Senin, 31 Desember 2012

Jejak Raja di Meureuhom Daya

Oleh: Muhammad Hamzah Hasballah - 29/11/2012 - 15:45 WIB

ABDURRAHMAN berjalan perlahan. Matanya sigap menyapu pandang ke seluruh tamu yang Minggu siang itu, memadati Astaka Diraja. Panglima Kerajaan Daya ini menggenggam erat pedang besi yang melingkung panjang di pinggang kiri. Ia pengawal setia raja.

Adalah Teuku Saifullah bin Teuku Hasymi El Hakimi, keturunan ke-13 raja Daya, yang dikawal Abdurrahman. Ia berdiri mematung di sisi kanan raja yang mengenakan pakaian serba kuning bermanik keemasan. Di sekelilingnya, tiga raja dari wilayah Kerajaan Daya duduk bersahaja, ada juga tamu undangan dari unsur pemerintahan. Sesaat kemudian, raja Daya mulai membacakan titahnya.

Nibak uree nye geutanyee tapeu ingat uree teudeng nanggree dayee…” kata raja, menjelaskan maksud dari perayaan upacara. Ia menyebutkan, perayaan memperingati berdirinya Kerajaan Daya akan selalu dilakukan saban 10 Zulhijjah, atau Idul Adha pertama.

Dalam amanatnya juga, raja menyebutkan, setiap raja di peut sagoe Daya beserta warganya wajib untuk selalu memikirkan negeri Daya, baik di bidang  agama, dan adat. “Seureutee tapeumakmue nanggroe ngen buet meublang, meuladang, ngen meulaot.” Maksudnya, memakmurkan negeri dengan bercocok tanam di sawah, berladang, dan melaut. Begitu juga untuk angkatan perang. Raja menuturkan, mereka wajib menjaga negeri sampai batas lautan hindia.

FOTO | Ahmad Ariska

 Seusai menyampaikan titah, dua khadam kerajaan yang sedari tadi mengipaskan raja, membuka penganan yang dibungkus dalam sebuah nampan berwarna perak. Isinya; nasi dengan lauk lobster, ada juga udang, kepala ikan, dan sayur hasil alam Nanggroe Daya.

Khadam mengenakan pakaian hitam serta selempang khas Aceh dengan jahitan sutra putih yang digantung di dada. Kepalanya dililit sorban putih. Ia mengambil sejumput nasi, kemudian menyuapkan ke mulut sultan. Upacara berlangsung khidmat. Tak ada tawa dan canda saat prosesi sueleng – suap – nasi oleh khadam kepada raja.

Safrizal, pelaku budaya di Meureuhom Daya, menyebutkan, ada suatu keyakinan tentang peninggalan Poe Teumeurehom – gelar untuk raja Daya – yang dihibahkan kepada masyarakat. Misal, mereka yang dulu diberikan kapal laut atau perahu. “Jadi mereka akan mempersiapkan hasil laut dari wilayah Daya ketika upacara,” kata Safrizal. Begitu juga dengan mereka yang menyediakan nasi. Raja, dulunya telah menghibahkan sepetak sawah untuk bercocok tanam.  Kepercayaan itu menjadikan  tradisi ini terus dijaga.

“Ini ritual tahunan yang dipertahankan dan selalu dijalankan. Kalau tidak dilakukan, takutnya kualat,” sebut Safrizal, yang dijumpai Minggu, 28 Oktober 2012, di Astaka Diraja, komplek dari Makam Sultan Alaidin Riayatsyah.
Namun, alangkah disayangkan, kearifan lokal yang dilakukan turun temurun oleh para keturunan raja, maknanya perlahan mulai menguap. “Masyarakat sudah tidak terlalu paham, bahkan di kalangan keluarga sendiri pun, sudah tidak lagi paham. Hanya generasi-generasi awal saja yang mempertahankan ritual ini,” sebut Safrizal.

Meskipun demikian, oleh beberapa pemerhati adat dan keturunan raja Daya, adat tersebut tetap dipertahankan. Safrizal mengatakan, kearifan lokal itu mulai pudar sejak ulee balang atau pimpinan ditujuk oleh Belanda pada masa penjajahan. “Saat itu fungsi raja mulai tidak ada,” katanya.

Raja terakhir yang punya kekuasaaan dan memang punya fungsi pemangku kuasa adalah Hakim Seutia Lila, yang ditunjuk oleh penerus penguasa daya, Sultan Jamalul Alam Badrul Munir. Jamalul Alam berkuasa di Meureuhom Daya tahun 1703, hingga tahun 1726.

Adat yang dimaksud adalah seumeuleng, peumeunap dan pembakaran pham kutika. Seumeuleng,  artinya menyuapkan sejumput nasi ke mulut raja, sebagai tanda beliau telah dilantik atau ditabalkan sebagai penguasa. “Peumeunap adalah menemani sang raja saat bersantap makan,” kata tokoh pemuda Nanggroe Daya, Anwar Zamzami.

“Kalau pham kutika itu nama lampu teplok tujuh mata, yang setiap malam Hari Raya Idul Adha kita bakar di pinggir laut ini. Masing-masing mata punya maksud tersendiri.  Misal lampu yang menghadap ke laut. Kalau lampu itu bersinar terang, berarti hasil lautnya untuk setahun penuh ini akan baik,” jelas Safrizal.

***
Nanggroe Daya – Negeri Daya – meliputi empat sagoe (segi) kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan itu adalah Kerajaan Lamno, Kuala Unga, Keuluang, dan Kerajaan Kuala Daya. Seluruh kerajaan tersebut disatukan oleh Sultan Alaidin Riayatsyah, tahun 1480.

Alkisah, Sultan Aceh Darussalam mengutus Sultan Salatin Alidin Riayatsyah ke Negeri Daya pada tahun 1480, untuk mengatasi kemelut empat kerajaan kecil tersebut. di Kerajaan Kuala Daya, sultan mengumpulkan semua raja.

 Saat itulah sang sultan mendeklarasikan berdirinya kerajaan daya, dengan maklumat Sultan Aceh, bahwa segala urusan diselesaikan dengan hukum Allah, dan hukum adat.

Setelah mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Daya, ia diangkat menjadi raja pertama. “Saat itulah raja di-sueleng, dan diperingati hingga kini,” kata Safrizal
“Kalau dulu itu, pertama kali, yang sueleng (suapi) adalah Sultan Alaidin Inayat Syah, saat mengangkat putranya Sultan Alaidin Riayatsyah sebagai Raja Negeri Daya sekitar tahun 1480,” kata Safrizal.

Saat ini, ada istilah raja sehari. Di mana, fungsi dari raja mulai berubah. Misal Abdurrahman, lelaki berbadan tegap kelahiran Daya ini, menghabiskan kesehariannya dengan pergi melaut. Bahkan, Teuku Saifullah yang mengemban amanat dengan jabatan raja, hanya pekerja swasta di Banda Aceh. “Itu yang saya maksudkan, fungsinya mulai berubah. Jadi ini hanya ritual adat saja, istilahnya raja sehari,” tutur Safrizal.

Hal itu, kata Safrizal, tidak lepas dari faktor penjajahan Belanda, dan sebuah upaya penjajah untuk menggelapkan sejarah kerajaan daya. “Bahkan ada kemungkinan Kerajaan Daya dihancurkan.”

Kerajaan Daya memanglah tidak lagi mempunyai bekas. Hanya makam Sultan Alaidin Riayatsyah yang bergelar Po Teumeurehom dan beberapa keturunannya, di bukit Gle Jong, yang selalu ramai dikunjungi masyarakat dari segala penjuru.

“Kita berdoa memohon keberkahan di sini,” kata Aminah, salah seorang pengunjung makam. Bahkan, banyak juga orang yang melepaskan nazar di makam sultan.

Makam sultan tepat berada di atas bukit kecil di bibir pantai yang indah. Saban hari, ramai pengunjung yang berwisata ke pantai Meurehom Daya ini. Hamparan pasir tanpa gundukan batu karang dengan panorama sunsite menjadi daya tarik wisatawan. Minggu saat perayaan tersebut, ribuan masyarakat penuh sesak, memadati lokasi pantai, dan makam Po Teumeurehom.

***
Saya mengunjungi makam Sultan Alaidin Riayatsyah, pada Minggu, di akhir Oktober lalu. Makam sultan terletak di pinggir pantai di Desa Kuala Daya, 15 menit perjalanan dari Kota Lamno, Ibukota Aceh Jaya.
Mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, perjalanan darat menuju Lamno ditempuh sepanjang 85 kilometer, atau dua jam.



Meskipun diluluhlantakkan tsunami 2004 silam, Aceh Jaya masih tetap menyajikan pantai yang bersih dengan pasir putih yang berkilau kala langit terik. Kala senja, pendar kemilau sunset dengan latar lautan lepas Samudera Hindia.

Selain menyajikan wisata bahari dan budaya, akses ke Lamno, di pantai barat Aceh ini, sangatlah mudah. Jalanan mulus yang dibangun pasca tsunami berkelok membelah gunung Geureute, salah satu gunung tertinggi di Aceh. Dari puncak di ketinggian, hamparan laut luas dengan gugusan pulau kecil akan sangat memanjakan mata.

Mau berbelanja? Hmmm, di Lamno, ada aneka makanan khas yang bisa anda temukan. Seperti ikan kerling, ikan air tawar yang khas Lamno, ikan ataupun gurita kering hasil laut lamno, dan durian lamno yang rasanya legit di lidah.

Di Lamno anda akan menemukan perempuan-perempuan lokal yang disangka turis. Tampilan mereka memang lokal, namun lihatlah wajah mereka. Hidung mancung, kulit putih, dengan mata biru. Mereka, keturunan Portugis, yang konon pernah menduduki wilayah Kuala Daya di Lamno, belasan abad silam.

Di Meureuhom Daya, pada hari yang semakin sore. Naunsa pantai yang teduh saat cuaca mendung di akhir Oktober itu  bertambah ramai. Anak-anak berjingkrak ria, bermain manja di ombak laut yang terus menyapu bibir pantai.

Raja daya telah usai salat dan berdoa di makam sultan. Namun keramaian belum terbendung. Sore itu, di hari raya yang suci bagi umat islam, doa terus dilantunkan. Raja dan pelaku adat Nanggroe Daya berharap, budaya  seumeuleng dan peumenap, peninggal para sultan terus lestari. []

Cerita Anggur Nasi Saat Sultan Iskandar Muda Menjamu Tamu Kerajaan

ADAT istiadat Aceh dalam memuliakan tamu sudah dilakoni sejak masa kerajaan dulu. Seperti halnya tata cara Sultan Iskandar Muda menyambut tamu dari luar negeri yang kerap mengunjungi Aceh pada masa itu.
Berdasarkan catatan orang-orang Eropa, Kerajaan Aceh seringkali mengadakan acara yang panjang lebar untuk penyambutan tamu. Meski tamu tersebut hanya berkunjung ke Aceh tanpa tujuan lain.

 Acara penyambutan tamu ini merupakan pengalaman besar bagi para pelaut Eropa yang tak bisa dilupakan. Upacara itu setiap kali berlangsung menurut urutan yang sama seperti diungkap Lancaster, Beaulieu dan buku Adat Atjeh.

Dalam buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636 M menuliskan, begitu kapal membuang sauh di dekat gosong sungai maka akan datang sebuah perahu kecil dengan Syahbandar dan beberapa pegawai. Termasuk di dalamnya juru tulis bea cukai yang membawa keris raja.

Mereka mencatat segala sesuatu yang akan dipersembahkan kepada sultan, lalu pulang. Esok harinya atau dua hari kemudian, iring-iringan orang kaya datang menghadap ke kapten asing tersebut bersama iring-iringannya.

Setiap hadiah yang akan diberikan kepada Sultan Aceh akan ditutup dengan kain warna kuning. Jika ada surat resmi dari raja Eropa, maka akan ditaruh di atas talam perak yang ditutup dengan kain bersulam emas. Lalu berangkatlah iring-iringan itu menuju kota dan istana.

Di bagian depan, duduk di atas gajah orang kaya. Dia membawa talam dan 6 terompet, 6 genderang dan 6 hobo. Di barisan gajah kedua, duduk seorang kapten di susul dua orang kaya yang menaiki kuda Arab, tiga syahbandar dan semua pegawai bea cukai yang menyusul dengan jalan kaki.

"Maka kami melintasi jalan-jalan, diarak seperti pengantin," kata Beaulieu dengan jenaka.
Setiba di depan pintu istana mereka turun ke tanah, orang kaya menjunjung keris ke atas kepala dan kapten masuk, hanya diikuti beberapa dari orangnya.

Ia melintasi ketiga pelataran sampai ruang pertama tempat ia harus membuka sepatunya. Lalu masuk ke dalam ruang singgasana; di sana sultan duduk di tempat yang tingginya sekitar dua kaki.

Tata cara berikutnya yaitu, kapten asing lalu bersujud di atas sebuah permadani Turki sementara orang kaya menyampaikan surat kepada sang raja. Dia menterjemahkannya. Menurut De Beaulieu, seirng kali terjemahan tersebut tersendat-sendat.

Setelah itu, antara orang Eropa dan Kerajaan Aceh mengadakan pertukaran hadiah. Kebiasaan pada zaman itu, orang Eropa menghadiahkan senjata yang bagus-bagus. Sering yang berpamor, batu mulia atau cermin.
Sebagai balasan, sultan menghadiahkan sehelai jubah putih panjang yang diletakkan dalam talam perak. Selain itu juga ada surban penuh sulaman emas, kadang-kadang ikat pinggang yang lebar dan dua bilah keris.

Menurut keterangan Augustin de Beaulieu, dia juga menerima sebuah bejana besar dari emas penuh sirih. Jika ada surat dari sultan untuk "saudara"nya di Eropa akan ditaruh di pasu perak dalam bungkusan beludru merah bertali emas. Surat itu ditulis dengan huruf emas atas kertas yang sangat licin dengan hiasan emas dalam gambar-gambar di pinggiran surat.

Setelah acara tersebut, biasanya raja menjamu kapten dan perwira-perwiranya. "Kami pergi ke sebuah ruang persegi empat yang dinding dan lantainya dilapis kain dari Turki."

Kepadanya ditawarkan sirih dalam tempat emas yang besar dengan tutup dari zamrud. Lalu datanglah sekitar 30 perempuan, masing-masing dengan membawa sebuah bejana perak besar yang tertutup, yang kemudian mereka letakkan di atas permadani.

Setiap bejana ditutup dengan kain emas atau kain songket dari bahan sutra campur benang emas dan beberapa permata yang menyentuh di tanah. Setelah diberi tanda, para perempuan tadi membuka bejana yang sebesar pasu besar dan jeluk sekali sehingga tingginya bersama tutupnya lebih dari 2.5 kaki.
"Dari masing-masing bejana itu dikeluarkan 6 pinggan emas penuh dengan manisan, daging dan kue yang dimasak seperti lazimnya di negeri itu," kata Beaulieu.

Beualieu menambahkan, ada bejana-bejana dari porselin Cina dan dua tempat tembaga besi nasi yang diperuntukkan bagi penolong raja. Hal ini sesuai dengan keterangan Best, "The King presented me with a banker of at least foure hundred dishes with such plentie of hot drinks as might have sufficed a drunken army."

Makanannya banyak, ada minuman "racke" (arak), anggur nasi yang tinggi kadar alkoholnya (mungkin yang dimaksud adalah tape, yaitu nasi yang sudah diperam dengan ragi kemudian dimakan dengan santan yang rasanya asam). Anggur nasi ini menurut beberapa penjelajah Eropa terlalu keras untuk mereka.





















"This wine is made of rice and is a strong as any of aquaevitae; a little will serve to bring one asleepe. The generall after the first draught, dranke either water mingled there with all, or pure water. The King gave him leave so to doe; for the generall beg his pardon as not able to drinke so strong drinke," ujar Lancaster dalam laporannya terkait minuman keras ini.

Sesudah jamuan makan, sultan memanggil para penari. Lalu dibawa masuk sebuah permadani berlatar emas yang digelar antara tempat ia berada dan tempat saya, lalu datang 15 atau 20 perempuan yang mengambil tempat sepanjang tembok. Suara mereka ditiru seperti genderang kecil yang mereka pegang dan menyanyikan lagu-lagu kemenangan yang dicapai raja selama pemerintahannya.

Masih menurut kesaksian de Beaulieu, dari sebuah pintu kecil masuklah dua perempuan atau gadis yang pakaiannya aneh namun cantik sekali.

"Tidak kukira ada yang seputih itu di negeri sepanas ini, sedangkan dandanannya belum pernah saya lihat sedemikian. Sukar bagi saya menerangkannya sebab seluruhnya dari emas belaka."

Dia mengatakan, para penari ini memakai topi yang berdiri dari unting-untingan emas di atas rambutnya. Emas tersebut begitu gemerlapnya seperti jambul-jambul sepanjang 1.5 kaki. Mereka juga memakai antin-anting besar yang juga dari unting-untingan emas dan menggantung sampai ke bahu. Bahunya ditutupi sejenis hiasan ketat yang melingkari leher dan melebar membentuk lidah-lidah lancip lengkung seperti sinar matahari.
"Seluruhnya diukti dari lempeng emas yang aneh sekali..."

Beualieu juga mengatakan, di atas sebuah kemeja atau baju dari kain emas dengan sutera merah yang menutupi dada, dengan ikat pinggang besar yang lebar benar, terbuat dari unting-untingan emas: pinggul mereka diikat ketat dengan selajur kain emas sebagaimana kebiasaannya di negeri itu, dan di bawahnya celana, juga dari kain emas yang tidak melampaui lutut dan yang digantungi beberapa kerincing emas kecil.
Lengan dan kaki telanjang tapi dari pergelangan sampai siku tertutup renda emas berpemata, seperti juga di atas siku dan dari pergelangan kaki sampai betis.

Di pinggang, masing-masing ada keris atau pedang yang hulu dan sarungnya penuh permata, dan tangan mereka memegang kipas besar dari emas dengan beberapa kerincing kecil di pinggirannya.
Selain jamuan tadi, terkadang utusan luar negeri juga diajak oleh Sultan berendam dalam air mancur yang letaknya lima atau enam mil dari kota.

"Sang raja menjamu saya dengan makanan lezat dan "racke" yang berlimpah-limpah, dan kami harus makan dan minum segalanya itu sambil duduk di dalam air. Semua bangsawan dan kapten besarnya hadir. Santapan kami berlangsung dar pukul satu sampa kira-kira pukul lima, lalu raja memperbolehkan saya pergi," kisah Best seperti yang ditulis Lombard dalam bukunya.

Begitulah cara Sultan Aceh menjamu tamunya pada masa itu. Hingga saat ini, masyarakat Aceh masih mempertahankan beberapa adat tersebut seperti halnya menyambut tamu dengan tari ranup lampuan dan jamuan makanan yang berlimpah.[bna]
 
  Sumber : Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda karya Denys Lombard

Lelaki Aceh Era Iskandar Muda: Sunat Umur 6 Tahun dan Menikah Usia 16 Tahun?

ACEH tampaknya pernah mengalami satu masa ketika pernikahan dini merupakan hal yang lumrah, bahkan menjadi keharusan. Setidaknya, begitulah yang digambarkan Denys Lombard dalam penelitiannya yang kemudian dibukukan dengan judul “Kerajaan Aceh Zaman Zultan Iskandar Muda (1607-1636)”.

Perihal  pernikahan dini ini dibahas Dennys Lombard dalam sub bab tentang gaya hidup orang Aceh masa kerajaan Sultan Iskandar Muda.  Mengenai hal ini, Lombard mengutip buku Bustanus Salatin karya Nuruddin Ar-raniry, ulama dari Gujarat yang menulis buku berdasarkan perintah Sultan Iskandar Thani yang naik tahta setelah Iskandar Muda.

Dalam buku yang terjemahan Melayu berarti Taman Raja-Raja itu disebutkan enam hal yang menjadi kewajiban orang tua terhadap anaknya.

Pertama, memandikan anak waktu lahir dan membisikkan mantera-mantera (kemungkinan yang dimaksud adalah azan) yang cocok di telinganya yang kanan lalu di telinganya yang kiri.

Kedua, sesudah tujuh hari, mencukur kepala anak dan mengadakan kenduri.

Ketiga, apabila anak mencapai umur enam tahun ia harus dikhitan dan diberi nama.

Keempat, apabila umurnya tujuh tahun, ia harus pindah kamar dan diajarkan bersembahyang.

Kelima, apabila umurnya tiga belas tahun, ia harus dibiasakan beribadah.

Keenam, apabila umurnya enam belas atau tujuh belas tahun, ia harus diberi istri. Sementara itu seyogyanya dicarikan guru-guru yang pandai mengajarkan tata karma dan taktik perang.

Sayangnya, tidak ada keterangan lebih rinci apa alasannya orang Aceh zaman itu menikahkan anak di usia 16-17 tahun. []

Seperti Apa Gaya Hidup Aceh di Era Iskandar Muda?

PENELITI Perancis Denys Lombard membuktikan bahwa era kejayaan Aceh pada masa Iskandar Muda bukanlah dongeng seperti disebut peneliti Belanda Snouck Hurgronje. Seperti apa gaya hidup orang Aceh pada masa itu?

Mengenai hal ini, Lombard membahasnya secara khusus pada sebuah bagian dari bukunya berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Berdasarkan sejumlah dokumen lama, Lombard menulis soal pakaian, makanan, hingga perkawinan.
Mengenai pakaian, 

Mengutip keterangan seorang penjelajah  Francois Martin dari dokumen tahun 1604, Lombard menulis,”Pakaian mereka biasanya dari belacu biru –jenis yang paling bagus, warnanya merah lembayung. Mereka mempunya kebiasaan aneh, yaitu di atas kepala mereka memakai serban yang diikat seperti gulungan, sedemikian rupa sehingga ujung kepalanya tak tertutup—seperti dipakai anak-anak gadis kita kalau menjunjung kenceng susu mereka.

Di pundak, mereka memakai baju atau rompi dengan lengan yang lebarnya bukan alang kepalang dan yang ketat di pergelangan, sebuah “lunghee” yang melilit pinggang, pedang panjang di sisi, kurang lebih seperti caranya di Deccan, yang bergantung pada sabuk yang selempangkan.”

Keterangan lain yang ditemukan Lombard adalah berdasarkan catatan Peter Mundy dalam bukunya The Travels of Peter Mundy in England, Western India, Achen, Macao and the Canton Province, 1634-1637. Dalam buku itu, kata Lombard, Mundy menulis,”Semua laki-laki mencukur bibir atas dan dagunya; semuanya jalan tanpa alas kaki, dari raja sampai pengemis yang paling kere.”

Lombard juga mengutip keterangan Dampier pada tahun 1688.  Keterangan ini juga dikutip dari buku Francois Martin. Isinya,”yang paling terkemuka dari mereka memakai kupiah yang pas di kepala, terbuat dari kain wol yang diwarnai merah atau warna lain dan yang bentuknya seperti topi tanpa tepi; …mereka memakai celana pendek dan orang bangsawan memakai sepotong kain sutera yang longgar di atas pundak…; tetapi orang kecill telanjang dari pinggang ke atas.

 Mereka juga tidak memakai kaos kaki atau sepatu dan hanyalah orang kaya-kaya yang memakai semacam sandal. Perempuan kebanyakan mempunya beberapa lubang di telinga yang di dalamnya dipasang perhiasan yang kadang-kadang berat sekali.”

Soal cara makan, Lombard bersandar pada catatan perjalanan Laksamana Perancis Augustin De Beaulieu yang datang ke Aceh pada 1620. Beaulieu menulis,”apabila orang Eropa membicarakan soal makanan, mereka heran karena sifatnya yang sangat sederhana.

Mereka cukup makan sedikit saja: makannya hampir selalu nasi saja. Mereka yang kaya makan dengan sedikit ikan, sedikit sayuran dan baru orang besarlah yang makan ayam yang dibakar di atas arang atau yang direbus untuk satu hari penuh. “

Keterangan lain mengenai makanan ini dikutip dari Dampier yang bercerita bahwa di pasar ada “uanggas, ikan dan daging kerbau bagi orang bangsawan”, ia berkata seterusnya “semuanya itu dimasak enak benar dan disedapkan dengan lada dan bawang putih.”

Lombard juga menyinggung soal sistem perkawinan. Meskipun juga merujuk pada buku Snouck Hurgranje, Lombard juga menyandingkannya dengan catatan De Beulieu pada abad ke-17 yang menulis,”sesuai dengan hukum Muhammad, mereka memperistri perempuan sebanyak yang mereka inginkan atau dapat mereka hidupi, tetapi salah satu di antara perempuan itu adalah isteri utama dan anak-anaknyalah yang menjadi pewaris yang sah; mereka tidak memperlihatkan istri mereka atau mengizinkannya keluar rumah, tetapi yang boleh keluar ialah budak dan beberapa selir mereka.

Si suami biasanya memperistri dara muda dan ia harus membayar untuk memperolehnya dari orang tuanya, dan harus memberinya sebagian dari harta bendanya sebagai warisan. Inilah yang digambarkan oleh Snouck Hurgronje dengan istilah “jinamee”.

Lahir di Perancis pada 1938, Lombard sudah lama memendam rasa penasaran akan nama besar Sultan Iskandar Muda. Pada 1967, setelah menelusuri sejumlah catatan sejarah tentang Aceh dan Iskandar Muda, ia menyelesaikan penelitiannya. Lombard menyelisik sejumlah dokumen, buku-buku lawas, hingga manuskrip yang tersimpan di sejumlah museum di luar negeri.

Sejumlah buku yang menjadi rujukannya antara lain Bustanussalatin karya Nurruddin Ar-Raniry, Hikayat Aceh yang anonim, catatan perjalanan Laksamana Perancis Augustin De Beaulieu yang datang ke Aceh pada 1620, hingga korespondensi surat menyurat antara Sultan Iskandar Muda dan sejumlah kerajaan di Eropa dan Timur Tengah. Lombard juga membongkar dokumen sastra Cina zaman Dinasti Ming.

Sebagian besar isi buku Lombard ini memang bersandar pada catatan perjalanan De Beaulieu. Alasannya, Beaulieu adalah satu-satunya orang Eropa yang dipercaya sultan untuk keluar masuk istana. Beaulieu pun sempat menetap setahun di Aceh. []

25 Desember 1873, Perang di Kampoeng Lemboe Atjeh

TANGGAL 25 Desember 1873 dicatat oleh prajurit Belanda sebagai hari berperang di Kampoeng Lemboe di Aceh. Sayangnya, tak ada catatan detail tentang dimana persisinya Kampong Lemboe itu berada.

Catatan perang di Kampoeng Lemboe itu ditulis oleh Kapten Infanteri W.J.Philips dalam bukunya berjudul "Penjoeratan Pekerja-an Perang di Negeri Atjeh."

Buku yang dicetak tahun 1889 ini berisi 12 cerita perang pasukan Belanda di Aceh dari tahun 1873 hingga 1878. Tentu saja ceritanya dari sudut pandang serdadu Belanda.

Dalam pengantar buku itu Philips antara lain menyebutkan, cerita itu dibukukan agar menjadi menjadi contoh bagi serdadu Belanda yang lain.

Simaklah bunyi alenia pertama dari tiga alenia kata pengantar buku itu: "Maka goenaja tjerita tjerita ini, ija-itoe soepaja soldadoe soldadoe moeda mendapat tertoendjoek pada perboewatan jang masjhoer kawannja, sedang perang di negerie Atjeh, dan djoega soepaja dia orang menoeroet kalakoean pelawan itoe, kaloe ija dikirimkan ka medang perang."  

Di bawah ini adalah catatan W.J. Philips tentang peristiwa pada 25 Desember 1873, sesuai ejaan aslinya.

Perang di Kampoeng Lemboe

Pada hari 25 December 1873.

Dari pada segala perboewatan pelawan di negeri Atjeh, jang haroes di tjeriterakan, ija- itoe sakoetika bataljon tiga berperang di kampoeng Lemboe pada hari 25 boelan Dec. 1873.

Maskipoen waktoe itoe beberapa soldadoe mininggal doenija di medan perang, akan tetapi kabraniannja itoe memberikan kahormatan kapada bandera narandji, jang mengikoet bataljon tiga.

Dari sabab itoe dan akan lain perboewatan di medan perang, pada titah Eadja bandera itoe beroleh bintang karadjaän, ternama Militaire Willemsorde.

Haroeslah satoe-satoe soldadoe jang mengi- koet bataljon tiga itoe, salamanja mengingati perboewatan pelawan temannja dhoeloe.

Maka baiklah satoe-satoe soldadoe tahoe perboewatan bataljon tiga, sedang berperang akan mengalahkan kampoeng Lemboe, jang teramat koewatnja.

Pada hari jang terseboet di atas ini, bataljon tiga bersama dengan lain-lain Bataljon di soeroeh berangkat ka-kampoeng Lemboe.

Berbahaja betoel bataljon tiga itoe, sedang menghadap benteng-benteng jang berkoeliling pinggir kampoeng.

Doewa kali benteng itoe di serang sabaik- baiknja, maka doewa kali djoega bataljon itoe di oendoerkan oleh moesoeh.

Tatkala itoe mendjadikan ketjil hati soldadoe, maka Adjudant onder-officier E. C. O. VON BREDOW, jang memikoel bandera narandji itoe laloe berlari ka pinggir kampoeng, serta bandera itoe di tanamkan di kaki tembok benteng.

Baroelah orang menengok berbahaja bandera itoe, maka satjepat-tjepatnja officier dan soldadoe berlari kahadapan, sedang bandera itoe di kepoengkan berkoeliling.

Seperti karang batoe di tengah laoet, jang sija-sija di poekoel ombak, serta tida bisa di roeboehkan, bagitoelah orang-orang pelawan itoe tetap tinggal di tampatnja.

Maskilah beriboe pelor moesoeh berbahajakan officier dan soldadoe jang mengepoeng bandera itoe, maka tida ada satoe jang meng- ingat akan moendoer.

Bersama-sama, benteng Atjeh itoe dilanggar dengan soenggoeh-soenggoeh, maskipoen koewat sangat pelawanan moesoeh itoe.

Seperti matjan galak bataljon tiga itoe tampil menjerang benteng-benteng Atjeh. sertamerebahkan segala barang, jang menahankan djalannja ; moesoeh itoe jang berani melawan ditikam dengan bajonet.
Tida lama kamoedian dari pada itoe; antero kampoeng dikalahkan.

Maka dari sabab kalakoean, jang amat beraninja, bintang tandjoeng, ija-itoe M i l i t a i r e Willemsorde di berikan kapada Adjudant onder-offlcier VON BREDOW, Sergeant majoor J. BACH, dan Sergeant ambon L. LATOEMAINA.

Bintang tandjoeng itoe jang soedah di be- rikan kapada bandera narandji bataljon tiga menoendjoekan kabranian dan satija orangnja.

Maka haroeslah anak-anak soldadoe jang mengikoet bataljon tiga itoe, baik di medan perang baik di tampat perdamejan salamanja mengingat akan lakoe djalan temannja dhoe- loe, jang dengan hati besar boleh toendjoek pada perboewatannja itoe.

Haroes djoega satoe-satoe soldadoe mengingat akan kaharoesannja, kaloe di serahkan pelawanan banderanja.

Maski berbahaja betoel, djangan sekali-kali orang mengingat akan tinggalkan banderanja, maka lebih baik tetap di tampatnja atawa meninggal doenija di medan perang.[]

DOKUMEN PENTING KERAJAAN ACEH DENGAN UTHMANI TURKY.



Oleh :Muhammad Fadhlullah.
Berikut adalah surat-surat dan dokumen-dokumen penting yang membuktikan hubungan erat antara Kerajaan Islam Aceh Raya Darussalam dengan Kerajaan Turki Uthmaniyyah.

Dibawah ini adalah teks transliterasi Surat Sultan Aceh Alaaddin Syah Al-Kahhar untuk Sultan Sulaiman Agung mengenai permohonan bantuan militer dan ahli kemiliteran dari Kesultanan Uthmani untuk melawan bangsa Portugis. Bantuan Turki selanjutnya juga dilampirkan (3 halaman). Surat berbahasa Turki ini bercatatan Jumadil Akhir 973 H/ 7 Jan 1566 M.

Dibawah ini adalah salinan surat Sultan Uthmani, Sultan Salim II untuk penguasa Aceh, Syah Al-Kahhar yang memberitahukan tentang pengiriman satu armada angkatan laut beserta sejumlah pelengkapan dan ahli-ahli militer ke Aceh. Surat 4 halaman bertarikh 16 Rabi’ul Awwal 975 H/ 20 Sept 1567 M ini menggunakan bahasa Turki.

Dibawah ini adalah salinan perintah dari Diwan-i Humayun (pemerintah Uthmani) yang ditulis buat Duta Besar Aceh, Husein Efendi yang mengamanatkan padanya untuk menunda pengiriman angkatan laut Kesultanan Uthmani ke Aceh selama 1 tahun. Surat berbahasa Turki 1 halaman ini bertarikh 22 Rejab 975 H / 22 Januari 1568 M.

Dibawah ini adalah petisi 3 halaman dari 63 pemimpin Aceh melalui Gubernor Turki di Yaman dan Hijaz untuk Khalifah Uthmani, Sultan Abdul Aziz yang berisi permohonan proteksi dan persetujuan agar Aceh menjadi kerajaan vassal di bawah Kesultanan Uthmani. Beberapa jenis dan sumber pemasukan Kesultanan Aceh juga disertakan. Surat tanpa tarikh dan tahun 1868 ini menggunakan bahasa Arab.

Dibawah ini adalah terjemahan petisi persembahan Menteri Aceh, deputi penguasa Aceh, serta pemimpin-pemimpin Aceh lainnya yang telah berkunjung ke Mekah kepada Gubernor Turki di Hijaz yang berisi permohonan proteksi dan status vassal dari Kesultanan Uthmani. Petisi 1 halaman ini ditulis dalam bahasa Turki pada tahun 1868 M tanpa tarikh.


Dibawah ini adalah teks transliterasi petisi penguasa Aceh yang dikirim ke Mekah untuk disampaikan kepada Sultan Uthmani di Istanbul yang berisi permohonan proteksi dan status vassal dari Kesultanan Uthmani. Teks 1 halaman ini menggunakan bahasa Turki Uthmaniah yang diterjemahkan dari bahasa Arab dan bertarikh 7 Syawal 1298 / 8 Dis 1872.


Dibawah ini adalah petisi 5 halaman dari 25 pemimpin Aceh untuk Turki melalui Duta Besar Aceh, Sayyid Habib Abdurrahman Az-Zahir yang berisi tentang permohonan proteksi dan persetujuan agar Aceh menjadi kerajaan vassal di bawah Kesultanan Uthmani. Tarikh petisi ini pada 7 Syawal 1289 H / 8 Dis 1872 M. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Arab.

Di bawah ini adalah terjemahan petisi yang dipersembahkan oleh Sayyid Abdurrahman Az-Zahir, menteri dan penguasa Aceh untuk pemegang mandat kuasa Turki di Mekah yang berisi permohonan proteksi dan status vassal dari Kesultanan Uthmani. Petisi 1 halaman ini menggunakan bahasa Turki dengan tahun yang tercatat iaitu 1873 M.

Dibawah ini adalah terjemahan memorandum (muzekkere) persembahan dari Sayyid Abdurrahman Az-Zahir selaku Deputi penguasa Aceh kepada pemegang mandat kuasa Turki di Mekah tentang permohonan proteksi dan status vassal dari Kesultanan Uthmani. Memorandum 1 halaman ini tercatat tahun 1873 M tanpa tarikh dan menggunakan bahasa Turki.


Dibawah ini adalah surat penguasa Aceh, Mahmud Syah kepada Khalifah Uthmani, Abdul Aziz yang dikirim melalui Duta Besar Aceh, Sayyid Habib Abdurrahman Az-Zahir ke Turki yang berisi permohonan bantuan dan proteksi dari Turki. Surat 1 halaman ini tercatat tahun 1873 M dan menggunakan bahasa Arab.

Dibawah ini adalah surat daripada Muhammad Daud Syah kepada Khalifah Uthmani, Sultan Abdul Hamid II yang dikirim melalui konsulat Uthmani di Batavia (Jakarta) yang berisi penyataan hubungan yang telah terjalin lama antara Aceh dan Turki, kelicikan Belanda sepanjang perang Aceh dan permohonan bantuan dari Sultan Uthmani untuk menghentikan perang. Surat bertarikh 25 Muharram 1315 H/ 26 Jun 1897 M dan mempunyai 6 halaman ini terdiri dari 3 halaman berbahasa Arab dan 3 halaman berbahasa Melayu.


Kamis, 27 Desember 2012

Jejak Aceh di negeri negeri Mekkah

oleh: Adli Abdullah

Sebutan negeri Aceh adalah tidak asing bagi sebagian orang Arab walaupun sekarang hanyalah salah satu propinsi di negeri ini. Karena itu, saya memandang bahwa martabat orang Aceh di Arab Saudi sangat luar biasa. Sejauh ini, gelar ini memang tidak begitu banyak, namun mengingat kontribusi para Asyi ini pada kerajaan Saudi Arabia, saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang cukup kuat secara emosional antara tanah Arab ini dengan Serambinya, yaitu Aceh.

Banyak sekali orang Arab keturunan Aceh mendapat kedudukan bagus di kerajaan Saudi Arabia seperti alm Syech Abdul Ghani Asyi mantan ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah, Alm Dr jalal Asyi mantan wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi, DR Ahmad Asyi mantan wakil Menteri Haji dan Wakaf dan banyak sekali harta wakaf negeri Aceh sekarang masih wujud disana.

Kita akan menguak tradisi sumbang menyumbang masyarakat Aceh di Tanah Hijaz (Mekkah, Saudi Arabia) pada abad ke-17 Masehi. Ini menarik agar kita tahu bagaimana kontribusi Aceh atas tanah hijaz (sekarang bernama Saudi Arabia, red), dimana orang Aceh tidak hanya mewakafkan tanah, melainkan juga emas yang didatangkan khusus dari Bumi Serambi ke negeri Mekkah Al-Mukarramah ini.

Diriwayatkan bahwa pada tahun 1672 M, Syarif Barakat penguasa Mekkah pada akhir abad ke 17 mengirim duta besarnya ke timur. Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mareka ke Aceh setelah Raja Moghol, Aurangzeb (1658-1707) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat itu. Dia saat itu belum sanggup memberi sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun rombongan Mekkah ini terkatung katung di Delhi India. Atas nasehat pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba di Aceh pada tahun 1092 H (1681M).

Sampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Di luar dugaan, kedatangan utusan syarif Mekkah ini menyulut semangat kelompok wujudiyah yang anti pemerintahan perempuan. Namun, karena sosok Sultanah Zakiatuddin yang ‘alim dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).

Utusan Arab sangat gembira diterima olehSri Ratu Zakiatuddin, karena mareka tidak mendapat pelayanan serupa ketika di New Delhi, India. Bahkan empat tahun mareka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb.

Ketika mereka pulang ke Mekkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mareka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.

Pada tahun 1094 (1683 M) mareka kembali ke Mekkah dan sampai di Mekkah pada bulan Sya’ban 1094 H (September 1683 M). Dua orang bersaudara dari rombongan duta besar Mekkah ini yakni Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim, tetap menetap di Aceh atas permintaan para pembesar negeri Aceh yang dalam anti raja perempuan (Jamil: 1968). Mereka dibujuk untuk tetap tinggal di Aceh sebagai orang terhormat dan memberi pelajaran agama dan salah satu dari mereka, kawin dengan Kamalat Syah, adik Zakiatuddin Syah.

Lima tahun kemudian setelah duta besar Mekkah kembali ke Hijaz dengan meninggalkan Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim di Aceh, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah wafat tepat pada hari Ahad 8 Zulhijjah 1098H (3 Oktober 1688 M). Pemerintahan Aceh digantikan oleh adiknya yaitu Seri Ratu Kamalatsyah yang bergelar juga Putroe Punti. Dia diangkat menjadi Ratu pemerintahan kerajaan Aceh atas saran Syeikh Abdurrauf Al Fansury yang bertindak pada saat itu sebagai Waliyul-Mulki (Wali para Raja).

Baru setelah meninggalnya Syeikh Abdurrauf pada malam senin 23 Syawal 1106 H (1695M), konflik mengenai kedudukan pemerintahan Aceh dibawah pemerintahan ratu yang telah berlangsung 54 tahun sejak Safiatuddin Syah(1641-1675M), terguncang kembali. Hal ini dipicu oleh fatwa dari Qadhi Mekkah tiba. Menurut sejarah, “fatwa import” ini tiba dengan “jasa baik” dari golongan oposisi ratu. Lalu pemerintah Aceh, diserahkan kepada penguasa yang berdarah Arab, yaitu salah satu dua utusan Syarif dari Mekkah, yakni suami Ratu Kemalatsyah, Syarif Hasyim menjadi raja pada hari Rabu 20 Rabi`ul Akhir 1109 H (1699M).

Menurut sejarah, Ratu tersebut dimakzulkan akibat dari “fatwa import” tersebut. Lalu kerajaan Aceh memiliki seorang pemimpin yang bergelar Sultan Jamalul Alam Syarif Hasyim Jamalullail (1110-1113 H/1699-1702M). dengan berkuasanya Syarif Hasyim awal dari dinasti Arab menguasai Aceh sampai dengan tahun 1728 M. Inilah bukti sejarah bahwa kekuasaan para Ratu di Aceh yang telah berlangsung 59 tahun hilang setelah adanya campur tangan pihak Mekkah, paska para ratu ini menyumbang emas ke sana. Aceh yang dipimpin oleh perempuan selama 59 tahun bisa jadi bukti bagaimana sebenarnya tingkatemansipasi perempuan Aceh saat itu (Azyumardi Azra, 1999).

Terkait dengan sumbangan emas yang diberikan oleh Ratu kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa sejarah ini tercatat dalam sejarah Mekkah dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman Sultanah Aceh tiba di Mekkah di bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu Syarif Barakat telah meninggal.


 Pemerintahan Mekkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M). Snouck Hurgronje, menuturkan “Pengiriman Seorang Duta Mekkah ke Aceh Pada Tahun 1683” sempat kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam bukunya, dimana sewaktu dia tiba di Mekkah pada tahun 1883. Karena Kedermawaan Bangsa dan Kerajaan Aceh masa itu, Masyarakat Mekkahmenyebut Aceh Sebagai "Serambi Mekkah" di sana.

Ternyata sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih selalu hangat dibicarakan disana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang dipelajarinya barang barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin sedangkan sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Begitu juga tradisi wakaf orang Aceh di tanah Arab sebagai contoh tradisi wakaf umum, ialah wakaf habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah.

Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjid Haram.

Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial per jamaah. Peninggalan Aceh di Mekkah bukan hanya sumbangan emas pada masa pemerintahan ratu ini juga harta harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini seperti :

Wakaf Syeikh Habib Bugak Al Asyi',
Wakaf Syeikh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat No. 324) di Qassasyiah,
Wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng),
Wakaf Muhammad Abid Asyi,
Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi,
Wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina,
Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina,
Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina,
Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah,
Rumah Wakaf di Taif,
Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Mekkah.
Rumah Wakaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah, Mekkah,
Rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah.
Wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya.
Rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Mekkah,
Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.

Inilah bukti bagaimana generous antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di Mekkah.Mereka lebih suka mewakafkan harta mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman Wakaf Habib Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah bisa menikmati hasilnya sekarang. 


Fenomena dan spirit ini memang masih sulit kita jumpai pada orang Aceh saat ini, karena tradisi wakaf tanah tidak lagi dominan sekali. Karena itu, saya menganggap bahwa tradisi leluhur orang Aceh yang banyak mewakafkan tanah di Arab Saudi perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh kejujuran pengelolalaan wakaf di negeri ini, dimana semua harta wakaf masih tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia.

Sebagai bukti bagaimana kejujuran pengelolaan wakaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan Pasar Seng. Akibatnya ada 5 persil tanah wakaf orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf tersebut adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah Asyi, Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga), Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi.

Di Mekkah juga penulis sempat bertemu dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Asyi serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal di Mekkah untuk mengurus pergantian tanah wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna perluasan halaman utara Mesjidil haram Mekkah al Mukarramah yang terdaftar petak persil penggusuran no 608. Yang diwakafkan oleh Syech Abdurrahim Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) dan adiknya Syech Abdussalam Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga).

Memang pada asalnya 75 persen tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah wakaf apakah itu wakaf khusus atau wakaf umum. Dan sebagiannya ada milik orang orang Aceh dulu dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan Aceh Darussalam di Asia tenggara.

Menurut peraturan pemerintah Saudi Arabia para keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti rugi dengan membawa bukti kepemilikan (tentu memerlukan proses yang lama ie menelusuri siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan pengacara dll) dan bisa menghadap pengadilan agama Mekkah menutut ganti rugi dan penggantian dikawasan lain di Mekkah sehingga tanah wakaf tersebut tidak hilang. 


Kalau seandainya tidak ada keluarga pewakaf lagi khusus untuk wakaf keluarga maka sesuai dengan ikrar wakaf akan beralih milik mesjidil haram atau baital mal. Inilah pelajaran atau hikmah tradisi wakaf di Mekkah yang semoga bisa menjadi contoh yang baik bagi pengelolaan wakaf di Aceh.

Mekkah Tempo Dulu

Itulah secuil catatan yang tercecer, tentang wakaf orang Aceh di Tanah Arab, walaupun generasi sekarang hanya mengenal bahwa Aceh adalah Serambi Mekkah. Namun sebenarnya ada rentetan sejarah yang menyebabkan Aceh memang pernah memberikan kontribusi penting terhadap pembinaan sejarah Islam di Timur Tengah. Karena itu, selain Aceh memproduksi Ulama, ternyata dari segi materi, rakyat Aceh juga memberikan sumbangan dan wakaf yang masih bisa ditelusuri hingga hari ini.

Karena itu, saya menduga kuat bahwa tradisi Islam memang telah dipraktikkan oleh orang Aceh saat itu, dimana “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”. Akibatnya, kehormatan orang Aceh sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. 


Dalam hal ini, harus diakui bahwa Snouck telah “berjasa” merekam beberapa akibat dari episode sejarah kehormatan orang Aceh. Inilah pelajaran penting bagi peneliti sejarah Aceh, dimana selain bukti-bukti otentik, sejarah juga bisa ditulis melalui oral history (sejarah lisan). Pelajaran ini sangat penting bagi generasi sekarang untuk melacak dimana peran orang Aceh di beberapa negara, termasuk di Timur Tengah.

Inilah sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan pengakuan identitas "Asyi" dan pola pengelolaan wakaf di Arab Saudi. Selain ini, di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian dari peradaban dunia.

Jejak Tgk Gandring di Aceh Besar

 
AtjehLINK || Merdeka Mengabarkan

Aceh Besar - Kabupaten Aceh Besar yang kaya dengan makam aulia Allah merupakan suatu nilai tersendiri ketika anda ingin merasakan bagaimana nilai-nilai keagamaan dahulu kala diamalkan oleh aulia Allah sehingga mereka tetap dikenang walaupun tidak ada yang tahu persis tentang silsilah hidupnya, (Jum’at, 27/7).

Hanya dua nisan tua berukir yang tertanam disana, di atas tanah terbilang luas, selebihnya hanya puluhan batang kelapa, tiga batang pohon kapuk, rumput yang sudah nampak kering, dan tak ada papan informasi apapun yang terpasang. Disanalah Tgk. Gendring terbaring dengan segala misteri yang belum terungkap.

Menurut Ibrahim (69), yang masyarakat tahu hanyalah tempat beliau berasal dari Gandring, dan tempat asalnya tersebut yang kemudian menjadi julukan baginya. Beliau adalah salah satu aulia Allah yang dipercaya keramat, hal tersebut berdasarkan beberapa kejadian saat konflik dalam komplek makam, namun Ibrahim enggan menceritakan lebih jauh.

“Gampong Gandring nyan mantong di Aceh Besar, di daerah Sibreh cit, jadi Teungku meninggai bak teumpat nyoe, (Gampong Gandring itu masih di Aceh Besar, di daerah Sibreh juga, jadi Teungku meninggal di tempat ini-red),” ujar Ibrahim yang dijumpai di lokasi makam.

Beberapa tahun kebelakang, makam aulia Allah yang teletak di gampong Puuk, kecamatan Kuta Baro, kemukiman Lam Blang tersebut hanya di tutupi oleh rangka kayu yang sudah termakan usia dengan atap seng tua. “Alhamdulillah sekarang pemerintah sudah memberikan bantuan untuk membangun yang lebih layak,” ungkap ayah Hamdan yang menangani pekerjaan renovasi makam saat di jumpai di lokasi makam.

Dari ibukota kecamatan, lokasi makam hanya berjarak lebih kurang 10 km dengan waktu tempuh sekitar 20 menit, hanya saja, sebelum ke makam, terlebih dahulu kita harus melewati persawahan dan kebun masyarakat dengan jalan tanah dan Kebiasaan masyarakat di sembilan gampong di kemukiman Lam Blang, sering melepaskan nazar di makam tersebut, selain mengadakan kenduri tiap tahun dengan menyembelih sapi atau kerbau. berdebu.

Selain makam Tgk Gandring, dilokasi tersebut juga terdapat ratusan makam aulia Allah lainnya yang tersebar di Aceh Besar, lazimnya di daerah perkampungan yang berbatasan dengan pegunungan, beberapa diantaranya seperti 44 makam keramat di lembah Lamteuba, Tgk Tuan Meurah di Lam Ara Tunong, Kuta Malaka, Tgk Krueng Kalee dan Tgk Glee Niem di kecamatan Siem, namun belum seluruhnya mendapat perhatian pemerintah Aceh Besar. (Zamroe)

Sejarah Asal Mula Bangsa Aceh

 Konon keturunan bangsa Aceh adalah dari tanah Persia. Seperti kita sering dengar kepanjangan ACEH sebagai Arab, China, Eropa, dan Hindustan (India). Namun sampai sekarang jarang para sarjana yang mengangkat kisah seperti ini. 

Hanya Affan Jamuda dan A.B. Lila Wangsa yang menulis “Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pelajaran mengenal diri sendiri)” menyebutkan: Wangsa Acheh saboh wangsa nyang jak meunanggroe rot blah barat pulo Ruja. Wangsa nyan asai phon nibak wangsa Achemenia, Wangsa Achemenia nyang asai jih phon bah binak buket Kaukasus di Europa teungoh. 

Wangsa Achemenia nyang hudep bak thon 2500 GM (gohlom masehi). Wangsa Achemenia saboh wangsa nyang harok meurantoe, sampoe wangsa nyang meusipreuk bansaboh Asia, Afrika, Europa ngon pulo Ruja. Nyang saboh turonan neuweh u tanoh Parsi jeut keuwangsa Parsia, nyang sabih suke neuweh u pulo Ruja, dudoe teuma jeut keu-wangsa Acheh.Wangsa Acheh asai phon nibak wangsa Achemenia-Parsia-Acheh, Affan Jamuda and AB. Lila Wangsa, Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pidie: Angkasa Muda, 2000).

Terjemahannya; Bangsa Aceh adalah satu bangsa yang membangun negeri di sebelah barat Pulau Ruja (Sumatera). Bangsa ini asalnya dari bangsa Achemenia, bangsa Achemenis berasal dari sebuah bukit Kaukasus di Eropa Tengah.


 Bangsa Achemenia hidup sekitar 2500 Tahun sebelum Masehi. Bangsa Achemenia satu bangsa yang suka merantau, sampai bangsa ini tersebar di seluruh Asia, Afrika, Eropa dan juga Pulau Ruja. Satu keturunan pindah ke tanah Persia, kemudian menjadi bangsa Persia, yang satu suku lagi pindah ke Pulau Ruja, kemudian lahir bangsa Aceh. 

Bangsa Aceh pertama sekali berasal dari bangsa Achemenia-Parsia-Acheh). Tentu saja itu bukan sebuah kebetulan, jika kemudian kita temukan akar sejarah migrasi manusia dari Persia, bahkan sebelum Raja Darius (521-486 Sebelum Masehi) yang menguasai Persia, konon beragama Zoroasther. Raja ini menyebarkan sayap pemerintahannya sampai Eropa, Anatolia, Mesir, Mesopotamia, dan India Barat.

Dalam buku A History of World Societies disebutkan bahwa: “They had created “world empire” encompassing of the oldest and most honored kingdoms and peoples of the ancient Near East.” Jadi, ada benarnya bahwa penggalan lagu Rafly di atas, yaitu “Beek tabeoh kada wangsa meutuwah; turounan meugah meuri-ri wangsa; khujja ngoen majja lakap geupajah; turoenan meugah dorius raja”. 


Sampai sekarang, bukti sejarah ini memang masih mengundang sejumlah tanda tanya. Sebab, di dalam sejarah, selalu disebutkan nama Parsia di dalam sejarah Aceh, namun jarang yang bisa menarik kembali kemana arah sejarah Aceh sebelum Masehi atau sebelum Islâm datang ke daerah ini. 

Pada masa Darius dan anaknya Xerxes (486-464 Sebelum Masehi), mereka telah membangun suatu monarki kekuasaan, yang ternyata telah disebutkan sebagai “world empire” (kerajaan dunia) hingga menjadi cikal bakal beberapa kerajaan di Timur Tengah.

Kemudian Jamuda dan Lilawangsa menulis: hon teuka di tanoh Parsi (Iran-Irak jinoe). Sabab musabab neueuka sampoe roh neumeunanggroe lam pulo ruja. Bak zameun Raja Dorius neumat keurajeun di Parsia, lam masa nyang kuasa keurajeun Raja Dorius luah lagoina mulai di Meuser troh u Hindi ngan lam pula Ruja. 


Lam masa nyan keu wangsa-ureung bako-bako di nanggroe Parsia neujak duek u nanggroe blah barat pulo Ruja nyang dudoe neulakap Nanggroe Aceh. Yoh goh nyang lam tanoh Acheh kana Aulia-Aulia Allah, nyang sahe naggroe Acheh milek harta Aulia-Aulia Allah (Bangsa Persia sebelum menjadi bangsa Aceh, pertama kali datang di tanoh Parsia (Iran-Irak sekarang). 

Sebab datangsampai membangun negeri di Pulau Ruja. Pada masa zaman Raja Darius memegang tampuk kekuasaan di Persia, pada waktu itu wilayah kekuasaan Raja Darius sangatlah luas sekali mulai dari Mesir hingga ke India sampai ke Pulau Ruja.

Pada zaman itu berbagai bangsa di negeri Persia berangkat menetap di sebelah Barat Pulau Ruja kemudian diberinama Nanggroe Aceh. Sebelum itu di tanah Aceh sudah ada wali-wali Allah, yang jaga negeri Aceh milik harta-harta Aulia Allah). Jadi, dapat dipastikan bahwa asal usul indatu orang Aceh adalah dari Parsia yang datang ke Pulau Ruja, sebuah pulau yang kemudian diberi nama Aceh. 


Namun yang menarik adalah jika benar pada zaman Raja Darius yang beragama Zoroasther sudah ada Wali-Wali Allah di Aceh, maka pertanyaannya adalah apa benar sudah ada agama yang menyembah Allah sebelum Masehi. 

Sebab ungkapan bahwa Aceh milik atau tanah para Wali juga ditemukan dalam ungkapan lagu Rafly berikut, Han geu meu kafe ureung Aceh nyang/ ’Saweub bumoe nyang tanoh Aulia/ Geutem sut nyawong peudong kheun Allah/ Kameunan reusam geutung pusaka… (Tidak akan menjadi Kafir orang Aceh itu/Sebab bumi ini adalah tanah Aulia/ Rela mengeluarkan nyawa untuk mempertahankan kalimah Allah/ Begitu adat yang diambil sebagai pusaka). Sayangnya semua sejarah itu masih berupa catatan perang. Kegemilangan Aceh sebagai salah satu kerajaan besar hanya cerita manis.

Ada yang menarik tentang Aceh, yakni simbol agama yang dikekalkan dalam suasana dayah, sebagai pusat sumber ilmu agama Islam tempoe doeloe. Ketika Aceh hendak dijajah, semua suku dan ulama di Aceh sepakat melawan penjajahan. 


Karena itu, konsep kebencian orang Aceh terhadap penjajahan, bukan karena kebencian etnisitas atau sejarah, tetapi karena melawan penindasan atau penjajahan merupakan jihad. Hal itu dibuktikan oleh Tgk Chik Pantee Kulu dengan karyanya kitab Hikayat Prang Sabi yaitu membakar semangat orang Aceh melawan penjajah dengan ideologi agama.

Dalam konteks etnis, orang Aceh adalah orang yang berjiwa kosmopolitan alias bisa menerima siapa saja atau suku bangsa apapun. Untuk mengelompokkan etnisitas, sistem kerajaan Aceh menyusun kependudukan berdasarkan negeri asal suku bangsa tersebut, sebagaimana dilukiskan dalam hadih maja “Sukee lhee reuthoh bak aneuk drang, Sukee ja sandang jeura haleuba, Sukee tok bate na bacut bacut, Sukee imuem peut yang gok-gok donya”. 


Sukee di sini dalam kata lain artinya suku sehingga hadih maja ini menggambarkan keragaman suku bangsa di dunia yang berdomisili di Aceh. Semuanya berhasil disatukan oleh sultan Alaidin Riayatsyah Al Qahhar (1537-1565) di bawah panji Islam dan terayomi di bawah payung kerajaan Aceh Darussalam.

Mengenai asal usul masyarakat Aceh, HM. Zainuddin (1961), mengatakan bahwa orang dari suku Batak/Karee membentuk kaum Lhee Reutoih. Orang asing lainnya seperti Arab, Persia, Turki, Keling (dagang), Melayu semenanjung, Bugis membentuk kaum Tok Batee Sultan berasal dari kaum Tok Batee. Kaum percampuran dari Hindu dan Batak Karee membentuk group baru menjadi kaum Ja Sandang. Pimpinannya diberi gelar dengan panglima kaum dengan gelar kaum imeum peut. Sedangkan orang Gayo, sebagaimana dikutip Gerini (HM. Zainuddin, 1961) menghubungkannya dengan Dagroian sesuai dengan catatan- catatan Marcopolo. 


Menurutnya, Dagroian berasal dari kata-kata drang – gayu, yang berarti orang Gayo. Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan itu bisa saja berpunca di dalam masyarakat itu sendiri atau bersumber dari luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Aceh mempunyai comparative advantage karena menjadi pusaran dunia, transit pertama sebelum ke bagian Nusantara.

Terakhir, saya ingin menegaskan bahwa dalam sejarah kebudayaan Aceh, persoalan bersatu dan berpisah adalah hal yang sangat biasa. Artinya, mereka bisa bersatu dengan kelompok manapun,namun budaya yang sudah mengakar yang dibalut dengan kualitas tradisi Islam tidak akan pernah dapat dihentikan. Jiwa nasionalisme orang Aceh yang menjadi bagian dari Indonesia merupakan satu nafas dalam perjuangan mereka, sejauh itu tidak dikhianati.


 Adapun nasionalisme di Indonesia walaupun masih didominasi oleh pemahaman kebudayaan Jawa, agaknya memang telah mewariskan persoalan sejarah yang tercecer. Artinya, sejarah nasionalisme di Indonesia adalah sejarah yang dikendalikan oleh pemerintah. 

Sehingga dinamika kebudayaan di daerah dianggap sebagai ‘aset’ bukan pelaku utama, untuk tidak mengatakan mereka tidak memberikan arti yang signifikan. Hal ini belum lagi dimana ‘aset’ budaya Indonesia cenderung dijadikan sebagai objek untuk kepentingan sosial politik, bukan kepentingan kebudayaan bangsa Indonesia.

* M. Adli Abdullah; adalah dosen dan peminat sejarah Aceh 


 http://pemudapungeblangcut.multiply.com/reviews/item/41?&show_interstitial=1&u=%2Freviews%2Fitem

Stempel Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah


Pecah Perang Antara Aceh vs Amerika Serikat (1832)

 
Ruslan Jauhari   The First Sumatra Expedition the Battle of Quallah Battoo (Kuala Batee) in 1832
 
Saat itu, 7 Februari 1831, sebuah kapal milik Amerika Serikat berlabuh di Kuala Batee, Aceh Barat Daya (sebelum pemekaran masuk wilayah Aceh Selatan). Kapal bernama Friendship itu dinakhodai Charles Moore Endicot. Kapal ini datang ke Kuala Batee untuk membeli lada di Kuala Batee yang ketika itu menjadi salah satu pusat perdagangan lada Aceh.

Tiba di daratan, kapal itu dibajak sekelompok penduduk Kuala Batee. Tiga awak kapal terbunuh. Kerugian diperkirakan sebesar US$ 50 ribu. Beruntung, kapal itu diselamatkan oleh kapal Amerika lain yang sedang melintas di perairan Kuala.

Peristiwa itu tertuang dalam buku karya M.Nur El Ibrahimy berjudul Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh. Ibrahimy menulis, setiap tahun diangkut sekitar 3 ribu ton lada dari Aceh untuk dijual ke benua lain, dari Amerika hingga Eropa.


Pembajakan itu menimbulkan tanda tanya besar bagi Amerika. Sebab, itulah kali pertama kapal Amerika dibajak. Menurut Ibrahimy, peristiwa itu dipicu kemarahan orang Aceh karena merasa selalu ditipu Amerika dalam perdagangan lada. Pernah kejadian, ketika dibeli berat ladanya 3.986 pikul, tapi ketika dijual kembali oleh Amerika beratnya menjadi 4.583 pikul.

Rupanya, pedagang Amerika berlaku curang dengan memalsukan takaran timbangan. Caranya? "Melalui sebuah sekrup yang dapat dibuka di dasar timbangan yang berbohot 56 lbs., diisi 10 atau 15 pon timah sehingga dalam satu pikul lada orang Aceh dikecoh sebanyak 30 kati,” tulis Ibrahimy.

Itu hanya satu faktor. Penyebab lain, Belanda berhasil memprovokasi orang Aceh untuk menyerang kapal-kapal Amerika. Tujuannya, Belanda ingin merusak nama baik Kerajaan Aceh sehingga terkesan tidak mampu melindungi kapal asing yang berlabuh di Aceh.

Tentu saja Kerajaan Aceh sibuk memberi klarifikasi. Belakangan, diketahui Belanda yang membayar dan mempersenjatai kapal Aceh yang dikhodai Lahuda Langkap untuk menyerang kapal Amerika dengan menggunakan bendera Kerajaan Aceh.

Lepas dari pembajakan, Kapal Friendship itu kembali ke Amerika. Dan, kabar pembajakan pun tersiar dan membuat geram sejumlah pejabat Amerika. Apalagi, salah satu pemilik kapal itu adalah Senator Nathanian Silsbee. Silsbee pun menyurati Presiden Jackson dan meminta Amerika menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialami, dan mengirim kapal perang ke perairan Aceh. Surat serupa juga dikirim Robert Stones, pemilik kapal yang lain, mendesak Menteri Angkatan Laut, Levy Woodbury agar mengirim kapal perang ke Aceh.

Singkat cerita, Presiden Jackson setuju. Maka, dikirimlah kapal perang Potomac ke Aceh. Ini adalah kapal perang terbaik yang dimiliki Amerika saat itu. Berangkat dari New York, kapal ini tiba di Aceh pada 29 Agustus dengan membawa 260 marinir.


Perang pecah menjelang matahari terbit pada 6 Februari 1832. Warga Kuala Batee yang sudah mencium kedatangan kapal Amerika itu bersiap-siap di pantai Kuala Batee. Amerika menyerbu benteng-benteng perlawanan. Sayangnya, Ibrahimy tak menyebut berapa orang Aceh yang terbunuh. Namun, katanya, penyerangan itu juga menyasar anak-anak dan wanita. Di pihak Amerka, dua tewas dan sembilan luka-luka.

Sebelum meninggalkan Kuala Batee, Kapal Potomac menembakkan pelabuhan dengan meriam. Pelabuhan yang disebut Amerika dengan Kuallah Battoo itu pun tinggal puing-puing.

Tak semua orang Amerika setuju dengan penyerangan itu. Media bisnis di Amerika, Nile's Weekly Register mengecam habis penyerangan itu. Namun, oleh Presiden Jackson, peristiwa itu berusaha ditutupi. "Peristiwa pembakaran Kuala Batee oleh marinir Amerika telah dipeti-eskan," tulis M Nur El Ibrahimy.

Penyerangan Kuala Batee pun hilang bersama waktu.
Pecah Perang Antara Aceh vs Amerika Serikat (1832) 

Saat itu, 7 Februari 1831, sebuah kapal milik Amerika Serikat berlabuh di Kuala Batee, Aceh Barat Daya (sebelum pemekaran masuk wilayah Aceh Selatan). Kapal bernama Friendship itu dinakhodai Charles Moore Endicot. Kapal ini datang ke Kuala Batee untuk membeli lada di Kuala Batee yang ketika itu menjadi salah satu pusat perdagangan lada Aceh.

Tiba di daratan, kapal itu dibajak sekelompok penduduk Kuala Batee. Tiga awak kapal terbunuh. Kerugian diperkirakan sebesar US$ 50 ribu. Beruntung, kapal itu diselamatkan oleh kapal Amerika lain yang sedang melintas di perairan Kuala.

Peristiwa itu tertuang dalam buku karya M.Nur El Ibrahimy berjudul Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh.  Ibrahimy menulis, setiap tahun diangkut sekitar 3 ribu ton lada dari Aceh untuk dijual ke benua lain, dari Amerika hingga Eropa. 


Pembajakan itu menimbulkan tanda tanya besar bagi Amerika. Sebab, itulah kali pertama kapal Amerika dibajak. Menurut Ibrahimy, peristiwa itu dipicu kemarahan orang Aceh karena merasa selalu ditipu Amerika dalam perdagangan lada. Pernah kejadian, ketika dibeli berat ladanya 3.986 pikul, tapi ketika dijual kembali oleh Amerika beratnya menjadi 4.583 pikul.

Rupanya, pedagang Amerika berlaku curang dengan memalsukan takaran timbangan. Caranya? "Melalui sebuah sekrup yang dapat dibuka di dasar timbangan yang berbohot 56 lbs., diisi 10 atau 15 pon timah sehingga dalam satu pikul lada orang Aceh dikecoh sebanyak 30 kati,” tulis Ibrahimy.

Itu hanya satu faktor. Penyebab lain, Belanda berhasil memprovokasi orang Aceh untuk menyerang kapal-kapal Amerika. Tujuannya, Belanda ingin merusak nama baik Kerajaan Aceh sehingga terkesan tidak mampu melindungi kapal asing yang berlabuh di Aceh.

Tentu saja Kerajaan Aceh sibuk memberi klarifikasi. Belakangan, diketahui Belanda yang membayar dan mempersenjatai kapal Aceh yang dikhodai Lahuda Langkap untuk menyerang kapal Amerika dengan menggunakan bendera Kerajaan Aceh.

Lepas dari pembajakan, Kapal Friendship itu kembali ke Amerika. Dan, kabar pembajakan pun tersiar dan membuat geram sejumlah pejabat Amerika. Apalagi, salah satu pemilik kapal itu adalah Senator Nathanian Silsbee. Silsbee pun menyurati Presiden Jackson dan meminta Amerika menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialami, dan mengirim kapal perang ke perairan Aceh. Surat serupa juga dikirim Robert Stones, pemilik kapal yang lain, mendesak Menteri Angkatan Laut, Levy Woodbury agar mengirim kapal perang ke Aceh.

Singkat cerita, Presiden Jackson setuju. Maka, dikirimlah kapal perang Potomac ke Aceh. Ini adalah kapal perang terbaik yang dimiliki Amerika saat itu. Berangkat dari New York, kapal ini tiba di Aceh pada 29 Agustus dengan membawa 260 marinir. 


Perang pecah menjelang matahari terbit pada 6 Februari 1832. Warga Kuala Batee yang sudah mencium kedatangan kapal Amerika itu bersiap-siap di pantai Kuala Batee. Amerika menyerbu benteng-benteng perlawanan. Sayangnya, Ibrahimy tak menyebut berapa orang Aceh yang terbunuh. Namun, katanya, penyerangan itu juga menyasar anak-anak dan wanita. Di pihak Amerka, dua tewas dan sembilan luka-luka.

Sebelum meninggalkan Kuala Batee, Kapal Potomac menembakkan pelabuhan dengan meriam. Pelabuhan yang disebut Amerika dengan Kuallah Battoo itu pun tinggal puing-puing.

Tak semua orang Amerika setuju dengan penyerangan itu. Media bisnis di Amerika, Nile's Weekly Register mengecam habis penyerangan itu. Namun, oleh Presiden Jackson, peristiwa itu berusaha ditutupi. "Peristiwa pembakaran Kuala Batee oleh marinir Amerika telah dipeti-eskan," tulis M Nur El Ibrahimy.

Penyerangan Kuala Batee pun hilang bersama waktu.

Merangkai Kembali Identitas Aceh

OPINI | 27 December 2012 | 11:18  Iskandar Fasad, Kompasiana.com

Menjelang akhir tahun 2012 ini, isu yang masih menjadi pembicaraan khalayak ramai di Aceh adalah persoalan identitas Aceh. Persoalan ini menjadi sangat penting ketika muncul berbagai polemik di tengah masyarakat yang berkaitan dengan sejarah, asal usul dan juga tentu konspirasi yang selama ini menjadi pertanyaan di benak masyarakat Aceh.

Syahdan, kejayaan Aceh dimulai pada sekitar Abad 16 di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, yang ketika itu memiliki kekuasaan hingga pesisir barat Minangkabau hingga ke Perak (Malaysia saat ini). Hubungan dagang yang ditopang dengan pelabuhan-pelabuhan berkelas internasional saat itu menjadikan Aceh negeri yang makmur dan sejahtera. 

Hubungan internasional Aceh pertama dibangun dengan kerajaan Inggris dimana Ratu Elizabeth I “the Virgin” mengirimkan utusannya ke Aceh yaitu Sir James Lancaster untuk menghadap Sultan Aceh guna meminta izin agar kapal-kapal Kerajaan inggris dapat berlabuh untuk berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Terbukanya hubungan internasional pertama Aceh inilah yang menjadikan Aceh mulai terkenal sebagai salah satu pelabuhan terbaik pada masa itu hingga mulai berdatangan tamu-tamu asing lainnya seperti Belanda, Perancis, Turki dan negara-negara di Eropa lainnya.
 
Ketika Kesultanan Aceh berdiri saat itu, masyarakat Aceh telah lama hidup berdampingan dalam damai dengan 13 suku-suku yang ada di Aceh, seperti Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Pak Pak, Haloban, Lekon dan Nias. Pemimpin Aceh menjadikan keberagaman suku -suku di Aceh sebagai kekuatan dan warna-warna yang menjadi daya tarik Aceh kala itu. 

Namun sayang, perjalanan kejayaan Aceh terputus sepeninggal Sultan Islandar Muda diikuti dengan kedatangan Belanda pada tahun 1873 yang membangkitkan perlawanan rakyat. Rakyat Aceh tetap tegar kala itu meskipun Sultan M Dawud terpaksa menyerah kepada Belanda karena anak dan istrinya telah ditangkap terlebih dahulu. Perlawanan terus berlanjut hingga akhirnya kolonialisme Belanda berhasil diusir dari Republik.

Perjalanan singkat sejarah Aceh di atas menggambarkan betapa tegarnya masyarakat Aceh yang memiliki keterikatan sejarah dan asal usul yang sama yaitu sebagai “orang Aceh”. Semuanya berjuang dan berusaha mewujudkan damai dalam keberagaman. Tidak satupun catatan sejarah yang menyebutkan adanya gesekan antar suku-suku di Aceh, karena semuanya berfikir dan berbuat untuk kebaikan bersama.

 Hal ini berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi saat ini. Identitas Aceh masa lalu “dijungkirbalikkan” dengan isu-isu yang bertujuan polarisasi kekuatan pada kelompok mayoritas. Sejarah pun diputus hingga “seolah-olah” Aceh baru mulai ada sejak adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kreasi Hasan Tiro. Penandatanganan MoU Helsinki seolah menjadi “kemenangan” kelompok mayoritas terhadap kelompok-kelompok minoritas dengan “mendisain ulang” sejarah Aceh yang dimulai sejak tahun 1976.

Pengaburan Sejarah Aceh ini terus terjadi hingga identitas Aceh yang dimulai sejak abad ke-16 secara pelahan mulai dilupakan. Perjuangan sejak Sultan Iskandar Muda hingga Cut Nyak Dhien tidak lagi dikenal masyarakat, namun hanyalah perjuangan Hasan Tiro dengan GAM-nya. Semuanya sedang dan tengah terjadi di Aceh. 

DPRA mengesahkan qanun Wali Nanggroe yang terlampau diskriminatif dengan syarat harus dapat berbahasa Aceh. Artinya tidak seorangpun dari suku-suku Aceh yang tidak berbahasa Aceh dapat menjadi Wali Nanggroe. Sebaliknya, Wali Nanggroe yang merupakan wali di negeri syariah ini tidak memiliki kewajiban untuk dapat membaca Alquran. 

Lebih jauh, pemilihan bendera dan lambang Aceh yang digagas DPRA sama sekali tidak mencerminkan keberagaman suku dan semangan perdamaian serta mencerminkan cita-cita perjuangan Aceh yang hakiki yaitu hidup berdampaingan dalam damai dan sejahtera. Semua lambang dan identitas dipalsukan dengan lambang dan bendera yang merupakan simbol-simbol perjuangan GAM.  

Sampai disini, dimana sejarah Aceh? apa tujuan dan makna dari upaya yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat Aceh itu?

Merangkai Kembali Identitas Aceh

Keadaan ini tentu sangat jauh dari gambaran harapan damai semua masyarakat Aceh. Identitas suatu bangsa hendaknya merupakan kesepakatan dan komitmen bersama seluruh warganya yang tetap berpedoman pada sejarah dan asal usulnya. Sejarah perjalanan Aceh yang panjang perlu menjadi tonggak kebangkitan dan sekaligus pemicu semangat untuk kembali mencapai masa-masa gemilang dalam sejarahnya. 

 Semangat dan keinginan bersama untuk tetap berada pada satu wilayah, perlu keyakinan dan kepercayaan. Keyakinan dan kepercayaan kepada identitas keacehan yang pernah dimiliki oleh rakyat Aceh di masa lampau yang selalu berfikir dan berbuat untuk kebaikan bersama, bukan hanya kebaikan kelompok mayoritas. (Atjehgroup)

Mencari Jejak Gayo di Loyang Mendale

Arkeolog menemukan 12 kerangka manusia prasejarah di Gayo. Kerangka itu ada yang berusia 7200 tahun, berasal dari zaman batu pertengahan. Mungkinkah ini nenek moyang suku Gayo dan Aceh?

Beberapa orang hilir-mudik di salah satu gua karang Loyang Mendale, Kecamatan Lut Tawar Aceh Tengah, Sabtu 24 November 2012. Sebagian berjongkok dan menyapu batu-batu karang dengan kuas. Mereka Tim Balai Arkeologi atau Balar Medan. Beberapa orang lagi menggali tanah di dalam gua karang itu. Tanah lalu disaring.

Ada beberapa titik lokasi dalam Loyang Mendale yang digali oleh tim dalam program Austronesia di Indonesia bagian Timur. Tim ini mengkaji  budaya Austronesia dan Gayo.Saat penggalian awal, tim menemukan gerabah serta beberapa perhiasan kerang, yang menunjukkan ada kehidupan di ceruk batu itu. Temuan ini membuat para peneliti memperlebar kawasan galian di situs Loyang Mendale. Setelah 20 hari, para arkeolog menemukan empat kerangka.

Hasil ini melengkapi penemuan tim di kawasan Ujung Karang, Aceh Tengah, yang berjumlah delapan kerangka beberapa hari sebelumnya. Dari kerangka-kerangka itu, ada satu yang berusia 7.400 tahun. Adapun kerangka lainnya berusia 5.000 tahun hingga awal Masehi masa neolitikum.

***
Loyang Mendale berjarak sekitar 20 meter dari Danau Lut Tawar. Ceruk ini juga berada dekat pemukiman penduduk Kampung Mendale, sekitar 10 meter. Loyang Mendale berada di bawah bukit. Bila hujan, ceruk ini bisa digunakan berteduh.

Sementara Ujung Karang agak jauh dari Danau Lut Tawar. Jaraknya sekitar 300 meter. Lokasi Ujung Karang ini sama seperti Loyang Mendale. Namun, di Ujung Karang ada sebuah gua yang sudah tertutup tanah.



















Tim Arkeolog dari Balar Medan menemukan 12 kerangka manusia prasejarah di kawasan ini. Kerangka itu ada yang tertindih batu, memakai alas bantal dari batu, dan ada yang ditemukan saling berdampingan. Yang terakhir ini diperkirakan suami istri. Selain itu, ada pula tengkorak dan tulang-belulang.

Ketua Balai Arkeologi Medan Ketut Wiradnyana pada Rabu 19 Desember 2012, kepada The Atjeh Times mengatakan, tengkorak terhimpit batu diperkirakan karena pergerakan tanah. Sehingga, kata Ketut, tengkorak itu sudah berada di bawah karang bukit.

“Umur dari kerangka manusia prasejarah itu diketahui dengan melihat lapisan budaya yang ada, tempat, dan dari karbon analisis,” ujar Ketut. Kini, kerangka prasejarah itu dalam proses tes DNA di Jakarta. Tim juga mengambil DNA warga Gayo Takengon sebagai pembanding.

Selain menemukan kerangka, Tim Balai Arkeologi juga menemukan sejumlah artefak, seperti kapak batu persegi dan lonjong berusia sekitar 3.500 tahun. Kerangka, gerabah, dan kapak batu itu sudah dibawa ke Badan Tenaga Atom Nasional di Jakarta untuk diteliti lebih lanjut.

Kata Ketut, kerangka yang diprediksi berumur 7.400 tahun itu ras manusia prasejarah Austro Melanesoid.  Namun, kata dia, ada kemungkinan besar usia kerangka lebih dari 7.400 tahun.





















Austro Melanesoid nenek moyang manusia Wajak (purba) yang tinggal di Barat Indonesia. Ciri fisik manusia ini ada campuran ciri Mongoloid, orang Mongol di Asia Timur. Perkampungan Austro Melanesoid dapat ditemukan di Sumatera Timur dan Utara dekat Medan, dekat dengan Langsa di Aceh serta di Perak, Kedah, dan Pahang, Malaysia.

Ketut mengatakan penemuan kerangka prasejarah ini sedikit banyaknya telah menjawab asal-usul orang Aceh dan Gayo. Berdasarkan temuan itu, kata dia, besar kemungkinan orang Gayo penduduk asli di Aceh.
Tokoh masyarakat di Aceh Tengah, Zul MD, juga mengatakan hal serupa. Kepada The Atjeh Times, Sabtu pekan lalu, Zul mengatakan, penemuan itu membuktikan sejarah identitas manusia di Sumatera.

Penemuan itu juga dianggap membuktikan manusia di Aceh dan Sumatera secara umum telah ada di muka bumi ini sejak 7.400 tahun lalu. “Saya berharap pemerintah secepatnya menindaklanjuti penemuan kerangka manusia prasejarah ini dengan menjadikannya tempat wisata. Selain meningkatkan perekonomian masyarakat, juga bisa menghasilkan pendapatan asli daerah setempat,” kata Zul MD.

Kata dia, Balai Arkeologi Medan telah berusaha dan berhasil menemukan sejarah dengan dana dari lembaga itu. “Pemerintah hanya perlu melanjutkannya saja dengan menjadikan tempat wisata,” ujar Zul.

***
Dua belas kerangka manusia prasejarah dan beberapa artefak di Loyang Mendale serta Ujung Karang, merupakan temuan dari Zaman Mesolitikum atau zaman batu pertengahan. Hal ini dikatakan Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unsyiah, Husaini Ibrahim.

Zaman Mesolitikum, kata Husaini, berada di antara 3.000 hingga 10.000 tahun lalu. Namun, Husaini menilai itu perlu diteliti lebih lanjut di laboratorium. “Ada dua cara untuk menentukan atau menghitung umur fosil, yaitu secara relatif (relative dating technique) dan secara mutlak (absolute dating technique),” kata Arkeolog Aceh ini kepada The Atjeh Times, Rabu pekan lalu.

Penelitian itu, kata dia, dapat dilakukan dengan melihat dari lapisan tanah. Selain itu, juga yang paling menentukan adalah metode karbon C14. Metode ini hanya dapat diberlakukan pada makhluk hidup.
Kata Husaini, fosil jarang ditarikh secara langsung.

Proses pentarikhan absolut ini biasanya dilakukan di laboratorium. Metode yang umum digunakan pentarikhan radiometrik (radiometric dating). Salah satu yang digunakan dan diterima secara luas, kata Husaini, pentarikhan melalui peluruhan radioaktif (radioactive decay dating) pada fosil.

Peluruhan radioaktif merujuk pada proses terjadinya bentuk elemen radioaktif yang berubah menjadi produk nonradioaktif dalam derajat reguler. Inti setiap elemen radioaktif, seperti radium dan uranium, kata Husaini, secara spontan terpisah seiring berlalunya waktu, dan mengubah diri menjadi inti atom elemen lain yang berbeda.

Dalam proses pemisahan ini, atom membuang radiasi berupa energi yang keluar dalam bentuk gelombang. Inilah yang disebut peluruhan radioaktif. Setiap elemen memiliki derajat peluruhan masing-masing, tanpa dipengaruhi oleh kondisi fisik eksternal.

Dengan mengukur jumlah atom original dan atom yang sudah bertransformasi dalam sebuah objek, para ilmuwan dapat menghitung atau menentukan umur objek tersebut.

Berdasarkan metodologi ilmu Arkeologi itu, kata Husaini, penemuan itu merupakan penanda tentang nenek moyang Suku Gayo di Aceh Tengah.[] BOY NASHRUDDIN AGUS | ZULKARNAIN (Takengon)
PALEOLITIKUM (ZAMAN BATU TUA)

Tahun          : 600.000 tahun lalu
Manusia     : Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus, dan Homo Soloensis
Artefak         : Alat-alat yang digunakan masih kasar dan terbuat dari batu. Salah satunya kapak genggam (chopper), kapak perimbas, alat-alat dari tulang binatang dan manusia, flakes
Pola Hidup : Berburu dan Meramu makanan

MESOLITIKUM (ZAMAN BATU PERTENGAHAN)

Tahun        : 3.000-10.000 tahun lalu
Manusia    : Homo Sapien
Artefak         : Terbuat dari tulang yang disebut sampung bone culture, flakes, pebble, pebble (alat-alat tulang yang datang dari jalan barat) dan kebudayaan flakes (datang melalui jalan timur)
Pola Hidup  : Menetap dan bercocok tanam. Tinggal di kjokkenmodinger (tepi pantai) dan goa-goa (abris sous roche). Pada masa ini manusia mulai bercocok tanam, menangkap ikan, serta berburu.

NEOLITIK (ZAMAN BATU MUDA)
Tahun        : 3000 tahun lalu
Manusia    : Homo Sapien
Artefak        : alat-alat yang terbuat dari batu sudah diasah dan diperhalus seperti beliung persegi dan belincung. Beliung persegi adalah alat yang dibuat dari batu kalisedon atau agat yang atasnya (bidang distal) melengkung, sedangkan bidang bawahnya (bidang proksimal) sedikit melengkung.

Bagian pangkal biasanya lebih kecil daripada bagian ujungnya. Bagian pangkal ini tidak digosok. Bagian ujungnya disebut juga bagian tajaman, digosok atau diasah hanya pada sisi bawah (pada bidang proksimal saja). Beliung tersebut digosok hingga halus dan mengkilat. Cara menggunakan ialah diikat pada setangkai kayu.

Pola Hidup  : Menetap, pertanian, peternakan, dan pembuatan tembikar.

Surban Berusia 700 Tahun Milik Tengku di Ujung Dipamerkan


SINABANG - Surban kain berusia 700 tahun, milik Tengku di Ujung Halilullah, seorang ulama besar di Pulau Simeulue, diperlihatkan kepada masyarakat umum.

Tiga orang keturunan Tengku di Ujung tersebut, yakni Asydarmansyah Mas, Syawal, M Yusri (38), memperlihatkan surban tersebut. Kejadian itu berlangsung di Makam Tengku Diujung, Gampong Lata'ayah, Kecamatan Simeulue Cut,  Kabupaten Simeulue, Kamis 27 Desember 2012. Surban itu kini telah berwarna putih kekuning-kuningan dan telah robek sebagian.

"Hari ini kita perlihatkan kepada publik, inilah surban Tengku di Ujung, yang telah berusia 700 tahun. Hingga saat ini kami jaga sebaik mungkin. Masih ada lagi yang lain seperti tombak dan cerek air minum,” ujar salah seorang keturunan Tengku  di Ujung tersebut.

Mereka  menambahkan, seluruh peninggalan ulama tersebut  masih disimpan dengan utuh. Peninggalan  tersebut siap digunkana untuk kepentingan sejarah, pendidikan,  dan budaya pengislaman masyarakat Pulau Simeulue.

Namun sejauh ini, pihak Pemerintah Kabupaten Simeulue belum melakukan upaya pelestarian barang berharga  tersebut. Kecuali hanya pemugaran areal dan makam Tengku di Ujung, isteri, dan  Puteri Melur.
"Meskipun  kurang mendapat perhatian  dari pemerintah, kita keluarga besar siap memperlihatkan kepada publik. Terutama untuk kepentingan  sejarah, pendidikan,  dan budaya,” ujar  Asdarmansyah.

Belum diketahui secara pasti pada tahun berapa Tengku di Ujung hidup. Dari beberapa referensi di Simeulue, Tengku di Ujong adalah seorang ulama dari Minangkabau. Pada masa Iskandar Muda memerintah kerajaan Aceh Darussalah, Tengku di Ujong dari Minangkabau hendak berlayar menunaikan ibadah haji.

Pada saat itu Iskandar Muda meminta kepada Tengku di Ujong untuk singgah di Simeulue dan memberikan syiar Islam di pulau tersebut. Tengku di Ujong adalah ulama yang menyiarkan Islam di pulau Simeulue. []

Tonggak Awal Berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam

KERAJAAN Aceh lahir dari penggabungan dua buah kota pemukiman besar di Aceh Besar. Hal ini ditulis dalam Hikayat Aceh, halaman 72. Kedua kota pemukiman ini yaitu Meukuta Alam dan Darul Kamal. Kedua kota ini, berdasarkan hikayat tersebut dipisahkan oleh satu aliran sungai.

Mada ada ngantarai daripada dua raja itu suatu sungai. Setengah kepada raja Makota Alam, setengah kepada raja Dar ul-Kamal,” jelas hikayat tersebut.

Kedua penguasa pemukiman tersebut mengawinkan anak mereka sebagai tonggak dasar penggabungan wilayah. Perkawinan itu berujung pada perluasan kedua wilayah yang kemudian dipimpin oleh seorang raja dari Meukuta Alam. Dua wilayah yang bergabung ini kemudian dinamakan dengan Aceh Darussalam. Sayangnya tidak ada catatan sama sekali mengenai tanggal pasti penggabungan dua wilayah ini.

Meskipun begitu, kedua penduduk pemukiman ini masih belum dipastikan asal daerah mereka sebenarnya. Karena, berdasarkan kesaksian Snouch Hougronje, ia pernah mendengar seorang ulama kharismatik Aceh, Teungku Kutakarang yang menyebutkan Aceh lahir dari percampuran orang Arab, Parsi dan Turki. Namun, di Pasai selaku daerah bagian Aceh didapati pada mulanya dihuni oleh orang Bengali yang jumlahnya mayoritas.

Sementara Denys Lombard berdasarkan penelitiannya mengatakan, ada pula yang menyebut asal mula Aceh itu berasal dari Campa. Runutnya berdasarkan sejarah melayu, dituliskan adanya seorang Raja dari Campa, Syah Pu Liang (Ling) diusir dari ibukotanya oleh bangsa Vietnam. Ia mencari perlindungan ke Aceh dan kemudian membentuk wangsa baru.

Walaupun mula terbentuknya Aceh sendiri belum ada kepastian, namun banyak sejarawan yang sepakat mengambil patokan awal berdirinya kerajaan ujung Sumatera ini dimulai dari berkuasanya Ali Mughayat Syah. Pires menyebutkan Aceh (Achey) adalah negeri pertama di pantai pulau Sumatera yang dibatasi selat dan Lambry (Lamreh_menurut Teuku Iskandar dalam Hikayat Aceh) terletak tepat di sebelahnya yang meluas ke pedalaman.

Lambat laun, tanah atau daerah sekitarnya tersebut berada di bawah kekuasaan satu raja yang memeluk agama Islam. Raja tersebut merupakan raja yang paling gagah perkasa (homen cavaleiro) dibandingkan raja-raja disekitarnya.

Raja Aceh ini pernah melancarkan perang dengan kerajaan Pedir yang menyebabkan banyaknya korban tewas di pihak lawan.

Bahkan, untuk menguasai daerah perairan Raja Aceh mempunyai 30 sampai 40 perahu lancar. Raja yang biasa disebut Sultan itu berhasil menguasai pulau-pulau Gamispola (Pulau Weh dan sekitarnya).
Homen cavaleiro dari Aceh tersebut kemudian hari dikenal dengan Sultan Ali Mughayat Syah yang telah berhasil menaklukkan Deli, Daya, Pedir dan Pasai (1524). 

Sementara pada bulan Mei 1521, Ali Mughayat Syah juga mampu mengalahkan armada portugis yang dipimpin oleh Jorge de Brito di laut lepas.Bisa dikatakan, Ali Mughayat Syah selaku Sultan Aceh telah berhasil memperluas daerah kekuasaan dan mempertahankan kewibawaan Aceh di dunia Internasional. Setidaknya, 120 tahun kemudian bangsa Portugis dari Barat yang dikenal berasal dari negeri modern tidak mampu menaklukkan Aceh sama sekali.

Kuatnya pertahanan Aceh dalam menghadapi agresi Portugis itu, selain dilatarbelakangi oleh keberanian Sultan dan para ksatrianya ditambah armada laut yang kuat dan patriot, Aceh juga mempunyai peta geografis alur pantai yang begitu sulit untuk berlabuh kapal-kapal besar.

Di sepanjang garis pantai Aceh terdapat banyak karang yang bisa membuat kapal-kapal karam. Jalan satu-satunya menaklukkan Aceh pada saat itu hanya melalui laut dengan menembakkan meriam-meriam ke daerah pesisir.[bna]