itu aji, yang artinya ”adik”. Sejak itulah putri itu diangkat menjadi pemimpin mereka, dan nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.
11. Mitos lainnya yang hidup di kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian, yaitu istri raja yang sedang hamil, lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh yang artinya telah lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.
12. Kisah lainnya menceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata aceh bermakna tidak pecah.
13. Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Acehadalah dari suku Mantir (Mantee, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.
—Okie 07:57, 7 Mei 2011 (UTC)Syauqie
Sumber : GALERI ABIEE
Dari Beberapa Referensi di atas mana yang kira-kira mendekati.. atau kalau memang ada rekomendasi yang lain lebih baik dan benar mohon di share ya
SITUS BERSEJARAH DI ACEH SELATAN
Aceh Selatan adalah salah satu kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Sebelum berdiri sendiri sebagai kabupaten otonom, Aceh Selatan adalah bagian dari Kabupaten Aceh Barat. Pemisahan Aceh Selatan dari Aceh Barat ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1956 pada 4 November 1956.
Kabupaten Aceh Selatan pada tanggal 10 April 2002 resmi dimekarkan sesuai dengan UU RI Nomor 4 tahun 2002 menjadi tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Aceh Selatan.
Wilayah Kecamatan terpadat penduduknya adalah Kecamatan Labuhan Haji diikuti oleh Kecamatan Kluet Utara, Sementara jumlah Penduduk terkecil adalah Kecamatan Sawang. Sebahagian penduduk terkonsenrasi disepanjang jalan raya pesisir dan pinggiran sungai. Kondisi topografi Kabupaten Aceh Selatan sangat bervariasi, terdiri dari dataran rendah, bergelombang, berbukit, hingga pegunungan dengan tingkat kemiringan sangat curam/terjal.
Dari data yang diperoleh, kondisi topografi dengan tingkat kemiringan sangat curam/terjal mencapai 63,45%, sedangkan berupa dataran hanya sekitar 34,66% dengan kemiringan lahan dominan adalah pada kemiringan kemiringan 3,40% dengan luas 254.138.39 ha dan terkecil kemiringan 8-15% seluas 175.04 hektar selebihnya tersebar pada berbagai tingkat kemiringan. Dilihat dari ketinggian tempat (diatas permukaan laut) ketinggian 0-25 meter memiliki luas terbesar yakni 152.648 hektar (38,11%) dan terkecil adalah ketinggian 25,00 meter seluas 39.720 hektar (9,92%).
Sementara itu, sebahagian besar jenis tanah di Kabupaten Aceh Selatan adalah podzolik merah kuning seluas 161,022 hektar dan yang paling sedikit adalah jenis tanah regosol (hanya 5,213 ha).
Situs Sejarah Kabupaten Aceh Selatan
1. Meriam Kerajaan Meukek
Meriam peninggalan sejarah pada masa Kerajaan Meukek yang ditulis oleh Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog menyebutkan, meriam itu dikirim oleh Raja Turki pada tahun 1864 M bersamaan dengan 10 meriam Raja Kerajaan Tapaktuan. Lima meriam untuk Raja Meukek dan 10 meriam untuk Raja Tapaktuan, sewaktu perang di depan Krueng Sirullah pecah antara Belanda dengan rakyat Aceh Selatan, meriam ini sempat dibawa oleh rakyat Meukek dengan perahu layar pembawa kopra menuju pelabuhan Cerocok – Gosong Pakak Tapaktuan pada tahun 1874. Kota Tapaktuan dihujani peluru dari laut. Rakyat Meukek, Labuhanhaji dan Tapaktuan memberikan perlawanan dengan meriam buatan Kerajaan Turki. Pertempuran hebat dan sengit itu tepatnya terjadi pada tanggal 5 Mei 1874 ketika bendera Belanda dikibarkan di Tapaktuan.
2. Rumah Adat Kluet (Rungko)
Rumah Adat Kluet (Rungko) yang terletak di Desa Koto Kluet Tengah didirikan pada tanggal 1 Januari 1861 oleh Raja Menggamat Imam Hasbiyallah Muhummad Teuku Nyak Kuto – keturunan pejuang Kluet Tgk. Imam Sabil yang pernah berperang melawan Belanda dalam Perang Lawe Melang Menggamat. Rumah Adat Kluet – Rungko ini selain tempat tinggal Raja juga berfungsi sebagai tempat perkara jika terjadi perselisihan dan sengketa dalam kehidupan rakyat Menggamat.
3. Makam Teuku Raja Angkasah
Makam Teuku Raja Angkasah terletak di pinggir Sungai Dayah, Desa Buket Gadeng, sekitar 8 km dari Kota Bakongan, Ibu kota Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan. Pahlawan Aceh Selatan ini gugur di medan perang melawan Belanda. Tempat gugurnya Teuku Raja Angkasah sekitar 5 kilometer dari kawasan hutan Buket Gadeng yang ditembak pasukan Belanda dari empat arah. Ia gugur pada tanggal 18 Desember 1925. Saat itu dua panglima utamanya, Panglima Gadeng dan Panglima Idris yang merupakan panglima yang paling setia gugur tertembak di depan mata Teuku Raja Angkasah. Ia sendiri berada dalam posisi terdesak karena dikepung dari empat sisi dalam keadaan habis peluru. Teuku Raja Angkasah mencabut pedangnya, kemudian melompat dengan pekik Allahu Akbar langsung menyerang sejumlah serdadu Belanda. Akhirnya Teuku Raja Angkasah gugur setelah sebutir peluru menembus mulutnya.
4. Makam Tengku Peulumat
Makam Tengku Peulumat terletak di Desa Betong Peulumat Kecamatan Labuhanhaji Timur. Tengku Peulumat nama aslinya Tengku Syekh Abdul Karim, beliau lahir pada tanggal 8 Agustus 1873 di Kota Baru Sungai Tarap Batu Sangkar Minangkabau Sumatera Barat, sejak kecil sampai dewasa Tengku Peulumat berada di kampungnya, setelah dewasa merantau ke Aceh dan menetap di Peulumat, beliau kawin dan berumah tangga di Peulumat. Di Peulumat beliau belajar dan memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren Darussalam Labuhanhaji yang kemudian pesantren ini dipimpin oleh keponakan beliau yang bernama Syech Tengku Muda Wali Al Chalidy. Ia belajar syariat, hakikat dan makrifat. Karena Tengku Peulumat sangat menggandrungi ilmu Tasauf, ia hidup dengan ajaran sufi yaitu kaum yang hidup warak dan khana’ah yang tidak cinta dunia. Karena kesucian dan kebeningan jiwa Tgk. Peulumat menjadi seorang wali atau Aulia Allah. Banyak hal-hal yang diluar logika terjadi pada diri Tengku Peulumat seperti: ia bisa menghilang dan berjalan di atas air dan shalat Jumat ke Masjidil Haram dalam waktu singkat dan bisa kembali ke Peulumat. Sebagaimana cerita yang sudah populer di masyarakat Aceh Selatan bahwa pada suatu hari Tengku Peulumat pergi ke pajak ikan membeli ikan. Dalam perjalan pulang tiba-tiba ia ditegur seorang anak yatim, karena mendapat teguran itu, lantas ikan itu diberikannya kepada anak tersebut. Hal itu sempat dilihat oleh isterinya sambil marah kepada Tengku Peulumat. Tapi dengan tenang Tgk. Peulumat mengatakan bahwa ganti ikan itu sudah ada tergantung di dekat tungku dapur yaitu seekor ikan laut sebesar betis yang masih segar dan masih hidup. Tengku Peulumat meninggal pada tanggal 8 Agustus 1943. Saat jenazahnya dimasukkan ke dalam kubur dan ketika ikat kain kapan bagian lehernya dibuka, kerenda Tgk. Syech Abdul Karim ternyata kosong – jasad Tengku Peulumat raib. Dikabarkan jenajah orang suci – Aulia Allah yang juga oleh masyarakat dijuluki dengan Aulia Allah diangkat dan diusung para Malaikat ke alam Malakut.
5. Al-Qur’an Gadang
Al-Qur’an Gadang terdapat di Desa Kampung Dalam Kec Labuhanhaji, Aceh Selatan. Al-Qur’an Gadang ditulis oleh seorang yang berasal dari Pariaman Minangkabau yang bernama Datuk Sultan Palaci. Al-Qur’an itu ditulis sepulang dari Mekah selama 2 tahun 2 bulan dan 2 hari dengan tangannya sendiri. Setiap Al Quran itu ditulis ia selalu dalam keadaan berwuduk. Ia menulis setiap selesai shalat tahajjud hingga fajar. Ia mulai menulis musaf Al-Qur’an itu pada subuh Juma’t pada tanggal 8 Agustus 1937 dan selesai ditulis pada tanggal 8 Agustus 1939 juga di Subuh Jumat.
Dahulu dan hingga kini Al-Qur’an ini sering dijadikan tempat bersumpah saat orang berperkara (bersengketa). Biasanya terbukti jika orang yang bersengketa itu berbohong.
6. Makam Syekh Muda Waly Al Khalidy
Makam Syekh Muda Waly Al Khalidy terletak di Desa Blang Dalam Kecamatan Labuhanhaji Barat. Syeikh Muda Waly Al khalidy dilahirkan di Desa Blang Poroh, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan pada tanggal 8 Agustus 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Sheikh H. Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu Sangkar, Sumatra Barat. Beliau datang ke Aceh Selatan selaku da’i. Sebelumnya paman beliau yang masyhur dipanggil masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Peulumat yang nama aslinya Sheikh Abdul Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji.
Tgk. Syekh Muda Waly Al Khalidy wafat pada tahun 1961. Ia seorang Ulama besar yang memimpin Pesantren Darussalam di Blang Poroh Kec. Labuhanhaji Barat.
7. Benteng Trumon
Benteng Trumon terletak di Desa Keude Trumon Kecamatan Trumon. Benteng tersebut dibangun pada tanggal 11 Agustus 1770 sampai dengan tanggal 8 Agustus 1802 pada masa pemerintahan Teuku Raja Jakfar dan diteruskan oleh anaknya Teuku Raja Bujang pada masa itu di dalam benteng itu ada tempat percetakan uang kerajaan Trumon sendiri. Pertama uang dicetak di Portugal, Lisabon, kemudian ditiru dicetak di Trumon menjadi uang Trumon atas seizin Kerajaan Portugal dan uang tersebut menjadi uang Trumon. Asal usul Kota Trumon berasal dari Trung Binah Mon. Selanjutnya benteng tersebut dijaga oleh saudara Teuku Raja Ubit sampai turun temurun.
8. Bupaleh
Bupaleh terletak di Desa Kuala Ba’u. Bupaleh berasal dari bahasa Arab Bupalatul, tempat berhujah ulama dalam mencari suatu kebenaran berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Kegiatan itu dilaksanakan mulai tahun 1940. Sebelumnya pada tahun 1888 di kawasan itu juga digunakan sebagai tempat bermusyawarah para ulama keturunan Said yang mengembangkan Agama Islam di Aceh, salah seorang keturunan Said yang berjasa mengembangkan agama Islam di Aceh Selatan ialah Alm. Drs. H. Sayed Mudhahar Ahmad, Msi. mantan Bupati Aceh Selatan. Disebutkan juga di lokasi Bupaleh ini adalah tempat pertama sekali Tengku Syekh Muda Wali mengajarkan Al-Qur’an (belajar mengaji) kepada anak sulungnya Djamaludin Wali.
9. Mesjid Tuo Pulo Kambing
Mesjid Tuo Pulo Kambing terletak di Desa Pulo Kambing Kec. Kluet Utara. Mesjid Tuo Pulo Kambing umurnya sekarang berkisar sekitar 9 abad lebih (tepatnya mesjid ini dibangun pada tgl 8 Agustus 1351 Masehi oleh seorang Ulama yang bernama Syech Muhammad Husin Al-Fanjari Bin Muhammad Al-fajri Kautsar, murid dari seorang ulama Sufi yang datang dari Persia). Mesjid ini mempunyai tiang-tiang yang berukir kalighrafi arab dan tulisan tersebut menceritakan riwayat berdirinya kerajaan-kerajan Islam dahulu di Aceh. Uniknya mesjid ini mempunyai kemiripan dengan mesjid yang pertama dibangun oleh Wali Songo di Jawa. Tiang pertama mesjid ini kayunya diangkut sendirian dari hutan Ruak oleh salah seorang murid Syech Muhammad Husin Al-Fanjari yang bernama Syech Mutawali Al-fanshuri dengan tangan kosong pada tanggal 5 Agustus 1351 Masehi. Setelah tiang pertama dipancangkan selesai shalat subuh, 8 Agustus 1351 baru bersama masyarakat secara bergotong royong mesjid itu dibangun dibawah komando Syech Muhammad Husin Al-Fanjari dengan menyembelih satu ekor kerbau, satu ekor kambing dan satu ekor ayam jantan putih.
10. Makam Raja Lelo (Banta Saidi)
Makam Raja Lelo terletak di Desa Sapik Kec. Kluet Timur. Raja Lelo nama aslinya Banta Saidi lahir 1 Agustus 1780 di Kluet Timur adalah pengikut atau pasukan berani mati Teuku Cut Ali. Ia dikejar marsose Belanda dibawah pimpinan Kapten J. Paris. Di kawasan Kampung Sapik Kecamatan Kluet Timur inilah terjadi pertempuran sengit. Dalam peperangan ini, 19 orang pasukan Panglima Raja Lelo gugur. Serangan ini juga melukai 12 orang tentara marsose dan berhasil menawan Belanda. Pertempuran seru terjadi ketika Banta Saidi atau Panglima Raja Lelo berhadapan dengan Kapten J. Paris dengan pertarungan tangan kosong. Keduanya sama-sama memiliki ilmu kekebalan. Saat itu puluhan butir peluru yang menerjang tubuh Raja Lelo tidak mampu melukai tubuhnya. Demikian juga sebaliknya. Puluhan kali Banta Saidi menebaskan pedangnya ke tubuh Kapten Paris, namun tidak mampu melukai tubuh Kapten Paris karena orang Belanda ini juga memiliki ilmu kebatinan. Panglima Rajo Lelo dan Kapten Paris beradu gulat. Pertarungan sangat sengit dan seru, dan saling banting, saling pukul dan saling terjang. Karena tingkat kesaktian Banta Saidi atau Panglima Raja Lelo lebih tinggi daripada Kapten J. Paris, akhirnya Raja Lelo berhasil menemukan kelemahan kesaktian Kapten Paris. Panglima Raja Lelo segera memagut tubuh Kapten Paris, sambil memegang dan memutar alat vital Kapten Paris. Saat itu juga kapten yang kebal dan sakti ini tewas.
Gambaran kejadian yang menciutkan nyali pasukan marsose dalam perang Kelulum itu dapat diungkapkan dalam bait syair Aceh sebagai berikut:
Prang Bakongan seuhu hana kri
Kaphe neu tadi keunong bak jungka
Matee Angkasah tinggay Cut Ali
Prang teu-jali leubeh nubura
Peudeung neu-gunci su meudeungong
Han jitem tamong meuhana bila
Kapten Paris putoo taloy nyawong
Sakti Limong Raja Lela.
Lima bulan kemudian setelah terbunuhnya Kapten J. Paris, Panglima Raja Lelo jatuh sakit, ia dilarikan ke Suak Bakong untuk dirawat, karena kondisi Suak Bakong masih dijaga ketat pasukan Belanda, malam itu Banta Saidi kembali dibawa ke Kampung Sapik. Malam Jumat tanggal 8 Agustus 1926 Banta Saidi atau Panglima Raja Lelo menghembuskan nafasnya yang terakhir. Jenazahnya dikebumikan di samping kuburan para pasukannya yang gugur terdahulu yaitu di lokasi terjadinya Perang Kelulum Desa Sapik – Kluet Timur, Aceh Selatan.
11. Makam Teuku Cut Ali
Makam Teuku Cut Ali terletak di Desa Suak Bakong, Kluet Selatan. Setelah Teuku Raja Angkasah gugur perlawanan diteruskan oleh Teuku Cut Ali. Teuku Cut Ali lahir pada tanggal 1 Agustus 1867 di Trumon. Ia berjuang menentang Belanda secara gerilya atau berpindah tempat dengan membawa para pengikutnya. Pada tanggal 1 Agustus 1927 terjadilah perang Teuku Cut Ali melawan pasukan Belanda. Menurut penuturan Panglima Untung (Panglima Uleebalang Keujrun Kluet) saksi hidup Teuku Cut Ali gugur di Alue Bebrang Lawe saah Kecamatan Kluet Timur, Aceh Selatan. Pasukan Belanda waktu itu dipimpin oleh Kapten G.F.V. Gosenson perang sengit terjadi di bawah lereng jurang di Alue Beebrang Lawe sawah. Dalam adu tembak itu, isteri Teuku Cut Ali yang bernama Fatimah yang sedang hamil itu tertembak peluru Belanda. Melihat kejadian itu, Teuku Cut Ali Marah dan langsung maju menghadang melawan pasukan Belanda, dalam saling adu tembak Teuku Cut Ali Akhirnya tewas bersama pengikutnya: Fatimah tewas dalam keadan hamil tua, Nyak Meutia Binti Teuku Nago, Imam Sabil alias Ben Kechik, Nyak Jawa alias Abdullah bin Man Peh, Teuku Nago dan Nyak Asan. Setelah memotong Kepala Teuku Cut Ali, Belanda membawa potongan kepala itu ke Suak Bakong untuk di arak dan dipertontonkan kepada warga Suak Bakong, sorenya (1 Agustus 1927) potongan kepala itu dikebumikan di pinggir sungai Kandang Suak Bakong. Sedangkan badannya dikebumikan bersamaan dengan jasad Imam Sabil dalam satu liang. Jenazah Teuku Cut Ali dimandikan oleh Tambi (ayahanda H. Abdul Salam BA – mantan Ketua DPRK Aceh Selatan).
12. Mesjid Tuo Kampung Padang
Mesjid Tuo Kampung Padang terletak di Gampong Padang Tapaktuan, Aceh Selatan. Mesjid Tuo Kampung Padang ini dibangun pada tanggal 10 Agustus 1108 Masehi oleh Syech Al-Jazirazi Farsyiah Bin Ibnu Mansyur dalam bentuk pondok kecil berlantai papan. Kemudian pada tahun 1115 mesjid ini direhabilitasi oleh muridnya Tengku Muhammad Chalidy bin Fasaman. Kemudian pada tahun 1351 Masehi kembali direhabilitasi oleh seorang ulama yang bernama Tengku H. Abdul Manan bin Muhammad Sutan Pariaman. Dari dulu sebelum masuknya penjajahan Belanda, mesjid ini tempat belajar membaca Al-Qur’an dan tempat menyelenggarakan shalat Jumat dan memperingati hari-hari besar Islam seperti Israk Mikraj, 1 Muharram dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Keanehan dan kelebihan Mesjid Tuo ini, di depannya terdapat Makam Tuan Tapa, orang keramat yang membunuh Naga. Setiap memperingati Maulid Nabi, dari permukaan makam Tuan Tapa ini keluar dengan sendirinya talam, piring, mangkok, gelas dan sendok serta perkakas dapur lainnya secara gaib. Kemudian semua benda itu ditaruh kembali setelah digunakan, dan pada tengah malam menurut saksi mata semua benda itu masuk dan hilang kembali ke dalam Makam Tuan Tapa. Menurut penuturan sejarah pada tahun 1938 sampai 1943 Masehi sangat sering Tengku Peulumat datang shalat Dzuhur dan Ashar ke mesjid ini bahkan dikatakan juga Tengku Peulumat yang keramat ini sering tidur siang di mesjid menunggu waktu shalat Ashar. Pada suatu saat Tengku Peulumat sedang tidur, beberapa murid yang sedang belajar mengaji bertanya kepada Tengku Peulumat: “Kenapa Anduang tidur bergelung dan menekukkan lutut seperti orang kedinginan?” Lantas orang suci dan keramat ini menjawab: “Jika kedua kaki ini aku ulurkan kena tepi langit.”
Kemudian pada hari yang lain, saat shalat Ashar tiba-tiba Tengku Peulumat, Paman dari Tgk. Syekh Muda Waly Al Khalidy ini tiba di depan pekarangan Mesjid Tuo dalam keadaan basah kehujanan. Salah seorang jamaah bertanya kepadanya: “Bagaimana Tuanku shalat basah seperti itu?” Lantas Aulia Allah ini membuka bajunya lalu dikibaskannya beberapa kali sehingga semua pakaian yang lagi basah ditubuhnya itu kering seperti baru diangkat dari jemuran.
13. Makam Tuan Tapa
Makam Tuan Tapa terdapat di Gampong Padang Kecamatan Tapaktuan, di depan Mesjid Tuo. Dalam pertarungan antara Tuan Tapa dengan dua ekor Naga karena memperebutkan Putroe Bungsu, akhirnya Tuan Tapa berhasil mengalahkan kedua naga tersebut. Sang Putri pun dapat kembali bersama orang tuanya, tetapi keluarga itu tidak kembali ke Kerajaan Asralanoka, tetapi mereka memilih menetap di Aceh. Keberadaan mereka di Tanah Aceh diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan.
Setelah kejadian itu, Tuan Tapa sakit. Seminggu kemudian Tuan Tapa meninggal dunia pada Bulan Ramadhan Tahun 4 Hijriyah. Jasadnya dikuburkan di dekat Gunung Lampu, tepatnya di depan Mesjid Tuo Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan, dan hingga sekarang makam manusia keramat itu masih bisa kita saksikan. Makam Tuan Tapa itu sudah pernah mengalami beberapa kali pemugaran semasa Pemerintahan Belanda.
Makam Tuan Tapa yang terdapat di Kelurahan Padang, Tapaktuan ini kerap dikunjungi turis lokal maupun turis mancanegara. Pada tahun 2003 dalam acara silaturrahmi Susilo Bambang Yudhotono (SBY) dengan masyarakat Tapaktuan, SBY yang sekarang Presiden Republik Indonesia itu pernah ziarah ke Makam Tuan Tapa yang waktu itu didampingi Gubernur NAD Ir. H. Abdullah Puteh, Bupati Aceh Selatan Ir. H. T. Machsalmina Ali, MM, Darul Qutni Ch Kepala Biro Surat Kabar Ekspos dan pemuka masyarakat setempat Nasiruddin Gani.
Sumber : dmilano.com
Kabupaten Aceh Selatan pada tanggal 10 April 2002 resmi dimekarkan sesuai dengan UU RI Nomor 4 tahun 2002 menjadi tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Aceh Selatan.
Wilayah Kecamatan terpadat penduduknya adalah Kecamatan Labuhan Haji diikuti oleh Kecamatan Kluet Utara, Sementara jumlah Penduduk terkecil adalah Kecamatan Sawang. Sebahagian penduduk terkonsenrasi disepanjang jalan raya pesisir dan pinggiran sungai. Kondisi topografi Kabupaten Aceh Selatan sangat bervariasi, terdiri dari dataran rendah, bergelombang, berbukit, hingga pegunungan dengan tingkat kemiringan sangat curam/terjal.
Dari data yang diperoleh, kondisi topografi dengan tingkat kemiringan sangat curam/terjal mencapai 63,45%, sedangkan berupa dataran hanya sekitar 34,66% dengan kemiringan lahan dominan adalah pada kemiringan kemiringan 3,40% dengan luas 254.138.39 ha dan terkecil kemiringan 8-15% seluas 175.04 hektar selebihnya tersebar pada berbagai tingkat kemiringan. Dilihat dari ketinggian tempat (diatas permukaan laut) ketinggian 0-25 meter memiliki luas terbesar yakni 152.648 hektar (38,11%) dan terkecil adalah ketinggian 25,00 meter seluas 39.720 hektar (9,92%).
Sementara itu, sebahagian besar jenis tanah di Kabupaten Aceh Selatan adalah podzolik merah kuning seluas 161,022 hektar dan yang paling sedikit adalah jenis tanah regosol (hanya 5,213 ha).
Situs Sejarah Kabupaten Aceh Selatan
1. Meriam Kerajaan Meukek
Meriam peninggalan sejarah pada masa Kerajaan Meukek yang ditulis oleh Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog menyebutkan, meriam itu dikirim oleh Raja Turki pada tahun 1864 M bersamaan dengan 10 meriam Raja Kerajaan Tapaktuan. Lima meriam untuk Raja Meukek dan 10 meriam untuk Raja Tapaktuan, sewaktu perang di depan Krueng Sirullah pecah antara Belanda dengan rakyat Aceh Selatan, meriam ini sempat dibawa oleh rakyat Meukek dengan perahu layar pembawa kopra menuju pelabuhan Cerocok – Gosong Pakak Tapaktuan pada tahun 1874. Kota Tapaktuan dihujani peluru dari laut. Rakyat Meukek, Labuhanhaji dan Tapaktuan memberikan perlawanan dengan meriam buatan Kerajaan Turki. Pertempuran hebat dan sengit itu tepatnya terjadi pada tanggal 5 Mei 1874 ketika bendera Belanda dikibarkan di Tapaktuan.
2. Rumah Adat Kluet (Rungko)
Rumah Adat Kluet (Rungko) yang terletak di Desa Koto Kluet Tengah didirikan pada tanggal 1 Januari 1861 oleh Raja Menggamat Imam Hasbiyallah Muhummad Teuku Nyak Kuto – keturunan pejuang Kluet Tgk. Imam Sabil yang pernah berperang melawan Belanda dalam Perang Lawe Melang Menggamat. Rumah Adat Kluet – Rungko ini selain tempat tinggal Raja juga berfungsi sebagai tempat perkara jika terjadi perselisihan dan sengketa dalam kehidupan rakyat Menggamat.
3. Makam Teuku Raja Angkasah
Makam Teuku Raja Angkasah terletak di pinggir Sungai Dayah, Desa Buket Gadeng, sekitar 8 km dari Kota Bakongan, Ibu kota Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan. Pahlawan Aceh Selatan ini gugur di medan perang melawan Belanda. Tempat gugurnya Teuku Raja Angkasah sekitar 5 kilometer dari kawasan hutan Buket Gadeng yang ditembak pasukan Belanda dari empat arah. Ia gugur pada tanggal 18 Desember 1925. Saat itu dua panglima utamanya, Panglima Gadeng dan Panglima Idris yang merupakan panglima yang paling setia gugur tertembak di depan mata Teuku Raja Angkasah. Ia sendiri berada dalam posisi terdesak karena dikepung dari empat sisi dalam keadaan habis peluru. Teuku Raja Angkasah mencabut pedangnya, kemudian melompat dengan pekik Allahu Akbar langsung menyerang sejumlah serdadu Belanda. Akhirnya Teuku Raja Angkasah gugur setelah sebutir peluru menembus mulutnya.
4. Makam Tengku Peulumat
Makam Tengku Peulumat terletak di Desa Betong Peulumat Kecamatan Labuhanhaji Timur. Tengku Peulumat nama aslinya Tengku Syekh Abdul Karim, beliau lahir pada tanggal 8 Agustus 1873 di Kota Baru Sungai Tarap Batu Sangkar Minangkabau Sumatera Barat, sejak kecil sampai dewasa Tengku Peulumat berada di kampungnya, setelah dewasa merantau ke Aceh dan menetap di Peulumat, beliau kawin dan berumah tangga di Peulumat. Di Peulumat beliau belajar dan memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren Darussalam Labuhanhaji yang kemudian pesantren ini dipimpin oleh keponakan beliau yang bernama Syech Tengku Muda Wali Al Chalidy. Ia belajar syariat, hakikat dan makrifat. Karena Tengku Peulumat sangat menggandrungi ilmu Tasauf, ia hidup dengan ajaran sufi yaitu kaum yang hidup warak dan khana’ah yang tidak cinta dunia. Karena kesucian dan kebeningan jiwa Tgk. Peulumat menjadi seorang wali atau Aulia Allah. Banyak hal-hal yang diluar logika terjadi pada diri Tengku Peulumat seperti: ia bisa menghilang dan berjalan di atas air dan shalat Jumat ke Masjidil Haram dalam waktu singkat dan bisa kembali ke Peulumat. Sebagaimana cerita yang sudah populer di masyarakat Aceh Selatan bahwa pada suatu hari Tengku Peulumat pergi ke pajak ikan membeli ikan. Dalam perjalan pulang tiba-tiba ia ditegur seorang anak yatim, karena mendapat teguran itu, lantas ikan itu diberikannya kepada anak tersebut. Hal itu sempat dilihat oleh isterinya sambil marah kepada Tengku Peulumat. Tapi dengan tenang Tgk. Peulumat mengatakan bahwa ganti ikan itu sudah ada tergantung di dekat tungku dapur yaitu seekor ikan laut sebesar betis yang masih segar dan masih hidup. Tengku Peulumat meninggal pada tanggal 8 Agustus 1943. Saat jenazahnya dimasukkan ke dalam kubur dan ketika ikat kain kapan bagian lehernya dibuka, kerenda Tgk. Syech Abdul Karim ternyata kosong – jasad Tengku Peulumat raib. Dikabarkan jenajah orang suci – Aulia Allah yang juga oleh masyarakat dijuluki dengan Aulia Allah diangkat dan diusung para Malaikat ke alam Malakut.
5. Al-Qur’an Gadang
Al-Qur’an Gadang terdapat di Desa Kampung Dalam Kec Labuhanhaji, Aceh Selatan. Al-Qur’an Gadang ditulis oleh seorang yang berasal dari Pariaman Minangkabau yang bernama Datuk Sultan Palaci. Al-Qur’an itu ditulis sepulang dari Mekah selama 2 tahun 2 bulan dan 2 hari dengan tangannya sendiri. Setiap Al Quran itu ditulis ia selalu dalam keadaan berwuduk. Ia menulis setiap selesai shalat tahajjud hingga fajar. Ia mulai menulis musaf Al-Qur’an itu pada subuh Juma’t pada tanggal 8 Agustus 1937 dan selesai ditulis pada tanggal 8 Agustus 1939 juga di Subuh Jumat.
Dahulu dan hingga kini Al-Qur’an ini sering dijadikan tempat bersumpah saat orang berperkara (bersengketa). Biasanya terbukti jika orang yang bersengketa itu berbohong.
6. Makam Syekh Muda Waly Al Khalidy
Makam Syekh Muda Waly Al Khalidy terletak di Desa Blang Dalam Kecamatan Labuhanhaji Barat. Syeikh Muda Waly Al khalidy dilahirkan di Desa Blang Poroh, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan pada tanggal 8 Agustus 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Sheikh H. Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu Sangkar, Sumatra Barat. Beliau datang ke Aceh Selatan selaku da’i. Sebelumnya paman beliau yang masyhur dipanggil masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Peulumat yang nama aslinya Sheikh Abdul Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji.
Tgk. Syekh Muda Waly Al Khalidy wafat pada tahun 1961. Ia seorang Ulama besar yang memimpin Pesantren Darussalam di Blang Poroh Kec. Labuhanhaji Barat.
7. Benteng Trumon
Benteng Trumon terletak di Desa Keude Trumon Kecamatan Trumon. Benteng tersebut dibangun pada tanggal 11 Agustus 1770 sampai dengan tanggal 8 Agustus 1802 pada masa pemerintahan Teuku Raja Jakfar dan diteruskan oleh anaknya Teuku Raja Bujang pada masa itu di dalam benteng itu ada tempat percetakan uang kerajaan Trumon sendiri. Pertama uang dicetak di Portugal, Lisabon, kemudian ditiru dicetak di Trumon menjadi uang Trumon atas seizin Kerajaan Portugal dan uang tersebut menjadi uang Trumon. Asal usul Kota Trumon berasal dari Trung Binah Mon. Selanjutnya benteng tersebut dijaga oleh saudara Teuku Raja Ubit sampai turun temurun.
8. Bupaleh
Bupaleh terletak di Desa Kuala Ba’u. Bupaleh berasal dari bahasa Arab Bupalatul, tempat berhujah ulama dalam mencari suatu kebenaran berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Kegiatan itu dilaksanakan mulai tahun 1940. Sebelumnya pada tahun 1888 di kawasan itu juga digunakan sebagai tempat bermusyawarah para ulama keturunan Said yang mengembangkan Agama Islam di Aceh, salah seorang keturunan Said yang berjasa mengembangkan agama Islam di Aceh Selatan ialah Alm. Drs. H. Sayed Mudhahar Ahmad, Msi. mantan Bupati Aceh Selatan. Disebutkan juga di lokasi Bupaleh ini adalah tempat pertama sekali Tengku Syekh Muda Wali mengajarkan Al-Qur’an (belajar mengaji) kepada anak sulungnya Djamaludin Wali.
9. Mesjid Tuo Pulo Kambing
Mesjid Tuo Pulo Kambing terletak di Desa Pulo Kambing Kec. Kluet Utara. Mesjid Tuo Pulo Kambing umurnya sekarang berkisar sekitar 9 abad lebih (tepatnya mesjid ini dibangun pada tgl 8 Agustus 1351 Masehi oleh seorang Ulama yang bernama Syech Muhammad Husin Al-Fanjari Bin Muhammad Al-fajri Kautsar, murid dari seorang ulama Sufi yang datang dari Persia). Mesjid ini mempunyai tiang-tiang yang berukir kalighrafi arab dan tulisan tersebut menceritakan riwayat berdirinya kerajaan-kerajan Islam dahulu di Aceh. Uniknya mesjid ini mempunyai kemiripan dengan mesjid yang pertama dibangun oleh Wali Songo di Jawa. Tiang pertama mesjid ini kayunya diangkut sendirian dari hutan Ruak oleh salah seorang murid Syech Muhammad Husin Al-Fanjari yang bernama Syech Mutawali Al-fanshuri dengan tangan kosong pada tanggal 5 Agustus 1351 Masehi. Setelah tiang pertama dipancangkan selesai shalat subuh, 8 Agustus 1351 baru bersama masyarakat secara bergotong royong mesjid itu dibangun dibawah komando Syech Muhammad Husin Al-Fanjari dengan menyembelih satu ekor kerbau, satu ekor kambing dan satu ekor ayam jantan putih.
10. Makam Raja Lelo (Banta Saidi)
Makam Raja Lelo terletak di Desa Sapik Kec. Kluet Timur. Raja Lelo nama aslinya Banta Saidi lahir 1 Agustus 1780 di Kluet Timur adalah pengikut atau pasukan berani mati Teuku Cut Ali. Ia dikejar marsose Belanda dibawah pimpinan Kapten J. Paris. Di kawasan Kampung Sapik Kecamatan Kluet Timur inilah terjadi pertempuran sengit. Dalam peperangan ini, 19 orang pasukan Panglima Raja Lelo gugur. Serangan ini juga melukai 12 orang tentara marsose dan berhasil menawan Belanda. Pertempuran seru terjadi ketika Banta Saidi atau Panglima Raja Lelo berhadapan dengan Kapten J. Paris dengan pertarungan tangan kosong. Keduanya sama-sama memiliki ilmu kekebalan. Saat itu puluhan butir peluru yang menerjang tubuh Raja Lelo tidak mampu melukai tubuhnya. Demikian juga sebaliknya. Puluhan kali Banta Saidi menebaskan pedangnya ke tubuh Kapten Paris, namun tidak mampu melukai tubuh Kapten Paris karena orang Belanda ini juga memiliki ilmu kebatinan. Panglima Rajo Lelo dan Kapten Paris beradu gulat. Pertarungan sangat sengit dan seru, dan saling banting, saling pukul dan saling terjang. Karena tingkat kesaktian Banta Saidi atau Panglima Raja Lelo lebih tinggi daripada Kapten J. Paris, akhirnya Raja Lelo berhasil menemukan kelemahan kesaktian Kapten Paris. Panglima Raja Lelo segera memagut tubuh Kapten Paris, sambil memegang dan memutar alat vital Kapten Paris. Saat itu juga kapten yang kebal dan sakti ini tewas.
Gambaran kejadian yang menciutkan nyali pasukan marsose dalam perang Kelulum itu dapat diungkapkan dalam bait syair Aceh sebagai berikut:
Prang Bakongan seuhu hana kri
Kaphe neu tadi keunong bak jungka
Matee Angkasah tinggay Cut Ali
Prang teu-jali leubeh nubura
Peudeung neu-gunci su meudeungong
Han jitem tamong meuhana bila
Kapten Paris putoo taloy nyawong
Sakti Limong Raja Lela.
Lima bulan kemudian setelah terbunuhnya Kapten J. Paris, Panglima Raja Lelo jatuh sakit, ia dilarikan ke Suak Bakong untuk dirawat, karena kondisi Suak Bakong masih dijaga ketat pasukan Belanda, malam itu Banta Saidi kembali dibawa ke Kampung Sapik. Malam Jumat tanggal 8 Agustus 1926 Banta Saidi atau Panglima Raja Lelo menghembuskan nafasnya yang terakhir. Jenazahnya dikebumikan di samping kuburan para pasukannya yang gugur terdahulu yaitu di lokasi terjadinya Perang Kelulum Desa Sapik – Kluet Timur, Aceh Selatan.
11. Makam Teuku Cut Ali
Makam Teuku Cut Ali terletak di Desa Suak Bakong, Kluet Selatan. Setelah Teuku Raja Angkasah gugur perlawanan diteruskan oleh Teuku Cut Ali. Teuku Cut Ali lahir pada tanggal 1 Agustus 1867 di Trumon. Ia berjuang menentang Belanda secara gerilya atau berpindah tempat dengan membawa para pengikutnya. Pada tanggal 1 Agustus 1927 terjadilah perang Teuku Cut Ali melawan pasukan Belanda. Menurut penuturan Panglima Untung (Panglima Uleebalang Keujrun Kluet) saksi hidup Teuku Cut Ali gugur di Alue Bebrang Lawe saah Kecamatan Kluet Timur, Aceh Selatan. Pasukan Belanda waktu itu dipimpin oleh Kapten G.F.V. Gosenson perang sengit terjadi di bawah lereng jurang di Alue Beebrang Lawe sawah. Dalam adu tembak itu, isteri Teuku Cut Ali yang bernama Fatimah yang sedang hamil itu tertembak peluru Belanda. Melihat kejadian itu, Teuku Cut Ali Marah dan langsung maju menghadang melawan pasukan Belanda, dalam saling adu tembak Teuku Cut Ali Akhirnya tewas bersama pengikutnya: Fatimah tewas dalam keadan hamil tua, Nyak Meutia Binti Teuku Nago, Imam Sabil alias Ben Kechik, Nyak Jawa alias Abdullah bin Man Peh, Teuku Nago dan Nyak Asan. Setelah memotong Kepala Teuku Cut Ali, Belanda membawa potongan kepala itu ke Suak Bakong untuk di arak dan dipertontonkan kepada warga Suak Bakong, sorenya (1 Agustus 1927) potongan kepala itu dikebumikan di pinggir sungai Kandang Suak Bakong. Sedangkan badannya dikebumikan bersamaan dengan jasad Imam Sabil dalam satu liang. Jenazah Teuku Cut Ali dimandikan oleh Tambi (ayahanda H. Abdul Salam BA – mantan Ketua DPRK Aceh Selatan).
12. Mesjid Tuo Kampung Padang
Mesjid Tuo Kampung Padang terletak di Gampong Padang Tapaktuan, Aceh Selatan. Mesjid Tuo Kampung Padang ini dibangun pada tanggal 10 Agustus 1108 Masehi oleh Syech Al-Jazirazi Farsyiah Bin Ibnu Mansyur dalam bentuk pondok kecil berlantai papan. Kemudian pada tahun 1115 mesjid ini direhabilitasi oleh muridnya Tengku Muhammad Chalidy bin Fasaman. Kemudian pada tahun 1351 Masehi kembali direhabilitasi oleh seorang ulama yang bernama Tengku H. Abdul Manan bin Muhammad Sutan Pariaman. Dari dulu sebelum masuknya penjajahan Belanda, mesjid ini tempat belajar membaca Al-Qur’an dan tempat menyelenggarakan shalat Jumat dan memperingati hari-hari besar Islam seperti Israk Mikraj, 1 Muharram dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Keanehan dan kelebihan Mesjid Tuo ini, di depannya terdapat Makam Tuan Tapa, orang keramat yang membunuh Naga. Setiap memperingati Maulid Nabi, dari permukaan makam Tuan Tapa ini keluar dengan sendirinya talam, piring, mangkok, gelas dan sendok serta perkakas dapur lainnya secara gaib. Kemudian semua benda itu ditaruh kembali setelah digunakan, dan pada tengah malam menurut saksi mata semua benda itu masuk dan hilang kembali ke dalam Makam Tuan Tapa. Menurut penuturan sejarah pada tahun 1938 sampai 1943 Masehi sangat sering Tengku Peulumat datang shalat Dzuhur dan Ashar ke mesjid ini bahkan dikatakan juga Tengku Peulumat yang keramat ini sering tidur siang di mesjid menunggu waktu shalat Ashar. Pada suatu saat Tengku Peulumat sedang tidur, beberapa murid yang sedang belajar mengaji bertanya kepada Tengku Peulumat: “Kenapa Anduang tidur bergelung dan menekukkan lutut seperti orang kedinginan?” Lantas orang suci dan keramat ini menjawab: “Jika kedua kaki ini aku ulurkan kena tepi langit.”
Kemudian pada hari yang lain, saat shalat Ashar tiba-tiba Tengku Peulumat, Paman dari Tgk. Syekh Muda Waly Al Khalidy ini tiba di depan pekarangan Mesjid Tuo dalam keadaan basah kehujanan. Salah seorang jamaah bertanya kepadanya: “Bagaimana Tuanku shalat basah seperti itu?” Lantas Aulia Allah ini membuka bajunya lalu dikibaskannya beberapa kali sehingga semua pakaian yang lagi basah ditubuhnya itu kering seperti baru diangkat dari jemuran.
13. Makam Tuan Tapa
Makam Tuan Tapa terdapat di Gampong Padang Kecamatan Tapaktuan, di depan Mesjid Tuo. Dalam pertarungan antara Tuan Tapa dengan dua ekor Naga karena memperebutkan Putroe Bungsu, akhirnya Tuan Tapa berhasil mengalahkan kedua naga tersebut. Sang Putri pun dapat kembali bersama orang tuanya, tetapi keluarga itu tidak kembali ke Kerajaan Asralanoka, tetapi mereka memilih menetap di Aceh. Keberadaan mereka di Tanah Aceh diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan.
Setelah kejadian itu, Tuan Tapa sakit. Seminggu kemudian Tuan Tapa meninggal dunia pada Bulan Ramadhan Tahun 4 Hijriyah. Jasadnya dikuburkan di dekat Gunung Lampu, tepatnya di depan Mesjid Tuo Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan, dan hingga sekarang makam manusia keramat itu masih bisa kita saksikan. Makam Tuan Tapa itu sudah pernah mengalami beberapa kali pemugaran semasa Pemerintahan Belanda.
Makam Tuan Tapa yang terdapat di Kelurahan Padang, Tapaktuan ini kerap dikunjungi turis lokal maupun turis mancanegara. Pada tahun 2003 dalam acara silaturrahmi Susilo Bambang Yudhotono (SBY) dengan masyarakat Tapaktuan, SBY yang sekarang Presiden Republik Indonesia itu pernah ziarah ke Makam Tuan Tapa yang waktu itu didampingi Gubernur NAD Ir. H. Abdullah Puteh, Bupati Aceh Selatan Ir. H. T. Machsalmina Ali, MM, Darul Qutni Ch Kepala Biro Surat Kabar Ekspos dan pemuka masyarakat setempat Nasiruddin Gani.
Sumber : dmilano.com
LEGENDA TUAN TAPA DAN PUTRI NAGA
Sejarah Tapaktuan dengan Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga
Legenda Tuan Tapa dan Sepasang Naga
Tapaktuan sangat terkenal dengan sebuah Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga. Cerita tersebut sangat hidup didalam masyarakat disana. Cerita ini sangat mudah untuk dapat kita dengar dari A sampai Z. Adapun Legenda tersebut dibarengi dengan ornamen ornamen yang memiliki bentuk dan rupa seperti yang tersebut di dalam cerita tersebut. Ada baiknya saya ceritakan sedikit tentang Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga itu.
” Alkisah, dizaman dahulu kala, di Aceh Selatan hidup sepasang naga . Sepasang naga ini, memiliki anak perempuan yang disebut Putri Naga atau Putri Bungsu. Putri ini cantik jelita. Putri nan rupawan ini, menurut cerita didapat dari laut kepas disaat selesai badai dahsyat yang menenggelamkan sebuah kapal dari daratan cina.
Konon, pada saat itu, sepasang naga tersebut sedang menyusuri lautan yang bergelombang. Si Naga jantan tiba-tiba berhenti, tertegun memperhatikan sebuah titik hitam di tengah laut. Titik hitam itu menarik perhatiannya. Lamat-lamat titik hitam itu kian mendekat ke arah sang naga disebabkan oleh arus gelombang laut. Si Naga Jantan dan Betina terus memperhatikan titik hitam itu. Ketika titik hitam itu semakin mendekat, Sang Naga melihat adanya kayu pecahan dari sebuah kapal dan diantara kayu-kayu tersebut terdapat seorang bayi mungil tersangkut diatas kayu yang mengapung.
Bayi mungil ini terapung-apung dipermainkan ombak hingga akhirnya sepasang naga itu menolong dan mengasuhnya disarang mereka. Karena sepasang naga tersebut tidak mempunyai keturunan lalu bayi mungil itu mereka jadikan sebagai anak pungut dan diberi nama dengan Putri Bungsu atau lebih dikenal dengan nama Putri Naga. Syahdan, sepasang naga dan si putri bungsu mendiami sebuah daratan disekitar Desa Batu Itam (nama sekarang-red) Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan.
Memang pada masa itu memang sering terlihat masuknya kapal – kapal dagang dari negeri asing ke wilayah Aceh Selatan untuk membeli rempah-rempah yang tumbuh subur didaerah tersebut. Menurut cerita, nilam, cengkeh dan pala merupakan komoditi yang paling banyak terdapat di daratan Aceh Selatan, makanya lalu lintas perairan dikawasan itu cukup ramai.
Kembali kecerita, Sepasang naga itu sangat senang mendapatkan putri berbentuk manusia. Dengan suka cita sepasang naga tersebut mengasuh dan merawat si putri. Sementara itu, setelah selamat dan menepi kedarat orangtua kandung si Putri (asal dari cina –red) begitu sedih kehilangan buah hatinya setelah perahu mereka kandas dihempas badai dahsyat. Mereka berpikir bahwa anak perempuan kesayangannya sudah hilang tenggelam dalam laut, sehingga dengan perasaan pilu (menurut cerita) merekapun kembali kenegeri asal dengan menumpang kapal dagang lain.
Kedua Naga itu sangat menyanyangi putri pungut mereka. Bahkan, Naga betina selalu memeluk putri kecil itu dalam cengkeramnya agar tidak hilang. Layaknya anak-anak, Putri bungsu setelah sadar dari pingsannya, ketakutan dan menangis sejadi-jadinya begitu melihat sosok Naga yang menyeramkan. Walaupun sedih, sepasang naga tersebut berupaya agar Putri bungsu tidak merasa ketakutan dan mau menerima mereka sebagai keluarga barunya. Seiring waktu, Putri bungsu akhirnya menerima keadaannya dan bergaul dengan hangat dengan sepasang naga tersebut.
Saking sayangnya pada Putri Bungsu, naga jantan menciptakan tempat bermain nan indah di gunung itu. Mulai dari tempat pemandian si putri hingga tempat – tempat lainnya dipenuhi agar Putri Bungsu suka dan tidak pergi dari mereka. Semua Semua itu dilakukan agar Putri Bungsu betah tinggal bersama mereka.
Pemandian Tingkat 7
Begitulah, sementara itu waktu terus bergulir. Putri Bungsu pun sudah merangkak remaja. Kedua ekor naga tersebut sangat memuji akan kecantikan Putri Bungsu. Matanya sedikit sipit, kulit yang putih serta pembawaannya yang anggun membuat sepasang naga makin sayang kepada Putri Bungsu. Mereka sangat memanjakan sang putri. Sementara itu, Putri Bungsu yang bertahun-tahun tinggal dan menetap bersama dua ekor naga dalam sebuah gua mulai merasa tidak betah. Berkali-kali dia meminta pada ‘orangtua asuhnya’ agar diperkenankan untuk melihat daratan dan melihat orang-orang, namun kedua naga tidak menyetujui. Dalam anggapan mereka, apabila si putri diizinkan keluar, maka kemungkinan untuk ditinggalkan sudah tentu ada. Itulah sebabnya Putri Bungsu tidak pernah dibawa ke daratan.
Hingga pada suatu hari, Putri Bungsu bertekat untuk segera meninggalkan kediaman orang tua asuhnya tersebut. Niat untuk melarikan diri ini pun dirancang dengan matang sehingga kedua naga yang cerdas itu tidak mengetahui. Hari demi hari terus berlalu, Putri Bungsu yang jelita semakin patuh pada aturan sang naga. Hal ini membuat sepasang naga yakin dan percaya bahwa si putri tidak akan meninggalkan mereka. Oleh karena itu, sering terlihat sepasang naga pergi mengarungi lautan dan meninggalkan Putri Bungsu sendiri di goa kediaman mereka.
Putri Bungsu bukanlah gadis yang bodoh. Walaupun sering ditinggalkan sendiri sehingga peluang untuk pergi terbuka, tapi demi menjaga kepercayaan sang naga kepadanya, dia membiarkan keadaan tersebut berlangsung. Bahkan, pada suatu hari ada terlihat sebuah kapal yang melaju agak dekat dengan kediamannya. Dalam hatinya merasa sangat gembira manakala terlihat olehnya manusia-manusia yang berpakaian rapi berdiri dianjungan kapal. Saat itu dengan berani, Putri Bungsu mulai sering menampakkan diri dipenggir goa agar kehadirannya disitu menjadi perhatian setiap kapal yang lewat.
Hingga pada ketika, disaat sepasang naga berpamitan untuk pergi agak lama sehingga harus meninggalkan sang putri sendirian digoa. Putri Bungsu sangat girang karena dalam kurun waktu tersebut, rencana untuk melarikan diri akan terlaksana. Begitulah, setelah puluhan kilometer naga berlalu, ada sebuah kapal berlayar dan kebetulan sudah menyaksikan keelokan sang putri dan nakhkoda kapal pun segera bersandar didekat pulau itu kemudian membawa Putri Bungsu berlayar. Biasanya, setiap kapal tidak berani dekat-dekat dengan pulau tersebut karena sering bertiup angin kencang dan sering membuat awak kapal sangat kerepotan menjaga agar tidak tenggelam. Hal ini disebabkan oleh ulah kedua naga itu yang tidak ingin tempat mereka didekati.
Setelah Sang Putri berlayar, ditempat lainnya, Naga betina merasa hatinya tidak nyaman sehingga memutuskan untuk kembali kekediaman mereka. Namun betapa bingungnya kedua naga itu karena keberadaan putri bungsu tidak terlihat. Seluruh sudut pulau itu mereka susuri namun Putri Bungsu sudah hilang. Naga Betina sangat sedih sementara itu naga jantan marah.
Akhirnya diputuskan untuk mencari Putri Bungsu dilautan lepas. Sasaran mereka adalah kapal-kapal yang lewat. Kebetulan dilautan terlihat sebuah titik hitam yang melaju dekat dengan sebuah pulau besar. Dengan segera kedua naga tersebut mengejarnya. Setelah mengintai, mereka melihat Putri Bungsu berada disana. Kedua naga sangat marah, mengira Putri mereka diculik manusia sehingga kapal dan seluruh penumpang menjadi terancam. Dengan ketakutan, seluruh penumpang kapal berteriak – teriak. Angin membawa teriakan mereka pada sebuah goa yang bernama Goa Kalam. Didalamnya terdapat seorang tua yang sedang bertapa. (Tidak ada keterangan yang jelas siapa nama sebenarnya dari tokoh ini-red). Orang tua ini disebut dengan Tuan Tapa. Tuan tapa yang mendengar jeritan dan teriakan ketakutan merasa tidak tentram. Lalu, Tuan tapa mengambil tongkatnya dan keluar dari goa. Dengan kesaktiannya, Tuan Tapa melihat dengan jelas ditengah lautan terjadi perkelahian antara sepasang naga dengan penumpang kapal.
Goa Kalam
Tanpa menunggu, Tuan Tapa kemudian merubah ukuran tubuhnya menjadi besar. (menurut cerita, laut didaerah Tapaktuan hanya sebatas pinggangnya -red). Setelah itu dengan pesat, Tuan Tapa menengahi perkelahian yang tidak seimbang itu. Namun sepasang naga yang sudah kalap berbalik menyerang Tuan Tapa. Karena terjadi gelombang besar akibat gerakan sepasang naga itu, Kapal pun terlempar jauh. Perkelahian antara sepasang naga dengan Tuan Tapa berlangsung seru. Bertubi – tubi kedua naga menyemburkan api dari mulutnya sementara ekor dan cakar mereka tidak ketinggalan menyerang. Begitulah, berkat kesaktian dari Tuan Tapa, semua serangan sepasang naga berhasil diredam.
Akibat perkelahian itu, Pulau besar yang berada ditengah laut pun hancur dan terpisah-pisah menjadi 99 buah (selanjutnya disebut dengan Pulau Banyak, pulau ini berada di kabupaten Aceh Singkil)
Hingga pada suatu ketika, Tongkat Tuan Tapa berhasil mengenai tubuh naga jantan sehingga hancur terberai. Darahnya memancar keluar, sebagian besar terpencar ke bagian pesisir dan membeku (Selanjutnya tempat dimana darah naga itu tumpah disebut dengan Desa Batu Sirah atau Batee Mirah). Sementara hati dan jantungnya juga tercampak kepesisir (daerah ini disebut dengan desa Batu Itam atau Batu yang menghitam -red). Naga Jantan mati dengan tubuh hancur.
Melihat pasangannya mati, Naga betina ketakutan lalu melarikan diri. Demi menghindar dari kematian, Naga Betina yang panik lari tanpa tujuan dan menabrak sebuah pulau lainnya sehingga pecah menjadi dua pulau (selanjutnya disebut dengan Pulau Dua, berada diwilayah laut Kecamatan Bakongan Timur Kabupaten Aceh Selatan).
Sementara itu, akibat dari pertempuran antara sepasang Naga dan Tuan Tapa, masih meninggalkan jejak berupa tongkat. Setelah dipugar, Tongkat itu, dipercayai sebagai tongkat Tuan Tapa.
Kemudian, Bagaimana nasib sang Putri? menurut cerita, Sang Putri akhirnya kembali hidup normal layaknya manusia dan hidup bahagia bersama kedua orangtuanya didaratan cina.
Dan Lagenda ini telah diperkuat dengan beberapa bukti yang telah ditinggalkan oleh Si Tuan Tapa berupa Tongkat dan Topinya yang berada di tengah laut Tapaktuan dan hanya bisa di lihat dari sebuah gunung yang bernama Gunung Lampu menjelang pasang sudah surut. Kemudian sebuah Tapak kaki dan makam Tuan Tapa yang ukurannya besar.
Ornamen pendukung cerita Legenda Tuan tap dan Sepasang Naga
Begitulah sedikit cerita tentang Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga dari Kota Tapaktuan menurut versi yang saya kumpul dari beberapa tokoh masyarakat Aceh Selatan. Banyak versi yang beredar didalam masyarakat. terlepas dari beragam versi tersebut semuanya tidak lain hanya ingin memperkenalkan bahwa inilah Kota Naga, Inilah Tapaktuan dengan legendanya yang hebat agar generasi mendatang mengetahui tentang asal usul sebutan Kota Naga yang melekat dengan Kota Tapaktuan.
Keterangan gambar:
1). Batu Merah, 2). Batu Itam, 3).Makam Tuan Tapa, 4). Goa Kalam, 5). Alu Naga dan 6). Bekas Tapak kaki tuan tapa
*disunting kembali pada, 5 Januari 2014 tanpa merubah inti cerita
Sumber : dmilano.com
Legenda Tuan Tapa dan Sepasang Naga
Tapaktuan sangat terkenal dengan sebuah Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga. Cerita tersebut sangat hidup didalam masyarakat disana. Cerita ini sangat mudah untuk dapat kita dengar dari A sampai Z. Adapun Legenda tersebut dibarengi dengan ornamen ornamen yang memiliki bentuk dan rupa seperti yang tersebut di dalam cerita tersebut. Ada baiknya saya ceritakan sedikit tentang Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga itu.
” Alkisah, dizaman dahulu kala, di Aceh Selatan hidup sepasang naga . Sepasang naga ini, memiliki anak perempuan yang disebut Putri Naga atau Putri Bungsu. Putri ini cantik jelita. Putri nan rupawan ini, menurut cerita didapat dari laut kepas disaat selesai badai dahsyat yang menenggelamkan sebuah kapal dari daratan cina.
Konon, pada saat itu, sepasang naga tersebut sedang menyusuri lautan yang bergelombang. Si Naga jantan tiba-tiba berhenti, tertegun memperhatikan sebuah titik hitam di tengah laut. Titik hitam itu menarik perhatiannya. Lamat-lamat titik hitam itu kian mendekat ke arah sang naga disebabkan oleh arus gelombang laut. Si Naga Jantan dan Betina terus memperhatikan titik hitam itu. Ketika titik hitam itu semakin mendekat, Sang Naga melihat adanya kayu pecahan dari sebuah kapal dan diantara kayu-kayu tersebut terdapat seorang bayi mungil tersangkut diatas kayu yang mengapung.
Bayi mungil ini terapung-apung dipermainkan ombak hingga akhirnya sepasang naga itu menolong dan mengasuhnya disarang mereka. Karena sepasang naga tersebut tidak mempunyai keturunan lalu bayi mungil itu mereka jadikan sebagai anak pungut dan diberi nama dengan Putri Bungsu atau lebih dikenal dengan nama Putri Naga. Syahdan, sepasang naga dan si putri bungsu mendiami sebuah daratan disekitar Desa Batu Itam (nama sekarang-red) Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan.
Memang pada masa itu memang sering terlihat masuknya kapal – kapal dagang dari negeri asing ke wilayah Aceh Selatan untuk membeli rempah-rempah yang tumbuh subur didaerah tersebut. Menurut cerita, nilam, cengkeh dan pala merupakan komoditi yang paling banyak terdapat di daratan Aceh Selatan, makanya lalu lintas perairan dikawasan itu cukup ramai.
Kembali kecerita, Sepasang naga itu sangat senang mendapatkan putri berbentuk manusia. Dengan suka cita sepasang naga tersebut mengasuh dan merawat si putri. Sementara itu, setelah selamat dan menepi kedarat orangtua kandung si Putri (asal dari cina –red) begitu sedih kehilangan buah hatinya setelah perahu mereka kandas dihempas badai dahsyat. Mereka berpikir bahwa anak perempuan kesayangannya sudah hilang tenggelam dalam laut, sehingga dengan perasaan pilu (menurut cerita) merekapun kembali kenegeri asal dengan menumpang kapal dagang lain.
Kedua Naga itu sangat menyanyangi putri pungut mereka. Bahkan, Naga betina selalu memeluk putri kecil itu dalam cengkeramnya agar tidak hilang. Layaknya anak-anak, Putri bungsu setelah sadar dari pingsannya, ketakutan dan menangis sejadi-jadinya begitu melihat sosok Naga yang menyeramkan. Walaupun sedih, sepasang naga tersebut berupaya agar Putri bungsu tidak merasa ketakutan dan mau menerima mereka sebagai keluarga barunya. Seiring waktu, Putri bungsu akhirnya menerima keadaannya dan bergaul dengan hangat dengan sepasang naga tersebut.
Saking sayangnya pada Putri Bungsu, naga jantan menciptakan tempat bermain nan indah di gunung itu. Mulai dari tempat pemandian si putri hingga tempat – tempat lainnya dipenuhi agar Putri Bungsu suka dan tidak pergi dari mereka. Semua Semua itu dilakukan agar Putri Bungsu betah tinggal bersama mereka.
Pemandian Tingkat 7
Begitulah, sementara itu waktu terus bergulir. Putri Bungsu pun sudah merangkak remaja. Kedua ekor naga tersebut sangat memuji akan kecantikan Putri Bungsu. Matanya sedikit sipit, kulit yang putih serta pembawaannya yang anggun membuat sepasang naga makin sayang kepada Putri Bungsu. Mereka sangat memanjakan sang putri. Sementara itu, Putri Bungsu yang bertahun-tahun tinggal dan menetap bersama dua ekor naga dalam sebuah gua mulai merasa tidak betah. Berkali-kali dia meminta pada ‘orangtua asuhnya’ agar diperkenankan untuk melihat daratan dan melihat orang-orang, namun kedua naga tidak menyetujui. Dalam anggapan mereka, apabila si putri diizinkan keluar, maka kemungkinan untuk ditinggalkan sudah tentu ada. Itulah sebabnya Putri Bungsu tidak pernah dibawa ke daratan.
Hingga pada suatu hari, Putri Bungsu bertekat untuk segera meninggalkan kediaman orang tua asuhnya tersebut. Niat untuk melarikan diri ini pun dirancang dengan matang sehingga kedua naga yang cerdas itu tidak mengetahui. Hari demi hari terus berlalu, Putri Bungsu yang jelita semakin patuh pada aturan sang naga. Hal ini membuat sepasang naga yakin dan percaya bahwa si putri tidak akan meninggalkan mereka. Oleh karena itu, sering terlihat sepasang naga pergi mengarungi lautan dan meninggalkan Putri Bungsu sendiri di goa kediaman mereka.
Putri Bungsu bukanlah gadis yang bodoh. Walaupun sering ditinggalkan sendiri sehingga peluang untuk pergi terbuka, tapi demi menjaga kepercayaan sang naga kepadanya, dia membiarkan keadaan tersebut berlangsung. Bahkan, pada suatu hari ada terlihat sebuah kapal yang melaju agak dekat dengan kediamannya. Dalam hatinya merasa sangat gembira manakala terlihat olehnya manusia-manusia yang berpakaian rapi berdiri dianjungan kapal. Saat itu dengan berani, Putri Bungsu mulai sering menampakkan diri dipenggir goa agar kehadirannya disitu menjadi perhatian setiap kapal yang lewat.
Hingga pada ketika, disaat sepasang naga berpamitan untuk pergi agak lama sehingga harus meninggalkan sang putri sendirian digoa. Putri Bungsu sangat girang karena dalam kurun waktu tersebut, rencana untuk melarikan diri akan terlaksana. Begitulah, setelah puluhan kilometer naga berlalu, ada sebuah kapal berlayar dan kebetulan sudah menyaksikan keelokan sang putri dan nakhkoda kapal pun segera bersandar didekat pulau itu kemudian membawa Putri Bungsu berlayar. Biasanya, setiap kapal tidak berani dekat-dekat dengan pulau tersebut karena sering bertiup angin kencang dan sering membuat awak kapal sangat kerepotan menjaga agar tidak tenggelam. Hal ini disebabkan oleh ulah kedua naga itu yang tidak ingin tempat mereka didekati.
Setelah Sang Putri berlayar, ditempat lainnya, Naga betina merasa hatinya tidak nyaman sehingga memutuskan untuk kembali kekediaman mereka. Namun betapa bingungnya kedua naga itu karena keberadaan putri bungsu tidak terlihat. Seluruh sudut pulau itu mereka susuri namun Putri Bungsu sudah hilang. Naga Betina sangat sedih sementara itu naga jantan marah.
Akhirnya diputuskan untuk mencari Putri Bungsu dilautan lepas. Sasaran mereka adalah kapal-kapal yang lewat. Kebetulan dilautan terlihat sebuah titik hitam yang melaju dekat dengan sebuah pulau besar. Dengan segera kedua naga tersebut mengejarnya. Setelah mengintai, mereka melihat Putri Bungsu berada disana. Kedua naga sangat marah, mengira Putri mereka diculik manusia sehingga kapal dan seluruh penumpang menjadi terancam. Dengan ketakutan, seluruh penumpang kapal berteriak – teriak. Angin membawa teriakan mereka pada sebuah goa yang bernama Goa Kalam. Didalamnya terdapat seorang tua yang sedang bertapa. (Tidak ada keterangan yang jelas siapa nama sebenarnya dari tokoh ini-red). Orang tua ini disebut dengan Tuan Tapa. Tuan tapa yang mendengar jeritan dan teriakan ketakutan merasa tidak tentram. Lalu, Tuan tapa mengambil tongkatnya dan keluar dari goa. Dengan kesaktiannya, Tuan Tapa melihat dengan jelas ditengah lautan terjadi perkelahian antara sepasang naga dengan penumpang kapal.
Goa Kalam
Tanpa menunggu, Tuan Tapa kemudian merubah ukuran tubuhnya menjadi besar. (menurut cerita, laut didaerah Tapaktuan hanya sebatas pinggangnya -red). Setelah itu dengan pesat, Tuan Tapa menengahi perkelahian yang tidak seimbang itu. Namun sepasang naga yang sudah kalap berbalik menyerang Tuan Tapa. Karena terjadi gelombang besar akibat gerakan sepasang naga itu, Kapal pun terlempar jauh. Perkelahian antara sepasang naga dengan Tuan Tapa berlangsung seru. Bertubi – tubi kedua naga menyemburkan api dari mulutnya sementara ekor dan cakar mereka tidak ketinggalan menyerang. Begitulah, berkat kesaktian dari Tuan Tapa, semua serangan sepasang naga berhasil diredam.
Akibat perkelahian itu, Pulau besar yang berada ditengah laut pun hancur dan terpisah-pisah menjadi 99 buah (selanjutnya disebut dengan Pulau Banyak, pulau ini berada di kabupaten Aceh Singkil)
Hingga pada suatu ketika, Tongkat Tuan Tapa berhasil mengenai tubuh naga jantan sehingga hancur terberai. Darahnya memancar keluar, sebagian besar terpencar ke bagian pesisir dan membeku (Selanjutnya tempat dimana darah naga itu tumpah disebut dengan Desa Batu Sirah atau Batee Mirah). Sementara hati dan jantungnya juga tercampak kepesisir (daerah ini disebut dengan desa Batu Itam atau Batu yang menghitam -red). Naga Jantan mati dengan tubuh hancur.
Melihat pasangannya mati, Naga betina ketakutan lalu melarikan diri. Demi menghindar dari kematian, Naga Betina yang panik lari tanpa tujuan dan menabrak sebuah pulau lainnya sehingga pecah menjadi dua pulau (selanjutnya disebut dengan Pulau Dua, berada diwilayah laut Kecamatan Bakongan Timur Kabupaten Aceh Selatan).
Sementara itu, akibat dari pertempuran antara sepasang Naga dan Tuan Tapa, masih meninggalkan jejak berupa tongkat. Setelah dipugar, Tongkat itu, dipercayai sebagai tongkat Tuan Tapa.
Kemudian, Bagaimana nasib sang Putri? menurut cerita, Sang Putri akhirnya kembali hidup normal layaknya manusia dan hidup bahagia bersama kedua orangtuanya didaratan cina.
Dan Lagenda ini telah diperkuat dengan beberapa bukti yang telah ditinggalkan oleh Si Tuan Tapa berupa Tongkat dan Topinya yang berada di tengah laut Tapaktuan dan hanya bisa di lihat dari sebuah gunung yang bernama Gunung Lampu menjelang pasang sudah surut. Kemudian sebuah Tapak kaki dan makam Tuan Tapa yang ukurannya besar.
Ornamen pendukung cerita Legenda Tuan tap dan Sepasang Naga
Begitulah sedikit cerita tentang Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga dari Kota Tapaktuan menurut versi yang saya kumpul dari beberapa tokoh masyarakat Aceh Selatan. Banyak versi yang beredar didalam masyarakat. terlepas dari beragam versi tersebut semuanya tidak lain hanya ingin memperkenalkan bahwa inilah Kota Naga, Inilah Tapaktuan dengan legendanya yang hebat agar generasi mendatang mengetahui tentang asal usul sebutan Kota Naga yang melekat dengan Kota Tapaktuan.
Keterangan gambar:
1). Batu Merah, 2). Batu Itam, 3).Makam Tuan Tapa, 4). Goa Kalam, 5). Alu Naga dan 6). Bekas Tapak kaki tuan tapa
*disunting kembali pada, 5 Januari 2014 tanpa merubah inti cerita
Sumber : dmilano.com
Langganan:
Postingan (Atom)